• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Perilaku Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedmann 1808) Jantan Di Pusat Rehabilitasi dan Habitatnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Perilaku Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedmann 1808) Jantan Di Pusat Rehabilitasi dan Habitatnya"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PERILAKU ORANGUTAN

(

Pongo pygmaeus wurmbii

, TIEDMANN 1808) JANTAN

DI PUSAT REHABILITASI DAN HABITATNYA

HERI SUJOKO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Evaluasi Perilaku Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedmann 1808) Jantan Di Pusat Rehabilitasi dan Habitatnya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(4)

RINGKASAN

HERI SUJOKO. Evaluasi Perilaku Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedmann 1808) Jantan Di Pusat Rehabilitasi dan Habitatnya. Dibimbing oleh BAMBANG PURWANTARA, IMAN SUPRIATNA dan MUHAMMAD AGIL

Laju penurunan populasi orangutan Kalimantan di habitat alam berada pada taraf yang mengkawatirkan. Program konservasi orangutan di Kalimantan Tengah untuk menyelamatkan orangutan di habitat aslinya, maka dilaksanakan Program Konservasi Kawasan Mawas, Tuanan dan untuk menyelamatkan orangutan hasil tangkapan atau sitaan dibangun Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah Nyaru Menteng. Untuk keberlangsungan konservasi orangutan maka program di kawasan Mawas Tuanan dan program reintroduksi orangutan Nyaru Menteng perlu terus pertahankan dan dikembangkan.

Konservasi orangutan yang efektif sangat memerlukan data dan informasi tentang ukuran populasi orangutan di alam dan perilakunya. Tujuan penelitian ini adalah: (1) melakukan pendugaan jumlah dan kepadatan populasi, dan identifikasi demografi orangutan di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT); (2) mengetahui pola interaksi sosial dan strategi reproduksi jantan; (3) menentukan tingkat agresifitas orangutan jantan berdasarkan asal-usul hewan selama proses rehabilitasi di kandang; dan (4) melakukan identifikasi perilaku abnormal orangutan jantan selama proses rehabilitasi.

Berdasarkan hasil sensus di wilayah SPOT seluas 11.84 km² selama 15 bulan menggunakan metode perjumpaan langsung di 55 transek ditemukan orangutan sebanyak 49 individu, terdiri dari: 12 bayi, 2 anak-anak, 10 betina dewasa, 15 jantan berpipi (jantan flanged), dan 10 jantan tidak berpipi (jantan unflanged); dan kepadatannya 4.13 atau berkisar 4-5 individu/km². Berdasarkan frekwensi kehadiran dan lama individu orangutan berada di lokasi sensus, maka terdapat tiga status demografi jantan dewasa, yaitu: jantan penetap sebanyak 32%, jantan penglaju sebanyak 44% dan jantan pengembara sebanyak 24%.

(5)

memilih mendampingi jantan flanged dominan dari pada jantan unflanged ataupun jantan flanged subordinat, sehingga untuk keberhasilan reproduksi jantan unflanged dan flanged subordinat harus memanfaatkan sisa waktu atau kesempatan yang diperoleh dari jantan flanged dominan.

Berdasarkan asal-usulnya, orangutan asal sitaan atau hasil penyerahan masyarakat (captive) pada umumnya memiliki tingkat agresifitas rendah (+), sehingga belum bisa dilakukan reintroduksi. Orangutan asal penyelamatan di alam (rescue) pada umumnya memiliki tingkat agresifitas tinggi (+++), sehingga berpotensi lebih cepat dilakukan reintroduksi. Tingginya tingkat agresifitas ini disebabkan mereka dilahirkan dan dibesarkan di habitat alam, sehingga telah memiliki keterampilan hidup. Sedangkan, orangutan asal kebun binatang sebagian bersifat ramah terhadap kehadiran pengamat dan sebagian lainnya memiliki tingkat agresifitas sedang (++), sehingga belum bisa dilakukan reintroduksi karena masih berpotensi menyerang manusia.

Orangutan yang sedang dalam proses rehabilitasi menunjukkan perilaku abnormal, meskipun jenis dan frekuensi antar individu bervariasi. Terdapat sembilan jenis perilaku stereotype (meliputi: perilaku tepuk tangan, meminta-minta, meludah, menjilat-jilat jemari/lengan, minum air kencing sendiri, mengintip, mondar-mandir (pacing), menari, dan memegang kepala sendiri); dan empat jenis perilaku seksual abnormal (meliputi: masturbasi, homoseksual, dan stimulasi kelamin. Perilaku abnormal lebih dominan dilakukan oleh orangutan yang berasal dari captive dan zoo. Perilaku abnormal akan muncul pada orangutan yang dipelihara di Pusat Rehabilitasi lebih dari 5 tahun.

Kesimpulan, (1) jumlah orangutan di wilayah SPOT sebanyak 49 individu dengan kepadatan 4.13 atau berkisar 4-5 individu/km², terdiri dari: jantan penetap sebanyak 32%, jantan penglaju 44% dan jantan pengembara 24%; (2) kondisi wilayah SPOT yang telah terdegradasi mengakibatkan orangutan hidup dalam cekaman. Frekwensi interaksi menjadi meningkat akibat wilayah jelajah terjadi tumpang tindih. Untuk keberhasilan reproduksi, maka jantan unflanged dan flanged subordinat harus memanfaatkan sisa waktu atau kesempatan yang diperoleh dari jantan flanged dominan; (3) berdasarkan asal-usulnya orangutan asal rescue memiliki tingkat agresifitas tertinggi; (4) orangutan yang sedang dalam proses rehabilitasi menunjukkan perilaku abnormal, diketahui ada sembilan jenis stereotype dan empat jenis perilaku seksual abnormal.

(6)

SUMMARY

Heri Sujoko. Evaluation of Males Orangutan behavior (Pongo pygmaeus wurmbii, Tiedmann 1808) in the Center of Rehabilitation and Habitat. Under Direction of Bambang Purwantara, Iman Supriatna and Muhammad Agil

The declining rate of the Borneo orangutan population in their natural habitat is at an alarming level. In order to save and protect orangutan in their natural habitat at Central Kalimantan, Mawas Conservation Program in Tuanan of Central Kalimantan has been developed. On the other hand, Re-introduction program of orangutan “Nyaru Menteng” has also been established to save confiscate and rescue orangutan. Maintaining a sustainability of orangutan conservation in Central Kalimantan, therefore conservation program at “Mawas” conservation area and reintroduction program at Nyaru Menteng have to be continuously retained and developed. An effective orangutan conservation required data and information on the population dynamic in the field and behavior of the orangutan in their natural habitat and during rehabilitation program. The aims of the study are: (1) to estimate the number and density of population, and the identification of demography orangutans at the Orangutan Research Station Tuanan (SPOT); (2) identify patterns of social interaction and the male reproductive strategies; (3) determining the level of aggressiveness of the male orangutan is based on the origin of the animals during the rehabilitation process at home; and (4) identify abnormal behavior during the male orangutan rehabilitation process.

Based on the results of the census in the SPOT area of 11.84 km2 for 15 months using direct encounter methods in 55 transects. Orangutans have been counted as much as 49 individuals, consisting of: 12 infants, 2 juvenile, 10 adult females, 15 cheek pad males (flanged male), and 10 un-flanged males; and population density was about 4.13 in the range of 4-5 individuals/km². Based on the frequency and duration of the individual's presence at the scene during orangutan census, there are found three adult males with differ demographic status, namely: a resident male as much as 32%, commuter male is about 44% and as much as 24% of nomad male.

(7)

one hand, adult females prefer a male accompanying flanged dominant than flanged male or flanged male subordinate, so to male reproductive success un-flanged and un-flanged subordinate must use the remaining time or opportunity that is obtained from flanged male dominant.

Based on its origins, orangutans confiscated origin or the results of the public submission or captive generally have a low level of aggressiveness (+), so it cannot be released for reintroduction. Orangutans in the wild origin rescued generally have a high level of aggressiveness (+++), thus potentially faster done reintroduction. The high level of aggression is because they were born and raised in a natural habitat, so it has had a life skill. Meanwhile, the origin of the zoo orangutan friendly partly to the presence of observers and some others have a level of aggressiveness moderate (++), so it cannot be done because there is still the potential reintroduction to attack humans.

Orangutans are in the process of rehabilitation showed abnormal behavior, although the type and frequency varies among individuals. There are nine types of behavior stereotypes (include: the behavior of applause, begging, spitting, licking fingers/arms, drinking his own urine, peek, pacing, dance and holding his own head); and four types of abnormal sexual behavior (including: masturbation, homosexuality, and the stimulation of the genitals). Abnormal behavior more dominant performed by orangutans originating from captive and zoo. Abnormal behavior will appear on orangutans reared in the Rehabilitation Center of more than 5 years.

