• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Tempat Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Tempat Penelitian"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.1. Hasil Penelitian

1.1.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian

Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah merupakan satu-satunya Rumah Sakit Jiwa milik pemerintah di Provinsi Sulawesi Tengah, terletak di kelurahan Mamboro kecamatan Palu Utara, kira-kira 13 km sebelah utara kota Palu.

Rumah sakit ini mulai dibangun pada tahun 1979 dengan dana APBN dan resmi berdiri tanggal 5 Juli 1984 dengan diberlakukannya Keputusan Menkes RI Nomor 350/Menkes/SK/VII/1984 tentang Pembentukan Rumah Sakit Jiwa Pusat Kelas B di Palu. Status awal pengelolaan Rumah Sakit Jiwa Pusat Palu di bawah Dirjen pelayanan medik DEPKES-RI dengan menempati areal seluas 90.010 m² dengan luas bangunan 9.135 m².

Pada tahun 2001 dalam rangka penerapan UU No.22 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Otonomi Daerah, pengelolaan Rumah Sakit Jiwa Pusat Palu diserahkan ke Pemda Kota Palu. Pada Tahun 2002 RSJ Pusat Palu diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Provinsi

(2)

Sulawesi Tengah melalui Perda No 12 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Laksana RSJ Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, berubah menjadi lembaga teknis daerah yang berbentuk badan.

Dengan mengacu pada Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 188.44/1726/RO.ORPEG-ST/2003 tentang Uraian Tugas Dan Fungsi Rumah Sakit Jiwa Madani Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Di tahun 2003 Rumah Sakit Jiwa Pusat Palu berubah nama dan berkembang menjadi Rumah Sakit Jiwa Madani dengan penambahan 4 pelayanan spesialitik dasar (non jiwa), perawatan umum, perawatan bedah, perawatan anak, dan perawatan maternitas.

Pada perkembangan selanjutnya, RSJ Madani Berubah menjadi Rumah Sakit Daerah Madani, melalui Perda Nomor 7 Tahun 2009. Pengembangan ini diharapkan dapat meningkatkan kerja sama RSD Madani dengan Rumah Sakit Daerah lainnya dalam melaksanakan pelayanan bidang kesehatan menuju pelayanan kesehatan yang lebih bermutu baik pada pelayanan kesehatan jiwa maupun pelayanan kesehatan umum. Selanjutnya, pada tanggal 27 Desember 2010 melaui Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor: 900/695/RSD MADANI–G.ST/2010 tentang Penetapan Pola

(3)

Pengelolaan Keuangan Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah sebagai Badan Layanan Umum Daerah Dengan Status Penuh. Sejak berdirinya RSD MADANI telah mengalami 5 kali pergantian direktur, yaitu: 1. dr. Paul Hamdani, DSJ (1985 - 1992)

2. dr. Slamet Susilo Setyodarmoko, DSJ (1992 - 1997) 3. dr. Eko Susanto Marsoeki, Sp.KJ (1997 - 2004) 4. dr. Hj. Muslimah L. Gadi, MSi (2004 - 2008) 5. dr. Isharwati, M.Kes (2008 - sekarang)

Rumah Sakit Daerah Madani Provinsi Sulawesi Tengah adalah Rumah Sakit tipe B khusus dengan kapasitas 120 tempat tidur yang terdiri dari kelas utama (VIP), kelas I, Kelas II dan Kelas III dan merupakan rumah sakit rujukan untuk kesehatan jiwa di Provinsi Sulawesi Tengah, Setelah diserahkan kepada Pemda Sulawesi Tengah pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit ini ditambah dengan pelayanan kesehatan umum dengan 4 spesialis dasar.

1.1.2. Pelaksanaan Penelitian

Peneliti melaksanakan penelitian di Rumah Sakit Daerah Madani Palu pada tanggal 6 Agustus – 6 September 2014 dengan Nonprobality Sampling menggunakan teknik pengambilan sampling jenuh yakni dengan mengambil

(4)

semua anggota populasi menjadi sampel. Cara ini dilakukan bila populasinya kecil, seperti bila sampelnya kurang dari tiga puluh maka anggota populasi tersebut diambil seluruhnya untuk dijadikan sampel penelitian. Penelitian ini menggunakan satu jenis penelitian, yaitu kelompok eksperimen yang mendapatkan perlakuan terapi aktivitas kelompok sosialisasi dan sekaligus diberikan pre test dan post test. Selama 1 bulan penelitian, jumlah riset partisipan yang didapat ada 27 klien menarik diri murni , pria maupun wanita yang kooperatif dan tidak memiliki gangguan paca indera dan bersedia dilakukan terapi aktivitas kelompok sosialisasi, serta menjalani rawat inap. Penelitian dilakukan di 3 ruangan Rumah Sakit Daerah Madani, yaitu ruang Salak, ruang Srikaya, dan ruang Manggis. Riset partisipan di ruang Salak ada 7 orang, di ruang Srikaya ada 7 orang, dan di ruang Manggis ada 13 orang.

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi dilakukan oleh peneliti dengan bantuan kepala ruangan (sebagai Co.Leader), perawat ruangan (sebagai fasilitator, observer), dan mahasiswa praktek (sebagai observer). TAKS hanya dilakukan di pagi hari. Kuesioner komunikasi verbal klien menarik diri dinilai berdasarkan bentuk-bentuk komunikasi verbal yang terdapat pada lembar penilaian. Penilaian

(5)

berdasarkan bentuk-bentuk komunikasi verbal terdiri dari 3 bagian, yaitu penilaian kognitif, penilaian afektif, dan perilaku klien. Kegiatan pre test dilakukan 1 jam sebelum dilakukan intervensi, yakni berupa pengisian kuesioner yang dilakukan oleh peneliti dengan mengobservasi klien. Pelaksanaan kemudian dilanjutkan dengan memberikan terapi aktivitas kelompok sosialisasi yang dilaksanakan selama 3 kali pertemuan. Setiap pertemuan selang 1 hari. Kemudian langsung dilakukan kegiatan post test yang dilakukan oleh peneliti dengan mengobservasi komunikasi verbal klien. a. Kelompok I

1. Intervensi I

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi I dan sesi II, yaitu mengajak pasien memperkenalkan dirinya dan mengajak pasien untuk berkenalan dengan teman-temannya.

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Kamis/14 Agustus 2014

Jam : 10.00 WITA

Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

(6)

c) Susunan pelaksanaan Leader : Happy

Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang Salak)

Fasilitator : Aan (perawat ruang Srikaya) Observer : Nyoman (perawat ruang Salak) d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang, terdiri dari 4 orang dari ruang Salak dan 4 orang dari ruang Srikaya.

