• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. oleh perang, diskriminasi, dan eksterminasi yang terjadi sejak ratusan tahun telah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. oleh perang, diskriminasi, dan eksterminasi yang terjadi sejak ratusan tahun telah"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Pengalaman displacement atau perpindahan ruang tinggal yang disebabkan oleh perang, diskriminasi, dan eksterminasi yang terjadi sejak ratusan tahun telah menjadi bagian dari sejarah panjang bangsa Yahudi. Migrasi menjadi usaha bangsa Yahudi untuk membebaskan diri dari dominasi kekuasaan tertentu yang menghalangi ruang gerak mereka. Dominasi tersebut memanfaatkan stereotipe dan prasangka terhadap bangsa Yahudi untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan terhadap suatu wilayah atau space. Wilayah ini tidak hanya meliputi wilayah fisik, namun juga mental. Dominasi secara menyeluruh ini dapat mengakibatkan adanya perasaan inferior serta trauma bahkan setelah dominasi secara fisik berakhir. Contoh dari kondisi ini adalah trauma yang masih dirasakan oleh para korban Holocaust yang selamat dan keturunannya. Hal inilah yang membuat bangsa Yahudi di periode modern terus melakukan pencarian terhadap sebuah ruang yang membebaskan mereka dari dominasi baik fisik maupun mental lewat perpindahan ruang.

Kebutuhan akan ruang yang bebas bagi bangsa Yahudi menjadi sesuatu yang mutlak untuk menjawab urgensi tentang posisi mereka dalam konstelasi politik dan sosial di periode modern, terutama dalam hubungannya dengan periode pasca Holocaust. Hal ini karena Holocaust merupakan peristiwa dominasi dan genosida terbesar terhadap bangsa Yahudi di periode modern. Pengaruh Holocaust masih bisa dirasakan oleh para korban selamat dan keturunannya yang

(2)

identitasnya akan dan selalu dikaitkan dengan peristiwa tersebut. Ini mengakibatkan identitas bangsa Yahudi masih lekat dengan status sebagai korban yang menjadikan mereka berada dalam posisi inferior sebagai pihak yang terdominasi. Untuk keluar dari bayang-bayang Holocaust, ruang yang melabeli mereka dengan status inferior harus ditinggalkan melalui dislokasi untuk kemudian mencari ruang baru yang membebaskan.

Dislokasi tidak hanya menjadi akibat, namun juga strategi resistensi untuk membebaskan diri dari dominasi dari suatu ruang dalam rangka menemukan ruang atau space yang dianggap ideal. Oleh karena itu, dislokasi sangat mungkin dilakukan secara berkali-kali sampai menemukan ruang yang dianggap membebaskan. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, ruang yang dicari oleh bangsa Yahudi bukan hanya terbatas pada ruang fisik, namun juga ruang mental. Ruang mental meliputi seluruh aspek pemikiran bangsa Yahudi yang seringkali bersinggungan dengan pemikiran bangsa lain sebagai akibat dari dislokasi yang membuat diaspora mereka tersebar dan berbaur. Interaksi dengan bangsa lain rentan memicu marjinalisasi terhadap bangsa Yahudi karena adanya stereotipe dan prasangka yang selama ini membuat posisi mereka inferior. Karena itu, pencarian akan ruang yang membebaskan sebenarnya tidak hanya membuat bangsa Yahudi semakin kekurangan wilayah yang sesuai dan substansial, namun juga kekurangan ikatan terhadap ruang (Brauch et al., 2008: 1) karena harus berbagi dengan kekuasaan lain yang memiliki kemungkinan untuk melakukan dominasi.

(3)

Dalam kaitannya dengan perpindahan ruang bangsa Yahudi setelah Holocaust, migrasi yang dilakukan korban yang selamat ke negara-negara seperti Israel, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia menjadi eksodus terbesar yang ada dalam sejarah migrasi bangsa Yahudi di periode modern (Stark, 1999: 10) dengan jumlah migran lebih dari 125.000 jiwa yang terbagi dalam beberapa gelombang. Migrasi ini merupakan bentuk resistensi untuk membebaskan diri dari bayang-bayang trauma serta perubahan ekonomi, sosial, dan budaya di Eropa setelah Holocaust. Resistensi dalam bentuk dislokasi sebenarnya telah dimulai sejak Holocaust masih berlangsung. Pelarian sejumlah besar tawanan yang berada di kamp konsentrasi Sobibor pada Oktober 1943 (Jones, 2009: 248) merupakan salah satu contoh resistensi bangsa Yahudi melawan dominasi NAZI selama periode Holocaust. Dislokasi setelah Holocaust hanya semakin menegaskan bahwa kondisi sebuah ruang fisik yang damai tidak sepenuhnya menjamin adanya kebebasan dalam ruang mental.

Korban Holocaust yang melakukan migrasi ke beberapa wilayah di luar Eropa berusaha memutus ikatan fisik dengan ruang yang bisa mengingatkan mereka dengan peristiwa Holocaust. Namun, eksodus ke ruang yang baru tidak sepenuhnya membebaskan mereka dari rasa trauma. Trauma yang disebabkan Holocaust turut dibawa oleh para imigran di tempat tinggal barunya. Trauma ini juga diturunkan ke generasi selanjutnya yang bahkan tidak memiliki pengalaman langsung dengan Holocaust. Kondisi ini membuktikan bahwa keberadaan ruang baru tidak menjamin didapatkannya kebebasan yang dicari selama bangsa Yahudi masih dianggap inferior. Di Amerika Serikat, bangsa Yahudi adalah bangsa

(4)

minoritas sedangkan posisi dominan diduduki oleh WASP (White Anglo Saxon Protestants). Status bangsa Yahudi di Amerika Serikat masih dianggap sebagai imigran yang masih lekat dengan stereotipe dan prasangka yang sering digunakan untuk memarjinalkan posisi mereka dalam relasi berbangsa dan bernegara, baik itu sosial, ekonomi, maupun budaya. Stereotipe dan prasangka ini dapat dilihat dalam budaya populer Amerika. Film klasik The Jazz Singer (1927) menjadi salah satu patron awal bagaimana bangsa Yahudi direpresentasikan dalam budaya populer. Mengutip Sander Gilman, baik itu stereotipe positif maupun negatif tentang bangsa Yahudi dalam poses produksi kreatif sebagai bagian dari budaya populer, keduanya tetap akan bermuara pada usaha melanggengkan stereotipe tersebut (Levinson, 2008: 7). Masih adanya stereotipe dan prasangka yang dilabelkan pada bangsa Yahudi merupakan akibat dari sejarah panjang marjinalisasi yang dialami di Eropa.

