• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENETAPAN TAKWIM HIJRIAH MENURUT SAADOE DDIN DJAMBEK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENETAPAN TAKWIM HIJRIAH MENURUT SAADOE DDIN DJAMBEK"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

PENETAPAN TAKWIM HIJRIAH MENURUT SAADOE’DDIN DJAMBEK

Muhammad Hasan

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak Jl. Letjen Soeprapto No. 19 Telp. 0561-734170 Pontianak

Email: hasanian@yahoo.co.id

Abstrak: Saadoe’ddin Djambek merupakan salah satu tokoh ilmu Falak Indonesia, yang pemikiranya berserakan dalam banyak naskah. Pemikirannya tentang ilmu falak dipengaruhi oleh kitab-kitab falak karya ulama sebelumnya dan ilmu astronomi, sehingga sistem hisab yang dibangun memiliki ciri tersendiri. Karena itu, pemikirannya sangat menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, pene-litian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep Saadoe’ddin Djambek mengenai takwim hijriah. Hasil penelitian ini menemu-kan bahwa berkaitan dengan penetapan awal bulan kamariah, Saadoe’ddin membangun konsep yang dilandaskan pada nash-nash al-Quran dan dipadukan dengan perhitungan astronomi modern. Sistem perhitungan yang dibangun berdasarkan pada kaidah-kaidah astronomi, sedangkan landasan epistemologinya didasarkan pada nash al-Quran dan Hadits. Cara berpikir ini, melahirkan konsep dan sistem perhitungan mengenai bulan baru

(new moon) dan pergantian bulan hijriah, permulaan hari dan

tanggal hijriah, yang disebut wujûd al-hilâl. Dalam konsep takwimnya, dia menawarkan penyelesaian problem ketika terjadi perbedaan awal bulan hijriah pada satu wilayah hukum tertentu. Oleh karena itu, konsep penentuan awal bulan dan takwim hijriah yang dia bangun memiliki landasan epistemologi yang kuat, tidak diragukan akurasinya, dan tidak mengesampingkan aspek ukhuwah Islamiah.

(2)

DETERMINING TAKWIM HIJRIYAH

IN SAADOE’DDIN DJAMBEK’S THOUGHT Muhammad Hasan

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak Jl. Letjen Soeprapto No. 19 Telp. 0561-734170 Pontianak

Email: hasaniain@yahoo.co.id

Abstract: Saadoe’ddin Djambek is one of the leading figures in the field of Islamic astronomy (Falak) in Indonesia. His thoughts scatter in many manuscripts. Djambek’s work has been influenced by medieval Muslim scholars in astronomy and this intellectual process greatly affects his thoughts. This study aims to describe Saadoe’ddin Djambek’s concept of takwim in Islamic lunar calendar (Hijriah). This research reveals that Saadoe’ddin has built his concepts of the beginning of Hijriah month on the holy Qur’an combined with modern astronomical calculation. He makes use of modern principles in astronomy to sustain his system of calculation of the lunar calendar. Whereas, the Quran and Hadith constitute his epistemological foundation. This method results the concept of calculating the beginning of new moon and the alteration of Hijriah month, the beginning of day and date of Hijriah called wujûd al-hilâl. In his concept of takwim, he offers a solution to the problem regarding different calculation of the beginning of Hijriah month in a particular region. The concept of determining the beginning of the month and the takwim of Hijriah have strong epistemological foundation that result accuracy calculation. He also uses to some degree the principle of the unity of Muslim community (ukhuwah)

in his calculation method and this helps reduce friction in determining the beginning of Islamic lunar calendar amongst Muslims.

(3)

PENDAHULUAN

Dikalangan umat Islam Indonesia dalam memulai ibadah puasa Ramadan dan berhari raya (Idul Fitri atau Idul Adha) sering terjadi perbedaan.1 Bahkan seolah-olah sudah mantap dalam perbedaan, padahal keadaan seperti itu tidak jarang menimbulkan keresahan diantara umat Islam. Bukan saja menimbulkan keresahan, namun dapat mengganggu hubungan horizontal dan vertikal manusia. Secara horizontal tidak jarang menimbulkan jalinan ukhuwah islamiyah menjadi terganggu dan secara vertikal dapat mengganggu konsentrasi ibadah yang sedang dilakukan.

Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam penentuan awal bulan hijriah. Sementara, perbedaan dalam pe-nentuan awal bulan hijriah disebabkan oleh banyak faktor, bukan saja faktor perbedaan hisab dan rukyah. Dikalangan ahli hisab sendiri, sering terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan, demikian juga dikalangan ahli rukyat.2 Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan standar kriteria3 yang digunakan dalam penentuan awal bulan, baik standar kriteria data yang digunakan, standar sistem hisab, maupun standar kriteria visibilitas hilal baru. Impli-kasinya, adalah kekacauan pada sistem takwim hijriah, sehingga umat Islam tidak memiliki standar takwim yang dapat memper-satukan umat Islam.

1Misalnya: 1 Zulhijjah 1431 H, Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) jatuh pada hari ahad 7 Nopember 2010 H, NU jatuh pada hari Senin 8 Nopember 2010. 1 Syawal 1429, HTI jatuh pada hari Selasa 30 September 2010, NU dan Muhammadiyah jatuh pada hari Rabu 1 Oktober 2008. Perbedaan dalam menetapkan awal Ramadhan, awal Syawal atau awal Zulhijjah menurut Djamaluddin bukan karena perbedaan metode (hisab/rukyat) tetapi karena perbedaan kriterianya.

2Misalnya, Muhammadiyah dan Persis yang sama-sama berdasarkan hisab menetapkan tanggal yang berbeda untuk Idul Fitri 1418 H/1998 M. Muhammad-iyah rnenetapkan ldul Fitri jatuh pada 29 Januari 1998 berdasarkan kriteria wujûd al-hilâl dan Persis menetapkan jatuh pada 30 Januari 1998 mengikuti kriteria imkan al-ru’yah (kemungkinan hilal dapat diamati). Demikian juga NU yang berdasarkan rukyat “pecah” pendapatnya karena beda kriteria, NU Jatim dan sebagian Jawa Tengah beridul Fitri 29 Januari berdasarkan rukyatul hilal di Cakung dan Bawean, tetapi PB NU menolaknya dan menetapkan Idul Fitri pada 30 Januari berdasarkan kriteria imkan al-ru’yah. Djamaluddin, Menggagas Fiqih Astronomi (Bandung: Kaki Langit, 2005), 80.

3Misalnya, Muhammadiyah menggunakan kriteria monset after sunset dan ijtimak qabla al-ghurub; Pemerintah RI menggunakan kriteria MABIMS ( moon’s altititude 2o, umur bulan 8 jam, dan elongasi 3Ú; NU Menggunakan kriteria minimal hilal dapat dirukyat 2o, sementara LAPAN menawar kriteria minimal elongasi 6,4o dan moon’s altitude 2o.

(4)

Saadoe’ddin Djambek merupakan salah satu tokoh falak Indonesia, yang memiliki karya orisinil. Saadoe’ddin Djambek merupakan salah seorang ahli falak yang menawarkan konsep hilal baru dan kaitannya dengan sistem penanggalan hijriah. Ber-kaitan dengan konsep hilal baru, Saadoe’ddin Djambek memiliki kecenderungan yang berbeda dengan ahli falak Indonesia yang hidup semasa dengannya.4 Pemikirannya cukup menarik untuk dicermati lebih lanjut. Dikatakan demikian karena karya Saadoe’ddin Djambek berkaitan dengan hisab awal bulan memiliki corak tersendiri dan berbeda dengan kitab falak ulama Indonesia.5 Kajian ini lebih menarik ketika mencermati pernyataan Susiknan Azhari. Menurutnya Corak pemikiran hisab Saadoe’ddin Djambek merupakan sintesa kreatif antara pemikiran hisab dan astronomi. Kalangan hisab yang mempengaruhinya adalah M.Thaher Djalalu’ddin, sedangkan kalangan astronom yang mewarnai adalah Prof.Dr. G.B. Van Albada. Oleh karena itu, dalam tulisan ini mendeskripsikan konsep Saadoe’ddin Djambek tentang awal bulan, permulaan hari, dan penanggalan hijriah.6

Kajian mengenai pola pikir takwim Saadoe’ddin Djambek menjadi menarik, ketika melihat latar belakang pendidikannya. Sehingga, hasil karyanya banyak diwarnai oleh latar belakang pendidikannya dan memberikan ciri khas tersendiri dalam perkembangan ilmu falak di Indonesia.