Ruang Salak Ruang Srikaya

Tn. MD Tn. AB

Tn. SL Tn. IN

Tn. NS Tn. AM

Tn. KG Tn. HS

2. Intervensi II

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi III sampai sesi V, yaitu mengajarkan klien bercakap-cakap dengan temannya, mengajarkan klien memilih topik pembicaraan, dan mengajarkan klien agar bisa menceritakan masalah pribadi kepada teman-temannya.

a) Waktu dan tempat

(7)

Jam : 08.30 WITA

Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna c) Susunan pelaksanaan

Leader : Happy

Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang Salak)

Fasilitator : Bapak Sudarto (Kepala ruang Srikaya)

Observer : Ronald (perawat ruang Salak) d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang, terdiri dari 4 orang dari ruang Salak dan 4 orang dari ruang Srikaya.

Ruang Salak Ruang Srikaya

Tn. MD Tn. AB

Tn. SL Tn. IN

Tn. NS Tn. AM

Tn. KG Tn. HS

3. Intervensi III

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi VI dan sesi VII, yaitu mengajarkan pasien agar dapat

(8)

berpartisipasi dalam permainan kelompok dan mengajarkan pasien agar dapat memberikan pendapat tentang kegiatan TAKS yang telah dilakukan.

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Senin/18 Agustus 2014

Jam : 10.00 WITA

Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

Laptop, bola tenis, dan kartu kwartet. c) Susunan pelaksanaan

Leader : Happy

Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang Salak)

Fasilitator : Bapak Sudarto (Kepala ruang Srikaya)

Observer : Ari (perawat ruang Salak) d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang, terdiri dari 4 orang dari ruang Salak dan 4 orang dari ruang Srikaya.

(9)

Ruang Salak Ruang Srikaya Tn. MD Tn. AB Tn. SL Tn. IN Tn. NS Tn. AM Tn. KG Tn. HS b. Kelompok II 1. Intervensi I

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi I dan sesi II, yaitu mengajak pasien memperkenalkan dirinya dan mengajak pasien untuk berkenalan dengan teman-temannya.

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Jumat/15 Agustus 2014

Jam : 09.00 WITA

Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna c) Susunan pelaksanaan

Leader : Happy

Co. leader : Ibu Ketut Suharyani (Kepala ruang Manggis)

Fasilitator : Mulyani (perawat ruang Manggis) Observer : Ijayanti (perawat ruang Manggis)

(10)

d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 5 orang. Ruang Manggis Ny. SM Ny. KW Ny. KD Ny. IM 2. Intervensi II

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi III sampai sesi V, yaitu mengajarkan klien bercakap-cakap dengan temannya, mengajarkan klien memilih topik pembicaraan, dan mengajarkan klien agar bisa menceritakan masalah pribadi kepada teman-temannya.

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Minggu/17 Agustus 2014

Jam : 09.30 WITA

Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna c) Susunan pelaksanaan

Leader : Happy

(11)

d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 5 orang. Ruang Manggis Ny. SM Ny. KW Ny. KD Ny. IM 3. Intervensi III

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi VI dan sesi VII, yaitu mengajarkan pasien agar dapat berpartisipasi dalam permainan kelompok dan mengajarkan pasien agar dapat memberikan pendapat tentang kegiatan TAKS yang telah dilakukan.

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Selasa/19 Agustus 2014

Jam : 09.00 WITA

Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

Laptop, bola tenis, dan balon. c) Susunan pelaksanaan

(12)

Co. leader : Ibu Ketut Suharyani (Kepala ruang Manggis)

Fasilitator : Ramadan (Mahasiswa Akper Donggala)

Observer : Sri (Mahasiswa Akper Donggala) d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 5 orang. Ruang Manggis Ny. SM Ny. KW Ny. KD Ny. IM c. Kelompok III 1. Intervensi I

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi I dan sesi II, yaitu mengajak pasien memperkenalkan dirinya dan mengajak pasien untuk berkenalan dengan teman-temannya.

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Rabu/27 Agustus 2014

Jam : 09.00 WITA

Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit Daerah Madani

(13)

b) Media atau alat

Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna c) Susunan pelaksanaan

Leader : Happy

Co. leader : Ibu Ketut Suharyani (Kepala ruang Manggis)

Fasilitator : Febi (Mahasiswa UIT Makassar) Observer : Happy (Mahasiswa UIT Makassar) d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang. Ruang Manggis Ny. AN Ny. SY Ny. FD Ny. SR Ny. PY Ny. WR Ny. FT Ny. NR 2. Intervensi II

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi III sampai sesi V, yaitu mengajarkan klien bercakap-cakap dengan temannya, mengajarkan klien memilih topik pembicaraan, dan mengajarkan klien agar bisa menceritakan masalah pribadi kepada teman-temannya.

(14)

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Jumat/29 Agustus 2014

Jam : 09.00 WITA

Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna c) Susunan pelaksanaan

Leader : Happy

Co. Leader : Ibu Ketut Suharyani (Kepala ruang Manggis)

Fasilitator : Happy (Mahasiswa IUT Makassar) Observer : Febi (Mahasiswa IUT Makassar) d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 8 orang. Ruang Manggis Ny. AN Ny. SY Ny. FD Ny. SR Ny. PY Ny. WR Ny. FT Ny. NR

(15)

3. Intervensi III

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi VI dan sesi VII, yaitu mengajarkan pasien agar dapat berpartisipasi dalam permainan kelompok dan mengajarkan pasien agar dapat memberikan pendapat tentang kegiatan TAKS yang telah dilakukan.

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Minggu/31 Agustus 2014

Jam : 08.30 WITA

Tempat : Ruang Manggis Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

Laptop, bola tenis, dan balon. c) Susunan pelaksanaan

Leader : Happy

Fasilitator : Mulyani (Perawat ruang Manggis) d) Klien peserta TAKS

(16)

Ruang Manggis Ny. AN Ny. SY Ny. FD Ny. SR Ny. PY Ny. WR Ny. FT Ny. NR d. Kelompok IV 1. Intervensi I

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi I dan sesi II, yaitu mengajak pasien memperkenalkan dirinya dan mengajak pasien untuk berkenalan dengan teman-temannya.

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Sabtu/30 Agustus 2014

Jam : 09.00 WITA

Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

Laptop, bola tenis, dan kertas berwarna c) Susunan pelaksanaan

Leader : Happy

Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang Salak)

(17)

Fasilitator : Nyoman (perawat ruang Salak) d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 6 orang, terdiri dari 3 orang dari ruang Salak dan 3 orang dari ruang Srikaya.

Ruang Salak Ruang Srikaya

Tn. SH Tn. AK

Tn. AS Tn. MN

Tn. IW Tn. AC

2. Intervensi II

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi III sampai sesi V, yaitu mengajarkan klien bercakap-cakap dengan temannya, mengajarkan klien memilih topik pembicaraan, dan mengajarkan klien agar bisa menceritakan masalah pribadi kepada teman-temannya.