Bangsa Yahudi di Eropa tidak dianggap sebagai bagian integral dari masyarakat Eropa baik secara sosial maupun budaya. Hal ini disebabkan karena praktik keagamaan dan tata cara dalam kehidupan keseharian mereka yang dipengaruhi oleh Torah Yudaisme dianggap sangat berbeda dengan praktik keagamaan mayoritas bangsa Eropa yang memeluk agama Kristen. Mayoritas bangsa Yahudi menetap dalam komunitas khusus Yahudi yang terpisah dari masyarakat umum di suatu lokasi. Keeksklusifan ini membuat mereka rentan untuk dicurigai (Johnson, 2013: 134). Tata cara peribadatan dan keseharian bangsa Yahudi yang dianggap aneh oleh masyarakat Eropa membuatnya diasosiasikan dengan paganisme dan sihir. Situasi ini membuat posisi mereka

(5)

menjadi Liyan dalam relasi sosial budaya dengan bangsa Eropa. Karena status Liyannya ini, bangsa Yahudi sering menjadi target kebencian dan pemusnahan. Tercatat bahwa bangsa Yahudi yang populasinya tersebar di beberapa wilayah Eropa Barat dan Timur sering menjadi target pogrom atau pemusnahan etnis yang dilakukan oleh komunitas Kristen Eropa setempat. Tidak jarang pogrom dipimpin oleh pemimpin agama setempat. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1247, dua pemuka Fransiskan di Inggris tercatat memimpin pogrom pada komunitas Yahudi di wilayah Valreas (Johnson, 2013: 216). Eksterminasi bangsa Yahudi oleh NAZI lewat Holocaust merupakan usaha dominasi yang merupakan warisan dari relasi sosial dan budaya Eropa yang berbasis pada kategorisasi Liyan dan non-Liyan.

Dalam konteks modern, stereotipe dan prasangka terhadap bangsa Yahudi tidak benar-benar hilang. Trauma akan Holocaust yang masih dirasakan oleh para korban yang selamat dan keturunannya di tempat tinggal yang baru dipengaruhi oleh derajat kekejaman Holocaust serta masih adanya prasangka dan stereotipe di ruang tinggal yang baru. Trauma membuat para imigran tidak mampu untuk mengkomunikasikan level kekejaman serta penderitaan yang terjadi pada diri mereka secara langsung. Pada akhirnya mereka memilih bersikap diam. Dalam banyak kasus, ditemukan keluarga imigran Holocaust yang menolak untuk membicarakan pengalamannya selama Holocaust terjadi (Ilic, 2010: 11). Kondisi ini mempengaruhi hubungan antara imigran Yahudi yang selamat dan keturunannya sehingga menyebabkan keturunan mereka turut merasakan trauma sebagai akibat dari Holocaust. Trauma ini lebih dirasakan oleh para keturunan jika

(6)

ruang tempat mereka tinggal masih memelihara stereotipe dan prasangka tertentu pada bangsa Yahudi.

Menulis menjadi cara yang umum dilakukan oleh para imigran dan keturunannya untuk mengkomunikasikan trauma yang mereka rasakan sekaligus mempertanyakan kembali posisi mereka pasca Holocaust. Tidak mengherankan jika sastra Holocaust sering disebut dengan “trauma narratives” atau narasi tentang trauma. Pertanyaan mengenai status dan posisi bangsa Yahudi di periode pasca Holocaust menjadi topik yang sering dibahas dalam karya Sastra Holocaust. Bangsa Yahudi modern perlu memetakan posisi mereka di ruang tempat mereka berada untuk meyakinkan bahwa mereka tidak lagi rentan menjadi target marjinalisasi kekuasaan tertentu sebagai akibat dari sejarah panjang status Liyan mereka. Hal ini membuat diskusi tentang pencarian ruang yang dianggap ideal oleh bangsa Yahudi di era modern menjadi isu yang relevan dalam Sastra Holocaust.

Salah satu cara pencarian ruang ideal yang digunakan oleh para penulis sastra Holocaust modern adalah dengan mengangkat topik tentang dislokasi. Sebagai sebuah “nasib”, dislokasi yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Yahudi digunakan sebagai cara untuk membebaskan diri dari ruang yang diskriminatif dan dominan. Salah satu penulis sastra Holocaust modern yang mengusung tema pencarian tentang ruang yang ideal bagi bangsa Yahudi melalui dislokasi adalah Joseph Skibell lewat karyanya yang berjudul A Blessing on the Moon. Skibell merupakan keturunan kedua dari imigran korban Holocaust yang bermigrasi ke Amerika Serikat atau biasa disebut generasi ketiga. A Blessing on

(7)

the Moon adalah sebuah karya yang mengisahkan perjalanan seorang Yahudi Polandia bernama Chaim Skibelski yang berusaha untuk menemukan akhirat, sebuah lokasi yang dianggap bisa membebaskan bangsa Yahudi dari penderitaan selama di dunia. Chaim Skibelski sebenarnya adalah kakek buyut sang penulis yang meninggal di kamp konsentrasi NAZI. Skibell tumbuh dalam keluarga besar yang menolak untuk membahas Holocaust yang telah merenggut sebagian besar saudara kandung kakeknya. Lewat tulisannya, ia berusaha melakukan negosiasi terhadap masa lalu, sebuah tindakan yang bertujuan untuk bisa mengakses masa lalu, sekaligus mengontrolnya (Langdon, 2012: 4). Cerita personal yang dibungkus dengan gaya realisme magis ini merupakan cara Skibell sebagai penulis untuk membebaskan diri dari trauma masa lalu yang dirasakan oleh dirinya dan keluarganya dengan cara mengontrol masa lalu kakeknya lewat tulisan. Tujuan ini dapat diakomodasi oleh genre realisme magis yang digunakan dalam novelnya.

