• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN PERKARA MAFQUD DI PENGADILAN AGAMA MAFQUD CASE SOLUTION IN RELIGIOS COURT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYELESAIAN PERKARA MAFQUD DI PENGADILAN AGAMA MAFQUD CASE SOLUTION IN RELIGIOS COURT"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN PERKARA MAFQUD DI PENGADILAN AGAMA

MAFQUD CASE SOLUTION IN RELIGIOS COURT

Akhmad Faqih Mursid, Arfin Hamid, Muammar Bakry

Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar

Alamat Korespondensi :

Akhmad Faqih Mursid Fakultas Hukum Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 0813-4407-6399 Email : Faqihblack27@yahoo.com

(2)

ABSTRAK

Mafqud adalah orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami (1) penentuan status hukum bagi mafqud ditinjau dari prespektif Hukum Islam dan (2) penerapan status hak mafqud di pengadilan agama. Penelitian ini berbentuk penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Data yang diperoleh adalah data primer dan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Penentuan seseorang telah mafqud adalah berdasarkan pada tanggal atau waktu ditemuinya bukti kuat tentang kematian mafqud bersangkutan atau pada saat hakim memutuskan wafatnya mafqud. Jika penentuan itu berdasarkan pada ijtihad atau persangkaan, di sini ada dua pendapat. Pertama, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa waktu wafatnya mafqud dianggap sejak tanggal hilangnya mafqud bersangkutan. Sejak tanggal itulah dia dianggap telah mafqud. Konsekwensinya adalah bahwa ahli waris mafqud yang wafat sebelum tanggal tersebut tidak berhak mendapat warisan` dari mafqud dimaksud karena warisan itu hanya berlaku bagi ahli waris yang maih hidup pada tanggal mafqud mulai hilang. Berbeda halnya dengan Syafi’i dan Ahmad yang berpendapat bahwa` mafqud dianggap telah wafat sejak tanggal pernyataan kewafatannya, sehingga dengan demikian mafqud berhak mendapat warisan dari pewarisnya yang wafat sebelum tanggal kematian mafqud, dan ahli waris mafqud berhak mendapat warisan dari mafqud bersangkutan jika ahli warisnya masih hidup pada saat mafqud dinyatakan wafat.

Kata Kunci: Penyelesaian Perkara Mafqud, di Pengadilan Agama.

ABSTRACT

Mafqud was the one who cut off the news that life and death are unknown. This study aims to identify and understand (1) the determination of the legal status for religious courts mafqud in terms of the perspective of the sect (2) the opinion of Imam Shafi'i about mafqud. This research study normative juridical form, the legal research conducted by examining library materials or secondary data. The data obtained are the primary data and secondary data were analyzed qualitatively. Results of this study indicate that someone has mafqud determination is based on the date or time of death met strong evidence mafqud concerned or when the judge ruled the death mafqud. If the determination was based on ijtihad or suspicion, here there are two opinions. First, Abu Hanifa and Malik argue that time is considered the date of death mafqud mafqud loss concerned. Since that date he is deemed to have mafqud. A consequence is that the heirs mafqud who died before that date are not entitled to inherit from the `mafqud is because it only applies to legacy heir maih live on December mafqud started missing. Unlike the case with the Shafi'i and Ahmad found `mafqud considered dead since the date of the statement kewafatannya, thus mafqud entitled to inheritance from the heir died before the date of death mafqud, and mafqud heirs entitled to inheritance of mafqud concerned if his heirs still alive at the time of death stated mafqud.

(3)

PENDAHULUAN

Penetapan mafqud bagi orang yang hilang sangat penting karena untuk mengetahui posisi mafqud dalam hal memperoleh hak dan kewajiban kewarisan. Jika dia merupakan pewaris, maka ahli warisnya memerlukan kejelasan status tentang keberadaannya (apakah yang bersangkutan masih hidup atau sudah wafat) agar jelas hukum kewarisan dan harta warisannya, dan jika sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai statusnya, apakah ia sebagai dzawil furud atau sebagai dzawil asobah.

Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang (Mabadlul Masalik : 1994) . Menurut para Faradhiyun, Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya.

Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para fuqaha cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.

Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum.

Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu : a. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, b. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa

Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang hilang/menghilang, di antaranya: istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan, hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya dan jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum telah mati, dan hakim pun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap telah mati.

Namun dalam penerapannya banyak putusan hakim dii pengadilan agama dalam memutuskan perkara Mafqud tidak berdasarkan hukum islam yang sesuai dengan para fuqaha atau mazhab.

