• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAYANAN PERPUSTAKAAN PRIMA DI ERA GENERASI DIGITAL (DIGITAL NATIVE) : INSPIRASI, TRANSFORMASI DAN INOVASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAYANAN PERPUSTAKAAN PRIMA DI ERA GENERASI DIGITAL (DIGITAL NATIVE) : INSPIRASI, TRANSFORMASI DAN INOVASI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

LAYANAN PERPUSTAKAAN PRIMA DI ERA GENERASI DIGITAL (DIGITAL NATIVE) :

INSPIRASI, TRANSFORMASI DAN INOVASI

Pramukti Narendra (Perpustakaan Unika Soegijapranata Semarang)

Abstrak

Bagaimana perpustakaan memberikan layanan yang prima di era digital native? Apa makna digital native itu sendiri? Dua pertanyaan tersebut yang dewasa ini sedang dihadapi berkaitan dengan eksistensi perpustakaan di mata pengunjungnya. Agar tidak ditinggalkan oleh pemustakanya maka perpustakaan perlu melakukan re-engineering atau menata kembali peranannya agar tetap sejalan dengan kebutuhan pemustaka. Untuk itu dibutuhkan adaptasi agar perpustakaan tampil seperti yang diharapkan oleh pemustakanya. Lahirnya generasi net melahirkan inspirasi untuk perpustakaan dalam menjawab tantangan kebutuhan yang harus dipenuhi bagi pemustaka generasi net yang dilayani- lahirnya generasi net juga membawa angin segar bagi perpustakaan untuk merevitalisasi peran dan fungsinya sebagai lembaga pengelola informasi yang semakin luas canggih dan beragam penyediaan berbagai fasilitas yang mendukung suasana bagi generasi netter juga penting untuk mendapatkan perhatian misalnya dengan penyediaan ruang baca yang memadai, kemudahan akses ke berbagai sumber pengetahuan digital, kemudahan untuk mendapatkan dokumen digital dan kompetensi pustakawan di era digital.

Kata kunci :

(2)

Latar Belakang

Perpustakaan sebagai salah satu lembaga yang memberikan layanan kepada publik secara khusus mengemban tugas penyebarluasan informasi kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masing masing. Perpustakaan yang mutakhir sekalipun dengan berbagai perangkat teknologi yang terkini tidak akan menarik hati para pemustakanya (istilah yang digunakan untuk sebutan pengguna perpustakaan menurut UU No 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan) apabila tidak didukung dengan kesiapan pengelola perpustakaan dalam mengelola lembaga informasi ini untuk memberikan pelayanan yang maksimal untuk para pemustakanya.

Di dalam perpustakaan tentu akan ditemukan para pengelola perpustakaan yang disebut sebagai pustakawan. Pustakawan merupakan profesi yang memiliki beberapa tugas pokok dan fungsi yang sepesifik. Salah satu tugas pustakawan adalah memberikan layanan kepada para pemustakanya, dan untuk itu maka dibutuhkan keterampilan sosial ketika berhadapan dengan pemustaka. Interaksi sosial antara pemustaka dan pustakawan ini merupakan hal yang sangat penting agar keberadaan perpustakaan menjadi salah satu daya tarik dalam kehidupan pemustaka.

Pada tulisan ini saya ingin lebih mengetengahkan dinamika pelayanan perpustakaan khusus yaitu perpustakaanperguruan tinggi. Dewasa ini perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia cukup mengalami kemajuan yang pesat dibanding dengan perpustakaan yang lain dikarenakan adanya perkembangan positif di beberapa segi. Perkembangan yang pesat tersebut juga dibayang bayangi dengan tantangan baru yang dihadapi oleh pustakawan dan perpustakaan berkaitan dengan perilaku dan cara akses pemustaka di lingkungan perguruan tinggi.

Pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini sudah tidak terbendung dan tumbuh secara cepat. Hal ini mempengaruhi pola masyarakat dalam berinformasi. Demikian juga yang terjadi di lingkungan akademik / perguruan tinggi. Fenomena yang kita temui adalah semakin banyaknya pemustaka yang dalam kehidupannya telah dilengkapi dengan perangkat teknologi canggih. Demikian uga hal nya pemustaka di lingkungan perguruan tinggi. Gadget/ perangkat Teknologi informasi membuat perubahan perilaku pemustaka di perpustakaan perguruan tinggi menjadi kearah asosial dalam arti bahwa berkurangnya interaksi antara pemustaka

(3)

dengan pustakawan pada saat berada di perpustakaan. Hal ini juga memberikan arti bahwa pemustaka lebih senang dengan akses menggunakan perangkat teknologi dibandingkan bertanya dengan petugas atau pemustaka. Pemanfaatan perangkat teknologi membuat pemustaka ketika membutuhkan informasi terasa informasi itu berada tepat diujung jari saja jangkauannya. Melalui bantuan perangkat teknologi informasi pemustaka dalam waktu yang relatif singkat mampu untuk mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkannya dan era sekarang ini dinamakan sebagai abad informasi, karena informasi terdapat dimana saja dan terasa sangat dekat dengan kita. Di era informasi ini tuntutan terhadap kepiawaian tenaga pustakawan sebagai tenaga profesional di bidang informasi juga menuntut perhatian dan tantangan tersendiri. Tantangan itu antara lain berkaitan dengan cara pelayanan pustakawan menghadapi generasi dalam era yang semakin canggih dengan sumber sumber informasi yang semakin kompleks sehingga keberadaan perpustakaan tetap menjadi pilihan bagi pemustaka. Tidak jarang pemustaka enggan bertanya kepada pemustaka karena mereka lebih asik bekerja dengan perangkat teknologi yang dimiliknya.

Dari situasi dan keadaan tersebut maka muncul pertanyaan bagaimana mewujudkan pelayanan perpustakaan yang prima di tengah era generasi digital native.

Layanan Prima

Perpustakaan merupakan salah satu contoh dari unit usaha yang bersifat layanan/services business (Septiyantono (Ed.), 2007: 218).Keberhasilan suatu perpustakaan dapat dilihat dari layanan yang diberikan. Perpustakaan yang tingkat kunjungannya tinggi menandakan adanya suatu denyut aktifitas yang tinggi hasil interaksi antara pustakawan dan pemustakanya. Adanya komunikasi yang hangat yang membuat pemustaka ingin mengulang kembali kehadirannya di perpustakaan.

Keberhasilan atau kemajuan sebuah perpustakaan salah satu unsurnya ditentukan oleh layanan yang diberikan. Hal itu juga tertulis di dalam Undang Undang nomor 43 tahun 2007 pasal 4 yang mengamanatkan bahwa perpustakaan bertujuan memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai salah satu –industri- di bidang jasa, lebih khusus lagi ada jasa informasi dan fasilitas, perpustakaan yang ingin mencapai tujuannya yaitu sebagai sumber belajar dan penyebaran informasi tentu berupaya untuk memberikan upaya yang terbaik yang bisa dilakukan atau dengan isitilah memberikan layanan yang prima.

(4)

Menurut Barata (2012) layanan prima merupakan upaya perusahaan / organisasi memberikan layanan terbaiknya sebagai wujud kepedulian kepada pelanggan. Pendapat terpisah dikemukakan oleh Djajendra (2011) dalam Yuniwati (2013) yang mengemukakan bahwa mewujudkan layanan prima sulit karena salah satunya dipengaruhi oleh perilaku individu yang berada dalam posisi tidak konsisten dan selalu turun naik sesuai dengan keadaan dirinya.