Perjalanan tokoh utama Chaim Skibelski dalam mencari akhirat merupakan representasi dari dislokasi yang dilakukan secara kontinu oleh bangsa Yahudi untuk mencari sebuah ruang yang bebas dari trauma masa lalu dan berbagai bentuk tekanan serta dominasi yang berakar dari stereotipe dan prasangka. Di dalam dislokasi tersebut, Skibell menyisipkan usaha resistensi tokoh utama terhadap kekuasaan dominan yang terdapat dalam setiap ruang yang dikunjunginya. Dominasi yang dipelihara oleh kekuasaan tertentu di dalam ruang dapat dilihat dari struktur atau tata ruang yang berada di dalam suatu lokasi. Di dalam ruang-ruang tersebut, tokoh utama harus melakukan resistensi terhadap

(8)

struktur yang dianggap membelenggu. Kegagalan dalam melakukan perlawanan terhadap struktur ruang tertentu akan berakibat pada dislokasi yang terus membawa sang tokoh utama untuk melanjutkan migrasi ke lokasi spasial berikutnya demi menemukan ruang dengan kualitas yang membebaskan.

Analisis tentang struktur ruang yang memiliki dominasi terhadap kebebasan Skibelski sebagai tokoh utama dan usaha resistensi Skibelski terhadapnya merupakan topik utama dalam penelitian ini. Ruang dalam konteks pengalaman relasi kuasa antara bangsa Yahudi dan kekuasaan tertentu bukanlah ruang yang homogen. Hal ini karena ruang atau space merupakan sebuah area yang tidak hanya berbentuk ruang fisik. Ia juga sarat dengan berbagai kepentingan. Ada berbagai macam lokasi spasial dengan skala bervariasi yang turut membentuk pengalaman Skibelski dalam mencari ruang ideal. Ruang-ruang tersebut akan dijabarkan strukturnya dalam penelitian ini.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijabarkan di bagian sebelumnya, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana tata ruang yang ideal bagi bangsa Yahudi dalam novel A Blessing on the Moon karya Joseph Skibell?

2. Apa konteks relasi kuasa yang bisa ditarik dari novel tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan sekaligus menganalisis relasi kuasa antara bangsa Yahudi dan kekuasaan tertentu yang terdapat di berbagai skala dan tata ruang dalam sastra Holocaust berjudul A Blessing on the Moon.

(9)

Dengan mengetahui relasi kuasa tersebut, dapat dijelaskan kontribusi sastra Holocaust terhadap diskusi mengenai trauma, dislokasi, dan pencarian lokasi spasial yang dianggap ideal bagi para imigran Holocaust dan keturunannya di periode modern.

1.4. Tinjauan Pustaka

Bagian berikut ini akan menelusuri penelitian-penelitian baik dalam bentuk tesis, disertasi, maupun jurnal yang menganalisis novel berjudul A Bleesing on the Moon karya Joseph Skibell serta penelitian-penelitian lain yang menggunakan teori spasial milik Sara Upstone. Dari beberapa penelitian tentang novel A Blessing on the Moon, mayoritas menyoroti genre realisme magis yang diusung novel dan kontribusi genre tersebut dalam menyampaikan tema-tema terkait Holocaust.

Penelitian pertama yang terkait genre realisme magis adalah sebuah tesis berjudul A Blessing on the Moon: Between Magic and Reality (2010) yang ditulis oleh Kirsten Renders. Dalam penelitian ini, penulis menjelaskan istilah-istilah yang berkaitan erat dengan genre realisme magis, seperti magis, realisme, fantasi, dan surealisme. Istilah-istilah tersebut selanjutnya disebut sebagai beberapa karakteristik yang menjadi ciri karya realisme magis. Beberapa kutipan dalam novel digunakan untuk mendukung keberadaan karakteristik-karakteristik tersebut yang pada akhirnya membuktikan bahwa novel A Blessing on the Moon layak disebut sebagai novel bergenre realisme magis. Dalam proses pembuktian tersebut, penulis tidak menggunakan parameter atau standar tertentu untuk menentukan kadar realisme magis dalam sebuah novel. Berbagai istilah yang

(10)

dibahas dalam penelitian ini merupakan istilah umum yang biasa digunakan untuk mewakili sifat nyata, magis, dan gabungan dari keduanya dalam karya sastra.

Selain membahas dan menunjukkan genre novel A Blessing on the Moon, tesis tersebut juga menyajikan dua isu yang menjadi diskusi utama dalam novel, seperti Holocaust dan trauma. Trauma dan Holocaust yang dibahas dalam tesis tersebut berbeda dengan trauma dan Holocaust yang dimaksud oleh penulis dalam penelitian ini. Trauma dan Holocaust yang dibahas dalam novel tersebut adalah trauma dan Holocaust yang dialami oleh tokoh utama. Disebutkan bahwa trauma dan Holocaust mempengaruhi perjalanan yang dilakukan tokoh utama dalam menemukan akhirat. Berbeda dengan tesis tersebut, penelitian ini menempatkan trauma dan Holocaust bukan sebagai pembahasan utama dalam novel melainkan sebagai tema besar yang melatarbelakangi penulisan novel. Dari ulasan tersebut, nampak bahwa ulasan tentang lokasi-lokasi yang merupakan bagian dari perjalanan tokoh utama belum masuk di dalam diskusi penelitian ini.

Penelitian kedua yang terkait genre realisme magis adalah sebuah artikel berjudul Narrative Techniques and Holocaust Literature: Joseph Skibell’s A Blessing on the Moon (2005) dalam Jurnal Studies of American Jewish Literature yang ditulis oleh Pamela Stadden. Artikel ini bertujuan untuk mengurai kesulitan yang umumnya ditemui pembaca dalam memahami isu Holocaust yang terdapat dalam novel bergenre realisme magis. Hal ini karena unsur magis dalam genre realisme magis umumnya dianggap tidak memenuhi standar tradisional tentang struktur, karakter, dan simbolisasi yang digunakan narasi fiksi untuk menggambarkan kejadian nyata (Stadden, 2005: 154). Pembaca akan terjebak

(11)

dengan narasi magis dari teks sehingga menganggap bahwa narasi Holocaust bergenre realisme magis sepenuhnya adalah fiksi.