Kajian ini lebih menarik lagi ketika mencermati pernyataan Azhari. Menurut Azhari corak pemikiran hisab Saadoe’ddin Djambek merupakan sintesa kreatif antara pemikiran hisab (ulama klasik) dan astronomi. Kalangan hisab yang mempengaruhinya adalah M.Thaher Djalaluddin, sedangkan kalangan astronom yang mewarnai adalah Prof. Dr. G.B. Van Albada.7 Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan konsep Saadoe’ddin Djambek mengenai takwim hijriah.Takwim seperti ini memiliki makna strategis dalam membangun konsep hisab rukyat di Indonesia, karena ada upaya kompromi antara konsep 4Diantara ahli falak yang hidup semasa dengannya adalah Muhammad Maksum bin Ali (w.1933), Zubair Umar al-Jailani ( w.1990), Wardan Diponingrat (w.1991), Jamil Djambek (1862-1947), dan Thaher Djalaluddin (1869-1957).

5 Perhitungan awal bulan yang ditawarkan oleh para ahli falak tersebut menggunakan data astronomis yang terdapat dalam kitab al-Matlak al Said. Sehingga metode perhitungan awal bulan yang ditawarkan cukup panjang.

6Azhari, Susiknan, “Saadoe’ddin Djambek dan Pemikirannya Tentang Hisab” Jounal al-Jami’ah No 61 tahun 1998, (Yogyakarta; IAIN Sunan Kalijaga, 1998), 173.

(5)

astronomi modern dan konsep ilmu falak. Sehingga, konsep ke-ilmuan Islam menjadi semakin bermakna di era modern ini. Pada sisi lain, konsep seperti ini memiliki urgensi dalam upaya memberi-kan masumemberi-kan kepada pemerintah dalam menetapmemberi-kan awal Ramadan dan hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).

Penelitian mengenai pola pikir Saadoe’ddin Djambek dalam hal takwim menjadi semakin menarik, ketika melihat latar belakang pendidikannya. Sehingga, hasil karyanya banyak diwarnai oleh latarbelakang pendidikannya dan memberikan ciri khas tersendiri dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Oleh karena itu, timbul pertanyaan, bagaimana konsep Saadoe’ddin Djambek me-ngenai takwim hijriah? Karena itu, secara umum penelitian ini akan mendeskripsikan konsep Saadoe’ddin Djambek mengenai takwim hijriah. Secara khusus penelitian bertujuan untuk men-deskrisipkan konsep Saadoe’ddin Djambek mengenai: 1) Bulan dan tahun dalam perhitungan miladiah dan hijriah; 2) Awal bulan kamariah; 3) Permulaan hari dan tanggal hijriah; 4) Garis tanggal hijriah; 5) Kelebihan dan kelemahan takwim Saadoe’ddin Djambek.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan astronomi,8 pendekatan syar’i,9 dan pen-dekatan hermeneutik.10 Pendekatan astronomi digunakan secara normatif yakni dengan cara membandingkan pemikiran 8Pendekatan astronomi maksudnya mengkaji takwim Saadoe’ddin Djambek yang berkaitan dengan benda-benda langit dan peredarannya dalam sudut pandang astronomi. Mengenai pendekatan astronomi, Baca Raharto, Moedji, “Catatan Perhitungan Posisi dan Pengamatan Hilal dalam Penentuan Kriteria Penampakan Hilal”, dalam Selayang Pandang Hisab Rukyah (Jakarta: Direktorat Peradilan Agama, 2004), 147-156. Pendekatan ini diperlukan karena tulisan ini memaparkan konsep pergerakan benda langit dan implikasinya terhadap penanggalan hijriah.

9Pendekatan syar’i dalam tulisan ini maksudnya mengkaji nash-nash yang digunakan oleh Saadoe’ddin Djambek. Nash dalam bentuk ayat al-Qur an yang digunakan Saadoe’ddin Djambek dikaji dengan cara membandingkan dengan pendapat ulama tafsir. Sedangkan, nash dalam bentuk hadits dikaji legalitas tranmisi periwayatannya. Pendekatan syar’i digunakan karena dalam penentuan awal bulan kamariah terkait dengan dalil-dalil syar’i yang menjadi landasan epistemologi terbangunnya kaidah-kaidah astronomi dalam penentuan awal bulan.

10Pendekatan hermeneutik digunakan karena tulisan ini memaparkan pemikiran seorang tokoh yang tidak hidup semasa dengan penulis, sehingga lewat karyanya penulis bisa berdialog mengenai konsepnya. Selanjutnya baca, Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta, Paramadina 1996), 126.

(6)

Saadoe’ddin Djambek dengan pendapat astronom lainnya. Pen-dekatan hermeneutik dalam tulisan ini dilakukan dengan cara me-lihat konteks setting sosial, terutama kondisi perkembangan ilmu astronomi dan ilmu falak pada saat itu. Sehingga, dalam melaku-kan analisis terhadap tulisan-tulisan Saadoe’ddin Djambek, penulis selalu melihat pada kondisi yang melingkupi Saadoe’ddin.

Metode deskriptif analitis digunakan peneliti untuk men-deskripsikan sekaligus menganalisis konsep Saadae’ddin Djambek berkaitan dengan takwim hijriah, sehingga menjadi sebuah pe-mikiran yang utuh. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder. Sumber data primernya adalah buku-buku dan naskah yang ditulis oleh Saadoe’ddin Djambek yang terdiri dari: 1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan, dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952 M), 2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Tintamas tahun 1953 M), 3) Hisab Awal Bulan Kamariah (diterbitkan oleh Tintamas pada tahun 1976 M). Adapun sumber data sekunder-nya adalah semua buku, naskah, dan tulisan yang terkait dengan pemikiran Saadoe’ddin Djambek.

Hasil penelaahan terhadap sumber data dicatat secara kate-gorik berdasarkan tujuan penelitian, kemudian dilakukan seleksi data. Selesai seleksi data, dilakukan deskripsi data dengan cara menyusun data penelitian tersebut menjadi teks naratif.Ketika me-nyusun data penelitian menjadi teks naratif, dibangun teori–teori yang siap diuji kembali kebenarannya, dengan tetap berpegang pada pendekatan astronomi dan pendekatan syar’i. Setelah proses deskripsi selesai, dilakukan proses penyimpulan. Dalam proses penarikan kesimpulan selalu diverifikasi agar kebenarannya teruji. Seluruh proses atau tahapan analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara berkelanjutan dan berulang terus menerus, mulai pengumpulan dan penelaahan sumber data dilakukan hingga penelitian selesai dilaksanakan.11 Kemudian barulah disusun teks naratif berikutnya sebagai laporan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sekilas Biografi Saadoe’ddin Djambek

Saadoe’ddin Djambek lahir di Bukittinggi pada tanggal 29 Rabiul Awal 1329 H bertepatan dengan tanggal 24 Maret 1911 11Teknik analisis data seperti ini mengacu pada analisis interaktif dalam penelitian kualitatif sebagaimana yang dinyatakan oleh Mathew B dan Huberman. Baca, Mathew B, Miles dan A. Michael Huberman, Analisis data Kualitatif (Qualitatif data Analysis), terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), 20.

(7)

M. Ayah Saadoe’ddin Djambek adalah Muhammad Djamil Djambek (1860-1957 M). Kakeknya bernama Muhammad Saleh Datuk Maleka kepala Nagari Kurai.12 Ia meninggal dunia pada hari selasa tanggal 11 Zulhijah 1397 H. bertepatan dengan tanggal 22 Nopember 1977 M. di Jakarta.13

Pendidikan formal Saadoe’ddin Djambek diperoleh di HIS

(Hollands Inlandshe School), tamat tahun 1924 M. Kemudian ia

melanjutkan studinya ke HIK (Hollands Inlands Kweekshool) di Bukittinggi dan tamat tahun 1927 M. Kemudian melanjutkan ke HKS (Hogere Kweekshool) di Bandung, tamat tahun 1930 M.14

Setelah tamat dari HKS pada tahun 1930 M, Ia mengabdi-kan diri selama 4 tahun (1930-1934 M) sebagai guru di Gouver-nements Schakelschool di Perbaungan, Palembang. Pada tahun 1935 ia melanjutkan pendidikan ke Indische Hoofdakte (program diploma pendidikan) di Bandung sehingga memperoleh ijazah pada tahun 1937 M. Pada tahun yang sama ia memperoleh ijazah bahasa Jerman dan bahasa Perancis. Setelah tamat dari Indische Hoofdakte di Bandung, kemudian ia mengajar kembali di Simpang Tiga-Sumatera Timur. Karier Saadoe’ddin Djambek terus mening-kat, mulai dari guru Sekolah Dasar sehingga akhirnya menjadi dosen di Perguruan Tinggi dan terakhir menjadi pegawai Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional di Jakarta.15 Menurut Oman Fathurrahman Saadoe’ddin Djambek pernah men-jabat sebagai staf ahli menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan menjabat sebagai Ketua Badan Hisab Rukyat (BHR) sejak 1972 M.16 Saadoe’ddin Djambek mulai tertarik terhadap ilmu Falak sejak tahun 1929 M. Ia belajar ilmu falak dari Syaikh Thaher Jalaluddin17 yang mengajar di al-Jami’ah al-Islamiyah Padang 12Noer,Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta; LP3ES, 1985), 43.