In conclusion, (1) the number of orangutans in the area SPOT are as many as 49 individuals with 4.13 density or in the range of 4-5 individuals / km², consist of resident male (32%), commuters male (44%), and nomad male (24%); (2) degraded environment at SPOT region resulted in orangutans living in stress. The frequency of interaction is increased as a result of overlapping home range occurred. For the reproductive success, un-flanged and flanged male subordinate must use the remaining time or opportunity that is derived from the dominant male flanged; (3) based on its origin rescue orangutans origin have the highest level of aggressiveness; (4) orangutans who are in the process of rehabilitation showed abnormal behavior, it is known there are nine types of stereotypes and four types of abnormal sexual behavior.

Suggestions, conservation programs in the region SPOT Tuanan need to improve habitat and the environmental condition; provide orangutan with socially placement in a rehabilitation center with a wider space; and the provision of environmental enrichment in the cage is the most effective way to prevent the occurrence or increase of abnormal behavior; rehabilitation process is not longer than 5 years to avoid the occurrence of abnormal behavior.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

EVALUASI PERILAKU ORANGUTAN

(

Pongo pygmaeus wurmbii

, TIEDMANN 1808) JANTAN

DI PUSAT REHABILITASI DAN HABITATNYA

HERI SUJOKO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Sidang Tertutup : Dr Drh Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc Dr Ir Jamartin Sihite, MSc

(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Biologi Reproduksi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof Dr Drh Bambang Purwantara, MSc selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof Dr Drh Iman Supriatna, dan Bapak Dr Drh Muhammad Agil, MScAgr selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh ketulusan senantiasa mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis, memberikan perhatian, dorongan, saran, dan masukan sejak pengajuan proposal, selama penelitian hingga akhir penyusunan disertasi ini; serta memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyelesaikan studi.

Selama mengikuti pendidikan Program Doktor pada Program Studi Biologi Reproduksi (PS BRP), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB) penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih, antara lain kepada:

1. Rektor Universitas Palangka Raya (UNPAR) dan Dekan Fakultas Pertanian UNPAR, Palangka Raya Propinsi Kalimantan Tengah, yang telah memberikan ijin belajar untuk melanjutkan studi Program Doktor di SPs IPB; 2. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan SPs IPB yang telah menerima

penulis sebagai mahasiswa di SPs IPB angkatan 2009;

3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional RI atas pemberian dana BPPS (Tahun 2009), dan Hibah Penelitian Disertasi Doktor (Tahun 2015);

4. Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah (Dinas Pendidikan Nasional) atas beasiswa yang diberikan untuk penulisan Disertasi dan penyelesaian studi; 5. Pusat Penelitian Biologi LIPI atas pemberian rekomendasi ijin penelitian; 6. Direktur Kerja Sama Internasional-Universitas Nasional Jakarta atas

pemberian rekomendasi Scientific Advisory Board dan Direktur Yayasan Borneo Orangutan Survival Indonesia, atas pemberian ijin melakukan kegiatan penelitian di Stasiun Penelitian Orangutan Tuanan (SPOT) Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah dan Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng (PROK-NM), Palangka Raya Kalimantan Tengah;

7. Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) dan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan RI yang telah memberikan SATS-DN/LN untuk ijin penelitian; 8. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Propinsi

Kalimantan Tengah yang telah memberikan ijin penelitian; dan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Kalimantan Tengah yang telah memberikan ijin masuk kawasan SPOT dan PROK-NM;

(14)

10. Bapak Dr Ir Jamartin Sihite, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup;

11. Bapak Dr Ir Novianto Bambang Wawandono, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka;

12. Bapak Prof Dr Drh Mohamad Agus Setiadi selaku Ketua PS BRP beserta seluruh staf dosen/pendidik dan kependidikan atas bimbingan dan bantuan yang diberikan selama menempuh pendidikan Program Doktor di PS BRP; 13. Tim Peneliti orangutan di Kawasan Mawas Tuanan: Brigitte Spillmann,

David Markus, Allysse, Stevanny, Rebecca, Bonnie Evans, atas kebersamaan dan kerjasamanya, serta staf teknisi lapangan: Tono, Idun, Abuk dan Rahmat, yang telah membantu saat penelitian;

14. Teman-teman di PS BRP: Dr Nurcholidah Solihati, SPt MSi; Dr Ekayanti M Kaiin, SSi MSi; Dr Tatan Kostaman, SSi MP; Ita Diana, SPt MP; Gholib, SPt MSi; Drh Dedi R. Setiadi, MSi; atas persahabatan yang baik selama menjalankan studi di BRP;

15. Ayahanda H Sastrowiredjo (Alm) dan Ibunda Hj Saudah (Alm) serta keluarga besar H. Hanipan Ashari (alm) dan Hj. Soelistyowati (alm) atas doa, kasih sayang dan jasanya selama ketika masih hidup; juga sahabatku Sri Yuliasih yang senantiasa memberi perhatian, motivasi dan doa yang dipanjatkan. 16. Istriku Dr Ir Asri Pudjirahaju, MP atas segala bantuan, dukungan dan

pengorbanannya dengan penuh keikhlasan serta doa yang dipanjatkan untuk kelangsungan dan penyelesaian studi.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan dengan keberkahan, keselamatan, dan kebaikan-kebaikan yang berlipat ganda. Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis menyadari isi disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para peneliti selanjutnya dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Bogor, Agustus 2015

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

Daftar Pustaka 12

2 ESTIMASI POPULASI DAN IDENTIFIKASI DEMOGRAFI ORANGUTAN DI STASIUN PENELITIAN ORANGUTAN

TUANAN 17

Pendahuluan 17

Bahan dan Metode 18

Hasil 23

Pembahasan 27

Simpulan 29

Daftar Pustaka 29

3 POLA PERILAKU DAN INTERAKSI SOSIAL ANTARA

INDIVIDU JANTAN DEWASA TERHADAP INDIVIDU LAIN 32

Pendahuluan 32

Bahan dan Metode 34

Hasil 35

Pembahasan 39

Simpulan 42

Daftar Pustaka 43

4 PERBEDAAN PERILAKU AGRESIF PADA ORANGUTAN JANTAN BERDASARKAN ASAL-USUL HEWAN SELAMA

PROSES REHABILITASI 46

Pendahuluan 46

Bahan dan Metode 47

Hasil 51

Pembahasan 53

Simpulan 56

Daftar Pustaka 56

5 STUDI PERILAKU ABNORMAL PADA ORANGUTAN JANTAN

SELAMA PROSES REHABILITASI DI KANDANG 60

Pendahuluan 60

Bahan dan Metode 61

Hasil 63

(16)

Simpulan 69

1 Populasi dan wilayah penyebaran orangutan 8

2 Data jumlah dan panjang transek di lokasi SPOT 21 3 Nama dan klasifikasi orangutan berdasarkan tahapan

perkembangan seksual di lokasi SPOT berdasarkan perjumpaan langsung (Des 2011-Peb 2013)

25

4 Estimasi jumlah dan kepadatan populasi orangutan berdasarkan perjumpaan langsung (Desember 2011-Pebruari 2013)

26 5 Status demografi dan status sosial orangutan jantan dewasa

berdasarkan frekuensi kehadiran dan lama menetap (Desember 2012-Pebruari 2013)

26

6 Interaksi antara jantan dewasa dengan betina pasangannya berdasarkan status sosial

37 7 Jenis-jenis respon verbal dan unsur-unsurnya yang digunakan

dalam penelitian ini

49 8 Jenis-jenis respon nonverbal dan unsur-unsurnya yang digunakan

dalam penelitian ini

50 9 Hasil uji statistik perbedaan respon perilaku orangutan setelah

kehadiran pengamat berdasarkan asal-usulnya

52 10 Jenis dan persentase perilaku abnormal yang teramati selama

penelitian berdasarkan periode umur orangutan

63 11 Jenis dan persentase perilaku abnormal yang teramati selama

penelitian berdasarkan kepadatan kandang

64 12 Jenis dan persentase perilaku abnormal yang teramati selama

penelitian berdasarkan asal-usul/latar belakang kehidupan orangutan

64

13 Jenis dan persentase perilaku abnormal yang teramati selama penelitian berdasarkan lama orangutan berada di Pusat Reintroduksi

65

14 Rekapitulasi rataan kecenderungan individu melakukan jenis perilaku abnormal berdasarkan periode umur, kepadatan kandang, asal-usul hewan dan lama orangutan berada di Pusat Reintroduksi

(17)

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka pemikiran penelitian 3

2 Perbedaan morfologis dua spesies orangutan (A) Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus); (B) Orangutan Sumatra (Pongo abelii)

7

3 Peta sebaran orangutan Kalimantan (P. pygmaeus) 9 4 Peta wilayah Kalimantan dan lokasi penelitian 19 5 Contoh jalur transek untuk survei populasi orangutan 20 6 Variasi jumlah dan frekwensi orangutan yang hadir di lokasi

penelitian (Desember 2011-Pebruari 2013)

24 7 Variasi jumlah orangutan yang hadir berdasarkan periode umur dan

status reproduksi (Desember 2011-Pebruari 2013).