Untuk menghindari situasi tersebut, artikel ini memberikan contoh bagaimana memaknai berbagai hal magis dalam novel yang pada dasarnya merupakan simbolisasi dari kejadian nyata dalam peristiwa Holocaust. Sebagai contoh, bulan yang dicuri merupakan representasi dari rasa kemanusiaan yang menghilang. Prajurit yang kehilangan kepala merupakan simbol dari penyesalan tentara SS yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan bangsa Yahudi. Dari uraian yang disampaikan oleh penulis, belum terdapat interpretasi dan penjelasan tentang “The World to Come” atau akhirat sebagai ruang yang paling ingin dituju oleh tokoh utama. Hal ini membuat lokasi-lokasi yang dikunjungi tokoh utama sebelum sampai ke akhirat serta akhirat tidak mendapat ulasan yang signifikan dalam penelitian tersebut.

Penelitian ketiga adalah tesis berjudul Rewriting the Violent Past: The Intersection of Trauma and Magical Realism in Joseph Skibell’s A Blessing on the Moon and Téa Obhret’s The Tiger’s Wife (2014) yang ditulis oleh Fien Decavele. Penelitian ini mencoba untuk mencari pertemuan atau hubungan antara isu trauma dan genre realisme magis yang terdapat dalam dua buah novel. Menggunakan teori Eugene Arva dan Jenni Adam tentang imajinasi traumatik dan realisme magis, penelitian ini berusaha melihat bagaimana pikiran traumatik bekerja serta bagaimana isu tentang pencarian jalan keluar dan konsolasi dielaborasi dalam novel. Kesimpulan dari teori ini menyebutkan bahwa masing-masing novel mempertemukan trauma dan realisme magis dengan cara yang berbeda. Novel

(12)

Skibell lebih menggunakan pendekatan traumatik yang diajukan oleh Arva sedangkan novel karya Obhret lebih dekat pada teori Adam. Penelitian ini juga menemukan satu karakteristik tambahan dari novel berbasis trauma yang sangat berkorelasi dengan genre realisme magis, yaitu disorientasi (Decavele, 2014: 72).

Karena mengelaborasi aspek traumatik yang ditemukan dalam novel dan mengaitkannya dengan realisme magis, analisis yang dilakukan lebih banyak bertumpu pada memori, perasaan, dan relasi tokoh utama dengan tokoh lain tanpa mengungkap latar tempat di mana hal-hal tersebut terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa diskusi tentang ruang masih belum ditemukan dalam penelitian ini.

Penelitian keempat adalah sebuah artikel yang ditulis dalam An Interdisciplinary Journal of Jewish Studies berjudul Unclaimed Experience: Trauma and Identity in Third Generation Writing about the Holocaust (2010) yang ditulis oleh Alan L. Berger. Penelitian ini berusaha untuk membahas cara yang dilakukan tiga penulis sastra Holocaust generasi ketiga dalam mengkomunikasikan warisan pengalaman Holocaust yang traumatik lewat novel. Penelitian ini menyimpulkan bahwa karya sastra Holocaust yang ditulis oleh generasi ketiga bervariasi dalam genre dan cerita serta cenderung dipengaruhi oleh isu posmodernisme (Berger, 2010: 157). Topik utamanya bukan lagi Holocaust, namun berlangsungnya dan berlanjutnya kehidupan setelah Holocaust. Salah satu dari karya yang dibahas adalah A Blessing on the Moon. Penulis memperlihatkan bahwa mitos dan ritual dalam budaya Yahudi yang dimunculkan oleh Skibell dalam novelnya berfungsi sebagai pertolongan spiritual. Hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa identitas keyahudian di masa posmodernisme

(13)

masih tidak bisa dilepaskan dari Holocaust dan budaya Yahudi. Holocaust oleh para generasi ketiga dianggap sebagai sejarah sekaligus masa depan.

Bahasan mengenai lokasi-lokasi yang dikunjungi tokoh utama selama migrasinya masuk dalam pembahasan penelitian ini. Namun, pembahasan tersebut lebih kepada kaitan antara tempat-tempat tersebut dan ajaran-ajaran Talmundic. Misalnya, dalam Talmundic, The World to Come atau akhirat dimaknai sebagai Olam Ha’ba yang merupakan destinasi akhir dalam perjalanan manusia. Penelitian ini belum mengungkap kontribusi dan makna dari struktur ruang yang dimiliki akhirat dan juga ruang-ruang lain yang dikaitkan dengan ajaran Talmundic terhadap usaha pembebasan dan resistensi yang dilakukan bangsa Yahudi di periode modern.

Selain penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap novel A Blessing on the Moon, penulis juga menemukan tiga penelitian yang menggunakan teori politik spasial Sara Usptone. Ketiganya adalah tesis berjudul Ruang Pascakolonial dalam The God of Small Things Karya Arundhati Roy oleh Endang Suciati, Ruang Pascakolonial dalam Doctor Wooreddy’s Prescription for Enduring the Ending of the World Karya Colin Johnson oleh Eni Purwanti, dan Ruang Pascakolonial dalam Kitchin karya Yoshimoto Banana oleh Wury Dwiwardani. Ketiga penelitian tersebut memiliki fokus yang sama, yaitu mengungkap ruang alternatif yang ditawarkan oleh sebuah novel yang berlatar situasi pascakolonial. Karya pertama mengungkap adanya transgresi terhadap batas-batas dan aturan yang terdapat dalam sebuah lokasi berskala rumah dan

(14)

pencarian alternatif tempat di luar rumah sebagai usaha membebaskan diri dari aturan dan batas tersebut.

Penelitian kedua menitikberatkan pada usaha pemerintah kolonial Australia untuk mengkoloni sebuah lokasi berskala kota dengan menciptakan batas, tatanan, dan aturan dalam lokasi tersebut. Hal ini menimbulkan resistensi dari masyarakat Aborigin sebagai penduduk asli lokasi. Resistensi dilakukan dengan cara mencari ruang alternatif. Ruang yang ditemukan berada di dalam hutan dan berbasis komunitas. Sejalan dengan dua penelitian sebelumnya, penelitian ketiga menyoroti kolonisasi budaya di Jepang yang nampak dalam struktur rumah Jepang. Adanya pemaksaan dari pihak kolonial dan penolakan dari budaya Jepang untuk mengikuti paksaan tersebut pada akhirnya memunculkan sebuah gagasan baru yang muncul dari kondisi chaos dan tidak mewakili kedua kubu.