Dari dua pendapat tersebut, saya berpandangan bahwa layanan prima berkaitan erat dengan tujuan dari organisasi apapun, dan sarana untuk mencapai tujuan itu adalah terus memelihara hubungan yang hangat dan harmonis dengan para pelanggannya. Untuk itu maka diperlukan suatu usaha (perbaikan) yang terus menerus untuk membentuk karakter petugas layanan yang mampu untuk mengutamakan atau berorientasi kepada pelayanan pelanggan. Bila hal itu diterapkan di perpustakaan maka tujuan perpustakaan sebagai pengelola dan penyebar informasi ilmiah bagi pemustaka perlu didukung dengan tenaga pustakawan yang di dalam tugasnya senantiasa mengutamakan pemustaka sebagai pelanggan perpustakaan yang harus dijaga suasana batinnya agar merasa ”diuwongke” ketika pemustaka berada di perpustakaan. Suasana batin pemustaka perlu untuk dipelihara karena dari suasana batin itulah muncul kesan ataupun testimoni berkaitan dengan kualitas perpustakaan maupun kualitas pustakawan yang mengelola perpustakaan. Di dalam kegiatan pelayanan ada 3 pihak yang terlibat atau mendukung proses pelayanan tesebut. Demikian pula yang terjadi di perpustakaan. Pihak tersebut adalah :

1. pihak penyedia layanan dalam hal ini adalah pustakawan di perpustakaan perguruan tinggi

2. pihak yang menerima layanan dalam hal ini adalah pemustaka di perguruan tinggi atau sivitas akademika

3. jenis atau bentuk layanan dalam hal ini adalah berbagai macam ragam layanan informasi dan layanan fasilitas yang tersedia di perpustakaan.

Menciptakan atmosfir layanan yang prima bukanlah hal yang mudah. Seperti banyak dikatakan bahwa mudah diucapkan tetapi perlu diperjuangkan konsistensi untuk menggapai predikat layanan yang prima. Ada pula banyak pendapat yang dikemukakan para ahli berkaitan dengan kajian ini. Salah satu yang masih baru adalah pendapat yang dikemukakan oleh Barata (2012) dalam bukunya Dasar-dasar

(5)

pelayanan prima mengemukakan 6 faktor sebagai konsep mengembangkan layanan prima yaitu :

1. Ability adalah kemampuan dan ketrampilan tertentu yang mutlak diperlukan untuk menunjang program layanan prima yang meliputi kemapuan dalam bidang kerja yang ditekuni, melaksanakan komunikasi yang efektif, mengembangkan motivasi dan menggunakan public relation sebagai instrumen dalam membina hubungan ke dalam dan keluar perpustakaan.

2. Attitude : adalah perilaku atau perangai yang harus ditonjolkan ketika menghadapi pemustaka

3. Appearance : adalah penampilan seseorang baik yang bersifat fisik dan non fisik yang mampu merefleksikan kepercayaan diri dan kredibilitas pihak lain.

4. Attention : adalah kepedulian penuh terhadap pelanggan baik yang berkaitan dengan perhatian akan kebutuhan dan keinginan pelanggan maupun pemahaman atas saran dan kritiknya.

5. Action : adalah berbagai kegiatan nyata yang harus dilakukan dalam memberikan layanan kepada pemustaka

6. Accountability : adalah suatu sikap keberpihakan kepada pemustaka sebagai wujud kepedulian untuk menghindari atau meminimalkan kerugian atau ketidakpuasan pemustaka.

Kompetensi pustakawan

Layanan perpustakaan yang prima menuntut kualitas pustakawan yang memiliki beberapa faktor yang telah diuraikan diatas. Untuk itu diperlukan kualitas dan kompetensi pustakawan yang mampu masuk dalam era pemustaka yang semakin modern dan memiliki cara tersendiri dalam mengakses sumber informasi. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi turut pula merubah cara kerja dan performa perpustakaan perguruan tinggi sebagai penunjang dalam kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dewasa ini masyarakat sudah masuk dalam suatu jaman baru dimana semuanya saling terhubung sehingga muncul istilah masa kini bahwa kita hidup di sebuah atmosfir masyarakat global (global village). Marshal McLuhan (dalam Endang Fatmawati 2013, 41) memaknai masyarakat global sebagai sebuah proses homogenisasi jagat sebagai akibat dari kesuksesan sistem komunikasi secara keseluruhan. Konsep tersebut kemudian