24 8 Korelasi curah hujan dengan ketersediaan buah (periode Desember

2011-Nopember 2012)

25 9 Performan orangutan (a) Adult/Flanged male); (b) Adult/Unflanged

male (Arrested)

33 10 Skema struktur kelompok sosial bertetangga dan soliter pada

orangutan

34 11 Perbandingan alokasi waktu untuk aktivitas harian Jantan dewasa 36 12 Pola musim kawin dengan musim ketersediaan buah 37

13 Grafik frekwensi dan persentase kopulasi 38

14 Grafik tempat dan waktu kopulasi 38

15 Grafik persentase insisiatif untuk memulai hubungan seksual 38 16 Gambaran latar belakang dan kondisi kehidupan orangutan, sebelum

masuk ke pusat rehabilitasi: (a) asal captive; (b) asal rescue; dan (c) asal kebun binatang (Safari World Zoo Bangkok, Thailand)

47

17 Rata-rata performans individu: (a) orangutan asal captive; (b) orangutan asal rescue; dan (c) orangutan asal kebun binatang

52

18 Perilaku stereotype (meminta-minta) 66

19 Perilaku seksual abnormal (homoseksual dan stimulasi kelamin) 66

20 Perilaku seksual abnormal (masturbasi) 67

DAFTAR LAMPIRAN

1 Surat Rekomendasi Penelitian dari Scientific Advisory Board 75 2 Surat Keterangan Ijin Penelitian dari Yayasan BOS 76

3 Peta Transek di Lokasi Penelitian 77

4 Hasil pengukuran rata-rata kedalaman gambut dan pH tanah di

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Orangutan (Pongo Sp.) adalah salah satu primata anggota suku Pongidae yang mencakup tiga kera besar lainnya, yakni: bonobo (Pan paniscus), simpanse (Pan troglodytes), dan gorilla (Gorilla gorilla) (Meijaard et al. 2001). Orangutan pada saat ini hanya ada di Sumatra (Pongo abelii), Kalimantan, Sabah dan Serawak (Pongo pygmaeus sp.) (Meijaard et al. 2001) dan sebagian kecil di wilayah Malaysia dan Brunei Darussalam (Ancrenaz et al. 2007). Tiga kerabat lainnya hidup di benua Afrika (Rijksen dan Meijaard 1999; Buij et al. 2002. Populasi orangutan Sumatra di alam paling banyak 6.700 individu. Sedangkan orangutan Kalimantan sekitar 54.000 individu (Husson et al. 2009). Lebih dari 90% habitatnya berada di wilayah Indonesia (Meijaard et al. 2001; Yuwono et al. 2007).

Laju penurunan populasi orangutan di habitat alam telah berada pada taraf yang mengkawatirkan (Beck et al. 2009), dimana dalam kurun waktu 10 tahun terakhir diperkirakan telah menyusut 30-50% (Primack et al. 1998; Indrawan et al. 2007). Menurunnya populasi orangutan diantaranya disebabkan oleh habitatnya yang telah rusak dan terfragmentasi antara lain: lokasi perkebunan, penebangan liar dan kebakaran hutan. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-1998 sekitar 10 juta hektar lahan diperkirakan rusak atau terbakar. Disamping itu penurunan populasi orangutan diakibatkan oleh tingginya perburuan liar (Meijaard et al. 2001). Di sisi lain orangutan memiliki tingkat reproduksi yang rendah (Beck et al. 2009), yaitu memiliki interval antar kelahiran (inter birth interval/IBI) sangat panjang yakni rata-rata 9.3 tahun (Wich et al. 2004). Oleh sebab itu program konservasi orangutan dan habitatnya perlu terus dilakukan dan harus berkelanjutan. Konservasi yang dilakukan dapat berupa konservasi in-situ maupun ex-situ. Konservasi in-situ adalah perlindungan populasi di habitat alami, sedangkan, ex-situ berlangsung di luar habitat alamnya.

Konservasi in-situ

(20)

Permasalahannya adalah belum ada laporan terbaru mengenai jumlah populasi dan kepadatannya; dan bagaimana perilaku dan kehidupan orangutan di wilayah yang telah terdegradasi. Oleh karena itu perlu dilakukan estimasi populasi, pengamatan perilaku dan pola interaksi antar individu orangutan di wilayah tersebut.

Konservasi ex-situ

Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng Palangka Raya bertujuan untuk melepaskan kembali orangutan ke habitat alam, setelah sebelumnya dilakukan rehabilitasi, meliputi: karantina, pengobatan, penilaian perilaku, dan pemeriksaan fisik dan kondisi kesehatannya untuk memastikan mereka memiliki kualitas yang sesuai dan sanggup bertahan hidup setelah di reintroduksi (Beck et al. 2009).

Pengelola program reintroduksi wajib melakukan kegiatan monitoring diantaranya evaluasi perilaku dan kemampuan reproduksi, untuk memastikan dimilikinya perilaku liar juga sanggup bertahan hidup dan berkembangbiak setelah reintroduksi. Kriteria tersebut merupakan penilaian utama dalam menentukan tingkat keberhasilan reintroduksi orangutan. Reintroduksi dapat dinilai berhasil apabila terjadi penambahan jumlah orangutan dari proses alami (Beck et al. 2009) dan populasi yang lestari (Griffith et al. 1989). Keberhasilan satwa untuk bertahan hidup dan bereproduksi tersebut tergantung pada perilakunya; dan perilaku yang berbeda merefleksikan ekologi yang berbeda pula (Krebs dan Devies 1990). Monitoring dilakukan pada seluruh atau sejumlah sampel yang mewakili populasi. Orangutan yang tidak memiliki kemampuan bertahan hidup dan berkembangbiak yang memadai, tidak diperbolehkan untuk direintroduksi tanpa proses rehabilitasi yang memadai (Beck et al. 2007; 2009).

(21)

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah melakukan evaluasi dan analisis perilaku orangutan di habitat alam yang telah terdegradasi dan perubahan perilaku orangutan yang sedang menjalani proses rehabilitasi di kandang. Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Melakukan pendugaan jumlah dan kepadatan populasi, dan identifikasi demografi orangutan di wilayah SPOT;

2. Mengetahui pola interaksi sosial dan strategi reproduksi jantan dan betina; 3. Menentukan tingkat agresifitas orangutan jantan berdasarkan asal-usul hewan

selama proses rehabilitasi di kandang;

4. Melakukan identifikasi perilaku abnormal orangutan jantan selama proses rehabilitasi.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk: (1) membantu penyiapan data untuk perencanaan konservasi orangutan; (2) membantu penilaian kesiapan orangutan sebelum dilakukan reintroduksi; (3) melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan rehabilitasi dan apabila diperlukan dipakai sebagai dasar untuk merubah metodologi, memperbaiki desain atau rencana perbaikan perawatan hewan di kandang yang efektif; dan (4) memperkaya hasil penelitian sebelumnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksploratif dengan metode deskriptif. Lokasi penelitian di SPOT berada di kawasan konservasi orangutan Tuanan di Kabupaten Kapuas; dan di Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng Palangka Raya. Obyek penelitian adalah orangutan Kalimantan jantan subspesies Pongo pygmaeus wurmbii dari berbagai tahapan umur. Sedangkan parameter yang diamati, meliputi: aspek perilaku dan ekologi.

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian

(22)

Tinjauan Pustaka

Orangutan

Orangutan (Pongo sp.)adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berambut kemerahan atau coklat, yang hidup di hutan tropika Indonesia dan Malaysia, khususnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera (Anonim 2010). Istilah "orangutan" diambil dari bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan (Rijksen 1978). Orangutan termasuk satwa yang sangat unik, endemik dan sangat dilindungi. Satwa ini berperan penting dalam menjamin kelestarian hutan, karena satwa ini dikenal sebagai penyebar biji yang baik. Selain itu, orangutan berperan penting dalam memajukan bidang penelitian, perkembangan ilmu pengetahuan dan kesehatan manusia pada masa yang akan datang, karena secara filogenetik manusia dengan orangutan memiliki kesamaan sebesar 96.4% diantaranya dalam aspek kognitif, morfologi, reproduksi dan perilaku sosial (Heistermann et al. 1996; Beck et al. 2009). Sehingga hal ini menumbuhkan perhatian dan menarik minat untuk melakukan berbagai penelitian (Heistermann et al. 1996; Beck et al. 2009) antara lain: studi tentang fisiologi, perilaku, ekologi, evolusi, antropologi, dan obat-obatan (Shimizu 2005).

Orangutan memiliki postur tubuh mirip dengan keluarga kera besar lainnya. Dibandingkan dengan lengan yang panjang dan kuat, kaki orangutan lebih pendek, tidak memiliki ekor serta rambut berwarna coklat kemerahan. Beberapa peneliti mengatakan bahwa jenis rambut orangutan dapat dijadikan acuan untuk mengidentifikasi dan membedakan satu individu dengan individu lainnya berdasarkan warna dan alur tumbuhnya rambut (Rodman 1973; Groves 1999).