Ketiga penelitian tentang ruang tersebut hanya berfokus pada satu skala ruang. Apabila terdapat ruang yang muncul di luar lokasi yang menjadi fokus, ruang tersebut merupakan akibat dari resistensi yang dilakukan untuk keluar dari aturan dan batas yang dimiliki ruang pertama. Keterbatasan pembahasan tentang variasi skala ruang dalam penelitian-penelitian tersebut tidak dapat digunakan untuk membuktikan teori Upstone yang menyatakan bahwa ruang dengan skala paling kecil memiliki kualitas resistensi terbesar. Berbeda dengan ketiga penelitian tentang ruang sebelumnya, penelitian ini akan menunjukkan adanya variasi skala ruang yang berujung pada variasi strategi resistensi. Pada akhirnya, penelitian ini akan menunjukkan sekaligus membuktikan apakah tubuh sebagai

(15)

ruang dengan skala terkecil yang terdapat dalam objek material penelitian dapat menjadi ruang pembebasan paling signifikan. Analisis ruang dengan skala yang bervariasi juga akan memberi kesempatan untuk melihat tipe perkembangan ruang yang terdapat dalam novel A Blessing on the Moon.

1.5. Landasan Teori

Untuk melakukan analisis mengenai tata ruang pada novel A Blessing on the Moon dan marjinalisasi pada bangsa Yahudi secara umum, teori politik spasial Sara Upstone dan teori tentang Liyan yang terdapat dalam Orientalisme karya Edward Said digunakan. Kedua teori tersebut akan membantu untuk menganalisis dislokasi yang dialami oleh tokoh utama sebagai usaha untuk keluar dari dominasi kekuasaan tertentu dalam sebuah ruang yang tidak bebas. Dislokasi dapat diposisikan sebagai bentuk penolakan atas segala bentuk tekanan kolonial (Bhabha, 1994: 41). Dislokasi dalam hal ini diposisikan sebagai strategi, bukan lagi sebuah akibat yang harus diterima begitu saja.

1.5.1. Ruang dalam Politik Spasial

Diskusi tentang politik kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari isu ruang (space). Sebuah kekuasaan menggunakan ruang sebagai sarana untuk menjalankan sistem politiknya. Ruang yang awalnya bebas didesain sedemikian rupa sehingga dapat mengakomodasi tujuan-tujuan politik dari suatu kekuasaan dengan cara membuat batas-batas pada ruang tersebut. Batas-batas pada akhirnya menimbulkan subdivisi pada sebuah ruang sehingga ruang yang awalnya bebas dan chaotic berubah menjadi sebuah place yang homogen serta penuh aturan dan pengawasan. Usaha membuat batas-batas dalam ruang yang bebas disebut sebagai

(16)

apropriasi. Dengan apropriasi, keadaan yang terkontrol dan homogen tersebut dibuat seolah-olah sebagai sesuatu yang alamiah (Upstone, 2009: 4). Hasil dari apropriasi terhadap ruang untuk mengakomodasi tujuan politik adalah munculnya sebuah teritori yang memiliki batas dan aturan tertentu. Namun, ruang tidak dapat benar-benar dikontrol karena setiap kali kekuasaan berusaha melakukan overwriting terhadap ruang, jejak-jejak yang berusaha dihapus oleh penguasa sebenarnya tidak benar-benar hilang. Dalam istilah Derrida, jejak-jejak tersebut bukanlah remah-remah yang tertinggal dari masa lalu ataupun apa yang akan muncul di masa depan. Jejak-jejak sudah berada di sana sejak awal, bahkan sebelum berawalnya sebuah ruang (Derrida, 1998: 67-8). Hal ini membuat ruang tidak bisa dibuat homogen sepenuhnya karena ia memiliki jejak-jejak dari apa yang dicoba untuk dihapus oleh kekuasaan. Jejak-jejak yang tertinggal mengindikasikan adanya keanekaragaman tradisi dan budaya di dalam ruang yang diklaim homogen oleh kekuasaan tertentu.

Politik spasial merupakan sebuah teori yang menempatkan ruang (space) sebagai sebuah konteks yang penting untuk mendiskusikan isu-isu seperti relasi kuasa dan negosiasi identitas (Upstone, 2009: 2). Ruang yang bebas memiliki keanekaragaman budaya dan tradisi di dalamnya sehingga perlawanan terhadap dominasi kekuasaan yang melakukan apropriasi terhadap ruang dapat dilakukan dengan cara mengembalikan kondisi ruang menjadi cair dan chaotic. Awalnya, chaos yang berada dalam sebuah ruang dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk melakukan kontrol secara efektif. Untuk mengembalikan kebebasan dan kecairan di dalam ruang yang sudah terkontrol dan terdominasi, chaos harus dimunculkan

(17)

kembali. Istilah chaos dalam konteks ruang bukanlah merupakan sesuatu yang negatif melainkan menunjukkan sebuah situasi positif di mana keanekaragaman dapat terakomodasi dalam situasi yang cair sehingga dapat menawarkan makna (Upstone, 2009: 12).

Kondisi chaotic yang diciptakan sebagai perlawanan terhadap dominasi kekuasaan tertentu mewujud sebagai post-space atau pasca-ruang. Ini untuk membedakannya dengan ruang (space) sebelum didominasi oleh kekuasaan tertentu. Post-space menjadi sarana untuk melihat kembali posisi masyarakat dan isu-isu seperti identitas sebagai konsekuensi dari adanya sejarah yang beragam (Upstone, 2009: 15). Sastra menjadi sarana yang sesuai untuk membawa kembali isu-isu tersebut karena sastra selalu mengungkapkan jejak-jejak dan chaos, termasuk yang terdapat dalam lokasi spasial (Upstone, 2009: 19). Sastra memiliki kapasitas untuk menampilkan kompleksnya kepentingan serta sistem ideologi dan sekaligus mampu melakukan identifikasi terhadap kepentingan dan ideologi tersebut (Loomba, 1998: 70). Para penulis sastra menawarkan sebuah solusi untuk keluar dari ruang yang telah dibatasi (place) ke lokasi post-space dengan cara menyajikan keadaan yang chaotic untuk mengimajinasikan kembali adanya ruang yang tanpa batas (Upstone, 2009: 12). Teks-teks sastra memiliki struktur sendiri dengan makna yang menunggu untuk diungkap. Karena place adalah sebuah ruang dengan batas-batas yang imajiner, teks yang dibutuhkan untuk menghadirkan kembali chaos yang disebabkan batas-batas itu adalah teks yang memiliki kualitas imajiner dan dapat menginterogasi realisme konvensional yang

(18)

selama ini dianut. Teks yang dapat memenuhi kualitas ini adalah teks bergenre realisme magis (Upstone, 2009: 20).