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Senin/1 September 2014

Jam : 09.00 WITA

Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

(18)

c) Susunan pelaksanaan Leader : Happy

Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang Salak)

Fasilitator : Mahasiswa profesi Ners STIK Palu Observer : Nyoman (perawat ruang Salak) d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 6 orang, terdiri dari 3 orang dari ruang Salak dan 3 orang dari ruang Srikaya.

Ruang Salak Ruang Srikaya

Tn. SH Tn. AK

Tn. AS Tn. MN

Tn. IW Tn. AC

3. Intervensi III

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi sesi VI dan sesi VII, yaitu mengajarkan pasien agar dapat berpartisipasi dalam permainan kelompok dan mengajarkan pasien agar dapat memberikan pendapat tentang kegiatan TAKS yang telah dilakukan.

a) Waktu dan tempat

Hari/tanggal : Rabu/3 September 2014

(19)

Tempat : Ruang Salak Rumah Sakit Daerah Madani

b) Media atau alat

Laptop, bola tenis, dan kartu kwartet. c) Susunan pelaksanaan

Leader : Happy

Co. leader : Bapak Losaende (Kepala ruang Salak)

Fasilitator : Mahasiswa Poltekkes Mamboro Observer : Ronald (perawat ruang Salak) d) Klien peserta TAKS

Jumlah klien yang mengikuti TAKS ada 6 orang, terdiri dari 3 orang dari ruang Salak dan 3 orang dari ruang Srikaya.

Ruang Salak Ruang Srikaya

Tn. SH Tn. AK

Tn. AS Tn. MN

(20)

1.1.3. Karakteristik Responden 1.1.3.1. Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 14 51.9

Perempuan 13 48.1

Jumlah 27 100.0

Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.1 dapat dilihat jumlah klien menarik adalah 27 orang yang terdiri dari 14 orang laki-laki (51.9%) dan 13 orang perempuan (48.1%).

1.1.3.2. Umur

Umur dikategorikan berdasarkan Depkes RI, 2009 yaitu : remaja akhir (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65 tahun).

(21)

Dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)

Umur Jumlah Persentase

Remaja akhir (17-25 tahun) 7 25.9 Dewasa awal (26-35 tahun) 8 29.6 Dewasa akhir (36-45 tahun) 9 33.3 Lansia awal (46-55 tahun) 2 7.4 Lansia akhir (56-65 tahun) 1 3.7 Jumlah 27 100.0 Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.2 terlihat bahwa klien menarik diri yang dirawat lebih banyak yang kategori dewasa akhir 9 orang (33.3%), dan yang paling sedikit yang kategori lansia akhir yaitu 1 orang (3.7%).

1.1.3.3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi 4 kategori, yaitu: SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi.

(22)

Dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)

Pendidikan Jumlah Persentase

SD 11 40.7 SLTP 11 40.7 SMA 4 14.8 Perguruan Tinggi 1 3.7 Jumlah 27 100.0 Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat tingkat pendidikan klien menarik diri yang paling banyak yang tingkat pendidikannya sampai SD ada 11 orang (40.7%) dan SMP juga berjumlah 11 orang (40.7%). Yang paling sedikit yang tingkat pendidikannya sampai perguruan tinggi, yaitu 1 orang (3.7%).

1.1.3.4. Pekerjaan

Pekerjaan dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu pelajar, tidak bekerja, dan bekerja. Untuk kategori bekerja terdiri dari tukang masak, buruh bangunan, tukang jahit, dan petani.

(23)

Dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)

Pekerjaan Jumlah Persentase

Pelajar 1 3.7

Tidak bekerja 16 59.3

Bekerja 10 37.0

Jumlah 27 100.0

Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa klien menarik diri yang tidak bekerja sebanyak 16 orang (59.3%) dan yang paling sedikit adalah pelajar 1 orang (3.7%).

1.1.3.5. Status Perkawinan

Status perkawinan dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu belum menikah, menikah, dan duda/janda. Hasil penelitian dapat dilihat dibawah ini.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Status Perkawinan Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)

Status Perkawinan Jumlah Persentase Belum menikah 18 66.7 Menikah 8 29.6 Duda/Janda 1 3.7 Jumlah 27 100.0 Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

(24)

Klien menarik diri yang belum menikah lebih banyak, yaitu 18 orang (66.7%) dan yang paling sedikit yaitu duda 1 orang (3.7%).

1.1.3.6. Lama Mengikuti TAKS

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lama Mengikuti TAKS Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27) Lama Mengikuti TAKS Jumlah Persentase Tidak selesai 0 0.0 Selesai 27 100.0 Jumlah 27 100.0 Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Semua riset partisipan yang sudah mengikuti TAKS telah mengikuti TAKS sampai sesi ke tujuh.

1.1.3.7. Perawatan

Perawatan dibagi menjadi dua kategori, yaitu pasien kambuh yakni pasien yang baru pertama kali masuk rumah sakit dan pasien kambuh yakni pasien yang sudah pernah masuk rumah sakit dan berulang terjadi gangguan.

(25)

Dapat dilihat pada tabel dibawah ini

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Perawatan Klien Menarik Diri di RSD Madani Palu (N: 27)

Perawatan Jumlah Persentase

Pasien baru 6 22.2

Pasien kambuh 21 77.8

Jumlah 27 100.0

Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Dari tabel 4.7, status dengan pasien baru ada 6 orang (22.2%) sedangkan status pasien kambuh ada 21 orang (77.8%).

1.1.4. Analisis Univariat

1.1.4.1. Komunikasi Verbal Klien Menarik Diri Sebelum Intervensi

Kemampuan komunikasi verbal dikategorikan menjadi 4 kategori yaitu : sangat tidak baik (0-25%), tidak baik (26-50%), baik (51-75%), dan sangat baik (76-100%).

(26)

Dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kemampuan Komunikasi Verbal Sebelum Dilaksanakan TAKS Pada Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)

Komunikasi Verbal

Jumlah Persentase

Sangat tidak baik 0 0.0

Tidak baik 16 59.3

Baik 11 40.7

Sangat baik 0 0.0

Jumlah 27 100.0

Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.8 terlihat bahwa kemampuan komunikasi verbal pada klien menarik diri sebelum dilakukan TAKS lebih banyak yang kategori tidak baik yaitu 16 orang (59,3%), kategori baik 11 orang (40,7%), kategori sangat tidak baik dan sangat baik tidak ada.