Orangutan jantan dewasa memiliki tinggi badan 1.0-1.4 m, berambut coklat kemerahan, rentangan lengan 2.3 m, tidak memiliki ekor, ekstremitas depan lebih panjang dari belakang dan memiliki ibu jari yang bertolak belakang dengan posisi jari lainnya. Orangutan betina dewasa tinggi badan mencapai 1.0-1.2 m dengan bobot badan mencapai 50 kg (Warren et al. 2001). Dan pejantan dewasa dapat menampilkan suara untuk menandai wilayahnya dapat terdengar sampai radius l km (Galdikas 1984).

Taksonomi dan Klasifikasi

(23)

Locke et al. 2011). Pengelompokkan orangutan berdasarkan perbedaan morfologi dan genetika akan menjadi sesuatu hal yang penting untuk pengelolaan, reproduksi, dan program reintroduksi serta relokasi dalam usaha konservasi orangutan.

Perbedaan antar Spesies

Orangutan Kalimantan dan Sumatera telah dipisahkan menjadi 2 spesies yang berbeda karena adanya perbedaan morphologi, tingkah laku dan genetik. Orangutan Kalimantan telah dibedakan menjadi 3 subspesies. Perbedaan ini mengharuskan lembaga konservasi pengelola orangutan berhati-hati terutama dalam melakukan tindakan relokasi, reintroduksi ataupun rehabilitasi terutama orangutan hasil sitaan yang belum diketahui asal muasalnya. Tindakan ini dilakukan agar tidak terjadi percampuran antara subspesies atau antara spesies. Jika terjadi percampuran maka akan sulit untuk menentukan asal muasal anak orangutan hasil pencampuran dan akan sulit untuk direlokasi ke daerah asalnya (Prayogo et al. 2014).

Kromosom orangutan berjumlah 48 (2n) sama dengan jumlah kromosom gorilla, simpanse dan bonobo, tetapi berbeda dengan manusia yang berjumlah 46, sedangkan dibandingkan dengan kelompok kera kecil (lesser ape/Hylobates spp) seperti owa (Hylobates spp) memiliki jumlah kromosom 44, dan untuk di Indonesia kelompok kera tak berekor yang memiliki kromosom paling banyak adalah siamang yaitu 50. Secara sitogenetis kedua jenis orangutan ini berbeda dengan adanya perbedaan inverse pericentric pada kromosom kedua, akan tetapi mereka dapat melakukan perkawinan di penangkaran dan menghasilkan keturunan yang subur (De Boer dan Seuanez 1982; Muir et al. 2000). Menurut Wich et al. (2008) perbedaan ini terjadi karena isolasi reproduksi tidak berjalan secara lengkap dan sempurna. Fischer et al. (2006) menyebutkan bahwa keanekaragaman nukleotida pada orangutan adalah paling besar dibandingkan dengan jenis kera besar lainnya, sehingga dapat menyebabkan perbedaan antara suatu populasi. Perbedaan nukleotida antara kedua jenis orangutan (Kalimantan dan Sumatra) adalah sekitar 75% dibandingkan dengan perbedaan antara homo sapiens dan simpanse, sedangkan perbedaan asam amino melebihi perbedaan antara homo sapiens dan simpanse. Berdasarkan perbedaan molekuler yang jelas tersebut Xu dan Arnason (1996) mengajukan kedua orangutan ini menjadi dua species yang berbeda.

(24)

menggunakan lokus Control Region, Steiper et al. (2005) menggunakan lokus Alpha-2 Globin, dan Zhang et al. (2001) menggunakan lokus ND5. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya kecenderungan perbedaan antara orangutan Sumatera dengan orangutan Kalimantan. Kajian berdasarkan analisis genetika sebelumnya yang telah dilakukan terhadap kedua jenis orangutan ini yaitu variasi alel (Bruce dan Ayala 1979), pemetaan terbatas mtDNA (Ferris et al. 1981), hibridisasi inti DNA (Caccone dan Powell 1989), elektroforesis protein 2 dimensi (Janczewski et al. 1990), perbandingan sequencing dari mitokondria gen COII (Ruvolo et al. 1994), analisis mtDNA (Muir et al. 2000; Xu dan Arnason 1996; Zhi et al. 1996) dan analisis variasi D-loop mtDNA (Warren et al. 2001) dan hasilnya juga menunjukkan perbedaan yang nyata antara kedua jenis orangutan ini.

Orangutan Kalimantan dan Sumatera memiliki perbedaan morfologi dan tingkah laku (Janczewski et al. 1990). Perbedaan morfologis dua spesies orangutan dapat dikenali dari perawakannya, khususnya struktur rambut. Jika diamati dengan mikroskop maka jenis dari Kalimantan umumnya memiliki rambut pipih dengan kolom pigmen hitam yang tebal di tengah. Sedangkan jenis dari Sumatera berambut lebih tipis, membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di bagian tengahnya, biasanya di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya. Selain itu orangutan jantan Kalimantan memiliki rambut yang pendek dan kurang padat, orangutan Sumatera memiliki rambut panjang, lebih tebal dan lebih berbulu (wolly). Orangutan Kalimantan lebih tegap dan mempunyai kulit, wajah dan warna rambut lebih gelap dari pada orangutan Sumatra. Orangutan jantan Kalimantan memiliki kantung tenggorokan yang besar dan terjumbai, sedangkan orangutan jantan Sumatera memiliki kantung tenggorokan yang lebih kecil. Orangutan Kalimantan jantan memiliki pinggiran muka yang cenderung melengkung ke depan sebaliknya orangutan jantan Sumatera memiliki pinggiran muka yang mendatar, namun perlu diperhatikan bahwa ciri-ciri umum yang membedakan kedua spesies ini tidak mudah dilihat di lapangan, terkecuali individu yang berada di kebun binatang atau penangkaran yang memiliki kedua jenis ini dan diamati secara bersamaan, sehingga dapat dilihat perbedaannya secara langsung (Meijaard et al. 2001).

(25)

(A) (B)

Gambar 2 Perbedaan morfologis dua spesies orangutan jantan dewasa (A) Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus); (B) Orangutan Sumatra (Pongoabelii) (Sumber: orangutanfoundation.wildlife)

Habitat, Populasi dan Wilayah Penyebaran

Pada jaman Pleistocene orangutan menyebar di seluruh Asia Tenggara mulai dari China bagian selatan di bagian utara sampai dengan pulau Jawa di bagian selatan (Zhi et al. 1996; Bacon dan Long 2001). Pada saat terjadi masa glacial penyebaran menjadi terpecah-pecah dengan adanya pemisahan daratan oleh lautan menjadi pulau-pulau besar dan kecil yang tidak bersambungan, dan pada akhirnya saat ini menyisakan populasi yang hanya dijumpai di Sumatera dan Kalimantan (Warren et al. 2001; Steiper 2005; Nijman dan Meijaard 2008; Gossen et al. 2008; Arora et al. 2010; Locke et al. 2011).

(26)

Tabel 1 Populasi dan wilayah penyebaran orangutan

Spesies Subspesies Penyebaran Total

populasi

Sumber: Groves (2001); van Schaik (2006)(*)

(27)

Gambar 3 Peta sebaran orangutan Kalimantan (P. pygmaeus) (Singleton et al. 2004)

Status Konservasi

(28)

Penyebab Menurunnya Populasi

Menurunnya populasi orangutan disebabkan oleh habitatnya yang telah rusak dan terfragmentasi seperti: untuk lokasi perkebunan, penebangan liar dan kebakaran hutan. Konversi lahan gambut ditengarai menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah di Indonesia. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-1998, diperkirakan sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar. Selain itu juga diakibatkan tingginya perburuan liar (Meijaard et al. 2001).