(4)

Penyelesaian Perkara mafqud merupakan salah satu wewenang dari Pengadilan Agama.yang dimana diatur dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006. Dalam hal ini Pengadilan Agama telah menyelesaikan berbagai perkara begitu juga perkara mafqud. Untuk mengetahui keadaan status mafqud, maka perkara ini diserahkan kepada hakim Pengadilan Agama untuk memberikan penetapan dengan memperhatikan kemaslahatan baik untuk si mafqud sendiri atau untuk ahli waris yang lain, yang dalam penetapannya, seorang hakim harus menggunakan alasan-alasan hukum yang jelas. Sehingga nantinya dapat memberikan implikasi secara jelas atas hilangnya si mafqud tersebut

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penentuan status hukum bagi mafqud ditinjau dari prespektif hukum islam dan penerapan status hak mafqud di pengadilan agama.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Makassar karena penelitian tersebut dilakukan di Pengadilan Agama Makassar.

Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat penelitian yuridis normatif yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Untuk memenuhi kebutuhan data maka dilakukan penelitian kepustakaan (Library Research) dan Pendekatan Konsep (conceptual approach).

Metode Pengumpulan Data

Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer, yakni data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian dengan pihak responden yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dengan cara interview, yaitu pengumpulan data dengan wawancara kepada pihak-pihak yang sesuai dengan objek penelitian dan data sekunder, yakni data yang diperoleh melalui studi kepustakaan sebagai data pendukung/pelengkap, karya tulis, artikel-artikel, opini, pemberitaan media-media dan sebagainya yang relevan dengan materi penelitian.

Analisis Data

Data yang diperoleh di lapangan baik data primer maupun data sekunder merupakan data mentah yang harus diolah dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif, selanjutnya disajikan secara deskritif, yaitu dengan menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan permasalahan serta penyelesaiannya yang berkaitan erat dengan penelitian ini.

(5)

HASIL

Penentuan Status Hukum bagi Mafqud ditinjau dai prespektif Hukum Islam

Penentuan wafatnya mafqud harus berdasarkan pada alat bukti yang jelas dan dengan alat bukti itu diduga keras bahwa mafqud tersebut telah wafat. Caranya adalah dengan memperhatikan teman-teman seumur/segenerasi dengan mafqud bersangkutan. Apabila teman-teman seumur/segenarasi mafqud itu tidak ada lagi yang hidup, maka hakim boleh menetapkan bahwa mafqud dimaksud telah wafat. Bila harta mafqud telah dibagikan kepada ahli warisnya, kemudian ternyata bahwa mafqud bersangkutan masih hidup dan kembali ke daerahnya, maka harta yang sudah dibagikan tersebut, sekiranya masih ada yang tersisa ditangan ahli waris yang telah menerimanya, dikembalikan oleh ahli warisnya itu kepada mafqud dimaksud. Jika harta itu telah habis, maka mafqud tidak dapat menuntut ahli waris yang menerima warisan tersebut unutk mengembalikannya

Mengenai masa atau periode yang dapat dijadikan dasar untuk menilai mafqud telah wafat diserahkan pada pertimbangan hakim jika ia hilang dalam waktu yang kian lama sehingga sudah tidak ada lagi orang yang satu periode dengan dia di daerahnya yang mungkin masih hidup, misalnya karena sudah mencapai batas waktu 100 atau 120 tahun. Dan ia baru dinyatakan telah wafat setelah yang bersangkutan diupayakan pencariannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan.

Penerapan Status Hak Mafqud di Pengadilan Agama

Mengkaji hukum waris Islam, khususnya berbicara penetapan Mafqud tidaklah bisa dilepaskan dari keberadaan empat mazhab yang mengilhami segala sendi kehidupan dan perbuatan hukum umat Islam. Mazhab menjadi kajian utama dalam memaknai ajaran agama Islam. Mazhab ini secara bahasa merupakan jalan atau tempat berjalan atau landasan serta dasar fiqih Islam. Mazhab berasal dari kata “dzahaba”, artinya jalan atau tempat yang dilalui. Sedangkan menurut istilah ulama ahli fiqih, mazhab adalah mengikuti sesuatu yang dipercayai.

Ada empat mazhab besar yang dianut dalam sejarah Islam sebagai landasar fiqh Islam dengan merunut pada sejumlah dalil-dalil sahih Rasulullah SAW. Yakni Mazhab Hanafi, Maliki, Safi’i, dan Hambali. Ke empat mazhab ini memberikan penegasan tentang patokan dalam merumuskan penetapan seseorang dinyatakan meninggal dunia setelah menghilang dalam rentang waktu tertentu. Berdasar pada mazhab ini, penulis ingin mengkorelasikannya dengan konsep yang diterapkan badan peradilan di Indonesia, khususnya Peradilan Agama dalam penetapan Mafqud.