(6)

berkembang dan selanjutnya oleh Piliang (2004: 43) muncul pendapat berkaitan dengan masyarakat global bahwa kita saat ini ibarat hidup dalam istilah ”Dunia yang dilipat”

Saya punya perspektif bahwa bila istilah itu masuk dalam kajian pustakawan sebagai pengelola informasi maka perlu adanya usaha untuk menyegarkan kembali (refresh) sehingga posisi pustakawan relevan dan sinergis dengan kebutuhan pemustaka.

Dalam era teknologi dewasa ini kompetensi pustakawan mengalami berbagai macam pergeseran paradigma dan fungsinya. Pustakawan banyak mengalami perubahan berkaitan dengan tugas dan fungsinya sebagai profesi yang senantiasa berhubungan dengan berbagai macam informasi yang dewasa ini semakin kompleks jenisnya. Berkaitan dengan perubahan paradigma informasi yang juga masuk dalam lingkungan perpustakaan di perguruan tinggi maka pustakawan perlu mengambil sikap untuk melakukan penyesuaian dan bahkan perubahan perubahan untuk menjawab tantangan jaman yang semakin maju dan modern.

Pustakawan yang mau terlibat untuk menyesuaikan diri atau bahkan berubah untuk menjawab tantangan abad informasi ini menciptakan berbagai hasil perubahan yang pada akhirnya akan menjadikan citra dan image pustakawan menjadi lebih baik dan memiliki kemampuan yang lebih mumpuni tentunya. Beberapa aplikasi yang bisa ditunjukkan antara lain (Endang Fatmawati, 2013. 41) :

1. transformasi dari budaya yang semula ngrumpi atau lesan menjadi budaya baca dan tulis (oral to read/write)

2. Transformasi dari perpustakaan yang berbasis sumberdaya fisik menjadi perpustakaan berbasis pengetahuan (tangible to intagible)

3. Transformasi dari orientasi penyediaan koleksi fisik ke elektronik sehingga semakin cepatnya akses terhadap informasi (collection to access)

4. Transformasi dari berpikir untuk perpustakaan sendiri menjadi berkolaborasi dan membangun jaringan (individual to group and networking)

5. Transformasi bahan perpustakaan dari bentuk kertas menjadi tanpa kertas (paper to paperless)

6. Transformasi dari perpustakaan berbasis rantai nilai fisik menjadi berbasis rantai nilai maya (physical value chain to virtual)

(7)

7. Transformasi dari paradigma ahli kepustakawanan saja menjadi studi interdisipliner yang multidisiplin ilmu (librarianship to interdisciplinary multistudies)

Generasi Digital / Net gen /Digital Native

Bagaimana perpustakaan memberikan layanan yang prima di era digital native? Apa makna digital native itu sendiri? Dua pertanyaan tersebut yang dewasa ini sedang dihadapi berkaitan dengan eksistensi perpustakaan di mata pengunjungnya.

Cendrela Habre Direktur Riyad Nassar Library Lebanese American University di Beirut Lebanon mengemukakan bahwa digital native adalah orang yang lahir pada saat atau setelah dikenalinya secara umum teknologi digital. Pengertian yang lain yaitu orang yang lahir setelah era tahun 1980 sebagai masa diawalinya era digital, tetapi fokusnya adalah pada orang-orang yang dibesarkan pada akhir abad 20 dengan kehadiran berbagai perangkat teknologi yang menjadi suatu hal yang umum dan terus berkembang hingga hari ini.

Karakterisasi generasi digital native seperti yang diutarakanoleh Cendrela Habre antara lain adalah :

1. Tech Savvy atau dalam pengertian penyuka teknologi

2. totally dependent of technology : maksudnya bahwa generasi net ini bergantung pada fasilitas berbasis teknologi terutama dalam berinformasi. 3. Multitasking bahwa generasi net ini mampu dalam waktu yang hamper

bersamaan mengerjakan beberapa aplikasi dalam satu perangkat teknologi, karena dukungan perangkat yang memungkinkan untuk bekerja secara multitasking atau berbarengan.