Ditinjau dari aspek biologi reproduksi, menurunnya jumlah populasi orangutan diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat reproduksi. Orangutan memiliki karakteristik biologis yang menyebabkan pertumbuhan populasinya berlangsung lambat. Dia memiliki masa kebuntingan dan jarak antar kelahiran yang panjang (Beck et al. 2009). Hasil penelitian orangutan Sumatra selama lebih dari 30 tahun, menunjukkan fakta bahwa tingkat reproduksi orangutan di habitatnya maupun di penangkaran sangat rendah (Wich et al. 2004; Anderson et al. 2008), diduga hal ini berkaitan dengan rendahnya potensi reproduktif. Orangutan betina dewasa di hidupan liar hanya mampu melahirkan 3-5 anak selama masa hidupnya meskipun umur pertama kali melahirkan masih sangat muda (rataan 14.7 tahun); dan setiap kelahiran hanya satu anak, sehingga interval antar kelahiran (inter birth interval/IBI) sangat panjang (Wich et al. 2004). Laporan menyebutkan bahwa IBI orangutan Sumatera di hidupan liar lebih panjang dari pada orangutan Kalimantan. Orangutan Sumatra di Ketambe memiliki rata-rata IBI 9.3 tahun (n=23) (Wich et al. 2004) dan di Suaq Balimbing 8.2 tahun (n=8) (van Noordwijk dan van Schaik 2005). Sedangkan, orangutan Kalimantan di Tanjung Puting memiliki rata-rata IBI 7.7 tahun (n=23) (Wich et al. 2004) dan di Gunung Palung 7.2 tahun (n=8). Anderson et al. (2008) melaporkan bahwa rata-rata IBI orangutan Kalimantan di penangkaran jauh lebih lama (6.3 tahun) dibandingkan di habitat alami (4.8 tahun). Hal yang sama juga berlaku untuk betina orangutan Sumatera, IBI di penangkaran lebih lama (5.8 tahun) dibandingkan IBI di hidupan liar (4.5 tahun). IBI orangutan Sumatera di penangkaran secara signifikan lebih pendek (5.8 tahun) dari pada orangutan Kalimantan (6.3 tahun).

(29)

menyebabkan pertumbuhan populasi orangutan berlangsung lambat; dan masalah pokok penyebab penurunan populasi harus ditanggulangi.

Siklus Reproduksi Orangutan Jantan Pubertas

Orangutan jantan memiliki siklus reproduksi, dimulai dari masa pubertas atau dewasa kelamin, dan dewasa tubuh. Masa pubertas ditandai dengan melakukan proses pemilihan pasangan (Wich et al. 2009; Knott et al. 2009). Pada umur 10 tahun sudah mulai terlihat sifat-sifat kelamin sekunder dan melakukan perilaku reproduksi (Delgado dan van Schaik 2000; Knott et al. 2009). Orangutan yang berada di dalam pemeliharaan kebun binatang ataupun rehabilitasi memasuki masa pubertas dan mampu mempunyai keturunan pertama kali jauh lebih muda dibandingkan orangutan di habitatnya, disebabkan faktor habitat dan pemenuhan nutrisi yang tercukupi (van Schaik 2006). Pubertas pada orangutan jantan dicapai mulai menginjak usia remaja (adolescent) yaitu pada kisaran umur 5-8 tahun, berat badan sekitar 15-30 kg. Ciri-ciri morfologi, sebagai berikut: rambut panjang dan berdiri masih terdapat di sekitar wajahnya, warna lingkaran sekitar mata berubah gelap, gigi berubah, mulai dapat dibedakan dengan betina terutama pada daerah genitalianya, mulai menunjukkan perilaku sosial dan seksual. Jantan pra dewasa (sub adult) kisaran umur sekitar 8-13 tahun, berat badan 30-50 kg. Keseluruhan wajah gelap, bantalan pipi (cheek pads) dan kantong suara belum berkembang; janggut mulai tumbuh, rambut di sekitar wajah pendek dan tidak berdiri tetapi merata pada tulang dahi, kematangan seksual tampak jelas dan menghindari pertemanan dengan jantan dewasa (Mapple 1980; Kuze et al. 2005).

Dewasa tubuh

Dewasa tubuh (sexual maturity) pada jantan dicapai ketika menginjak usia dewasa yaitu kisaran umur di atas 13 atau15 tahun, berat badan 50-90 kg (Mapple 1980; Kuze et al. 2005), lebih lambat dibanding gorilla 11-13 tahun (Nowak 1999; Petrosky 2004). Usia kematangan untuk kawin tersebut dapat terjadi lebih cepat pada gorilla yang hidup di penangkaran (Koko The Gorilla Foundation 2000). Ciri-ciri morfologinya sebagai berikut: tubuh lebih besar dari pada betina dewasa, karakteristik seksual sekunder berkembang maksimal, memiliki bantalan pipi, janggut, kantong suara dan rambut yang panjang, matang secara seksual dan secara sosial, melakukan penjelajahan sendiri, bergerak dengan hati-hati, menyuarakan seruan panjang (long call), terlihat melakukan aktivitas kopulasi (Mapple 1980; Kuze et al. 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jantan orangutan Sumatra menjadi bapak anak pertama pada umur rata-rata 19.4 tahun, sedangkan orangutan Kalimantan 17.8 tahun. Umur reproduktif terakhir jantan orangutan Sumatra rata-rata 26.3 tahun dan orangutan Kalimantan 24.7 tahun (Anderson et al. 2008).

Periode Kawin

(30)

untuk beberapa hari. Jantan dewasa orangutan tidak bersikap toleran terhadap jantan dewasa lainnya. Setiap perjumpaan antara dua jantan dewasa diakhiri dengan perkelahian dan salah satu diantaranya menghindar (Galdikas 1985). Orangutan jantan dewasa lebih bersifat soliter pada masa tidak tanggap seksual (Rijksen 1978) atau hanya bergabung sementara dengan betina dewasa atau remaja, hanya untuk melakukan perkawinan (Boitani dan Bartoli 1983).

Ketidakterikatan itu juga menimbulkan perbedaan tipe strategi perkawinan jantan. Jantan dewasa dominan, jantan dewasa tanggung dan jantan dewasa lain mampu menjaga keberhasilan reproduksi yang relatif dengan strategi perkawinan yang berbeda. Hirarki dominansi bisa terbentuk dan terpelihara di antara jantan dewasa yang secara teratur saling bertemu dan jantan yang lebih dominan (badan paling besar) dan memiliki kondisi badan terbaik. Jantan dewasa selalu lebih dominan terhadap jantan dewasa tanggung (van Schaik et al. 2004 dalam Simorangkir 2009). Seruan panjang (long call) yang dikeluarkan oleh orangutan jantan merupakan suatu bentuk interaksi yang bertujuan untuk menolak orangutan jantan lainnya dan menarik perhatian betina yang sedang masa reseptif, serta untuk menentukan daerah teritorialnya (Galdikas 1985). Seruan panjang ini dapat terdengar sampai radius 1 km (Learning 2001).

Usia Harapan Hidup (lifespans)

Orangutan Kalimantan jantan mempunyai lifespans di penangkaran lebih lama dari pada jantan Sumatera. Meskipun rata-rata perbedaanya hanya 1.3 tahun. Sedangkan di habitat alam orangutan Kalimantan jantan mempunyai lifespans lebih pendek (33.7 tahun) dibanding jantan orangutan Sumatera (sampai 40.8 tahun) (Anderson et al. 2008). Persentase kematian mencapai 1.25%, tetapi analisis menunjukkan kelangsungan hidup tidak ada perbedaan yang signifikan. Kematian perinatal dan postnatal tidak menyebabkan lifespans berbeda secara signifikan antara jantan Kalimantan dan Sumatera.

Daftar Pustaka

Acrenaz M. 2006. Survei dan Analisa Data Orangutan di Taman Nasional Betung Kerihun. Kalimantan Barat, Indonesia. WWF-Indonesia.

Ancrenaz M, Dabek L, O‟Neil S. 2007. The cost of exclusion: recognizing a role for local communities in biodiversity conservation. Plos Biol 5(11): e289. doi:10.1371/journal.pbio.0050289.

Ancrenaz M, Marshall A, Goossens B, van Schaik CP, Sugardjito J, Gumal M, Wich S. 2008. Pongo pygmaeus. In: IUCN 2011. IUCN Red List of Threaterned Species. Version 2011.1. <www.iucnredlist.org> download on 22 Oktober 2011.

Anderson HB, Thompson ME, Knott CD, Perkins L. 2008. Fertility and mortality patterns of captive Bornean and Sumatran orangutans: is there a species difference in life history ? J Hum Evol 54: 34-42.

(31)

Azwar. 2004. Survey Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) Pada Hutan Rawa Gambut Di Area Mawas, Propinsi Kalimantan Tengah. Fakultas Biologi, Universitas Nasional, Jakarta.

Beck B, Walkup K, Rodrigues M, Unwin S, Travis D, Stoinski T. 2007. Best practice guidelines for the re-introduction of great apes. SSC Primate Specialist Group of the World Conservation Union, Gland, Switzerland. Beck B, Walkup K, Rodrigues M, Unwin S, Travis D, Stoinski T. 2009. Panduan

Re-introduksi Kera Besar. Penerjemah: Purwo Kuncoro; dan Willianson, EA (Ed.). BOS Canada, Gland, Swiss: Species Survival Commission No.35. Primate Specialist Group-World Conservation Union. 56 pp.

Boitani L, Bartoli S. 1983. Simon and schuster’s Guide to mammals. Simon and Schuster‟s Inc. New York.

Brandon-Jones D, Eudey AA, Geissman T, Groves CP, Melnick DJ, Morales JC, Shekelle M, Steward CB. 2004. Asian Primate Classification. International J primatol Vol 25.

Buij R, Wich SA, Lubis AH, dan Sterck EHM. 2002. Seasonal movement in the Sumatran orangutan (Pongo pygmaeus abelii) and consequences for conservation. Biological Conservation 107: 83-87.

[CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2010. Appendices I, II and III valid from 14 October 2010. CITES Secretariat International Environment House Chemin des Anémones CH-1219 Châtelaine, Geneva Switzerland. http://www.cites.org/eng/app/ appendices.shtml atau http://www.cites.org [24 Jan 2011].

Courtenay J, Groves C, Andrews P. 1988. Inter-or intra-island variation? An assessment of the differences between Bornean and Sumatran orangutans. In Orangutan biology. Edited by Schwartz JH. Oxford: University Press; p.19-29.

DeBoer LEM, Seuanez HN. 1982. The chromosomes of the orangutan and their relevance to the conservation of the species. In: de Boer LEM (ed) The orang utan its biology and conservation. Dr. W Junk, The Hague, pp 135-170.

Delgado RA Jr, van Schaik CP. 2000. The behavioural ecology and conservation of the orangutan (Pongo pygmaeus): A tale of two islands. Evol. Anthropol. 9: 201-218.

Enchanted Learning. 2001. All about Orangutans. URL. http://www.enchanted learning.com/subject/apes/orangutan.

Fischer A, Pollack J, Thalmann O, Nickel B, Paabo S. 2006. Demographic History and Genetic Differentiation in Apes. Current Biology 16: 1133-1138. DOI 10.1016/j.cub.2006.04.033.

Galdikas BMF. 1984. Adult Female Sociality among Wild Orangutans at Tanjung Puting Reserve. In: MF. Small, ed., Female Primates: Studies by Women Primatologists. New York: Alan R. Liss, Inc. p 217–35.

Galdikas BMF. 1985. Adult male sociality and reproductive tactics among orangutans at Tanjung Putting Reserve. Folia Primatol 45: 9-24.

(32)

TM Setia & CPP van Schaik. 2010. Orangutans: Geographic Variation in Behavioral Ecology and Conservation. Oxford: University Press.

Griffith B, Scott JM, Carpenther JW, Reed C. 1989. Translocation as a species conservation tool: status and strategi. Science. 245: 477-479.

Groves CP. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press, Washington

DP

Groves CP. 1999. The taxonomy of orang-utans. In: Yeager, C. (ed.) Orang-utan Action Plan. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Jakarta, World Wildlife Fund, Indonesia, and Center for Environmental Research and Conservation (CERC), Columbia University, New York, 27-30.

Husein H. 2011. Lulus sekolah, puluhan orangutan kembali ke hutan. http://bataviase.co.id/node/555509 [1 Juli 2011].

Husson SJ, Wich, SA, Marshall AJ, Dennis RD, Ancrenaz M, Brassey R, Gumal M, Hearn AJ, Meijaard E, Simorangkir T and Singleton I. 2009. Orang-utan distribution, density, abundance and impacts of disturbance. In: Wich, S.A., Utami Atmoko SS, Mitra Setia T. and van Schaik C.P. (eds.) Orangutans: Geographic variation in behavioral ecology and conservation. Oxford University Press, Oxford, UK.

Indrawan M, Obor Indonesia.Primack RB, Supriatna I. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan

[IUCN] International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources Red List of Threatened Species. 2010. Pongo pygmaeus ssp. Wurmbii. Species Survival Commission. Version 2010.4. IUCN Publications, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/ details /39782/0 [24 Jan 2011].

[IUCN] International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources Red List of Threatened Species. 2013. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 14 April 2014.

Janczewski DN, Goldman D, O‟brien SJ. 1990. Molecular genetic Divergence of Orangutan (Pongo pygmaeus) Based on Isozime and Two-Dimensional Gel Electrophoresis. J. of Heredity, 81: 375-387.

Knott CD, Emery Thomson M, Wich SA. 2009. The ecology of female reproduction In: wild orangutans. Chapter 11. In: Wich SA, Utami, SS, Mitra Setia T, van Schaik CP (Eds.). Orangutans: Geographic Variation in Behavioral Ecology and Conservation. New York: Oxford University Press Inc. Pp: 171-188.

Knott CD, Emery Thompson M, Wich SA. 2009. The Ecology of Reproduction in Wild Orangutans. Chapter 11. In: Wich SA, Utami SS, Mitra Setia T, van Schaik CP. (Eds.). Orangutans: Ecology, Evolution, Behaviour and Conservation. New York: Oxford University Pr.

Koko The Gorilla Foundation. 2000. About gorilla. Hlm 1. http://www.koko.org. Krebs JR, Devies NB. 1990. An introduction to behavioural ecology 2nd ed.

(33)

Kuze N, Malim TP, Kohshima S. 2005. Developmental changes in the facial morphology of the Borneo Orangutan (Pongo pygmaeus):Possible signals in visual communication. Am J Primatol 65:353-376.

Locke DP, Hillier LW, Warren. 2011. Comparative and Demographic Analysis of Orang-utan Genomes. Nature Vol. 469:529-533. Doi: 10.1038/nature09687. Meijaard E, Rijksen HD, Kartikasari SN. 2001. Di Ambang Kepunahan! Kondisi

Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Cetakan Pertama. Penyunting S.N. Kartikasari. Judul asli: Our vanishing relative. The Status of wild orangutans at the close of the twentieth century. Jakarta (ID): The Gibbon Foundation Indonesia. 393 hlm.

Muir CC, Galdikas BMF, Beckenbach AT. 2000. mtDNA sequence diversity of orangutans from the islands of Kalimantan and Sumatera. J Mol Evoln, 51: 471–480. DOI: 10.1007/s002390010110.

Napier JR, dan Napier PH. 1985. The Natural History of the Primates. Massachusetts: The MIT Press,

Nijman V, Meijaard E. 2008. Zoogeography of Southeast Asian Primates, Contributions to Zoology, 77(2): 117-126.

Nowak RM. 1999. Walker‟s primates of the word. The John Hopkins. University Press, Baltimore: ii + 224 hlm.

Petrosky E. 2004. Mating system (Polygyny) 1 hlm. http://www.bio.davidson.edu/ people/vecase/behavior/Spring2004/petrosky/mating system.htm. 2014. Prayogo H, Thohari AM, Sholihin DD, Prasetyo LB, Sugardjito. 2014. Karakter

kunci pembeda antara orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) dengan orangutan sumatera (Pongo abelii). Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik. 16(1): 61-68. ISSN 1411-0903.

Primack RB, Supriyatna J, Indrawan M, dan Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 345 hlm.

Rijksen HD, and Meijaard E. 1999. Our Vanishing Relative. The Status of Wild Orang-Utans at The Close of The Twentieth Century. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

Rijksen HD 1978. Fieldstudy on Sumatra Orangutan (Pongo pygmaeus abelii) Ecology, Behavior and Conservation. H. Veenman & Zonen B.V. Waginen. Robertson JMY, van Schaik CP. 2001. Causal factors underlying the dramatic

decline of the Sumatran Orangutan. Oryx 35:26-38.

Santosa Y, Gunawan H. 2010. Trade-off antara konservasi orangutan (Pongo spp) dan pembangunan perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis) di Indonesia. Media Konservasi Edisi Khusus: 41-46.

Shimizu K. 2005. Studies on Reproductive Endocrinology in Non-human Primates: Application of Non-invasive Methods. Journal of Reproduction and Development 51(1): 1-13.

Simorangkir RH. 2009. Kajian habitat dan estimasi populasi orangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson, 1827) Di kawasan hutan Batang Toru, Sumatra Utara [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

(34)

Soehartono T, Susilo HD, Andayani N, Atmoko SSU, Sihite J, Saleh C, Sutrisno A. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta: Departemen Kehutanan.

Soehartono T, & Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. JICA. Jakarta: xxi + 373 hlm.

Steiper ME. 2006. Population history, biogeography and Taxonomy of orangutans (Genus: Pongo) based on a population genetic meta-analysis of multiple loci. J. of Human Evol., 50(5): 509-522.

Van Bemmel ACV. 1968. Contribution to the knowledge of the geographical races pf Pongo pygmaeus (Hoppius). Bijdragen tot de Dierkunde 38:13-15 dalam Meijaard E; HD Rijksen; SN Kartikasari. 2001. Di Ambang Kepunahan !, Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Penyunting S.N. Kartikasa.

Van Noordwijk MA, Van Schaik CP. 2005. The development of ecological competence in Sumatran orangutans. Am J Phys Anthropol 127:79-94. Van Schaik C. 2006. Diantara Orangutan Kera Merah dan Bangkitnya

Kebudayaan Manusia. Penerjemah: Soetarni. Jakarta: Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo. 262 hlm.

