1
Konferensi Pers INDEF
Covid—19 Meningkat, Ekonomi Melambat
Minggu, 7 Februari 2021Kasus harian covid 19 terus bergerak naik dengan angka lebih di atas 11.500 kasus per hari dengan total kasus sudah di atas 1,1 juta kasus dan jumlah kematian 31 ribu jiwa. Di sisi lain pemulihan ekonomi tampaknya juga masih akan terus berjalan lambat. Situasi ini merupakan rentetan realitas yang terus terjadi dalam 10 bulan terakhir yang dikuatirkan masih akan berlanjut hingga akhir tahun depan.
Sebagai refleksi, BPS menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi kita pada triwulan IV tahun 2020 sebesar -2,19 persen (yoy) sehingga kita masih mengalami resesi baik teknikal maupun substansi karena lebih dari dua triwulan berturut pertumbuhan ekonomi kita negatif. Diperkirakan kondisi ini akan terus berlanjut hingga triwulan I 2021. Dengan melihat situasi pandemi Covid-19, perkembangan daya beli dan inflasi yang terjadi, perkembangan sektoral maupun pengeluaran, laju kredit dan simpanan, implementasi stimulus fiskal (PEN dan Belanja Pemerintan lainnya) maka kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan I Tahun 2021 sebesar -1 persen (yoy). Artinya kita masih akan dalam kondisi kontraksi ekonomi yang cukup dalam.
Berdasarkan kondisi tersebut, berikut sejumlah catatan INDEF atas kinerja pertumbuhan ekonomi 2020 dan rekomendasi kebijakan agar resesi ekonomi dapat segera teratasi.
1. Ketidakpastian Global Masih Terasa
• Tingkat ketidakpastian global di akhir 2020 berdasarkan data Global Economic Policy Uncertainty (EPU) sudah mulai mereda (292,6) setelah pada Mei 2020 mencapai puncaknya (436,6). Tren positif ini akan berlanjut hingga awal tahun 2021 dengan semakin baiknya penanganan Covid—19 di beberapa negara dan pelonggaran pembatasan aktivitas di negara tersebut. Ini akan memberikan sinyal positif bagi perdagangan dan industri secara global, salah satunya Indonesia.
• Meski ketidakpastian global sudah kunjung mereda, namun permintaan global masih belum sepenuhnya pulih. Membaiknya ekonomi China masih belum memberikan manfaat yang cukup besar bagi perekonomian Indonesia. Ada dua sebab yang melatarbelakanginya. Pertama, perbaikan ekonomi China yang masih terbatas (2,3 persen, yoy) belum mengarah pada rata-rata kondisi sebelum pandemi1. Ini artinya permintaan China terhadap produk-produk ekspor unggulan Indonesia2 pun turut melambat. Kedua, belum meningkatnya investasi domestik karena masih terbatasnya utilisasi produksi industri manufaktur saat ini. Karena produksi masih terbatas, maka baik impor bahan baku industri maupun ekspor produk masih belum kembali sedia kala.
1 Pertumbuhan Ekonomi China rata-rata dalam 5 tahun terakhir rata-rata sebesar 6,7 persen (yoy)
2 Empat dari lima produk ekspor unggulan Indonesia ke China melambat, diantaranya sebagai berikut: batu bara
muda (lignite) (-28,7 persen); ferroy alloy nickel (104,2 persen); batu bara (-23,4 persen); fraksinasi cair minyak sawit (-10,5 persen); dan, gas alam cair (-18,2 persen).
2
2. Produksi Terbatas Membuat Minimnya Investasi Baru
• Capaian total realisasi penanaman modal atau investasi 2020 sebesar 101,1 persen tidak menggambarkan kondisi investasi secara keseluruhan karena hanya dihitung berbasiskan perizinan. Ada dua faktor utama besarnya realisasi investasi ini: Pertama, semakin mudahnya dalam mengurus perizinan investasi; Kedua, terdapat insentif fiskal yang diberikan kepada investor dengan syarat melaporkan realisasi investasi secara berkala.
• Investasi yang digambarkan oleh Pembentukan Modal Tetap Bruto/PMTB menunjukkan bahwa kinerja investasi berada pada tahap stagnan dari triwulan III (-6,48 persen) ke IV (-6,15 persen). Hal ini tentu wajar karena saat ini kapasitas utilisasi produksi industri manufaktur masih terbatas3, sehingga penambahan komponen investasi baru masih rendah.
• Komponen terbesar (76 persen) dari PMTB yakni komponen bangunan pada triwulan IV memiliki capaian pertumbuhan lebih rendah dari sebelumnya, dari 5,6 persen (yoy) menjadi -6,63 persen (yoy). Hal ini semakin memberikan gambaran bahwa investasi masih belum terlihat kembali seperti tahun sebelum pandemi. Penambahan aset bangunan juga relatif menjadi lebih rendah karena pembatasan aktivitas dan sedikit banyak menggunakan teknologi dalam mengganti peran dari ketersediaan bangunan tersebut.