4. Alive , up to date, smart, successful, team oriented, : dalam berbagai aktivitas generasi net ini bekerja lebih bersemangat, menyukai yang mutakhir, bekerja cerdas, ingin selalu berhasil dan senang untuk berkolaborasi/bekerjasama 5. Social active learners generasi net ini menyukai belajar secara bersama atau

mendiskusikan sesuatu secara lebih terbuka dan aktif.

6. don’t learn by listening to lectures but by collaborating, networking and sharing generasi ini selain mendengarkan pelajaran dari yang diperolah dari dosen, mereka juga mengembangkan materi yang telah diperolehmelalui

(8)

berbagai diskusi, membuka jaringan dan saling berbagi pengetahuan yang dimiliki.

7. Love to be engaged in the teaching and learning process : generasi ini juga menyukai dalam berbagai proses dalam pembelajaran baik itu kuliah tatap muka maupun belajar mandiri

8. Extensive discloser of personal data generasi ini juga lebih terbuka dalam berbagi informasi (mungkin juga yang bersifat pribadi)

9. Creators and innovators : generasi yang aktif kreatif dan inovatif.

10. Learn through browsing and may not be able to identify qualified and experts sources : generasi yang aktif untuk melakukan browsing dan kurang memperhatikan dalam mengenali sumber sumber informasi yang diperolehnya.

11. DN are people of the screen. Generasi ini adalah generasi yang bekerja di depan layar.

Inspirasi dan Inovasi menghadirkan layanan prima di Perpustakaan

Agar tidak ditinggalkan oleh pemustakanya maka perpustakaan perguruan perlu melakukan re-engineering atau menata kembali peranannya agar tetap sejalan dengan kebutuhan pemustaka. Untuk itu dibutuhkan adaptasi agar perpustakaan tampil seperti yang diharapkan oleh pemustakanya. Lahirnya generasi net melahirkan inspirasi untuk perpustakaan dalam menjawab tantangan kebutuhan yang harus dipenuhi bagi pemustaka generasi net yang dilayani- lahirnya generasi net juga membawa angin segar bagi perpustakaan untuk merevitalisasi peran dan fungsinya sebagai lembaga pengelola informasi yang semakin luas canggih dan beragam- Beberapa inspirasi dan inovasi yang dibisa dikembangkan oleh perpustakaan di era digital native antara lain :

1. Perpustakaan yang semula berperanan sebagai Housing resources menjadi Connecting resources : Artinya bahwa di perpustakaan tesedia berbagai fasilitas dimana orang bisa saling berinteraksi di perpustakaan. Perpustakaan mampu menjadi penghubung antarkomunitas pembelajar dari universitas sebagai lembaga induk di perpustakaan dapat ditemukan berbagai sumber informasi dan pemustaka dapat mendiskusikannya secara kolaboratif

(9)

2. Print centric menjadi user centric : artinya pada masa lalu ketika perangkat teknologi belum semaju dewasa inikeberadaan koleksi tercetak atau buku sangat dominant di perpustakaan dewasa ini keberadaannya menjadi salah satu bagiankoleksi perpustakaan yang harus disediakan bagi kebutuhan pemustaka.