Cara para penulis menghadirkan post-space adalah dengan pergerakan dari place ke post-space. Pergerakan bisa dilakukan ke ruang yang skalanya lebih luas atau lebih sempit (Upstone, 2009: 33). Ruang yang skalanya lebih luas bisa diwakili oleh relasi global atau pergerakan ke arah trans-nasional. Ruang yang skalanya lebih sempit ditunjukkan oleh interaksi yang lebih personal dalam ranah yang lebih kecil, seperti komunitas atau keluarga mengingat ruang adalah produk interrelasi yang dibangun lewat interaksi mulai dari skala yang global sampai sempit. Alternatif ruang yang skalanya lebih kecil terdiri dari kota, rumah, dan tubuh. Berikut adalah pembahasan alternatif-alternatif skala ruang tersebut.

a. Kota

Kota tidak dapat dipisahkan dari wacana tentang utopia sebagai sebuah ruang untuk mewujudkan mimpi di mana keinginan pribadi dan harapan komunal dapat diwujudkan secara bersama-sama. Namun cita-cita tentang keadaan yang ideal ini sangat kontras dengan kenyataan yang terjadi. Kota, walaupun memiliki skala yang lebih kecil dari negara, masih memiliki batas dan aturan yang merupakan produk dari dominasi kekuasaan tertentu (Upstone, 2009: 86). Hal ini membuat kota terjebak pada kekuasaan yang sama sehingga menghalangi utopia untuk diwujudkan.

Keadaan kota yang terdiri dari berbagai kepentingan individu dan kelompok membuat cita-cita tentang sebuah utopia yang bisa menampung keinginan semua individu dan kelompok sulit terwujud. Dalam keadaan yang

(19)

sangat subjektif tersebut, utopia seorang individu dapat menjadi distopia bagi individu yang lain (Upstone, 2009: 93).

Dua strategi yang diperlukan oleh sebuah ruang berskala kota untuk melawan dominasi kekuasaan yang membelenggu kebebasan penduduknya adalah karnivalisasi (carnivalisation) dan perpindahan (displacement). Karnivalisasi adalah kondisi di mana keberagaman, hibriditas, dan aksi yang merupakan representasi identitas dirayakan sehingga dapat mengalahkan wacana kekuasaan utama dalam ruang publik (Upstone, 2009: 106). Perpindahan adalah kondisi di mana kota secara perlahan melakukan perpindahan ke struktur-struktur mikro atau ke ruang-ruang dengan skala yang lebih kecil yang terdapat dalam lingkup kota. Resistensi untuk melawan dominasi kekuasaan tertentu di dalam ruang dengan skala kota hanya akan berhasil apabila dua strategi tersebut digabungkan.

b. Rumah

Apa yang kurang dari ruang berskala kota adalah tidak adanya pengalaman yang lebih intim dengan ruang. Rumah menjadi ruang yang dapat menyediakan keintiman tersebut karena memiliki skala yang lebih sempit dari kota dan berfungsi sebagai pusat dari pengalaman hidup (Upstone, 2009: 115). Rumah menjadi arena bagi pertarungan kekuasaan karena ia merupakan representasi dari keadaan politik dalam skala yang lebih luas. Di dalam rumah terdapat batas-batas dan aturan yang membuat kecairan dan kebebasan di dalam rumah tertutup oleh kondisi yang homogen, stabil, dan berada di bawah naungan normalitas domestik (Upstone, 2009: 119). Sebagai akibatnya, rumah menjadi sebuah teritori yang sama sekali terpisah dari lingkungan publik yang berada di luar batas rumah.

(20)

Untuk menjadikan rumah sebagai sebuah ruang dengan politik internalnya sendiri yang terbebas dari dominasi kekuasaan tertentu, dua strategi harus dilakukan. Yang pertama adalah mereklamasi status rumah sebagai sebuah ruang yang bebas dari tugas untuk melayani kepentingan dari kekuasaan tertentu. Kedua, memasukkan keanekaragaman lewat berbagai jenis konstruksi dalam rumah dan isinya. Hal ini akan memberi rumah identitas tersendiri yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Usptone, 2009: 119).

Menciptakan chaos adalah bagian dari resistensi untuk melawan dominasi kekuasaan. Di dalam rumah, dua strategi sebelumnya dapat diwujudkan dengan menciptakan chaos yang dapat menghapus batas antara ruang yang bersifat publik dan privat sehingga rumah berada dalam kondisi yang cair (Upstone, 2009: 119). Rumah tidak lagi menjadi representasi dan mendukung cita-cita dari wacana kekuasaan tertentu namun menenggelamkannya dengan cara menyingkap nilai-nilai budaya yang spesifik, prasangka, dan keterbatasan di dalam rumah. Ketika harmoni yang dijaga lewat aturan dan batasan di dalam rumah telah dilanggar, celah untuk negosiasi kekuasaan dan hierarki, serta ketegangan di dalamnya akan terlihat.

c. Tubuh

Tubuh dianggap sebagai ruang paripurna yang paling kuat untuk melakukan resistensi (Upstone 2009: 147). Ruang spasial yang lain bisa dimengerti perannya dengan cara melihat pengaruh mereka terhadap tubuh dan sebaliknya, peran tubuh dalam konstruksi ruang-ruang spasial tadi. Beragam

(21)

interaksi serta pengalaman yang terjadi dalam berbagai skala ruang akan bermuara sekaligus bersumber dari tubuh sebagai ruang yang paling personal dan intim.

Selama ini tubuh digunakan sebagai investasi dari kekuasaan tertentu. Pertarungan antar kekuasaan menggunakan tubuh sebagai objek penaklukannya dengan menciptakan hierarki dan mitos tentang adanya tubuh yang inferior sehingga menjustifikasi adanya penaklukan (Upstone, 2009: 151). Untuk bisa keluar dari dominasi tersebut, resistensi dilakukan dengan cara mengakui adanya tubuh yang magis dan metamorfis untuk melawan tubuh padat yang selama ini dijadikan objek kekuasaan tertentu (Upstone, 2009: 162). Adanya transformasi tubuh sebagai jalan untuk keluar dari dominasi sangat mungkin terjadi.