Warren KS, Verschoor EJ, Langenhuijze S, Heriyanto R, Swan A, Vigilant L, Heeney JL. 2001. Speciation and intra subspecific variation of Bornean orangutans, Pongo pygmaeus pygmaeus. Mol. Biol. Evol. 18(4): 472-480. Wich SA, Meijaard E, Marshall AJ, Huson S, Ancrenaz M, Robert CL, van

Schaik CP, Sugardjito J, Simorangkir T, Kathy TH, Doughty M, Supriatna J, Dennis R, Gumal M, Knott CD, Singleton I. 2008. Distribution and conservation status of the orangutan (Pongo spp) on Kalimantan and Sumatera: how many remain? Oryx, 43(3): 329-339.

Wich SA, Utami-Atmoko SS, Mitra-Setia T, Rijksen, HD, Schurmann C, van Hooff JARAM, van Schaik CP. 2004a. Life history of wild Sumatran orangutans (Pongo abelii). J. Hum. Evol. 47: 385-398.

Xu X, Arnason U. 1996. The Mitochondrial DNA Molecule of Sumateran Orangutan and a Molecular Proposal For Two (Bornean and Sumateran) Species of Orangutan. J. Mol.Evol 43: 431-437.

Yuwono EH, Susanto P, Saleh C, Andayani N, Prasetyo D, Atmoko SSU. 2007. Guidelines for Better Management Practices on Avoidance, Mitigation and Management of Human-Orangutan Conflict in and around Oil Palm Plantations. Penerjemah: Maria Happy Dumais. Petunjuk Teknis Penanganan Konflik Manusia-Orangutan di dalam dan Sekitar Perkebunan Kelapasawit. Jakarta: WWF-Indonesia. 70 hlm.

Zhang YW, Ryder OA, Zhang YP. 2001. Genetic divergence of orangutan subspecies (Pongo pygmaeus). J Mol Evol 52(6): 516-526.

(35)

2 ESTIMASI POPULASI DAN IDENTIFIKASI DEMOGRAFI

ORANGUTAN DI STASIUN PENELITIAN ORANGUTAN

TUANAN

Pendahuluan

Konservasi orangutan yang efektif sangat memerlukan informasi dan pemahaman yang benar tentang ukuran populasi dan faktor-faktor yang menentukan distribusi dan kepadatannya (Wich et al. 2012). Ukuran populasi orangutan sangat penting diketahui karena selain untuk mengetahui kelimpahannya di suatu kawasan, ukuran populasi merupakan data dasar untuk menilai kemungkinan kelangsungan atau keterancaman keberadaannya di alam. Disamping itu, ukuran populasi penting untuk mengetahui hal-hal lain yang berhubungan dengan manajemen satwaliar. Ukuran populasi dapat juga digunakan sebagai dasar dalam pendugaan kualitas lingkungan (habitat). Perubahan ukuran populasi orangutan dalam suatu kawasan tertentu dapat merupakan indikasi terjadinya perubahan kualitas lingkungan. Peningkatan ukuran populasi dapat terjadi bila kondisi lingkungan dalam kondisi baik, paling tidak pada saat daya dukung lingkungan masih memungkinkan berkembangnya populasi. Sebaliknya, penurunan ukuran populasi akan terjadi bila kondisi lingkungan memburuk atau mengalami penurunan (Tobing 2008).

Metode penghitungan populasi orangutan secara menyeluruh (total counts) terhadap semua individu yang ada dalam suatu kawasan sangat jarang dilakukan, karena pelaksanaannya sangat tidak efisien dan bahkan mustahil dilakukan (Tobing 2008). Namun demikian, orangutan dengan karakteristik kepadatan populasi sedang sampai tinggi dapat diduga kepadatan populasinya berdasarkan perjumpaan langsung secara akurat dalam frame waktu. Oleh karena itu, estimasi ukuran populasi pada jenis ini lebih diarahkan berdasarkan perjumpaan langsung yang merupakan indikator yang dapat dipercaya untuk mengenali keberadaan mereka di dalam hutan (Rahman 2008).

Berbagai metode inventarisasi populasi terus berkembang. Beberapa peneliti melakukan estimasi jumlah dan kepadatan populasi orangutan berdasarkan metode penghitungan sarang (van Schaik dan Azwar, 1991; van schaik et al., 1994 dan 2005; Buij et al., 2002; dan Mathewson et al., 2008). Dasar perhitungan mereka adalah bahwa orangutan membangun paling tidak satu sarang per hari untuk beristirahat dan tidur di malam hari (Maple 1980). Estimasi kepadatan dan jumlah populasi orangutan dianalisis dari hasil konversi kepadatan sarang (Dsou). Kepadatan sarang kemudian dikonversi menjadi kepadatan orangutan dengan formula yang diusulkan oleh van Schaik et al. (1995) sebagai berikut :

Dou = Dsou / p x r x t

Keterangan:

Dou = kepadatan orangutan (individu/km2), Dsou = kepadatan sarang (sarang/km2),

(36)

t = waktu peluruhan sarang (dihitung dalam jumlah hari).

Van Schaik dan Azwar (1991) dan van schaik et al. (1994) melakukan sensus di Taman Nasional Gunung Leuser secara random sampling dengan metode “line transect”. Di Suaq Balimbing ditemukan 33.5 sarang/km2; di Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser ditemukan 24.4 sarang/km2 atau kepadatannya 5 individu/km2, sedangkan di Tanjung Puting kepadatannya hanya 4 individu/km2. Bismark (2005) juga melakukan sensus di kawasan Muara Lesan eks HPH PT Alas helau areal. Survei setara dengan 5.7% luas kawasan. Diketahui kerapatan populasi orangutan di Muara Lesan berkisar antara 1.92-7.13 individu/km² (rata-rata 3.69 individu) dengan jumlah total populasi 365-450 individu.

Metode ini ternyata mempunyai kelemahan, yaitu semua parameter dalam formulasi perhitungan estimasi kepadatan yang digunakan bersifat spesifik lokasi, namun sering diasumsikan sebagai nilai yang universal. Estimasi populasi yang meliputi proporsi orangutan membangun sarang, jumlah sarang yang dibangun per hari, laju peluruhan sarang sering menjadi fatal khususnya untuk estimasi kepadatan dengan bias yang besar (Rahman 2008). Jika estimasi kepadatan populasi mengabaikan variasi habitat yang dihuni dapat menyebabkan kesalahan yang fatal dalam menilai ukuran populasi (MacKinnon 1986 dalam Meijaard et al. (2001). Metode ini juga dipengaruhi oleh umur sarang yang mencapai 285 hari, potensi pohon pakan, perilaku pergerakan, migrasi dan kondisi habitat (Bismark 2005). Oleh karena itu diperlukan teknik-teknik alternatif untuk memperoleh angka kepadatan yang lebih akurat untuk mengetahui peluruhan sarang yang bersifat spesifik lokasi (Meijaard et al. 2001).

Metode lain yang bisa digunakan untuk estimasi populasi adalah berdasarkan perjumpaan orangutan secara langsung dengan metode jalur transek (line transects method). Metode ini bertujuan untuk mengetahui densitas (kepadatan) orangutan dengan hanya mengamati sebagian dari kawasan yang akan diduga. Namun demikian, daerah contoh harus dapat mewakili seluruh kawasan. Tobing (2008), menyarankan agar areal contoh yang diamati mencapai 10-15 % dari luas total kawasan yang akan diduga. Namun menurut Kartono (2013) (komunikasi pribadi) bahwa estimasi ukuran populasi sudah cukup akurat hanya dengan mengamati areal contoh kurang lebih seluas 5 % dari luas total kawasan yang akan diduga.

Penelitian ini bertujuan (1) melakukan estimasi jumlah dan kepadatan populasi orangutan di lokasi penelitian dengan menggunakan metode jalur transek; dan (2) melakukan identifikasi status reproduksi dan demografi orangutan jantan. Identifikasi ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi habitat dan populasi orangutan guna perencanaan perlindungan dan pelestarian satwa liar di Kapuas Kalimantan Tengah.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu Penelitian

(37)

114˚26‟26.6”BT, Gambar 4), selama 15 bulan, yaitu mulai bulan Desember 2011 sampai Februari 2013.

Luas wilayah SPOT meliputi ±2.730 km2, yang merupakan salah satu habitat orangutan subspecies Pongo pygmaeus wurmbii, yang termasuk dalam wilayah program konservasi Mawas seluas 540.000 hektar. Topografi lokasi sebagian besar areal berupa hutan sekunder bekas program tebang pilih sekitar 15 tahun yang lalu. Daerah tersebut tergolong datar dengan kelerengan <2% dan ketinggian antara 0-35 meter di atas permukaan laut. Lokasi tergolong hutan rawa gambut dengan rata-rata kedalaman sekitar 1.5-3.5 meter dan rata-rata pH tanah berkisar antara 3.5-4.0 rata-rata suhu minimum berkisar 23.1 oC–23.2 oC. Sedangkan suhu maksimum berkisar 27.5oC-28oC dan rata-rata kelembaban berkisar 65-70%. Hasil pengukuran pH tanah, tertera pada Lampiran 4. Di daerah ini banyak mengalir sungai besar dan kecil yang mengindikasikan bahwa kawasan penelitian ini adalah daerah tangkapan air untuk daerah aliran sungai (DAS) sekitarnya. Di luar kawasan ini sudah terbentuk lahan kritis akibat penebangan dan kebakaran hutan, sehingga areal ini menjadi penting sebagai areal konservasi. Berdasarkan sensus sarang, diketahui bahwa kepadatan orangutan di wilayah ini tahun 2006 mencapai: 4.25 individu/km2 (van Schaik 2006).