(27)

1.1.4.2. Komunikasi Verbal Klien Menarik Diri Setelah Intervensi

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kemampuan Komunikasi Verbal Setelah Dilaksanakan TAKS Pada Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)

Komunikasi Verbal

Jumlah Persentase

Sangat tidak baik 0 0.0

Tidak baik 5 18.5

Baik 12 44.4

Sangat baik 10 37.0

Jumlah 27 100.0

Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.9 terlihat bahwa kemampuan komunikasi verbal pada klien menarik diri setelah dilakukan TAKS kategori baik yaitu 12 orang (44.4%), kategori sangat baik 10 orang (37.0%), kategori tidak baik 5 orang (18.5%), dan kategori sangat tidak baik tidak ada.

1.1.5. Hasil Penelitian Uji Bivariat

1.1.5.1. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadap Kemampuan Komunikasi Verbal Klien Menarik Diri

Dalam menganalisa data secara bivariat, pengujian data menggunakan uji t-dependen.

(28)

Hasil uji t-dependen dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.10 Analisis Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadap Kemampuan Komunikasi Verbal Klien Menarik Diri (Uji t-dependent) (N: 27) Varia bel Mean Std. Devia tion Std. Error Mean Perbedaan P Value N Mean Std. Devia tion Pre Test TAKS 33.52 8.759 1.686 -13.704 9.817 0.000 27 Post test TAKS 47.22 12.457 2.397

Berdasarkan tabel 4.10 di atas, kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri memiliki nilai rata-rata pada saat pre test sebesar 33.52 dengan standar deviasi 8.759. Pada saat post test didapat rata-rata sebesar 47.22 dengan standar deviasi 12.457. Adapun mean perbedaan antara pre test dan post test adalah -13.704 dengan standar deviasi 9.817. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0.000 (p < 0,05) berarti secara statistik ada pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) dengan kemampuan komunikasi verbal pada klien menarik diri (H0 ditolak).

(29)

1.1.5.2. Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri

Tabel 4.11 Analisis Hubungan Jenis Kelamin Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)

Jenis kelamin

Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test

r ρ Tidak Baik Baik Sangat Baik Laki-laki 4 (28.6%) 4 (28.6%) 6 (42.9%) 0.879 0.031 Perempuan 1 (7.7%) 8 (61.5%) 4 (30.8%) Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.11 terlihat bahwa laki-laki yang mempunyai kemampuan komunikasi verbal yang tidak baik dan baik pada saat post test masing-masing 4 orang dan sangat baik ada 6 orang. Perempuan yang tidak baik ada 1 orang, yang baik ada 8 orang, dan sangat baik ada 4 orang. Koefisien korelasi (r) antara jenis kelamin dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri sebesar 0.879 (nilai korelasi masuk dalam interpretasi hubungan sangat kuat) dengan probabilitas (ρ)= 0.031 (ρ < 0.05) berarti ada hubungan yang sangat rendah antara jenis

(30)

kelamin dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri di RSD Madani Palu. 1.1.5.3. Hubungan Antara Umur Dengan Kemampuan

Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Tabel 4.12 Analisis Hubungan Umur Dengan

Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)

Umur

Kemampuan Komunikasi

Verbal Post Test r ρ Tidak Baik Baik Sangat Baik Remaja akhir (17-25 tahun) 4 (57.1%) 1 (14.3%) 2 (28.6%) 0.310 0.203 Dewasa awal (26-35 tahun) 1 (12.5%) 3 (37.5%) 4 (50.0%) Dewasa akhir (36-45 tahun) 0 5 (55.6%) 4 (44.4%) Lansia awal (46-55 tahun) 0 2 (100.0%) 0 Lansia akhir (56-65 tahun) 0 1 (100.0%) 0 Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.12 terlihat bahwa remaja akhir yang mempunyai kemampuan komunikasi verbal yang tidak baik pada saat post test ada 4 orang, baik ada 1 orang, dan sangat baik ada 2 orang. Dewasa awal yang tidak baik ada 1 orang, yang baik ada 3 orang, dan sangat baik ada 4 orang. Dewasa akhir yang baik ada 5 orang dan sangat baik ada 4 orang. Lansia awal yang baik ada 2 orang sedangkan lansia akhir yang baik ada

(31)

1 orang. Koefisien korelasi (r) antara umur dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri sebesar 0.310 dengan probabilitas (ρ)= 0.203 (ρ > 0.05) berarti tidak ada hubungan antara umur dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri di RSD Madani Palu.

1.1.5.4. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri

Tabel 4.13 Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)

Tingkat Pendidi

kan

Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test

r ρ Tidak Baik Baik Sangat Baik SD 0 8 (72.7%) 3 (27.3%) 0.858 0.036 SMP 4 (36.4%) 3 (27.3%) 4 (36.4%) SMA 1 (25.0%) 1 (25.0%) 2 (50.0%) PT 0 0 1 (100.0%) Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.13 terlihat bahwa klien menarik diri dengan tingkat pendidikan SD yang mempunyai kemampuan komunikasi verbal yang

(32)

baik saat post test ada 8 orang dan sangat baik 3 orang. Pendidikan SMP yang tidak baik ada 4 orang, baik 3 orang, dan sangat baik 4 orang. Pendidikan SMA yang tidak baik ada 1 orang, baik 1 orang dan sangat baik 2 orang. Perguruan tinggi mempunyai kemampuan komunikasi verbal sangat baik yaitu 1 orang. Koefisien korelasi (r) antara tingkat pendidikan dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri sebesar 0.858 (nilai korelasi masuk dalam interpretasi hubungan sangat kuat) dengan probabilitas (ρ)= 0.036 (ρ < 0.05) berarti ada hubungan yang sangat rendah antara tingkat pendidikan dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri di RSD Madani Palu.

(33)

1.1.5.5. Hubungan Antara Pekerjaan Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri

Tabel 4.14 Analisis Hubungan Pekerjaan

Dengan Kemampuan

Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)

Pekerjaan

Kemampuan Komunikasi

Verbal Post Test r ρ

Tidak Baik Baik Sangat Baik Pelajar 0 0 1 (100.0%) 0.176 0.268 Tidak bekerja 4 (25.0%) 9 (56.2%) 3 (18.8%) Bekerja 1 (10.0%) 3 (30.0%) 6 (60.0%) Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.13 terlihat bahwa satu orang pelajar mempunyai kemampuan komunikasi verbal sangat baik saat post test. Tidak bekerja yang tidak baik 4 orang, baik 9 orang, dan sangat baik 3 orang. Bekerja yang tidak baik ada 1 orang, baik 3 orang, dan sangat baik 6 orang. Koefisien korelasi (r) antara pekerjaan dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri sebesar 0.176 dengan probabilitas (ρ)= 0.268 (ρ > 0.05) berarti tidak ada hubungan antara pekerjaan

(34)

dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri di RSD Madani Palu.