(6)

PEMBAHASAN

Penelitian ini menemukan bahwa penentuan seseorang telah mafqud adalah berdasarkan pada tanggal atau waktu ditemuinya bukti kuat tentang kematian mafqud bersangkutan atau pada saat hakim memutuskan wafatnya mafqud. Jika penentuan itu berdasarkan pada ijtihad atau persangkaan, di sini ada dua pendapat. Pertama, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa waktu wafatnya mafqud dianggap sejak tanggal hilangnya mafqud bersangkutan. Sejak tanggal itulah dia dianggap telah mafqud. Konsekwensinya adalah bahwa ahli waris mafqud yang wafat sebelum tanggal tersebut tidak berhak mendapat warisan` dari mafqud dimaksud karena warisan itu hanya berlaku bagi ahli waris yang maih hidup pada tanggal mafqud mulai hilang. Berbeda halnya dengan Syafi’i dan Ahmad yang berpendapat bahwa` mafqud dianggap telah wafat sejak tanggal pernyataan kewafatannya, sehingga dengan demikian mafqud berhak mendapat warisan dari pewarisnya yang wafat sebelum tanggal kematian mafqud, dan ahli waris mafqud berhak mendapat warisan dari mafqud bersangkutan jika ahli warisnya masih hidup pada saat mafqud dinyatakan wafat.

Pendapat fuqaha ini, meskipun dalam penentuannya memperiotaskan pada masalah ”melihat orang-orang yang sebaya dengan si mafqud”, kemudian batas waktu atau usia dan lamanya (masa) hilang hingga mencapai 60 tahun, 70 tahun, 90 tahun atau bahkan 120 tahun atau dengan memperhatikan pada kondisi dan kejadian yang memungkinkan dua keadaan si mafqud, namun penetapan yang demikian baru dipandang memiliki kekuatan hukum, jika diselesaikan oleh pihak Pengadilan, yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama.

Hakim atau qadhi dalam menyelesaikan perkara ini tentunya tetap berpegang pada hukum Acara yang berlaku, mulai dari proses pemeriksaan, pembuktian sampai pada putusan. Sedangkan pendapat para fuqaha tersebut hanyalah sebagai bahan pertimbangan untuk memvonis orang yang tidak diketahui rimbanya sebagai orang yang meninggal, mempunyai keharusan untuk berijtihad. Karena itu ijtihad seorang hakim sangat berperan guna mencari kemungkinan dan tanda-tanda kuat yang dapat menuntunnya kepada putusan, dan pendapat inilah yang lebih mendekatkan pada wujud kemaslahatan. Selain itu ia dapat menetapkan berdasarkan indikasi yang tampak, atau dapat mendeteksi melalui alasan (dalil-dalil) yang jelas.

Namun demikian dalam memutuskan hukum bagi si mafqud di era reformasi dan teknologi modern seperti sekarang, dan dukungan perangkat negara yang memadai, ijtihad hakim pun hendaknya tetap memperhatikan pertimbangan-pertimbangan diatas, dan perlu ketelitian efektivitasnya. Fasilitas penerangan baik melalui media cetak maupun elektronik,

(7)

sudah barang tentu sangat membantu tugas-tugas hakim dalam upaya menetapkan status al mafqud.

Hubungan dengan persoalan harta dan kewarisan seseorang yang hilang (mafqud), maka yang menjadi persoalan dalan hal ini adalah bagaimana pemecahannya bila seandainya ahli waris menghendaki agar harta warisan sesegeranya dibagi, sedangkan si mafqud yang ada kaitannya dengan harta warisan tersebut belum bisa diputuskan status hidup atau matinya. Padahal diantara persyaratan ahli waris itu adalah ”Kepastian hidupnya atau kepastian matinya”pewaris sebagai persyaratan muwarrits.

Menurut Imam Syafi’I, apabila seorang itu mafqud dengan putus kabar beritanya, maka hartanya harus di tunda (tidak dibagi) terlebih dahulu, sehingga ada tanda-tanda yang terang tentang meninggalnya dengan menghitung umurnya yang sudah berlalu mulai dari kelahirannya yang diperkirakan tidak akan hidup lagi di atas umur itu. Apabila begitu makahartanya dapat diberikan kepada orang yang mempunyai haknya (ahli waris),apabila orang yang hilang itu meninggal sebelum ada tanda-tanda atauketetapan hukum dari hakim, sekalipun tidak lama dari ketetapan itu, makatidak boleh dibagikan warisan itu dari si mafqud itu, karena dia meninggal masih dalam zaman yang diperkirakan tadi.

Apabila ahli waris itu meninggal terlebih dahulu, maka harta bagiannya ditinggalkan dulu dan memberikan dulu bagian dari ahli waris yang lain dengan sama (sesuai dengan ketentuannya) dan apabila meninggalkan ahli waris dalam keadaan hamil, maka warisannya harus dibagikan dengan hati-hati antara haknya orang yang hamil dengan hak anak-anaknya.