13Azhari, Saadoe’ddin Djambek, 162.

14Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve,1997), 275.

15Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008), 186. 16Oman Fathurrahman, “Saadoe’ddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya”, Hisab Rukyat dan Perbedaannya,Proyek peningkatan pengkajian kerukunan hidup umat beragama (Jakarta; Puslitbang kehidupan Beragama Depag RI, 2004), 95.

17Syaikh Thaher Jalaluddin (1869-1957M/1286-1377H) belajar di Mekah selama 14 tahun, sejak usia 11 tahun di bawah bimbingan Ahmad Khatib. Ia juga belajar di Universitas Al-Azhar Kairo sejak tahun 1895 selama 4 tahun dan mendapat keahlian (syahadat alimiyah) dalam ilmu Falak. Karya-karya Syaikh Thaher Jalaluddin diantaranya adalah Pati Kiraan Pada Menentukan Waktu yang Lima; Natijatul Umur (The Almanac: Muslim and Cristian Calender and Direction of Shafie Sect;Jadâwil Nukhbah al-Taqirat fi-Hisab al-Auqat wa Samt al-Qiblah; dan Mathematical Tables baca, Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, 205-206.

(8)

tahun 1939 M. Menurut pengakuan Saadoe’ddin Djambek dalam Oman Fathurrahman ketertarikan Saadoe’ddin Djambek terhadap Ilmu Falak karena dipengaruhi dan didorong oleh buku Pati Kiraan

Pada Menentukan Waktu yang Lima karya Syaikh Thaher

Jalaluddin.18

Untuk memperdalam pengetahuannya tentang Ilmu Falak, Saadoe’ddin Djambek mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M, kemudian mengikuti kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di ITB Bandung pada tahun 1954-1955M. Pada tahun 1955-1956 M menjadi Lektor Kepala dalam mata kuliah ilmu pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batu-sangkar-Sumatera Barat. Kemudian ia memberi kuliah Ilmu Falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dari tahun 1959 M. sampai dengan tahun 1961 M.19 Melihat latar belakang pendidikan Saadoe’ddin Djambek, tidak dira-gukan keahliannya dalam hal ilmu falak. Dimungkinkan, latar bela-kang inilah yang mengantarkan pemikiran Saadoe’ddin Djambek menjadi bahan kajian dan diskusi yang menarik sampai saat ini.

Adapun karya-karya Saadoe’ddin Djambek adalah 1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan, dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952 M), 2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Tintamas tahun 1953 M), 3) Perbandingan Tarikh (diterbitkan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968 M), 4) Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa (diterbit-kan oleh Bulan Bintang pada tahun 1974 M), 5) Shalat dan Puasa di Daerah Kutub (diterbitkan oleh Bulan Bintang pada tahun 1974 M), 6) Hisab Awal Bulan Kamariah (diterbitkan oleh Tintamas pada tahun 1976 M).

Konsep Bulan dan Tahun Hijriah

Konsep tahun masehi dalam pemikiran Saadoe’ddin Djambek dibagi menjadi 2 yakni tahun tropis20 dan tahun sideris.21 18Oman Fathurrahman, “Saadoe’ddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya”, 94. 19Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, 186.

20Tahun tropis adalah periode revolusi bumi mengelilingi matahari relatif terhadap titik musim semi yang lamanya adalah 365, 2422 hari atau 365h 5j 48m 46d. Tahun Tropis dalam bahasa Inggris disebut Tropical Year dan dalam bahasa Arab disebut As-Sanah al-’Adiyah atau As-SanahAl-Inqilabiyah. Kalender Masehi yang diguna-kan sekarang dibuat berdasardiguna-kan tahun tropis yang dikenal dengan Sistern Gregorius. 21Tahun sideris adalab tahun yang didasarkan pada periode revolusi bumi mengelilingi matahari satu putaran penuh, yang lamanya 365,2564 hari atau 365h 6j 9m 10d. Dalam bahasa Inggris, Tahun Sideris disebut Siderial Year dan dalam bahasa Arab disebut As-Sanah Al-Nujumiyah.

(9)

Satu tahun tropis terdiri dari 365,242199 hari atau 365h 5j 48m 46d. Tahun ini dihitung berdasarkan peredaran bumi pada falaknya di sekeliling matahari.22 Satu tahun sideris terdiri dari 365,256360 hari atau 365h 6j 9m 10d. Tahun Siderisdihitung berdasarkan peredaran matahari mengelilingi bumi sebanyak satu lingkaran penuh atau 360o.23 Selanjutnya yang mendasari perhitungan takwim hijriah adalah tahun sideris, bukan tahun tropis. Artinya satu tahun hijriah berbanding dengan satu tahun sideris masehi bukan dengan satu tahun tropis masehi.

Penggunaan tahun tropis atau tahun sideris, dalam mem-bandingkan dengan tahun hijriah sebagaimana yang dikemukakan oleh Saadoe’ddin Djambek di atas hendaknya lebih hati-hati, karena selama ini, yang dipahami bahwa 1 siklus tahun masehi adalah selama 4 tahun atau 1461 hari (3 kali tahun basithah24 dan 1 kali tahun kabisat.25 Jika digunakan istilah tahun sideris sebagaimana konsep di atas, maka dalam satu siklus tahun masehi menjadi 1461,02544 hari atau 1461h 0j 36m 38d. Dengan demikian, setiap 1 siklus tahun masehi dalam hitungan sideris, kelebihan 36m 38d, dan setiap satu abad kelebihan 15j15m50d dibandingkan hitungan rata-rata (urfi). Karena itu dalam setiap 4 abad tahun masehi perlu ditambah 2 hari 13j03m22d atau dibulatkan menjadi 3 hari.

Saadoe’ddin Djambek membagi hitungan bulan kamariah dalam dua bagian yakni berdasarkan hitungan sideris dan sinodis. Satu bulan sideris26 selama 27,321661 hari atau 27h 7j 43m 12d. Satu bulan sideris dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi sebanyak satu lingkaran penuh atau 360Ú. Sementara itu, satu bulan sinodis27 selama 29,530589 hari atau 29h 12j 44m 3d.28 Satu bulan sinodis dihitung berdasarkan selisih waktu ijtimak ke ijtimak berikutnya. Teknis menghitung satu bulan sinodis dengan 22Djambek, Hisab Awal Bulan, 3. Baca juga, Djambek, Waktu, dan Djadwal Penjelasan Populer, Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan, dan Matahari (Jakarta:Tintamas, 1952), 2.

23Djambek, Hisab Awal, 7. Baca juga, Djambek, Waktu dan penjelasan, 16. 24Tahun Basitah adalah satuan waktu selama satu tahun yang panjangnya 354 hari untuk tahun kamariah, dan 365 hari untuk tahun Syamsiyah.

25Tahun Kabisat adalah satuan waktu dalam satu tahun yang panjangnya 355 hari untuk tahun Kamariah dan 366 hari untuk tahun Syamsiyah.

26Bulan sideris adalah tenggang waktu yang diperlukan bulan untuk sekali putaran penuh (360Ú) bulan mengelilingi bumi. Dalam bahasa arabnya disebut syahr al-najmiyah

27Tenggang waktu yang diperlukan oleh bulan untuk sekali mengorbit bumi sejak ijtimak (conjungtion) hingga ijtimak berikutya. Dalam bahasa arabnya di sebut syahr al-Iqtiran

(10)

cara membagi jumlah derajat dalam satu lingkaran penuh (360o) dengan selisih perjalanan bulan dan matahari dalam satu hari atau 360o:(13,176358o-0,985609o).