1.1.5.6. Hubungan Antara Status Perkawinan Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri

Tabel 4.15 Analisis Hubungan Status Perkawinan Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)

Status Perkawinan

Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test

r ρ Tidak Baik Baik Sangat Baik Belum menikah 5 (27.8%) 7 (38.9%) 6 (33.3%) 0.200 0.254 Menikah 0 5 (62.5%) 3 (37.5%) Duda/janda 0 0 1 (100.0%) Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.14 terlihat bahwa klien belum menikah yang mempunyai kemampuan komunikasi verbal tidak baik pada saat post test ada 5 orang, baik 7 orang, dan sangat baik 6 orang. Klien yang menikah baik ada 5 orang dan sangat baik ada 3 orang. Duda sangat baik ada 1 orang. Koefisien korelasi (r) antara status perkawinan dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri sebesar 0.200

(35)

dengan probabilitas (ρ)= 0.254 (ρ > 0.05) berarti tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri di RSD Madani Palu.

1.1.5.7. Hubungan Antara Perawatan Dengan Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri

Tabel 4.16 Analisis Hubungan Perawatan

Dengan Kemampuan

Komunikasi Verbal Post Test Klien Menarik Diri Di RSD Madani Palu (N: 27)

Perawatan

Kemampuan Komunikasi Verbal Post Test

r ρ Tidak Baik Baik Sangat Baik Pasien baru 2 (33.3%) 2 (33.3%) 2 (33.3%) 0.539 0.124 Pasien kambuh 3 (14.3) 10 (47.6%) 8 (38.1%) Sumber data:

Observasi peneliti di 3 ruangan di Rumah Sakit Daerah Madani Palu 14 – 30 Agustus 2014

Berdasarkan tabel 4.15 terlihat bahwa pasien baru yang mempunyai kemampuan komunikasi verbal tidak baik saat post test ada 2 orang, baik 2 orang, dan sangat baik 2 orang. Pasien kambuh yang tidak baik ada 3 orang, baik 10 orang, dan sangat baik 8 orang. Koefisien korelasi (r) antara perawatan dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri sebesar 0.539 dengan

(36)

probabilitas (ρ)= 0.124 (ρ > 0.05) berarti tidak ada hubungan antara perawatan dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri di RSD Madani Palu.

1.2. Pembahasan

Berdasarkan tabel 4.8 Kemampuan komunikasi verbal pada klien menarik diri sebelum dilaksanakan TAKS lebih banyak yang tidak baik yaitu 16 orang (59.3%) dan mean/rata rata 33.52, standar deviasi 8.759. Menurut asumsi peneliti, masih banyaknya komunikasi verbal yang tidak baik karena belum terbina hubungan saling percaya antara peneliti dan klien sehingga klien tidak mau berkomunikasi.

Hal ini sesuai teori Keliat (2010) mengatakan bahwa perawat tidak mungkin secara drastis mengubah kebiasaan klien dalam berinteraksi dengan orang lain karena kebiasaan tersebut telah terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Namun, melalui sikap empati dan menerima klien apa adanya serta perhatian kepada klien dan pada kebutuhan dasar klien yang ditunjukkan oleh perawat akan menumbuhkan rasa saling percaya dengan perawat. Kepercayaan tersebut harus dibarengi dengan sikap jujur dan menepati janji yang kembali harus dilakukan oleh perawat ketika seseorang ingin dipercaya oleh klien. Pendekatan yang baik kepada klien isolasi

(37)

sosial (menarik diri) akan dapat meningkatkan rasa saling percaya dengan perawat.

Keliat (2010) juga menambahkan bahwa pada awalnya mungkin klien hanya akrab dengan perawat, tetapi setelah itu perawat harus membiasakan klien untuk dapat berinteraksi secara bertahap dengan orang-orang disekitarnya. Intervensi yang konsisten akan meningkatkan kemampuan klien dalam berkomunikasi. Hal ini juga dipengaruhi oleh penguatan berupa pujian reinforcement positif yang diberikan atas hasil yang telah dicapai klien yang juga semakin memotivasi klien untuk mau bergabung dengan klien lainnya.

Corey (2008) mengatakan bahwa penguatan positif yang diberikan perawat setelah mengevaluasi kemampuan klien mendorongnya untuk melakukan apa yang diharapkan dalam mengatasi masalahnya. Pembentukan pola tingkah lakunya dapat dilakukan dengan memberi penguatan positif segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Penguatan menjadi alat untuk membentuk tingkah laku yang diharapkan, antara lain seperti senyuman, persetujuan, pujian, dan hadiah. Penggunaan penguatan positif perlu dilakukan untuk memunculkan tingkah laku yang diinginkan. Misalnya pada TAKS, penguatan positif yang diberikan setelah klien mampu mengikuti tingkah laku yang diharapkan oleh

(38)

perawat berupa tepuk tangan, pujian “bagus sekali” atau “baik sekali”.

Setelah dilaksanakan TAKS, dapat dilihat pada tabel 4.9 komunikasi klien menarik diri terjadi peningkatan dimana yang lebih banyak komunikasi verbal yang baik 12 orang (44.4%), sangat baik 10 orang (37.0%) dan penurunan pada tidak baik menjadi 5 orang (18.5%) dengan rata-rata 47.22 dan standar deviasi 12.457. Menurut pendapat peneliti, hal ini terjadi karena sudah terbina hubungan yang baik dan akrab antara peneliti dan klien. Hal ini dipertegas dengan teori Budyatna & Ganiem (2011) yang mengatakan bahwa hubungan akrab ditandai dengan keramatamahan dan kasih sayang, kepercayaan, pengungkapan diri, dan tanggung jawab.

Peneliti berpendapat bahwa hubungan akrab yang terjalin antar peneliti dan klien karena peneliti dan klien sudah menghabiskan waktu bersama-sama sudah cukup lama sehingga klien sudah merasa peneliti seperti teman sendiri dan muncul rasa sayang, kepercayaan sehingga dapat menceritakan pengalaman pribadi dan juga rasa tanggung jawab untuk tetap menjaga hubungan bertemanan.

Hal ini sesuai dengan teori Budyatna & Ganiem (2011) yang mengatakan bahwa satu cara sahabat kental menyatakan kesukaannya ialah melalui cara menghabiskan waktu bersama-sama entah jalan-jalan atau ngobrol. Teman akrab selalu berharap

(39)

untuk selalu bersama-sama karena mereka mengalami kegembiraan atau kesenangan secara bersama-sama, mereka menikmati bersama-sama dalam berbicara, dan mereka menikmati dalam berbagi pengalaman.

Sebagaimana para mitra mengembangkan kepercayaan yang bertambah terhadap satu sama lain, maka tingkat ketergantungan mereka menjadi bertambah terhadap satu sama lain, yakni mereka menjadi makin bertambah tingkat kepuasannya, bertambahnya keinginan untuk tidak melakukan berbagai alternatif, dan makin bertambah keinginan untuk memperkuat di dalam hubungan (Budyatna & Ganiem, 2011).