• Besarnya investasi, kepercayaan dunia bisnis maupun investor juga bergantung pada jitunya penanganan pandemi Covid—19. Hal yang terjadi juga berlaku sebaliknya, jika penanganan pandemi Covid—19 tidak cukup baik, maka dunia bisnis dan investor memilih waspada dan berjaga-jaga.
3. Bom Waktu Covid—19 di Tengah Perbaikan Industri
• Industri pengolahan non-migas mengalami perbaikan meski tetap terkontraksi di triwulan IV2020 sebesar 2,22 persen (yoy) dibandingkan triwulan III2020 sebesar -4,02 persen (yoy). Dilihat dari lima industri prioritas dengan kontribusi terbesar terhadap PDB, hanya industri tekstil dan pakaian jadi saja yang masih belum membaik di triwulan IV-2020 karena pengaruh kinerja retail pakaian yang masih belum pulih optimal.
• Pemburukan di triwulan IV-2020 terjadi pada subsektor industri pengolahan tembakau karena adanya tekanan cukai yang besar di 2020. Lainnya, penurunan kinerja pertumbuhan konstruksi mendorong pertumbuhan subsektor industri pengolahan barang galian bukan logam ikut menurun di triwulan IV-2020. Industri kertas dan barang dari kertas juga masih tertekan akibat masih melemahnya permintaan domestik
3 Kapasitas utilisasi produksi Indonesia per Desember 2020 sebesar 69,4 persen, lebih rendah dibandingkan kondisi
3 terhadap produk hasil industri tersebut. Pemburukan terjadi pada industri furnitur yang mana dipengaruhi oleh permintaan global yang belum membaik untuk barang tersier. • Sektor konstruksi mengalami peningkatan kontraksi di triwulan IV-2020 disebabkan oleh
permintaan domestik terhadap bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal yang rendah. Hal lain juga konstruksi di bidang kelistrikan yang belum memenuhi target realisasi menjadi salah satu faktor pendukung lainnya.
• Purchasing Manager Index (PMI) mengalami tren kenaikan di akhir 2020 dan awal 2021 setelah sebelumnya mengalami penurunan ketika masa PSBB jilid 1 di bulan April dan Mei serta PSBB DKI Jakarta di bulan September. Di Januari 2021, nilai PMI sebesar 52,2 menjadi salah satu indikasi bahwa ekspektasi pelaku industri terhadap ekspansi di awal tahun mulai terlihat. Di saat yang bersamaan, kasus harian Covid—19 yang masih belum ada indikasi untuk menurun membuat seolah-olah sebagai bom waktu dalam menghentikan tren peningkatan tersebut.
4. Lambatnya Konsumsi dan Investasi
• Konsumsi rumah tangga tumbuh melambat pada triwulan 4 tahun 2020 yang hanya sebesar -3,61 persen (yoy) atau hanya tumbuh 0,49 persen (qtq). Bandingkan dengan perubahan yang terjadi pada triwulan 3 tahun 2020 yang sebesar 4,69 persen (qtq) dan -4,05 persen (yoy). Ini menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga pemulihannya jauh lebih lambat pada triwulan 4 tahun 2020 dibandingkan triwulan 3 tahun 2020. Komponen utamanya adalah memburuknya konsumsi makanan dan minuman, selain restoran yang sebesar -1,39 persen (yoy) pada triwulan 4, sementara triwulan 3 hanya sebesar -0,69 persen (yoy). Konsumsi makanan dan minuman memiliki porsi 41,24 persen dalam konsumsi rumah tangga atau terbesar dari struktur konsumsi rumah tangga pada triwulan 4 tahun 2020. Bantuan sosial yang diberikan pemerintah ternyata tidak dapat mempertahankan kebutuhan konsumsi rumah tangga, khususnya makanan dan minuman.
• Investasi (PMTB) tetap memburuk dengan pertumbuhan hanya sebesar -6,15 persen (yoy) pada triwulan 4 tahun 2020 dan tidak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan triwulan 3 tahun 2020 yang hanya sebesar -6,48 persen (yoy). Penyebab utamanya investasi bangunan yang menempati proporsi sebesar 75,95 persen dalam PMTB justru semakin memburuk pada triwulan 4 tahun 2020 yang sebesar -6,63 persen (yoy), sementara triwulan 3 sebesar -5,60 (yoy). Ini disebabkan penurunan kegiatan konstruksi dan real estate masyarakat dan sektor swasta, serta pemerintah yang mengalami penurunan. Ini menunjukkan meski investasi melalui PMA dan PMDN melampui target namun tidak membuat banyak perubahan berarti bagi perekonomian dalam jangka pendek, khususnya investasi semester I tahun 2020 yang sebesar 402,6 trilyun rupiah.