Dalam kitab-kitab Fiqh, para fuqaha telah menetapkan bahwa orang yang hilang (mafqud) adalah orang yang putus kabar beritanya dalam waktu yang cukup lama, sehingga tidak diketahui apakah orang tersebut masih hidup atau sudah mati. Untuk menentukan kematiannya itu para ulama sepakat bahwa yang berhak menetapkan tentang kematian orang yang hilang itu adalah seorang hakim, akan tetapi jangka waktu yang dijadikan patokan hakim dalam menentukan putusan itu, ulama’ madzhab mengalami perbedaan, sesuai dengan ijtihadnya masing-masing.

Menurut hemat penulis bahwa penentuan orang hilang (mafqud) apakah ia masih hidup atau sudah mati lebih tepat dan lebih simpatik bila ia diserahkan kepada pendapat hakim, lebih-lebih pada zaman sekarang yang lebih mudah untuk mengetahui keadaan orang-orang yang hilang.

Apabila seseorang yang hilang dalam waktu yang lama sehingga tidak jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka hartanya ditangguhkan terlebih dahulu sampai ada

(8)

kepastian tentang kematiannya. Akan tetapi, penetapan kematiannya seseorang itu hanya dapatdilakukan oleh keputusan hakim (keputusan lembaga peradilan).

Oleh karena itu seseorang yang hilang dalam waktu yang lama, menurut penulis penetapan kematiannya seseorang itu hanya dapat dilakukan oleh keputusan hakim (keputusan lembaga peradilan); pendapat penulis tersebut ternyata ada kesesuaian dengan ketentuan mafqud yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain. Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Oleh karena itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud (para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang hilang (mafqud) dalam waktu yang lama dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal, maka orang tersebut harus dihukumi hidup sampai diketahui dengan pasti..

DAFTAR PUSTAKA

Abdul A. D.,(1996), Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Ichtiar Baru van Hoeve : Jakarta , Jilid 3, hal 1037-1038

Ahmad Azhar Basyir, (2001), Hukum Waris Islam , Yogyakarta, UII Pres, hal 98

Muhammad Toha Abul 'Ula Kholifah,(2005) Ahkamul Mawarits, Dirosah Tatbiqiyyah, 1400 Masalah Mirotsiyyah Tasymulu Jami'a Halatil Mirotsi, Darussalam, hal 542

Muhammad S. M., (1993), al Qadhau fi al Islam, alih bahasa oleh Imron, Peradilan Dalam Islam Surabaya : PT. Bina Ilmu, Cet. Keempat, h. 53 – 60.

Muhammad J. M., (2006), Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Lentera, hal 613-614

Hasinah H., (2004), Hukum Warisan dalam Islam, Surabaya: Gitamedia Press , hal 64-66 Sayyid S.,(2006) Fiqih Sunnah Jilid 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara,.hal 512

Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjutak, (1995) Hukum Waris Islam, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 64.

Qolyubi wa Umairoh, Hasyiyatani ala Syarhi Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahally ala Minhajit Thalibin, Juz 3. Hal. 149

Referensi

Dokumen terkait

- langsung dengan kepentingan Komisi informasi Prov Jatim - Untuk membuktikan komitmen Komisi InformasiProv Jatim akan keterbukaa Informasi publik 15 5.10.2015

Secara spesifik yang dimaksud dengan konsumsi akhir adalah penggunaan produk baik berupa barang maupun jasa yang tujuannya tidak untuk diproses lebih lanjut (dikonsumsi habis),

(2) Komdis STIE SAS bertugas dan berwenang membantu pimpinan STIE Sebelas April sumedan melakukan penyelidikan, pemeriksaan terhadap pelanggaran Ketentuan Tata

Biasanya tanah-tanah di daerah asal yang dimiliki oleh para transmigran adalah tanah-tanah yang sempit yang kurang lebih 2 hektar di mana tanah-tanah tersebut merupakan hasil

Hasil analisis terhadap perhitungan rasio profitabilitas itu menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba tidak didukung dengan kemampuan perusahaan

GALIT NA NARARAMDAMAN AT HINDI SOLUSYON ANG PAGHIHIGANTI LAMPARA – SUMISIMBOLO SA MGA PILIPINONG NAGTITIIS SA MGA PANG-AABUSONG MGA KASTILA NGUNIT HINDI PA HANDANG

Berbeda halnya dengan Syafi’i dan Ahmad yang berpendapat bahwa` mafqud dianggap telah wafat sejak tanggal pernyataan kewafatannya, sehingga dengan demikian mafqud

Selanjutnya dilakukan analisis forman yaitu menghitung f1 dan f2 untuk mengetahui karakteristik bunyi ujaran pada bunyi vokal secara bersendiri (diambil dari perekaman