Budyatna & Ganiem (2011) juga menambahkan berbagi perasaan dan proses pengungkapan diri yang sangat pribadi, orang benar-benar dapat mengetahui dan mengerti satu sama lain. Sebagai hasil dari jumlah pengungkapan diri yang meningkat, maka mereka meningkatkan investasi mereka di dalam hubungan dan mengembangkan rasa “kekitaan”.

Peneliti beranggapan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi verbal pada klien menarik diri setelah dilakukan TAKS juga bisa terjadi karena selama proses TAKS melibatkan banyak orang dalam satu kelompok sehingga klien dapat mengutarakan perasaan dan pikirannya dan teman-teman dalam satu kelompok bisa memberikan respon yang positif setelah klien

(40)

mengutarakaanya. Misalnya pada TAKS, teman-teman satu kelompok akan mendengarkan pendapat temannya dan juga akan memberikan pendapat yang lain pada topik yang telah ditentukan.

Hal ini sesuai dengan teori Wood (2013) yang mengatakan bahwa pedoman kritis untuk komunikasi verbal yang efektif adalah dengan melibatkan perspektif ganda. Hal ini melibatkan peran kerberpusatan pada orang-orang (person-centered), sehingga anda menyadari perspektif lain dan menggunakannya untuk berkomunikasi. Komunikasi interpersonal yang efektif bukanlah pertunjukan pribadi, tetapi sebuah hubungan antar manusia.

Wood (2013) mengatakan bahwa komunikator yang efektif bertanggung jawab pada diri mereka sendiri dengan menggunakan bahasa yang mengakui pikiran dan perasaan. Mereka mengakui perasaan mereka dan tidak menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi pada mereka. Komunikator yang efektif tidak membantah atau meremehkan apa yang orang lain katakan mengenai perasaan dan pikiran mereka. Bahkan, saat anda tidak berpikir dan merasakan hal yang sama, anda masih dapat menghormati orang lain atas pikiran dan emosinya.

Wood (2013) juga menambahkan bahwa proses menghargai apa yang orang lain katakan mengenai perasaan dan pikiran mereka adalah landasan dari komunikasi interpersonal yang efektif. Kita juga berkembang saat kita membuka diri kita untuk perspektif, perasaan,

(41)

dan pikiran yang berbeda. Jika anda tidak mengerti apa yang orang lain katakan, minta mereka untuk mengelaborasi. Ini menunjukkan anda tertarik, dan anda menghargai pengetahuan atau pengalamannya. Mendorong orang lain untuk mengklarifikasi, memperluas, atau menjelaskan komunikasi mereka memperbesar pemahaman di antara individu.

Setelah dilakukan TAKS, ada peningkatan bermakna dari kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri. Menurut pendapat peneliti, hal ini dapat terjadi karena karakteristik klien sendiri. Setiap klien menarik diri mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sehingga dapat meningkatkan komunikasi verbalnya setiap hari. Peningkatan kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri terjadi dari faktor tingkat pendidikan, umur, pekerjaan, dan perawatan.

Hal ini dipertegas dengan pernyataan Stuart & Laraia (2005) bahwa pendidikan dapat dijadikan tolak ukur kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 11 orang (40.7%) yang memiliki tingkat pendidikan rendah, 15 orang yang memiliki tingkat pendidikan menengah (11 orang (40.7%) memiliki tingkat pendidikan sampai SMP dan 4 orang (14.8%) memiliki tingkat pendidikan sampai SMA), dan 1 orang (3.7%) yang memiliki tingkat pendidikan tinggi.

Pada proses pemberian terapi aktivitas kelompok sosialisasi dalam penelitian ini, klien menarik diri dengan latar belakang tingkat

(42)

pendidikan menengah dan tinggi memiliki kemampuan untuk menerima informasi lebih baik serta dapat berkomunikasi dengan baik dibandingkan dengan klien menarik diri yang memiliki latar pendidikan rendah.

Rata-rata klien menarik diri pada penelitian ini berada pada kategori remaja akhir (17-25), dewasa awal (26-35), dan dewasa akhir (35-45). Dapat dilihat pada tabel 4.2, klien menarik diri dengan kategori umur remaja akhir ada 7 orang (25.9%), dewasa awal 8 orang (29.6%), dewasa akhir 9 orang (33.3%), lansia awal 2 orang (7.4%), dan lansia akhir 1 orang (3.7%).

Peneliti beranggapan bahwa remaja akhir masih berada dalam usia labil yang rentan, pola pikir yang sering berubah-ubah. Responden masih belum dapat mempercayai temannya secara sepenuhnya dan juga kadang-kadang tergantung dengan suasana hatinya. Ketika klien tidak mempunyai suasana hati yang baik pada hari itu, ia akan cenderung diam, mengurung diri, dan menjauh dari teman-temannya.

Videback (2008) mengatakan bahwa skizofrenia yang terjadi pada klien dengan masalah isolasi sosial menarik diri yang terjadi pada usia dini memperlihatkan hasil akhir yang lebih buruk daripada yang terjadi pada usia yang lebih tua, klien dengan usia lebih muda akan lebih memperlihatkan suatu kognitif yang selalu berpikiran negatif sehingga akan memunculkan perasaan sedih, menangis, dan

(43)

putus asa yang pada akhirnya akan memunculkan suatu perilaku negatif yang lebih nyata dan gangguan kognitif yang lebih banyak. Townsend (2009) juga mengatakan bahwa semakin bertambahnya umur seseorang maka semakin meningkatnya kemampuan seseorang dalam melakukan interaksi sosial, diantaranya kemampuan komunikasi verbal dengan orang lain.

Berdasarkan tabel 4.4, dapat dilihat bahwa klien menarik diri yang tidak bekerja 16 orang (59.3%), bekerja 10 orang (37.0%), dan yang masih bersekolah 1 orang (3.7%). Peneliti berpendapat bahwa klien menarik diri yang tidak bekerja lebih banyak yang tidak mengalami peningkatan (kemampuan komunikasi verbal tidak baik) dibandingkan dengan klien menarik diri yang bekerja. Hal ini dapat terjadi karena klien yang tidak bekerja lebih cepat mengalami stress sehingga dapat berakibat pada proses interaksi dengan orang disekitarnya. Ketika mengalami stress, klien menarik diri lebih cenderung diam dan menyendiri.