3. Solitary and silence menjadi solitary and collaborative : artinya bahwa sebelumnya perpustakaan dikenal sebagai sebuah ruangan yang penghuninya harus diam dan tidak boleh menciptakan berbagai kebisingan tetapi sekarang berubah menjadi tempat yang membuat pemustaka asyik untuk bekerja secara kolaboratif dengan pemustaka lainnya

4. Mono task menjadi multitask : keberadaan perpustakaan yang pada era sebelumnya hanya sebagai tempat penyimpanan koileksi kini tugasnya menjadi sangat kompleks dengan berbagai pengelolaan informasi yang semakin bervariasi dan penyediaan fasilitas serta menjalin komunikasi afektif dengan pemustaka

5. Introvert menjadi extrovert : penulis berpendapat bahwa perpustakaan diharapkan mampu menempatkan dirinya sebagai lembaga yang terbuka dan menjalin komunikasi yang hangat dengan pemustakanya

6. Fixed menjadi adaptable : pendapat penulis perpustakaan diharapkan mampu menyesuaikan dengan berbagai perkembangan teknologi dan perilaku pemustakanya pustakawan diharapkan mampu mengembangkan kompetensinya dalam berbagai kemampuan multidisiplin

7. Self service menjadi concierge : penulis mengartikan bahwa perpustakaan sebagai penyedian sumber informasi dan tempat untuk bebagai fasilitas layanan

8. No food and drink menjadi cafes : pendapat penulis bahwa perpustakaan menyediakan sebuah ruangan yang dipergunakan sebagai tempat untuk beristirahat untuk makan dan minum

Selain butir butir yang telah dikemukakan diatas secara lebih sederhana pelayanan prima juga berkaitan dengan unsur courtesy. Apa artinya Courtesy dalam sebuah kegiatan layanan di perpustakaan?

(10)

Sharing Pengalaman (inovasi) Penulis

Dalam pandangan penulis yang sehari hari bekerja sebagai pustakawan di sebuah perguruan tinggi swasta di kota Semarang, dapatlah saya sharingkan bahwa implementasi pelayanan prima dalam kegiatan sehari hari sebagai pustakawan, ada beberapa hal yang telah saya lakukan :

1. Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka se iklas iklasnya

2. Dengan adanya kritik dan saran dari pemustaka maka pustakawan harus menyadari bahwa masih banyak yang mesti dibenahi. Pustakawan perlu melakukan tindakan perbaikan terus menerus atau continuous improvement.

3. Menetapkan standar sasaran mutu terhadap layanan bagi pemustaka misalnya standar target pencarian koleksi, sasaran mutu jam buka perpustakaan, sasaran mutu fisik koleksi, sasaran mutu deskripsi bibliografi, sasaran mutu digital library dan berbagai standar mutu yang langsung bisa dirasakan oleh pemustaka

4. Menetapkan standar operating prosedur terhadap semua aktivitas pelayanan di perpustakaan sehingga antar pemustaka tidak timbul kecemburuan / pilih kasih

5. Menyediakan kotak kritik dan saran baik dalam kunjungan secara fisik maupun virtual

6. Mengembangkan komunikasi dengan pemustaka dengan penuh simpati dan empati 7. Mengembangkan budaya tersenyum menyapa dan memberikan salam bagi pemustaka (humanis)

8. Mengembangkan perpustakaan virtual yang interfacenya user friendly.

9. Mengadakan berbagai kegiatan yang menciptakan komunikasi dua arah misalnya kuis atau berbagai bentuk lomba yang berkaitan dengan perpustakaan.

10. Memberikan penghargaan bagi pemustaka dengan kualifikasi tertentu.

11. Penyediaan fasilitas untuk mendukung era net gen yang sungguh memadahi. Misalnya bandwith di perlebar, furniture yang nyaman, koleksi repository yang cukup memadai, OPAC yang akurat, dan jaringan antar perpustakaan secara virtual yang luas.

12. Menyediakan blanko check list terhadap berbagai jenis layanan yang kita sediakan dan pemustaka dapat memilih dalam jenis layanan apa pemustaka tersebut mengharapkan bantuan pertolongan secara lebih intensif.

Pendapat terpisah dikemukakan oleh Pendit dan Sudarta (2004) yang mengemukakan bahwa bentuk sikap courtesy dalam pelayanan dapat diwujudkan yaitu dengan penuh

(11)

perhatian (attentive), penuh pertolongan (helpful), tenggang rasa (considerate), sopan (polite), peduli (respectful).