Tubuh memiliki kemampuan untuk menjadi chora. Tubuh sebagai chora hadir sebelum segala bentuk dan makna ada karena definisi. Ia, oleh karena itu, tidak dapat didefinisikan. Ia adalah tubuh di luar budaya. Chora merupakan tubuh sekaligus bukan tubuh. Bentuknya tidak tetap dan melakukan transformasi untuk menghindari kungkungan yang disebabkan oleh aturan. Tubuh sebagai chora memiliki identitas yang cair dan menolak dikurung dalam batas dan aturan tertentu (Upstone, 2009: 164). Hal inilah yang membuat tubuh sebagai ruang dengan skala paling kecil menjadi post-space yang paling signifikan. Skala ruang paling kecil menjadi yang paling signifikan karena sebanyak dan sekuat apapun aturan dan batas yang ditetapkan oleh kekuasaan tertentu, ada pengalaman intim yang tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh kekuatan dari luar (Upstone, 2009: 179).

(22)

1.5.2. Other atau Liyan dalam Orientalisme

Pembagian dunia menjadi Timur dan Barat adalah produk utama dari Orientalisme. Orientalisme merupakan sebuah sistem pengetahuan yang dibangun berdasarkan perbedaan secara ontologis dan epistemologis antara Orient (Timur) dan Occident (Barat) atau Eropa (Said, 1979: 2). Pengetahuan ini bersumber dari imajinasi bangsa Eropa tentang adanya sebuah bangsa dan wilayah yang berbeda dari mereka. Bangsa dan wilayah di Timur dalam imajinasi bangsa Eropa merupakan sebuah lokasi yang masih terasing dan dihuni oleh bangsa yang primitif. Sistem pengetahuan tentang Timur yang serba terbelakang dan negatif memiliki peran yang signifikan dalam mengonstruksi gambaran tentang bangsa dan budaya Eropa sebagai yang lebih unggul. Sebagai produk dari Orientalisme, Timur disebut sebagai Liyan atau Other. Oleh karena itu, identitas yang disematkan pada bangsa Timur bukanlah sesuatu yang esensial melainkan hasil konstruksi secara diskursif (Faruk, 2007: 7). Selama ini, Timur yang digambarkan sebagai Liyan membantu mendefiniskan Barat sebagai bangsa dengan budaya, pengalaman, ide, dan kepribadian yang berlawanan dengannya. Gambaran tentang Timur yang tidak beradab dan tidak logis adalah sebuah kata lain untuk menyampaikan ide bahwa bangsa Eropa adalah bangsa yang beradab dan logis. Hal ini membuat Orient menjadi bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari usaha untuk mendefiniskan peradaban dan kebudayaan material Eropa.

Sebagai sistem pengetahuan yang terdiri dari teori dan praktik, Orientalisme terus dipelihara lewat material investment atau investasi material berupa karya sastra, seni, dokumen politik, dan lain sebagainya (Said, 1979: 6).

(23)

Gambaran tentang Timur sebagai Liyan yang inferior dan lemah dipupuk lewat adanya pertukaran dinamis antara karya tulis para penulis Barat dan kepentingan politik bangsa Eropa (Said, 1979: 14-15). Pengetahuan tersebut semata representasi yang tidak memiliki sangkut paut dengan kondisi bangsa Timur yang sebenarnya. Keberadaan pembaca yang bersepakat terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh pengetahuan tersebut membuat Orientalisme berdiri sebagai sebuah sistem pengetahuan kokoh dan dipercaya masyarakat Barat. Pengetahuan yang bersumber dari imajinasi dan dituangkan dalam tulisan inilah yang nantinya digunakan sebagai legitimasi bangsa Eropa dalam melakukan dominasi terhadap bangsa-bangsa di Timur.

Legitimasi yang diberikan Orientalisme untuk melakukan dominasi terhadap Timur membuat Orientalisme berfungsi tidak hanya sebagai ilmu pengetahuan, namun juga sebagai wacana. Orientalisme bisa diposisikan sebagai sebuah institusi yang berurusan dengan Timur. Ia berfungsi dengan cara membuat pernyataan tentang Timur, merebut kewenangan pandangan-pandangan tentangnya, mendeskripsikannya, mengajarinya, mendudukinya, dan menguasainya. Singkatnya, sebagai sebuah wacana, Orientalisme menjadi sebuah cara Barat untuk mendominasi, menata kembali, dan melakukan klaim terhadap Timur (Said, 1979: 3) dengan mendudukkannya sebagai Liyan. Dengan Orientalisme, bangsa Barat memiliki kekuatan dan legitimasi untuk mendefinisikan dan menguasai Timur tanpa memberi hak kepada Timur untuk bisa mendefiniskan diri mereka sendiri. Relasi antara Orient dan Occident adalah relasi kuasa, dominasi, dan hegemoni kompleks yang terjadi dalam derajat yang

(24)

bervariasi (Said, 1979: 5). Timur menjadi objek dari dominasi tersebut untuk memberikan Barat posisi yang lebih tinggi dari bangsa-bangsa yang lain.

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan peneliti untuk melakukan sebuah penelitian dalam rangka memperoleh pengetahuan mengenai objek tertentu. Oleh karena itu, langkah-langkah penelitian harus disesuaikan dengan kodrat keberadaan objek yang akan diteliti (Faruk, 2012: 55). Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jawaban dari rumusan pertanyaan mengenai tata ruang dari ruang pembebasan ideal bagi bangsa Yahudi dalam novel A Blessing on the Moon serta relasi kuasa yang dapat ditarik dari novel tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena data yang dikaji dan dianalisis berbentuk kata, frasa, klausa, maupun kalimat yang pengkajian dan analisisnya tidak menggunakan analisis prosedur statistik perhitungan, atau cara kuantitatif lainnnya (Moleong, 2007: 3). Dalam aplikasinya, jawaban terkait tata ruang dan relasi kuasa tersebut dideskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah untuk memahami fenomena yang terjadi (2007: 6). Langkah-langkah dalam penelitian ini terdiri dari mencari data yang relevan, menggolongkannya berdasarkan kategori-kategori tertentu, dan menganalisisnya.