Berkaitan dengan takwim hijriah, konsep yang digunakan adalah perhitungan bulan sinodis bukan perhitungan bulan sideris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam satu bulan kamariah terdiri dari 29,530589 hari. Berdasarkan konsep ini, maka satu siklus tahun hijriah selama 10631,01204 hari atau 10631h 0j 17m 20d. Ini berarti setiap satu siklus tahun hijriah sinodis kelebihan 17m20d atau kelebihan 57m 48d dalam satu abad, dari hitungan rata-rata. Dikatakan demikian karena dalam hitungan rata-rata selama satu siklus tahun hijriah terdiri dari 19 tahun basithah dan 11 tahun kabisat atau 10631 hari (10631h 0j 0m 0d ). Dengan demi-kian dalam sistem takwim hijriah tidak ada pergeseran yang signifi-kan antara takwimnya (penanggalan yang didasarsignifi-kan pergerasignifi-kan rata-rata harian bulan) dengan pergerakan sinodis bulan. Hal ini, berbeda dengan sistem takwim masehi, dimana antara takwimnya (penanggalan yang didasarkan pergerakan rata-rata harian bumi mengelilingi matahari) dengan pergerakan sideris matahari berbeda secara signifikan.

Awal Bulan Hijriah

Bulan baru (month, syahr) mulai dihitung bila bulan (qamar) sudah terdahulu dari matahari atau bila bulan sudah berkeduduk-an di sebelah Timur matahari.29 Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, sejak kapan bulan baru (month, shahr) dianggap sudah berkedudukan di sebelah Timur matahari.

Untuk menjawab pertanyaan ini rupanya Saadoe’ddin Djambek mengaitkan persoalan bulan baru dengan Qs. Yasin (36);9. Menurutnya kata “Urjûn-l-qadîm”pada Qs. Yasin (36); 39, sebagai petunjuk tentang dimulainya bulan baru. Saadoe’ddin Djambek menafsirkan kata tersebut dengan bentuk bulan yang paling kecil. Sementara bentuk bulan yang paling kecil dicapai di saat sekitar ijtimak.30 Dari sini dapat dipahami bahwa Saadoe’ddin Djambek hendak mengatakan bahwa bulan baru dapat dihitung mulai sesaat setelah terjadi ijtimak.

Bagaimana standarnya, dapat dikatakan telah terjadi ijtimak. Menurut Saadoe’ddin Djambek, dikatakan sudah ijtimak jika bulan telah berada di sebelah Timur matahari. Kemudian

28Djambek, Hisab Awal, 7 29Ibid. 6

(11)

patokan apakah yang apat digunakan, untuk menyatakan bahwa matahari telah berada di sebelah Barat bulan, sementara istilah Timur, Barat,Utara dan Selatan hanya ada di bumi dan tidak ada di langit? Lalu bagaimana juga dengan posisi bulan di sebelah Timur matahari, apakah di sebelah Timur secara mutlak/keseluru-han, atau di sebelah Timur sebagian saja.

Berkaitan dengan hal ini Saadoe’ddin Djambek mengata-kan bahwa bulan, bumi dan matahari tidak selamanya berada pada satu garis lurus. Menurutnya posisi bulan dan matahari dapat mencapai jarak 50 jika dilihat dari bumi. Artinya dilihat dari bumi adakalanya mencapai jarak 5o di sebelah Selatan matahari dan adakalanya mencapai jarak 5o di sebelah Utara matahari dan adakalanya 0o. Dengan demikian, posisi bulan bergerak dari titik terjauh 5o di sebelah Selatan matahari ke titik terjauh 5o di sebelah Utara matahari. Dalam pergerakannya menuju titik terjauh di Selatan atau di Utara adakalanya titik pusat bulan berada pada satu garis lurus dengan titik pusat bumi dan titik pusat matahari yakni ketika bulan berada pada posisi 0o. Dengan demikian pada saat ijtimak, posisi bulan selalu berubah-ubah dari ijtimak yang satu ke ijtimak yang lainnya. Ketika saat ijtimak, bulan dan matahari berada pada titik 0o, maka saat itu menurut Saadoe’ddin Djambek akan terjadi gerhana matahari.

Karena posisi titik pusat bulan tidak selamanya berada pada satu garis dengan posisi titik pusat bumi dan titik pusat matahari, maka menurut Saadoe’ddin Djambek tidak serta-merta sesaat setelah ijtimak dikatakan bulan (month, syahr) baru, karena tidak ada patokan garis yang jelas mengenai bulan dapat dikatakan berada di sebelah Timur matahari. Apalagi menurut Saadoe’ddin Djambek pada saat ijtimak bulan tidak dapat diobservasi, sehingga sangat sulit untuk menentukan dengan tepat kondisi bulan saat ijtimak.31 Saadoe’ddin Djambek tidak serta-merta mendasarkan ijtimak pada hasil perhitungannya, namun masih perlu berkon-sultasi dengan hasil observasi, untuk menentukan saat ijtimak yang akurat. Disini dapat dipahami bahwa Saadoe’ddin Djambek sangat hati-hati dalam menentukan ijtimak. Saadoe’ddin Djambek menghendaki akurasi saat-saat ijtimak, untuk dapat menentukan awal bulan secara tepat. Akurasi tersebut dapat dicapai, seandai-nya ijtimak hasil hisab dapat dibuktikan dengan observasi.

Untuk menentukan garis patokan mengenai kapan bulan dapat dikatakan berada di sebelah Timur matahari, Saadoe’ddin Djambek berkonsultasi dengan Qs. Yasin (36);40 yang dinyatakan:

(12)

Walâ-l-lailu sâbiqu-n-nahâri (dan malam tidak dapat mendahului siang)”. Saadoe’ddin Djambek menafsirkan ayat ini dengan situasi pada senja hari, yakni ketika malam mengambil alih kekuasaan dari siang. Menurutnya pengambil-alihan kekuasaan itu berlaku dengan teratur dan tertib tanpa semangat perlombaan untuk dahulu-mendahului atau semangat berebut-rebutan.32

Peristiwa terbenamnya matahari menurut Saadoe’ddin Djambek dapat ditentukan dengan sangat teliti lewat hisab, dan ketelitiannya dapat diuji dengan observasi. Sementara perpindahan siang kepada malam secara mutlak ditentukan oleh terbenamnya matahari dan terbenamnya matahari adalah terhadap ufuk.33 Pe-ristiwa terbenamnya matahari menurut Saadoe’ddin Djambek sangat menarik. Dikatakan demikian karena peristiwa tersebut menurutnya dapat dihisab dengan teliti dan ketelitian dapat diuji lewat observasi. Bagaimana dengan posisi hilal baru, apakah posisi hilal baru sesaat setelah ijtimak ketelitiannya perlu dibuktikan de-ngan observasi atau hanya cukup dede-ngan wujudnya saja?. Ber-kaitan dengan hal ini Saadoe’ddin Djambek mengatakan tidak perlu membuktikan akurasinya dengan observasi, cukup diyakini saja.

Berdasarkan pada Qs. Yasin ayat (36);40, Saadoe’ddin Djambek berkesimpulan bahwa garis ufuklah34 yang dijadikan pe-doman untuk menentukan, apakah bulan berada di sebelah Timur matahari atau di sebelah Barat matahari. Menurut Saadoe’ddin Djambek ufuk sebagai penunjuk Timur dan Barat mempunyai segi-segi yang cukup menarik. Pertama, garis ufuk adalah garis yang nyata, dengan kedudukan dan sifat-sifatnya yang jelas sehingga tidak ada keragu-raguan dalam mendefisikannya. Kedua, ufuk adalah persoalan di bumi, sedangkan perjalanan bulan dan mata-hari adalah persoalan ruang angkasa, dengan menggunakan ufuk sebagai patokan ke dalam persoalan langit, berarti telah me-masukkan unsur keduniaan. Ketiga, ufuk terikat pada suatu tempat tertentu di atas bumi atau dalam istilah astronominya local horizon, sehingga setiap tempat di atas bumi memiliki ufuk sendiri-sendiri.35 Berdasarkan penafsirannya, sebagaimana dikemukakan di atas, Saadoe’ddin Djambek berkesimpulan bahwa penetapan tanggal satu bulan kamariah menurut agama, dikaitkan dengan

32Ibid. 12-13 33Ibid.