Hal ini dipertegas oleh Yosep (2011) mengatakan bahwa masalah ekonomi merupakan masalah yang paling dominan sebagai pencetus gangguan jiwa di Indonesia. Ditambah lagi dengan pernyataan Yosep bahwa masalah kemiskinan seperti pengangguran atau tidak bekerja di Indonesia lebih dari 40 juta orang dan telah menyebabkan rakyat semakin terpuruk, daya beli lemah, pendidikan rendah, lingkungan yang buruk, kurang gizi

(44)

sehingga menyebabkan banyak rakyat Indonesia mengalami gangguan jiwa. Hal yang sama dikemukakan oleh Tartowo dan Wartonah (2003) bahwa status pekerjaan akan mempengaruhi timbulnya stress. Status pekerjaan terkait dengan status ekonomi seseorang, orang dengan status ekonomi yang tinggi akan jauh lebih sukar mengalami stress dibanding mereka yang status ekonominya rendah.

Dari data tabel 4.7, dapat dilihat bahwa ada 6 klien menarik diri (22.2%) yang merupakan klien baru (pertama kali menjalani perawatan) dan sisanya 21 klien (77.8%) merupakan pasien kambuh. Menurut peneliti, pasien kambuh karena disebabkan tidak adanya dukungan dari keluarga atau kerabat sehingga membuat klien putus asa dan sudah tidak mau minum obat dengan rutin. Dalami (2009) mengatakan bahwa masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.

Terjadi peningkatan kemampuan komunikasi verbal pada klien baru pada saat post test, peneliti berpendapat bahwa hal ini disebabkan karena pasien ini baru menjalani perawatan yang pertama kali sehingga perawat bisa melakukan pendeteksian dini penyakit kepada pasien sehingga dapat disembuhkan lebih cepat dan juga pasien masih bisa menerima masukan atau arahan dari perawat sehingga mereka bisa mengubah perilaku mereka dengan

(45)

cepat serta dapat bersosialisasi kembali dengan orang-orang disekitarnya. Hal ini juga dipertegas dengan pendapat Stuart dan Laraia (2005) mengatakan bahwa waktu atau lamanya seseorang terpapar stressor akan memberikan dampak terhadap keterlambatan dalam mencapai kemampuan dan kemandirian.

Untuk 21 klien kambuh juga terjadi peningkatan kemampuan komunikasi verbal pada saat post test. Hal ini dapat terjadi karena klien sudah pernah masuk ke rumah sakit sebelumnya dan juga pada perawatan yang sebelumnya sudah pernah mengikuti terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Pada saat penelitian, terlihat bahwa klien dapat mengikuti TAKS dengan baik dan juga bisa membimbing teman-temannya yang lainnya selama proses intervensi, seperti contoh membantu temannya untuk memperkenalkan diri dan juga berkenalan dengan orang lain. Memang pada awalnya klien belum dapat bersosialisasi dengan baik pada pertemuan pertama namun pada pertemuan kedua dan ketiga, klien sudah dapat beradaptasi dan membimbing teman-temannya yang lain baik dari teman kelompok intervensi maupun teman-teman yang lain dalam satu ruangan ataupun ruangan yang lain. Namun, dalam perawatan sebelumnya klien tidak mengikuti TAKS secara menyeluruh, yakni tujuh sesi dan hanya mengikuti TAKS sampai sesi kedua. Hal ini terjadi karena perawat ruangan tidak melakukan terapi secara menyeluruh sampai sesi ketujuh dan hanya sampai sesi kedua dan

(46)

juga perawat hanya berfokus pada terapi aktivitas kelompok yang lainnya.

Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa klien menarik diri yang laki-laki ada 14 orang (51.9%) dan perempuan ada 13 orang (48.1%). Dalam penelitian ini, klien menarik diri yang laki-laki memang lebih banyak dari klien menarik diri perempuan. Tetapi, jenis kelamin tidak mengalami peningkatan yang bermakna dalam kemampuan komunikasi verbal. Hal ini dipertegas dengan teori Videback (2008) yang mengatakan bahwa tidak ditemukan perbedaan prevalensi berdasarkan jenis kelamin pada gangguan isolasi sosial (menarik diri), artinya jumlah penderita laki-laki dan perempuan seimbang.

Berdasarkan tabel 4.5, klien menarik diri yang belum menikah ada 18 orang (66.7%), menikah 8 orang (29.6%), dan duda 1 orang (3.7%). Meskipun klien menarik diri yang belum menikah lebih banyak dari yang sudah menikah, tetapi status perkawinan tidak mengalami peningkatan yang bermakna terhadap kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Surtiningrum (2011) bahwa tidak ditemukan pengaruh status perkawinan terhadap kemampuan bersosialisasi klien menarik diri walaupun dari 61 klien menarik diri, status perkawinan “tidak kawin” (belum menikah/duda/janda) memiliki proporsi lebih tinggi dari status kawin yaitu sebesar 67.2%.

(47)

Hasil penelitian ini mendukung beberapa hasil penelitian terdahulu. Penelitian Keliat, dkk (2000) yang berjudul Pengaruh Model Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) terhadap Kemampuan Komunikasi Verbal dan Non Verbal pada Klien Menarik Diri di Rumah Sakit Jiwa, menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan standar kemampuan yang diharapkan yaitu 75%, maka kemampuan kelompok intervensi melebihi standar sedang kelompok non intervensi kurang dari standar tersebut. Perbandingan kenaikan kemampuan komunikasi antara kelompok intervensi TAKS dan non TAKS berbeda bermakna dengan p = 0,0001.

Penelitian Arum Pratiwi, dkk (2004) dengan judul Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok terhadap Kemampuan Komunikasi Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi dengan p= 0.000. Pada kelompok intervensi menunjukkan kemampuan komunikasi yang lebih baik daripada kelompok kontrol.

Penelitian Kiki Susilowati, dkk (2009) dengan judul Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi terhadap Tingkat Depresi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, menunjukkan bahwa nilai p-value lebih kecil dari 0.05 (0.005 < 0.05) maka H0 ditolak sehingga

terdapat perbedaan tingkat depresi post test antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dan dapat disimpulkan bahwa

(48)

pemberian terapi aktivitas kelompok sosialisasi berpengaruh terhadap tingkat depresi.

Setelah dilakukan uji korelasi Spearman karakteristik klien dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri, didapatkan hasil bahwa jenis kelamin dan tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan kemampuan komunikasi verbal post test klien menarik diri.

Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel 4.13 yang menunjukkan bahwa dari 11 orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah ada 8 orang mempunyai kemampuan komunikasi verbal yang baik dan 3 orang yang sangat baik, 15 orang yang memiliki tingkat pendidikan menengah (11 orang memiliki tingkat pendidikan sampai SMP dan 4 orang memiliki tingkat pendidikan sampai SMA). Klien yang mempunyai tingkat pendidikan menengah, dari 11 orang SMP ada 4 orang yang mempunyai komunikasi verbal tidak baik, 3 yang baik, dan 4 yang sangat baik sedangkan dari 4 orang SMA ada 1 orang yang mempunyai kemampuan komunikasi verbal tidak baik, 1 yang baik, dan 2 yang sangat baik. Klien yang memiliki tingkat pendidikan tinggi ada 1 orang dan klien ini mempunyai kemampuan komunikasi verbal yang sangat baik..