Penutup

Kita sekarang berada di dalam pusaran arus perkembangan teknologi informasi dan perubahan generasi kehidupan manusia Banyak sekali contoh yang kita dapat ketahui dari berbagai media bahwa bila tidak ingin tertinggal oleh pusaran jaman maka gerakan semua bidang/usaha/ lembaga perlu penyesuaian dengan jaman saat ini Teknologi informasi banyak memberikan inspirasi bagi semua orang untuk menciptakan perubahan menciptakan daya kreativitas dan timbulnya berbagai macam inovasi dalam segi pekerjaan juga di perpustakaan.

Layanan berkaitan dengan kemampuan personal pustakawan yang ditunjukkan secara visual kepada pemustakanya. Kemampunan personal itu akan menciptakan image baik itu positif atau sebaliknya. Harapannya bahwa image yang tercipta adalah positive bagi kemajuan perpustakaan. Maka perlu ada re-engineering atau menata kembali berbagai unsur yang ada di perpustakaan untuk mampu menciptakan image sebagai rumah pengetahuan bagi pemustaka.

Daftar Pustaka

Barata, Atep Adya. 2012.Dasar-dasar pelayanan prima. Jakarta : Elex Media Komputindo

Cendrela Habre University Librarian at Lebanese American University. Impact of Digital Natives on Libraries. Diakses tanggal 12 April 2012. dalam http://www.slideshare.net/Cendrella1/impact-of-digital-natives-on-libraries Depdiknas.Dirjen Dikti. 2004. Perpustakaan Perguruan Tinggi buku pedoman.

Jakarta Dirjen Dikti.

Fatmawati, Endang (2013) Transformasi Peran Pustakawan Perguruan Tinggi dalam mewujudkan layanan perpustakaan yang humanis. Surakarta : Perpustakaan IAIN Surakarta, 2013.

Fjallbrant, Nancy & Malley, Ian. 1984. User education in libraries. London : Clive Bingley

(12)

Maslahah, Khoirul. (ed).2013. Bunga rampai layanan perpustakaan berbasis humanisme. Surakarta : IAIN Surakarta.

Sentana, Aso. 2006. Excellent service and customer satisfaction. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Septiyantono,Tri dan Umar Sidik (Ed.).2007.Dasar-Dasar Ilmu Perpustakaan dan Informasi.Yogyakarta: Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga.

Sutarno. 2006. Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta : Sagung Seto.

Suwondo & Yuniwati. (2013) Membangun Karakter Humanis Pustakawan untuk Mewujudkan Layanan Prima. Surakarta : Perpustakaan IAIN Surakarta, 2013. Zero Fisip. virtual library paradigma baru pengelolaan informasi dakses tanggal 8

Mei 2014 dalam http://zero-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-69657-

Artikel%20Ilmiah-VIRTUAL%20LIBRARY:%20PARADIGMA%20BARU%20PENGELOLA AN%20INFORMASI.html

Referensi

Dokumen terkait

Bank syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yakni harus berhati-hati atau.. bijaksana serta bertindak baik dan

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dan atas rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul:

Hasil rata-rata pengamatan pengaruh pengelolaan hara spesifik lokasi (PHSL) terhadap jumlah anakan dan tinggi tanaman pada umur 28 HST (stadia anakan produktif), umur 49 HST

KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penambahan larutan Aluminium Sulfat konsentrasi 30 ppm pada proses

1) Sisi Internal SatKer (Satuan Kerja): jumlah SDM yang mengawasi dan mengerti penggunaan Alsus (Alat-alat Khusus) yang terbatas, peralatan-peralatan khusus baik primer

penunjang lainnya yang dianggap relevan. Inventarisasi tanah yang terindikasi terlantar dilakukan oleh kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi setempat atas dasar hasil

Dalam masyarakat informasi terdapat istilah digital native, menurut Kellner (2010) digital native yaitu generasi yang tumbuh dalam setting perkembangan dan