34Garis ufuk adalah garis yang membelah langit menjadi dua bagian yaitu bagian langit yang kelihatan dan bagian langit yang tidak kelihatan.

(13)

situasi setempat. Kata Saadoe’ddin Djambek, situasi setempat ter-sebut adalah ufuk setempat, yakni dengan menetapkan ufuk se-tempat sebagai patokan dalam menentukan apakah bulan sudah di sebelah Timur matahari atau masih di sebelah Baratnya.36

Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa konsep bulan baru menurut Saadoe’ddin Djambek salah satunya ditandai dengan adanya ijtimak. Kata “’Urjûni-l-Qadîm” adalah salah satu petunjuk adanya ijtimak dan bulan baru. Indikator lain yang menandai adanya bulan baru, ketika bulan telah mendahului matahari. Sementara yang menjadi garis patokan perjalanan matahari dan bulan adalah ufuk setempat.

Permulaan Hari dan Tanggal Hijriah

Pada bagian yang lalu, telah dideskripsikan bahwa Saadoe’ddin Djambek mengatakan indikator bulan baru, jika telah terjadi ijtimak37 dan bulan telah mendahului/berada di sebelah Timur matahari. Lalu apa patokan dapat dikatakan bulan telah berada di sebelah Timur matahari. Berkaitan dengan hal ini Saadoe’ddin Djambek mengatakan, bila bulan berkedudukan di atas ufuk ketika matahari terbenam, berarti hilal sudah wujud. Hal ini menurutnya sudah bulan baru, karena bulan sudah wujud. Tetapi bila bulan berkedudukan di bawah ufuk ketika matahari terbenam, berarti bulan itu, masih bulan lama.38

Matahari dikatakan terbenam menurut Saadoe’ddin Djambek, bila piringan matahari sebelah atas ketika matahari ter-benam tepat berada di bawah garis ufuk atau tinggi piringan mata-hari sebelah atas pada ketinggian 00. Untuk memperoleh posisi piri-ngan matahari sebelah atas pada 0Ú menurutnya titik pusat mata-hari harus berada pada 16’ di bawah ufuk karena data hisab yang didaftarkan berdasarkan pada titik pusat masing-masing benda langit, sementara diameter matahari adalah 32’ dilihat dari bumi.39 Secara hakiki, posisi matahari ketika terbenam perlu dikoreksi dengan mengurangkan kerendahan ufuk40 dan refraksi41.

36Ibid.14.

37Ijtimak adalah posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur astronomi.

38Ibid. 15 39Ibid.17-20

40Daftar kerendahan ufuk telah dibuat oleh Saadaoe’ddin Djambek dengan menggunakan rumus D’= 1,76Öm. Selanjutnya dapat dilihat pada lampiran II buku Hisab Awal Bulan karya Saadoe’ddin Djambek.

41Daftar refraksi telah dibuat oleh Saadoe’ddin Djambek dengan cara menyadur dari Almanak Nautika. Selanjutnya dapat dilihat pada lampirian I buku Hisab Awal Bulan karya Saadoe’ddin Djambek.

(14)

Dengan demikian titik pusat matahari ketika terbenam, secara hakiki adalah seperdua garis tengah matahari dikurangi keren-dahan ufuk dan dikurangi refraksi. Dalam kondisi, kerenkeren-dahan ufuk 2 meter di atas permukaan laut, maka posisi titik pusat mata-hari adalah -52’1’’ (00 dikurangi 16’ dikurangi 1’1’’dikurangi 35’) atau 00 -16’- 1’1’’- 35’= -52’1’’

Berkaitan dengan kapan bulan dianggap berada di sebelah Timur matahari atau kapan bulan berada di atas ufuk?. Saadoe’ddin Djambek mengatakan perlu menghisab piringan sebelah atas bulan, dengan menggunakan standar ufuk yang sama dengan ufuk matahari terbenam yakni ufuk mar-i.42 Saadoe’ddin tidak mempersoalkan seberapa tinggi piringan sebelah atas bulan berada di atas ufuk mar-i. Artinya Saadoe’ddin Djambek tidak mempersoalkan apakah piringan sebelah Timur matahari harus berimpit dengan piringan sebelah Barat bulan. Dengan demikian yang dipersyaratkan Saadoe’ddin Djambek, bukannya piringan bulan sebelah Timur/ keseluruhan piringan bulan harus semuanya berada di atas ufuk, tetapi yang dipersyaratkan adalah piringan sebelah Timur bulan harus berada di atas ufuk. Oleh karena itu dalam kondisi piringan bulan masih separuh bahkan kurang dari separuh yang berada di atas ufuk, bulan sudah dapat dikatakan wujud.

Saadoe’ddin Djambek menegaskan bahwa wujudnya hilal pada tanggal 29 bulan Kamariah harus diyakini, karena kita diperintahkan untuk meyakini wujud hilal, bukan menentukan tinggi hilal pada saat matahari terbenam. Saadoe’ddin Djambek menyatakan sebagai berikut:

Sebenarnya yang harus kita lakukan bukanlah menentukan tinggi bulan di atas ufuk mar-i di kala matahari terbenam pada tanggal 29 hari bulan Kamariah, tetapi kita disuruh meyakini, apakah pada pertukaran siang kepada malam bulan sudah berkedudukan di sebelah Timur matahari ataukah masih di sebelah Baratnya, yaitu untuk memenuhi syarat “syahida” dalam ayat 185 surat al-Baqarah.43

Pernyataan ini sangat menarik, karena ketika berbicara tentang ijtimak Saadoe’ddin Djambek mengatakan bahwa ijtimak tidak dapat diobservasi sehingga sulit untuk menentukan dengan akurat. Ketika membahas mengenai peristiwa terbenamnya matahari, Saadoe’ddin Djambek mengatakan bahwa hasil hisab dapat dibuktikan akurasinya dengan observasi. Tetapi ketika berbicara mengenai wujud hilal, Saadoe’ddin Djambek mengatakan cukup 42Ufuk mar’i adalah pertemuan antara langit dan bumi yang terlihat oleh mata ketika seseorang berada ditepi pantai atau di dataran yang sangat luas.

(15)

diyakini. Berarti, menurut Saadoe’ddin Djambek keadaan bulan baru hasil hisab, tidak perlu dibuktikan dengan observasi.

Seiring dengan wujudnya hilal, ketika matahari terbenam atau ketika pergantian siang kepada malam, saat itu dianggap permulaan tanggal hijriah baru. Konsep Saadoe’ddin Djambek tentang penanggalan seperti ini, didasarkan pada QS. Yasin (36);40: “Walâ-l-lailu sâbiqu-n-nahâr (dan malam tidak dapat men-dahului siang)”. Menurut Saadoe’ddin Djambek ayat ini memberi-kan isyarat pergantian hari. Karena itu, dari ayat ini menggambar-kan satu unsur baru yang disebut dengan ufuk. Karena itu, per-mulaan hari menurut Saadoe’ddin Djambek dihitung sejak ter-benamnya matahari. Seiring dengan permulaan hari pada saat matahari terbenam, maka pada saat itu terjadi perubahan Jam. Oleh karena, perhitungan hari dimulai dari matahari terbenam, maka saat itu dimulai perhitungan jam hijriah.

Berkaitan dengan proses hisab, apakah piringan bulan sebelah atas telah berada di atas ufuk atau masih di bawah ufuk ketika matahari terbenam, Saadoe’ddin Djambek mendeskripsikan proses perhitungannya sebagai berikut: Pertama, menghisab dengan teliti saat matahari terbenam. Kedua, menentukan data bulan yang diperlukan. Ketiga menghisab tinggi bulan, dan melakukan koreksi-koreksi terhadap tinggi bulan.44 Hasil hisab yang demikian, ada-kalanya sama dan adakalnya berbeda dengan penanggalan hijriah yang lainnya, termasuk dengan tahun jawa Islam.45

Garis Tanggal Hijriah

Untuk menentukan batas tanggal hijriah, Saadoe’ddin Djambek menawarkan sistem perhitungan yang sederhana. Me-nurutnya cukup dengan mengetahui waktu terbenam bulan pada hari terakhir bulan kamariah, hari berikutnya, dan hari sebelumnya serta waktu terbenam matahari di bujur 0o. Bagi daerah yang berada di sebelah Barat bujur 0o menggunakan data hari berikut-nya dan bagi yang berada di sebelah Timur bujur 0o menggunakan data hari sesudahnya. Dengan mengetahui pada pukul berapa bulan terbenam di bujur 0o, pada hari/tanggal tersebut, dan hari

44Ibid.25.