• Konsumsi pemerintah melambat hanya sebesar 1,76 persen (yoy) pada triwulan 4 atau lebih rendah dibandingkan triwulan 3 tahun 2020 yang sebesar 9,76 persen (yoy). Penurunan ini banyak disebabkan selain pemberlakukan working from home juga disebabkan kebijakan penghematan belanaja, khususnya perjalanan dinas pemerintah maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Ini juga tercermin menurunnya aktivitas administrasi pemerintahan pada triwulan 4 tahun 2020.
4
5. Efektifitas Program Pemulihan Ekonomi Nasional
• Program pemulihan ekonomi nasional tahun 2020 ditutup dengan realisasi sebesar Rp579,78 triliun atau 83,34 persen dari target sebesar Rp695,2 triliun. Meski program PEN ini sangat besar realisasinya pada triwulan terakhir namun tampaknya tidak bisa menjadi pendorong lebih besar pemulihan ekonomi nasional pada triwulan terakhir. Hal ini dilihat dari beberapa aspek, bantuan sosial yang diberikan yang secara total sebesar Rp220,39 triliun, khususnya melalui program sembako dan non sembako tidak mendorong konsumsi makanan dan minuman tetap terjaga. Bahkan konsumsi makanan dan minuman, selain restoran yang sebesar -1,39 persen (yoy) pada triwulan 4. Ketidaktepatan sasaran, mekanisme yang tidak efektif hingga nilai bantuan yang kecil menyebabkan kopmleksitas masalah sehingga program ini tidak bisa diharapkan lagi apabila tidak ada perubahan mendasar.
• Program PEN untuk UMKM sebesar Rp. 112,44 triliun dan korporasi sebesar Rp. 60,73 triliun lebih banyak digunakan untuk menutup kerugian yang diderita pelaku usaha selama tahun 2020 dan sulit dijadikan penggerak pemulihaan ekonomi hingga akhir tahun 2020. Bahkan untuk tahun 2021 juga memiliki prinsip yang sama dalam penggunaannya. Karena itu, kedepan PEN untuk keduanya sesungguhnya perlu terobosan lain agar mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
• PEN untuk kesehatan yang hanya terserap sebesar Rp. 63,51 triliun atau 63,8 persen dari target Rp. 99,5 triliun nyatanya tidak efektif mencegah kasus covid yang semakin membesar. Hal ini menunjukkan ketidakefektifan penanganan PEN, khususnya sistem tracing yang masih lemah sehingga kasus semakin berkembang. Program pendukung untuk penyadaran dan penegakan kesadaran masyarakat untuk memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi aktivitas (5M), implementasinya masih jauh dari yang diharapkan. Apalagi meski istilah PSBB, PPKM dan PPKM sekala mikro tidak banyak perubahan signifikan pada level implementasi di tengah-tengah masyarakat.
• Keberadaan vaksin dari sisi penyediaan (supply) diperkirakan hingga tahun 2023 dimana the economist memperkirakan hingga triwulan 3 tahun 2023 baru 60 persen penduduk sasaran yang bisa divaksinasi dari target 70 persen. Artinya, kondisi covid akan terus membayangi hingga tahun 2023. Implikasinya, meski pemerintah bersikeras vaksin ada namun kalau terlambat datangnya makan Indonesia akan masuk resesi yang berkepanjangan. Ketidakpastian ini akan memberikan signal bahwa akan sulit ekonomi pulih dalam waktu dekat.
6. Stagnansi Sektor Keuangan
• Capaian pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2020 sebesar -2.19 persen menunjukkan masih panjangnya proses perbaikan ekonomi ke depan. Besaran tersebut masih belum sesuai dengan besaran yang ditargetkan. Implikasinya menunjukkan akselerasi pertumbuhan ekonomi masih belum optimal. Pengelolaan bauran kebijakan (mixed policy) terkait dengan mikroprudensial, terutama berkaitan dengan kebijakan PEN dalam pemberian insentif UMKM. Hal ini disebabkan oleh insentif UMKM dianggap masih belum memberikan hasil dalam mendongkrak kinerja mikroprudensial.
5 • Kontribusi sektor jasa keuangan dan asuransi terhadap capaian pembentukan PDB triwulan IV 2020 sebesar 4,57 persen sangat kecil. Sementara kontribusi yang paling tinggi berasal dari industri manufaktur, perdagangan, pertanian, kontruksi dan pertambangan. Kondisi ini menunjukkan nilai tambah yang dibentuk dari sektor keuangan belum optimal. Transmisi keuangan dari sektor jasa keuangan ke sektor riil masih belum efektif.