1.6.1. Data dan Sumber Data

Berdasarkan masalah dan konsep yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan pada bagian sebelumnya, data-data yang dipilih

(25)

memiliki kaitan dengan konsep ruang milik Upstone dan tindakan resistensi oleh tokoh utama sebagai respon terhadap tata ruang tertentu yang memiliki aturan dan batas. Data terkait konsep ruang meliputi kata, frasa, klausa, maupun kalimat yang menyebutkan ruang dalam berbagai skala dan struktur yang ditemukan dalam novel. Skala dan struktur tersebut menjadi bagian dari tata ruang dari sebuah lokasi spasial yang awalnya diasumsikan memiliki kualitas untuk menjadi akhirat. Data terkait resistensi adalah segala bentuk respon, baik itu pelanggaran, konfrontasi, maupun dislokasi yang dilakukan tokoh utama untuk merespon tata ruang dalam sebuah lokasi spasial yang juga terefleksikan dalam kata, frasa, klausa maupun kalimat.

Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah sumber utama dalam penelitian ini, yaitu novel A Blessing on the Moon karya Joseph Skibell yang merupakan novel edisi pertama, diterbitkan tahun 1997, dan terdiri dari tiga bab. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah data berbentuk teks-teks historis, kebudayaan, maupun sosiologis dalam bentuk buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan artikel baik tertulis maupun online yang berfungsi untuk mendukung proses analisis menjadi lengkap dan mendetail.

1.6.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang berupa satuan-satuan tekstual dalam novel A Blessing on the Moon dikumpulkan dengan metode kajian pustaka. Peneliti membaca novel yang terdiri dari tiga bab dan mengidentifikasi segala satuan tekstual yang bisa digolongkan menjadi data yang menyebutkan ruang dengan skala dan struktur

(26)

tertentu serta data mengenai resistensi yang terdapat di dalam ruang tersebut. Walaupun analisis yang dilakukan akan berdasarkan urutan ruang yang dikunjungi tokoh utama dalam novel dan bukan dilakukan berdasarkan urutan skalanya, penggolongan menurut skala ini penting dilakukan untuk menentukan dan menghubungkan karakteristik tata ruang ruang dan karakteristik resistensi menurut teori Usptone. Hal ini karena tiap skala ruang memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan ruang dengan skala lain yang berimbas pada perbedaan strategi resistensinya.

1.6.3. Metode Analisis Data

Data yang telah diperoleh akan dihubungkan satu sama lain dalam proses yang disebut sebagai analisis data. Dua kategori data mengenai ruang dan resistensi yang sudah diklasifikasikan skalanya akan dihubungkan satu sama lain. Asumsinya adalah batas dan aturan yang terdapat dalam sebuah lokasi spasial akan memicu transgresi sebagai bagian dari resistensi untuk menciptakan chaos. Asumsi ini diteliti dengan cara mengaitkan tata ruang dan strategi resistensi. Mengaitkan seluruh proses keruangan dan resistensi yang terjadi dalam setiap lokasi spasial dalam hubungan sebab-akibat akan menunjukkan relasi kuasa antara kekuasaan dominan dalam sebuah ruang dan usaha bangsa Yahudi untuk melawan dominasi di ruang tersebut. Proses yang sama terjadi di setiap lokasi spasial yang lain sehingga di bagian akhir sebelum penelitian, peneliti akan melihat apakah terdapat pola tertentu dari seluruh proses keruangan dan resistensi tersebut. Selanjutnya, penulis akan melihat relasi kuasa yang terjadi antara bangsa Yahudi secara umum dengan kekuasaan tertentu dalam konteks ruang Upstone dan proses

(27)

othering Said dengan melihat hasil analisis dari tata ruang dan strategi resistensi sebagai respon dari tata ruang di bagian sebelumnya. Proses ini juga menggunakan metode historis dan perbandingan untuk menunjukkan adanya hubungan empirik dalam relasi kuasa di antara bangsa Yahudi dan kekuasaan tertentu dengan menggunakan teks-teks di luar novel yang berfungsi sebagai data sekunder. Pada tahap akhir, penulis akan menarik kesimpulan berdasarkan temuan yang ada.

1.7. Sistematika Penyajian

Tesis ini terdiri dari empat bab. Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II merupakan pembahasan tentang sepuluh lokasi spasial dengan skala dan struktur bervariasi yang diasumsikan memiliki kualitas untuk menjadi ruang pembebasan atau akhirat. Analisis mengenai tata ruang dan strategi resistensi yang terdapat dalam ruang-ruang tersebut menjadi bagian inti dari bab ini. Bab II dibagi menjadi 12 bagian dengan 11 bagian merupakan analisis tata ruang dari 10 ruang yang terdapat dalam novel dan bagian terakhir merupakan analisis perkembangan tipe ruang.

Bab III merupakan analisis tentang relasi kuasa yang terjadi antara bangsa Yahudi dan kekuasaan tertentu yang mendominasi serta memarjinalisasikannya dalam hubungannya dengan teori Orientalisme Said dan kajian ruang Usptone. Bab IV merupakan kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Teori ini dipergunakan dengan tujuan untuk membahas dan menganalisis masalah kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dan simpanannya berkaitan dengan rahasia bank,

Bagi ilmuwan psikologi, dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk memantapkan teori tentang hubungan antara kebutuhan aktualisasi diri dan kreativitas dengan persepsi

Teori di atas menunjukan bahwa konseling sebaya terkait dengan upaya solusi perilaku seksual remaja dengan memiliki ciri membantu orang untuk belajar

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis elemen dari prinsip transparansi yaitu Keterbukaan Informasi Publik, Kemudahan Akses Informasi, Keterlibatan Masyarakat,

Landasan teori mendeskripsikan teori yang penulis gunakan untuk menganalisis, Teori-teori yang dicantumkan tentunya dianggap cocok oleh peneliti untuk dijadikan landasan dalam

Menganalisis pengaruh dari Inventarisasi Aset (IA), Legal Audit Aset (LAA), dan Penilaian Aset (PA) terhadap optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan aset tetap (tanah dan

Dengan mempelajari sejarah perekonomian suatu negara dan teori yang digunakan untuk menghadapi permasalahan ekonomi dapat menjadi cerminan sebagai dasar untuk

Indikator perilaku OCB meliputi membantu pekerjaan rekan kerja yang tidak hadir atau kelebihan pekerjaan, kesediaan untuk menolong rekan kerja yang mempunyai