45Misalnya, pada tahun 1372 H, tanggal 1 Jumadil ula jatuh pada hari Sabtu tanggal 17 Januari 1953 M. menurut penanggalan hijriah umumnya dan menurut hisab Saadoe’ddin Djambek. Kemudian, tanggal 1 Jumadil Akhir 1372 H jatuh pada hari Senin tanggal 16 Pebruari 1953 M menurut penanggalan hijriah pada umumnya, sedangkan menurut hisab Saadoe’ddin Djambek jatuh pada tanggal 15 Pebruari 1953. Selanjutnya Baca, Djambek, Almanak Djamiliah (Jakarta: Tintamas, 1953), 5-16.

(16)

sesudahnya. Data ini diperlukan untuk mengetahui selisih waktu bulan terbenam pada hari tersebut dengan hari sesudahnya dan selisih matahari terbenam dengan hari tersebut.

Saadoe’ddin mencontohkan dengan situasi pada tanggal 16 September 1974 M pada garis lintang 0o dan garis bujur 0o. Pada hari tersebut, matahari terbenam pada pukul 17.58 dan bulan terbenam pada pukul 18.20. Pada hari sebelumnya (tanggal 15 September 1974 M) bulan terbenam pukul 17.27. Jadi selisih waktu bulan terbenam pada tanggal 15 dan 16 September adalah 53 menit (18.20 dikurangi 17.27). Sedangkan selisih waktu matahari terbenam dengan bulan terbenam pada tanggal tersebut selama 22’.

Untuk Pontianak, yang berada pada garis lintang 0o dan garis bujur 109,4o (0,3039 bagian lingkaran)46, selisih bulan ter-benam dengan GMT sebesar 16,0767menit atau dibulatkan 16 menit (0,3039 bagian lingkaran x 53 menit). Dengan demikian, di Pontianak pada tanggal 16 September 1974 M. bulan terbenam pada pukul 18.04 (18j20m-16m). Di Pontianak pada tanggal 16 September 1974 M, bulan sudah wujud karena matahari terbenam lebih dahulu dari bulan.

Batas garis tanggal menurut Saadoe’ddin Djambek dapat diketahui dengan cara membandingkan waktu matahari terbenam dan bulan terbenam. Pada suatu tempat, dimana bulan dan mata-hari terbenam secara bersamaan, berarti di tempat tersebut menjadi batas, garis tanggal baru dengan tanggal lama.

Tempat Matahari dan bulan terbenam secara bersamaan menurut Saadoe’ddin Djambek dapat diketahui dengan cara improvisasi dari data bulan dan matahari terbenam di garis bujur 0o. Misalnya, pada garis lintang 0o dan garis bujur 0o tanggal 16 September 1974 M, matahari terbenam pukul 17.58 dan bulan ter-benam pukul 18.20. Beda waktu, bulan terter-benam dengan hari se-belumnya selama 53 menit. Pada hari tersebut matahari terbenam lebih awal dari bulan selama 22 menit. Berarti di daerah ini bulan sudah wujud, karena bulan terbenam lebih akhir, artinya tempat matahari dan bulan terbenam secara bersamaan berada di sebelah Timur tempat ini. Karena itu, perlu mencari posisi tempat di se-belah Timur yang memiliki garis lintang yang sama dengan dengan tempat tersebut, untuk menentukan titik batas tanggal baru.

Posisi tempat tersebut dapat dicari, dengan cara mencari tempat di sebelah Timur Greenwich yang memiliki garis lintang yang sama yakni garis lintang 0o, dimana bulan terbenam pada 46 Lihat Daftar Bagian lingkaran yang di buat oleh Saadoe’ddin Djambek

(17)

pukul 17.5847. Berdasarkan data di atas dapat dicari posisi tempat, dimana matahari terbenam secara bersamaan dengan bulan. Untuk menentukan tempat tersebut dapat ditempuh dengan cara yang mudah, yakni dengan cara merubah selisih waktu matahari terbenam dengan bulan terbenam menjadi bagian lingkaran, dengan cara membaginya dengan selisih bulan terbenam tanggal 15 dan 16 September (22 menit dibagi 53 menit menjadi 0,4151 bagian lingkaran). Dengan demikian tempat bulan dan matahari terbenam secara bersamaan terletak pada 0,4151 atau pada garis bujur 149,4o˜48 dan garis lintang 0o˜. Tempat inilah yang menjadi titik batas pemisah antara tanggal baru dan tanggal lama.

Untuk dapat membuat garis tanggal, kata Saadoe’ddin perlu menetapkan titik batas beberapa tempat yang memiliki bujur dan lintang yang berbeda. Karena itu perlu mengetahui waktu matahari dan bulan terbenam pada garis bujur 0o dengan garis lintang yang berbeda. Data ini Menurut Saadoe’ddin Djambek da-pat diperoleh pada almanak nautika.49 Saadoe’ddin mencontoh-kan garis tanggal dengan menggunamencontoh-kan data tanggal 16 September 1974 M. dari Almanak Nautika berikut ini:

Tabel 1. Daftar Waktu Terbenam pada Garis Bujur 0o

Berdasarkan data pada tabel di atas, diketahui bahwa pada garis Bujur 0o dengan garis lintang yang berbeda memiliki waktu terbenam matahari yang berbeda dan waktu terbenam bulan yang berbeda. Secara umum dapat dipahami bahwa pada garis bujur 0o, tanggal 16 September 1974 M. pada semua tempat hilal sudah wujud, karena matahari terbenam lebih awal dari bulan.

47 Saadoe’ddin Djambek berasumsi bahwa matahari terbenam pada jam yang sama pada semua tempat yang memiliki garis lintang yang sama. Baca, Djambek, Hisab Awal, 34. Baca juga, Djambek, Almanak Djamaliah, 21-22.

48 Untuk merubah bagian lingkaran menjadi derajat lihat tabel memin-dahkan derajat menjadi bagian lingkaran yang telah dibuat Saadoe’ddin Djambek, 49 Menurut Saadoe’ddin Djambek menggunakan data dari Almanak Nautika memberikan keuntungan praktis karena mudah menggunakan, tetapi kurang memberikan ketelitian waktu terbenamnya matahari dan bulan karena hanya memberikan waktu sampai menit saja. Baca, Djambek, Hisab Awal, 38.

(18)

Berdasarkan data di atas, Saadoe’ddin Djambek mempro-yeksikan waktu terbenam matahari dan waktu terbenam bulan secara bersamaan, pada garis lintang yang sama dan garis bujur yang berbeda, pada tanggal 16 September 1974 M. Adapun pro-yeksi tersebut dideskripsikan dalam bentuk tabel berikut ini:

Tabel 2. Garis Batas Tanggal

Berdasarkan pada tabel di atas diketahui bahwa garis tang-gal melewati tempat yang memiliki lintang 20o LU dan bujur 80Ú BT; lintang 10o LU dan bujur 118o BT; lintang 0o dan bujur 149o BT; serta lintang 10o LS dan bujur 174o BT. Tempat-tempat tersebut dapat dihubungkan dengan garis tegak lurus, sehingga membatasi tanggal lama dan tanggal baru. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat digambarkan dalam bentuk grafik garis tanggal sebagai berikut:

Gambar 1. Garis Tanggal

50M. maksudnya adalah waktu matahari terbenam, sedangkan B. mak-sudnya waktu bulan terbenam. Selisih M dan B dihitung dengan cara mengurang-kan waktu Bulan terbenam tanggal 16 September dengan matahari terbenam tang-gal 16 September 1974 M.

51B-1, Maksudnya waktu bulan terbenam hari sebelumnya, B. maksudnya waktu Bulan terbenam pada hari tersebut. Selisih B dan B-1 dihitung dengan cara mengurangkan waktu terbenam bulan pada tanggal tersebut dengan waktu ter-benam bulan hari sebelumnya.

52Bagian lingkaran dihitung dengan cara membagi selisih B-M dengan selisih B dan B-1

53Bujur dihitung dengan cara mengalikan bagian lingkaran dengan 360Ú atau dengan cara melihat tabel memindahkan derajat menjadi bagian lingkaran buatan Saadoe’ddin Djambek.