Rekomendasi
1. Lockdown Akhir Pekan
• Wacana kebijakan lockdown akhir pekan yang tengah mengemuka dapat diuji sebagai alternatif kebijakan untuk menekan risiko penularan tanpa merelakan kinerja sektor industri dan bisnis di hari kerja. Meskipun kebijakan ini tidak seefektif lockdown total karena tidak melewati masa inkubasi 7-14 hari.
• Kebijakan ini memiliki ongkos yang perlu dibayar seperti penurunan kinerja pertumbuhan di sektor penyediaan akomodasi dan makan minum serta sektor transportasi dan pergudangan. Jika dilakukan dalam satu triwulan maka akan terjadi penurunan 5-7 persen.
• Tentunya pengetatan aktivitas ini masih dengan catatan bahwa distribusi barang dan logistik tetap berjalan. Tidak hanya itu, untuk mengendalikan pandemi syarat 3T (testing, tracing, treatment) dilakukan secara masif dan sesuai prosedural epidemologis ketika kebijakan tersebut dilakukan.
2. Revisi Kewajiban Pelaporan Protokol Kesehatan Perusahaan dan Kawasan Industri
• Surat Edaran Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2020 tentang Kewajiban Pelaporan bagi Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang Memiliki Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri perlu direvisi. Hal ini dikarenakan belum ketatnya basis protokol kesehatan yang diterapkan untuk meminimalisir merebaknya Covid—19 di kawasan industri.
• Pelaporan tidak disertai dengan evaluasi yang dilakukan pihak Kementerian Perindustrian dan Satgas Covid—19 yang ketat membuat pelaporan ini menjadi hanya perkara administrasi dan pengisian formulir saja tetapi tidak menyelesaikan angka penularan Covid—19 di lingkungan kerja.
• Kewajiban pelaku industri sedang dan besar untuk dapat melakukan testing karyawan secara berkala perlu dilakukan. Ini juga menjadi bagian dalam membantu upaya Pemerintah melakukan 3T. Konsistensi dalam kebijakan ini akan menguntungkan pelaku industri karena dapat meminimalisir tingkat penularan Covid—19 yang dapat mengganggu proses produksi di masa depan.
6
3. Meningkatkan Efektifitas Stimulus Fiskal
• Pemerintah harus meningkatkan efektifitas stimulus fiskal dengan memperbaiki data sasaran penerima, perbaikan mekanisme pengalokasian, perubahan nilai alokasi anggaran, menghapus kegiatan-kegiatan program PEN yang “boros” dan tidak efektif, hingga menempatkan skala prioritas dalam menjaga konsumsi masyarakat untuk makanan dan minuman tetap terjaga dengan baik.
• Alokasi anggaran PEN tahun 2021 yang diperkirakan Rp. 619 triliun perlu dikaji ulang mengingat dengan skenario yang sama dengan tahun 2020 tampaknya akan bernasib sama dengan tahun 2020. Anggaran K/L dan Pemda yang sebesar Rp. 141 triliun dengan kenaikan lebih dari 100 persen dibandingkan tahun 2020 yang sebesar Rp. 66,59 triliun perlu dialokasikan untuk menambal bansos bagi kelompok masyarakat terbawah. • Pemerintah harus dapat memastikan bahwa ketersediaan vaksin benar-benar dapat
disediakan dalam kurun waktu tahun 2021 ini. Jika terlambat maka hanya akan mimpi bahwa pemulihan ekonomi benar-benar terjadi. Untuk itu, perlu upaya yang cukup serius dalam pengadaan vaksin dalam kurun waktu relatif cepat.
4. Memperkuat Sektor Keuangan
• Sebaiknya ditinjau kembali besaran suku bunga acuan yang tetap bertahan di posisi angka 3,75 persen pada triwulan I tahun 2021 sehingga berdampak pada suku bunga kredit. Melalui penurunan pada level efektif, yaitu melalui menurunkan kembali pada besaran suku bunga acuan hingga menjadi 3 persen, dan dengan kebijakan PEN yang lebih memperhatikan sasarannya diharapkan supply-driven semakin membaik.
• Dampak pandemi Covid-19 menjadi ‘katalis’ terjadinya kontraksi pertumbuhan ekonomi dan tidak efektifnya kebijakan moneter dalam mentransmisikan terhadap sektor riil, maka perlu dilakukan penanganan pandemi yang lebih ketat. Melalui kebijakan pembatasan yang diperketat.
• Perlunya mengoptimalkan uang beredar untuk demand-driven, terutama kebijakan PEN untuk insentif konsumsi masyarakat di tengah pandemi Covid-19 lebih terukur dan tepat sasaran.
• Sinergitas dan harmonisasi antara kebijakan fiskal dan moneter serta bauran kebijakannya ditingkatkan serta monitoring yang lebih terukur dan berdampak terhadap PEN.