Hal ini sesuai dengan teori Kopelowicz (2002) juga menambahkan bahwa semakin tinggi pendidikan dan pengetahuan

(49)

seseorang akan berkolerasi positif dengan ketrampilan koping yang dimiliki seseorang dalam menyelesaikan masalah.

Penelitian Nyumirah (2012) juga mengatakan bahwa pendidikan merupakan sumber koping bagi seseorang dalam menghadapi suatu masalah yang dihadapi. Pada proses pemberian terapi aktivitas kelompok sosialisasi, responden dengan latar belakang pendidikan menengah memiliki kemampuan untuk menerima informasi lebih baik dibandingkan dengan responden dengan latar belakang rendah karena latar belakang yang dimiliki responden dapat dijadikan sumber koping dalam mengalami suatu masalah. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh seseorang makin baik seseorang dalam mengembangkan tehnik komunikasi dengan orang lain baik verbal maupun non verbal.

Pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa klien menarik diri yang laki-laki ada 14 orang. Dari 14 klien yang mempunyai kemampuan komunikasi verbal tidak baik ada 4 orang, yang baik ada 4 orang, dan sangat baik ada 6 orang. Perempuan ada 13 orang yang mempunyai kemampuan komunikasi verbal tidak baik ada 1 orang, yang baik ada 8 orang, dan sangat baik ada 4 orang.

Townsend (2009) mengatakan bahwa jenis kelamin akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan komunikasi karena jenis kelamin laki-laki dan perempuan menunjukkan gaya komunikasi yang berbeda dan memiliki

(50)

interpretasi yang berbeda terhadap suatu percakapan. Potter & Perry (2005) mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi porses komunikasi, karena komunikasi merupakan media tersampainya informasi. Keluarga dengan jenis kelamin perempuan akan menggunakan bahasa dalam mengungkapkan kasih sayang, berbeda dengan laki-laki yang menggunakan bahasa untuk hal-hal yang bersifat negosiasi dan kebebasan.

Sunaryo (2004) mengatakan bahwa perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan dari cara berpakaian dan melakukan pekerjaan sehari-hari, pria berperilaku atas dasar pertimbangan rasional atau akal sedangkan wanita atas dasar pertimbangan emosional dan perasaan sehingga terdapat kemungkinan wanita lebih peka terhadap munculnya tanda-tanda gangguan jiwa.

Berdasarkan tabel 4.12, dapat dilihat bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri. Untuk pekerjaan (dapat dilihat pada tabel 4.14), status perkawinan (dapat dilihat pada tabel 4.15), dan perawatan (dapat dilihat pada tabel 4.16) tidak ada hubungan dengan kemampuan komunikasi verbal klien menarik diri.

Peneliti berpendapat bahwa kemampuan komunikasi verbal seseorang dapat menurun tergantung dari situasi, kondisi, dan masalah dari seseorang itu. Jika mereka dapat menerima dengan ikhlas dan cepat, kemampuan komunikasi verbal tidak akan

(51)

terganggu tetapi jika seseorang belum dapat menerima dan mengikhlaskannya, ia akan cenderung menyendiri sehingga tidak mau berkomunikasi dengan orang lain.

Hasil penelitian ini didukung oleh Jumaini (2009) dalam Nyumirah (2012) yaitu tidak ada hubungan usia dengan kemampuan kognitif dalam menilai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan maupun kemampuan psikomotor dalam bersosialisasi klien isolasi sosial. Renidayati (2008) dalam Surtiningrum (2011), juga mengatakan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan antara usia klien skizofrenia yang menunjukkan isolasi sosial dengan peningkatan kemampuan kognitif dan perilaku.

Hasil lain yang mendukung penelitian ini dari Surtiningrum (2011) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan variabel pekerjaan dengan kemampuan afketif, psikomotor, kognitif dan sosial dalam bersosialisasi klien isolasi sosial. Hasil penelitian Knisely (1994) mengatakan bahwa perawatan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap fungsi dukungan sosial, perilaku mancari bantuan atau stress psikologis.

(52)

1.3. Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari keterbatasan dari penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi:

1.3.1. Jumlah klien menarik diri yang tidak sesuai dengan perencanaan awal dengan 31 responden kemudian berubah menjadi 27 responden karena jumlah klien menarik diri di Rumah Sakit Daerah Madani relatif kurang.

1.3.2. Jumlah klien menarik diri yang kurang membuat peneliti meluangkan banyak waktu hanya dengan menunggu pasien menarik diri yang baru.

Gambar

Tabel  4.1  Distribusi  Frekuensi  Berdasarkan  Jenis Kelamin Klien  Menarik Diri di  RSD Madani Palu (N: 27)
Tabel  4.2  Distribusi  Frekuensi  Berdasarkan  Umur  Klien  Menarik  Diri  di  RSD  Madani Palu (N: 27)
Tabel  4.3  Distribusi  Frekuensi  Berdasarkan  Tingkat  Pendidikan  Klien  Menarik  Diri di RSD Madani Palu (N: 27)  Pendidikan  Jumlah  Persentase
Tabel  4.4  Distribusi  Frekuensi  Berdasarkan  Pekerjaan Klien Menarik Diri di RSD  Madani Palu (N: 27)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menjalankan tugas dan fungsi, Kepala BP-PAUDNI wajib menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal dengan

Tujuan utama rancangan perniagaan ini adalah untuk memohan pinjaman kewangan daripada pihak MARA daerah Kuala Pilah berjumlah RM 118,000 bagi menjalankan projek ternakan

Hipotesis 3 menyatakan bahwa diduga belonging, communication, customization, differentiation, personalization, rewarding, security and convenience secara parsial mempunyai

Diketahui bahwa jenis gulma berdaun sempit di dataran rendah dan dataran tinggi tidak berbeda nyata pada sistem tanam S.R.I., sedangkan pada sistem

3) Tidak ada dukungan dari Dinas Perhubungan Kabupaten Klaten terbukti dengan tidak dilakukannya kerjasama atau koordinasi.. 4) Wilayah Kabupaten Klaten yang luas,

Berdasarkan hasil analisis teknik korelasi product moment Pearson diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,808 dan p = 0,000 (p &lt; 0,05) artinya ada

Historiografi relevan yang kedua yaitu skripsi yang berjudul “Peranan Divisi Siliwangi dalam Penumpasan Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat (1949- 1962)” yang ditulis oleh

Dolayısıyla eğer bir sigara yakmak gibi son de­ rece önemsiz ve basit bir işte bile insan bu kadar bilinçliy- se, ve kıvrılarak yükselen dumanı ve solukların düzenlen­ mesi,