Areal contoh mewakili seluruh kondisi kawasan studi, seperti tipe habitat, kualitas habitat, ketinggian, dan topografi yang dapat mempengaruhi keberadaan/kehadiran/kelangsungan hidup orangutan.

Gambar 4 Peta wilayah Kalimantan dan lokasi penelitian (google Map of Indonesia (www.nationsonline.org/oneworld/map/google_map_

indonesia.htm).

Bahan dan Alat

(38)

Metode

Sensus dan identifikasi orangutan (status reproduksi dan demografi) dilakukan berdasarkan perjumpaan dengan orangutan secara langsung dengan metode penelusuran jalur transek (line transects method) (van Schaik et al. 1994; Tobing 2008). Teknik pengumpulan data menggunakan metode questionair (van Schaik, 2006), dengan mengamati wilayah SPOT seluas ±11,84 km2 (3,7x3,2 km) atau 0.43 % dari luas kawasan hutan Tuanan seluas ±2.730 km2.. Teknik pencarian orangutan dilakukan dengan cara berjalan perlahan secara konstan (sekitar 500 m/jam) menelusuri jalur-jalur transek dan mendengarkan secara cermat suara-suara berupa long calls dan kiss-squeak atau suara pohon yang berdesing kembali ke posisi semula setelah dilepaskan oleh orangutan atau suara gerak pindah dari satu pohon ke pohon lain. Pengamatan juga dilakukan dengan memperhatikan tanda-tanda yang dapat mengindikasikan keberadaan orangutan, misalnya: adanya suara buah yang jatuh dan sisa pakan di sekitar pohon sumber pakan, dan bau urin atau feses. Sensus dilakukan dengan menghitung individu orangutan yang terdeteksi.

Wilayah pengamatan dibagi menjadi 55 transek; dengan panjang keseluruhan 112.450 m atau rata-rata 2.045±809.76 m per transek (kisaran 700-3200 m) dan jarak antar transek ±50m. Teknik ini memungkinkan orangutan yang terdeteksi pada suatu jalur tidak akan terdeteksi kembali pada jalur lainnya yang berdekatan dalam waktu yang bersamaan (Gambar 5). Hal ini menjamin suatu individu orangutan akan terhindar untuk dihitung dua kali atau lebih. Setiap perjumpaan dengan orangutan dilakukan penandaan berupa tanda titik pada peta lokasi transek. Kegiatan sensus dilakukan setiap hari mulai pukul 05.00 sampai 17.00, melibatkan sekurang-kurangnya 6 orang surveyor. Semua pengamat telah memperoleh pelatihan sehingga menguasai metodologi yang digunakan. Data-data yang diperoleh dari semua surveyor disusun menjadi database terpadu. Jumlah dan panjang transek di lokasi SPOT dapat dilihat pada Tabel 2 sebagaimana tercantum di bawah ini.

Gambar 5 Contoh jalur transek untuk sensus orangutan (Foto: heri)

(39)

waktu/jam pertama kali ketika orangutan terlihat dan lokasi transek. Data ukuran kelompok diperoleh dengan menghitung semua anggota dalam satu kelompok yang ditemui selama sensus. Data komposisi kelompok diperoleh dengan mengidentifikasi dan menghitung setiap anggota kelompok berdasarkan jenis kelamin dan umur. Data kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu yang diidentifikasi dan membaginya dengan luas area penelitian (Subcommittee on Conservation of Natural Population 1981; Brockelman & Ali 1987; Tobing 2008).

Tabel 2. Data jumlah dan panjang transek di lokasi SPOT

Panjang Transek

Sumber : Peta Proyek Tuanan (2012) (Lampiran 3)

Jumlah orangutan (N) yang terdeteksi di dalam jalur Densitas (kepadatan) =

Luas areal tertentu (Panjang Jalur (Pj) x Lebar jalur (Lj)

(40)

Status reproduksi orangutan didasarkan pada ciri-ciri morfologi, seksual sekunder dan perilaku individu menurut Mapple (1980), Kuze et al. (2005) dan Marty (2009) adalah sebagai berikut:

a. Orangutan Bayi (Infant):

Orangutan dengan kisaran umur 0-2,5 tahun. Ciri-ciri: Lingkaran sekitar mata berwarna merah jambu terang, mempunyai rambut yang panjang dan berdiri di sekitar wajah. Bayi orangutan selalu berpegang pada induknya selama waktu perpindahan, kebutuhan makan sepenuhnya bergantung kepada induk dan tidur juga di sarang yang sama dengan induknya.

b. Orangutan Anak-anak (Juvenile):

Orangutan dengan kisaran umur 2,5-7 tahun. Ciri-ciri masih sama seperti bayi. Masih sering berpegang pada induknya, tetapi telah melakukan perjalanan pendek sendiri dalam pengawasan induknya, bermain sendiri atau dengan kawan sebayanya. Anak-anak orangutan awalnya masih tidur bersama induknya tetapi kemudian mulai membangun sarangnya sendiri dekat induknya, dan perhatian induk mulai berkurang.

c. Orangutan Remaja (Adolescent):

Orangutan dengan kisaran umur 7-10 tahun. Ciri-ciri: rambut panjang dan berdiri masih terdapat di sekitar wajahnya, warna lingkaran sekitar mata berubah gelap, gigi berubah, jantan dan betina sulit dibedakan kecuali benar-benar diperhatikan daerah genitalianya. Pada umur ini pubertas orangutan dicapai, yaitu mulai menunjukkan perilaku sosial dan kematangan seksual. d. Orangutan Pra-dewasa (Sub Adult):

Orangutan dengan kisaran umur 10-15 tahun. Ciri-ciri: keseluruhan wajah gelap, bantalan pipi (cheek pads) dan kantong suara belum/sedang berkembang; janggut mulai tumbuh, rambut di sekitar wajah pendek dan tidak berdiri tetapi merata pada tulang dahi. Kematangan seksual tampak jelas dan menghindari pertemanan dengan jantan dewasa.

e. Orangutan Dewasa (Adult)

Orangutan dewasa dengan kisaran umur di atas 15 tahun. Besarnya luar biasa, karakteristik seksual sekunder berkembang maksimal, memiliki bantalan pipi (cheek flange), janggut, kantong suara pada kerongkongan (throat sac) dan rambut yang panjang. Matang secara seksual (sexual maturty) dan secara sosial, melakukan penjelajahan sendiri, bergerak dengan hati-hati, menyuarakan seruan panjang (long call).

f. Orangutan pejantan tidak reproduktif (Non-Reproductive males)

Jantan immature termasuk bayi dan anak-anak yang hidupnya masih bergantung dan mendapat pengawasan dari induknya.

g. Pejantan berkembang (Developing males)

Gambar

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2 Perbedaan morfologis dua spesies orangutan jantan dewasa (A)   Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus); (B) Orangutan Sumatra (Pongo abelii) (Sumber: orangutanfoundation.wildlife)
Tabel 1 Populasi dan wilayah penyebaran orangutan
Gambar 3 Peta sebaran orangutan Kalimantan (P. pygmaeus) (Singleton et al. 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Distilat minyak nilam yang dihasilkan dari proses distilasi fraksinasi vakum dianalis mutunya berupa kadar patchouli alcohol , sedangkan analisis mutu kristal

“Setiap anak itu unik, artinya secara pribadi setiap anak akan mengembangkan pola reaksinya masing- masing terhadap rangsangan/kejadian yang dialaminya” (Bafadal,

a) Karakteristik pada jam sibuk pagi, cenderung tidak memiliki daerah stabil. b) Karakteristik pada jam sibuk siang, akumulasi pertambahan nilai LF mencapai titik optimum

dan referensi untuk mengembangkan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan asupan vitamin D dengan kadar glukosa darah puasa pada penderita DMT2

Dengan penyentuhan singkat elektroda logam pada bagian benda kerja yang akan dilas,berlangsung hubungan singkat didalam rangkaian arus pengelasan, suatu arus listrik yang

Dari hasil pengelasan baja karbon rendah yang diberikan variasi kuat arus, dilakukan pengujian impak terhadap material tersebut. Material yang memiliki harga

Berbagai masalah yang dibahas meliputi Metafungsi bahasa, Konteks sosial, Pola Hubungan Metafungsi dan Konteks Sosial teks dan serta Kearifan budaya lokal Tradisi

a) Fungsi pelaporan adalah sebagai salah satu sumber informasi bagi pemerintah atau instansi yang berwenang dalam memantau dan mengevaluasi pemanfaatan ruang