(19)

Berdasarkan deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa se-luruh wilayah Indonesia pada tanggal 16 September 1974 M, bulan sudah wujud. Dengan demikian, di Indonesia dan semua tempat yang berada di sebelah Barat garis tersebut sampai pada batas

date line, 1 Ramadan jatuh pada hari Selasa, sedangkan tempat-tempat yang berada di sebelah Timur garis tersebut sampai pada batas date line, 1 Ramadan jatuh pada hari Rabu. Dalam kondisi seperti ini, kata Saadoe’ddin Djambek tidak menimbulkan per-soalan, karena garis batas tanggal tidak melewati wilayah kesatu-an Indonesia.

Garis batas tanggal adakalanya melewati suatu wilayah kesatuan, baik kota/kabupaten, profinsi bahkan suatu Negara. Garis batas tanggal yang melewati suatu wilayah tertentu akan memecah daerah tersebut menjadi dua bagian, sehingga dalam satu wilayah ada bagian yang sudah masuk bulan baru dan ada yang masih bulan lama. Implikasinya, pada bagian yang masuk bulan baru, orang akan memulai puasa/berlebaran lebih dahulu, sedangkan pada bagian yang belum masuk bulan baru akan me-nunggu hari berikutnya. Keadaan seperti ini menurut Saadoe’ddin Djambek merupakan keadaan yang tidak diinginkan. Karena itu Saadoe’ddin Djambek menawarkan konsep penyatuan penang-galan dalam satu wilayah hukum.54

Konsep Saadoe’ddin Djambek mengenai penyatuan pe-nanggalan dalam satu wilayah hukum adalah dengan membelok-kan batas garis penanggalan ke arah Barat. Dengan membelokmembelok-kan batas garis penanggalan kearah Barat, wilayah yang seharusnya sudah masuk bulan baru dianggap masih bulan lama. Sementara wilayah yang berada pada bagian wilayah bulan lama tetap bulan lama. Dengan demikian Saadoe’ddin Djambek menginginkan wilayah yang sudah wujûd al-hilâl dianggap belum wujud. Konsep seperti ini, kata Saadoe’ddin Djambek sesuai dengan Sabda Rasulullah yang menyatakan:”Berpuasalah kamu bila melihat bulan dan berbukalah bila melihatnya, jika ada awan hendaklah kamu sempurnakan bulan Syakban tiga puluh hari”.55

Implikasi, Kelebihan dan Kelemahan Takwim Saadoe’ddin

Model takwim yang dibangun oleh Saadoe’ddin Djambek berimplikasi terhadap perumusan kalender hijriah Indonesia. Susiknan Azhari menyatakan bahwa aliran hisab yang dikem-bangkan Saadoe’ddin Djambek banyak digunakan di Indonesia.

54 Djambek, Hisab Awal, 39. 55Ibid. 40.

(20)

Menurutnya aliran ini banyak mewarnai corak pemikiran hisab Indonesia.56 Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian muker Badan Hisab dan Rukyah terhadap hasil perhitungan dari berbagai sistem yang dilakukan antara tahun 1979-1980 tentang penentuan saat terjadi ijtimak dan tinggi hilal. Hasil penelitian tersebut me-nyimpulkan bahwa sistem perhitungan yang dipakai oleh Saadoe’ddin Djambek tidak terlalu jauh perbedaannya dengan sistem perhitungan yang digunakan oleh new comb, dalam menen-tukan saat ijtimak dan posisi hilal.57 Oleh karena itu, logis jika takwim Indonesia diwarnai oleh corak pemikiran Saado’ddin Djambek.

Bila melihat aspek historis, Saadoe’ddin Djambek merupa-kan orang pertama yang memimpin Badan Hisab Rukyah Indo-nesia, sudah tentu lembaga tersebut banyak diwarnai oleh cara berpikirnya. Disamping itu, Saadoe’ddin Djambek memiliki kon-sep awal bulan yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Karena itu, bangunan konsep takwim Indonesia terutama terbitan Depar-temen Agama Indonesia di pengaruhi oleh konsepnya.

Konsep takwim yang ditawarkan Saadoe’ddin Djambek, memiliki kelemahan dan kelebihan. Diantara kelebihan konsep ini adalah: Pertama, dari segi sistem perhitungan penentuan awal bulan, konsep Saadoe’ddin Djambek menggunakan rumus–rumus yang dibangun dari kaidah-kaidah Sperical Trigonometry. Artinya akurasi hasil perhitungannya tidak diragukan. Hal ini akan sangat berbeda dengan sistem lain yang tidak mengunakan kaidah sperical trigonometry, misalnya sistem perhitungan dalam kitab Sullam al-Nayyirain, dan Fathu Rauf al-Mannan.58 Oleh karena itu, sistem

perhitungan ini kadang-kadang memiliki perbedaan yang cukup jauh dengan sistem perhitungan Saadoe’ddin Djambek.

Kedua, dari segi aplikasi, tawarannya mengenai konsep

wujûd al-hilâl Sangat memungkinkan terbangunnya kalender

hijriah hakiki. Kalender hijriah yang dapat digunakan sebagai patokan untuk melaksanakan ibadah bagi yang meyakini konsep

wujûd al-hilâl. Artinya konsep kalender Hijriah yang mendasarkan pada urfi kurang relevan lagi.

Konsep Saadoe’ddin Djambek mengenai takwim merupa-kan sebuah kontruksi pemikiran yang komprehensif. Dikatamerupa-kan

56Susikan Azhari, “Saadoe’ddin Djambek”, 172-173

57 Depag RI, Almanak Hisab Rukyah (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama), 108.

58Untuk mengetahui lebih mendetil mengenai sistem perhitungan dalam dua kitab tersebut selanjutnya baca. Muhammad Man’ûr ibn abd al-Hamîd ibn Muhammad Damîrî, Sullam al-Nayyirain (tp;1925M /1344H), dan Abu Hamdan Abdul Djalil, Fathu al-Rauf al-Mannan (tp.tt).

(21)

demikian, karena pemikirannya tidak hanya berbicara pada datar-an pergerakdatar-an benda-benda ldatar-angit ddatar-an sistem perhitungdatar-anya, namun konsep takwimnya selalu dilandasi dalil-dalil naqli. Dalam hal ini Saadoe’ddin Djambek menggali konsep hilal baru (new moon), permulaan hari (permulaan tanggal hijriah) mendasarkan pada nash-nash al-Quran. Namur demikian dari konsep tersebut memiliki kelemahan, terutama konsistensi paradigma yang dibangun.

Diantara beberapa kelemahan penerapan konsep tersebut adalah: Pertama, berkaitan dengan singkronisasi antara konsep ufuk setempat, pendekatan keyakinan dalam wujûd al-hilâl, serta penentuan garis tanggal. Dikatakan demikian karena pada satu sisi Saadoe’ddin Djambek menawarkan konsep ufuk setempat dalam menentukan awal bulan dan hasilnya harus diyakini, tetapi pada sisi lain Saadoe’ddin Djambek menyatakan wujûd al-hilâl

tidak berlaku ketika memecah wilayah kesatuan. Disini sangat nam-pak bahwa Saadoe’ddin Djambek pada satu sisi ingin menawarkan konsep toleransi dan kebersamaan tetapi pada sisi lain mengor-bankan konsep keyakinan yang telah di bangun. Hal ini menurut penulis bertentangan dengan kaida ushul fikih: “Al-yaqîn lâ yuzâl

bisyak” ketika akan diterapkan untuk persoalan ibadah. Oleh

karena itu, jika konsisten dengan konsep wujûd al-hilâl yang harus diyakini keberadaannya, maka konsep garis tanggal perlu diting-galkan supaya tidak merusak keyakinan yang telah terbangun.

Kedua, terdapat beberapa konsep Saadoe’ddin Djambek

yang saling bertentangan yakni antara onsep urgensi observasi dalam jtimak, urgensi observasi dalam enentukan akurasi matahari terbenam, dan pendekatan keyakinan (tidak urgennya observasi) dalam menentukan hilal baru. Menurut Saadoe’ddin Djambek berkaitan dengan ijtimak dan terbenamnya matahari, akurasi hasil hisab perlu dikonsultasikan dengan observasi. Sedangkan, berkait-an dengberkait-an konsep bulberkait-an baru tidak perlu observasi (hberkait-anya cukup diyakini). Padahal ketiga persoalan tersebut menyangkut persoalan empiris, bukan persoalan transendental. Oleh karena itu, semua hasil perhitungan perlu dibuktikan secara empiris di lapangan, baik ijtimak maupun keberadaan hilal baru.

Ketiga, menentukan awal bulan dengan konsep wujûd

al-hilâl merupakan hal yang sangat riskan. Dikatakan demikian, ka-rena dalam konsep wujûd al-hilâl sebagaimana yang ditawarkan Saadoe’ddin Djambek, tidak mensyaratkan ketinggian hilal, yang disyaratkan hanya piringan bulan sebela Timur ketika matahari ter-benam harus berada di atas ufuk. Sementara, semua sistem per-hitungan baik yang hakiki tahqiqi, maupun hakiki taqribi hasil hitungannya selalu berbeda. Berikut ini penulis contohkan hasil

(22)

per-hitungan awal Syawal 1431 H dari beberapa sistem perper-hitungan. Tabel 3. Hisab Awal Bulan Syawal 1432 H59

Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dideskripsikan di atas dapat disimpulkan bahwa ketinggian hilal pada awal Syawal 1432 H. berkisar dari 01o10’23'’ sampai dengan 05o˜03’43'’. Berdasarkan data di atas, diketahui bahwa setiap hasil perhitungan memiliki hasil yang tidak sama. Ini membuktikan bahwa terdapat kesulitan untuk menerapkan hasil perhitungan pada konsep wujûd al-hilâl. Konsep wujûd al-hilâl akan dapat diyakini secara sempurna ketika semua sistem perhitungan yang muktabarah menyatakan hilal berada di atas ufuk.

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bah-wa: 1) Konsep Saadoe’ddin Djambek mengenai perhitungan bulan dan tahun, baik miladiyah maupun hijriah merupakan sebuah kontruksi pemikiran yang komprehensif. 2) Dilihat dari corak berpikirnya, Saadoe’ddin Djambek berpegang pada konsep hisab murni dalam menentukan awal bulan baru, sehingga Saadoe’ddin Djambek tidak tertarik untuk mengkaji visibilitas bulan baru. 3) Permulaan hari dan tanggal hijriah adalah jika piringan bulan sebelah timur telah berada di atas ufuk ketika matahari terbenam, 59Sumber: Keputusan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat Tahun 2009 (Direk-torat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah- Dirjen Bimas Islam Depag RI).

(23)

ini diberi nama oleh Saadoe’ddin dengan wujûd al-hilâl. 4) Untuk menetapkan takwim hijriah diperlukan garis tanggal yang didasarkan pada wujûd al-hilâl. Sementara, jika garis tanggal me-mecah wilayah kesatuan hukum, perlu menjaga ukhuwah islamiyah

dengan cara menganggap tempat yang berada di sebelah Barat garis tanggal masih negatip (hilal belum wujud). 5) Konsep Saadoe’ddin Djambek mengenai takwim hijriah berimplikasi pada kalender hijriah nasional, sehingga pemikirannya banyak me-warnai corak takwim di Indonesia.

Namun demikian, pemikirannya memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya antara lain: Penghitungan takwimnya didasarkan pada Sperical Trigonometry dan pergerakan benda langit yang hakiki; dan konsep takwimnya didasarkan pada teks-teks syar’i. Sementara, kelemahannya antara lain: Pertama,

berkaitan dengan singkronisasi antara konsep ufuk setempat, pendekatan keyakinan dalam wujûd al-hilâl, serta penentuan garis tanggal. Pada satu sisi Saadoe’ddin Djambek menawarkan konsep ufuk setempat dalam menentukan awal bulan dan hasilnya harus diyakini, tetapi pada sisi lain Saadoe’ddin Djambek menyatakan

wujûd al-hilâl tidak berlaku ketika memecah wilayah kesatuan. Hal ini, bertentangan dengan kaidah ushul fikih: “Al-yaqîn lâ yuzâl bisyak” ketika akan diterapkan untuk persoalan ibadah. Kedua,

mengenai sinkronisasi antara konsep urgensi observasi dalam ijtimak, urgensi observasi dalam menentukan akurasi matahari terbenam, dan pendekatan keyakinan (tidak urgennya observasi) dalam menentukan hilal baru. Hal ini, karena berkaitan dengan ijtimak dan terbenamnya matahari, akurasi hasil hisab perlu dikonsultasikan dengan observasi, tetapi ketika berkaitan dengan bulan baru tidak perlu observasi, hanya cukup diyakini.

Daftar Pustaka

al-Bundâq, Muhammad ’âleh. Al-Taqwîm al-Hâdî, Cet. I. Beirut Libanon: Dâr al-Âfâq Al-Jadîdah, 1980 M/1400 H.

al-Dîn, Husain Kamâl. Ta’yîn Awâil al-Suhûr al-‘Arabiyyah, jilid 1. Riyadl: Dâr Al-Nâshir, 1979M/1499H.

Azhari, Susiknan. Saadoe’ddin Djambek dan Pemikirannya Tentang Hisab, dalam Jounal al-Jami’ah No 61 tahun 1998. Yogya-karta: IAIN Sunan Kalijaga, 1998.

______. Ensiklopedi Hisab Rukyat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

______. Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern.

(24)

Badan Hisab dan Rukyah Depag. Almanak Hisab Rukyah. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Depag RI, 1981.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, cet I. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Revisi. Semarang: Toha Putra, 1996.

Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah.

Keputusan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat Tahun 2009.

Lembang Jawa Barat, 2009.

Djamaluddin. Menggagas Fiqih Astronomi. Bandung: Kaki Langit, 2005.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996.

Khazin, Muhyiddin. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004.

--______. Kamus Ilmu Falak. Jogjakarta: Buana Pustaka, 2005. Mathew B, Miles dan Huberman, A. Michael. Analisis data Kualitatif

(Qualitatif data Análisis), terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press, 1992.

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet ke-3. Jakarta: LP3ES, 1985.

Raharto, Moedji. Catatan Perhitungan Posisi dan Pengamatan Hilal dalam Penentuan Kriteria Penampakan Hilal, dalam Se-layang Pandang Hisab Rukyah. Jakarta: Direktorat Peradilan Agama, 2004.

Saadoe’ddin Djambek. Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan, dan Matahari. Jakarta: Tintamas, 1968.

______. Al-manak Djamiliah. Jakarta: Kramat, 1953.

______. Perbandingan Tarikh. Jakarta: Tintamas, 1968.

______. Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa. Jakarta: Bulan

Bintang, 1974.

______. Shalat dan Puasa di Daerah Kutub. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

______. Hisab Awal Bulan. Jakarta: Tintamas, 1976.

Yusuf, Chairul Fuad dan A. Hakim, Bashori (ed.). Hisab Rukyat dan Perbedaannya. Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama-Puslitbang Kehidupan Beragama Depag RI, 2004.

Gambar

Tabel 1. Daftar Waktu Terbenam pada Garis Bujur 0 o
Tabel 2. Garis Batas Tanggal
Tabel 3. Hisab Awal Bulan Syawal 1432 H 59

Referensi

Dokumen terkait

Hasil klasifikasi ulang ke dalam empat kelompok umur panen buah melon menggunakan fungsi diskriminan kuadratik menunjukkan sejumlah 67.27% sampel buah dapat

Setelah dilakukan penelitian, peneliti mengharapkan dapat memberikan sumber informasi mengenai ASI Eksklusif dengan memberikan penyuluhan atau pendidikan kesehatan

RPP kelas eksperimen model sugestopedia berbasis PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) untuk meningkatkan kemampuan menulis puisi siswa sekolah dasar ... Tabel Focus

Skripsi berjudul “Pendudukan Amerika Serikat Di Jepang Tahun 1945-1952” telah diuji dan disahkan oleh Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa nilai median keseimbangan pasien sesudah terapi latihan gerak (hari ke-12) jauh lebih tinggi dari- pada sebelum terapi, dalam arti

Seluruh Dosen dan staf program studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana Bekasi yang telah memberikan segenap ilmunya.. Kepada teman-teman

Dengan melakukan pendaftaran awal semester padat Fakultas Ilmu Komputer (FIK) Universitas Klabat dengan menggunakan teknologi SMS gateway membuat mahasiswa mendapatkan

Item Respons Theory (!Rn berlandaskan pada dua postulat dasar yaitu (I) kinerja dari peserta ujian (examinee performance) pada test item dapat diprediksi (atau