Perubahan Paradigma Layanan
Perpustakaan Untuk Generasi Digital
Immigrant dan Generasi Digital Native
MAKALAH
Oleh : Murniaty, S.Sos.
NIP : 19690410200112 2 001
PERPUSTAKAAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat dewasa ini sangat
mempengaruhi semua bidang kehidupan manusia. Perkembangan in ini mewujudkan suatu
dunia global tanpa batas ruang dan waktu. Apa yang terjadi di belahan dunia lain dapat
diketahui pada saat itu juga oleh hampir semua orang. Kolaborasi dan kerjasama dapat
dilakukan oleh setiap orang, bahkan oleh orang yang belum mengenal secara fisik.
Tumbuhnya era teknologi informasi yang dipercepat melalui perkembangan internet di
Indonesia juga telah memasuki dunia perpustakaan. Sekarang ini banyak
perpustakaan-perpustakaan di Indonesia yang mengembangkan layanannya dengan memberikan
layanan-layanan yang berbasis IT dan internet.
Pemakai perpustakaan juga telah banyak berubah ditandai dengan munculnya
generasi digital (Digital Natives) di Indonesia yang dimulai pada tahun 1990-an. Banyak pemakai perpustakaan sekarang ini yang telah terbiasa menggunakan perangkat IT. Harga
komputer terutama laptop juga semakin terjangkau sehingga mengakibatkan mereka semakin
mudah untuk mengakses internet untuk memenuhi kebutuhan informasinya.
Berdasarkan semua fenomena di atas maka penulis sangat tertarik untuk menulis
bagaimana perpustakaan sebagai penyedia sumber informasi bagi pemakainya tanggap
terhadap perubahan perilaku dan cara belajar dari pemakainya sekarang ini yang berubah dari
generasi digital immigrant ke generasi digital native. Sehingga munculnya fenomena perubahan pemakai perpustakaan dari generasi digital immigrant ke generasi digital native
tentunya menyebabkan perpustakaan harus merubah paradigma layanannya. Dari layanan
yang konvensional menjadi layanan digital yang cepat, tepat, mudah dan praktis.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan juga pembaca yang tertarik dengan
dunia perpustakaan dan kepustakawanan di Indonesia.
ii DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ……….. i
Daftar Isi ………. ii
1. Pendahuluan ... 1
2. Generasi Digital Native dan Digital Immigrant... 1
3. Perubahan Paradigma Layanan Perpustakaan untuk Generasi Digital Immigrant dan Generasi Digital Native... 3
4. Penutup ... 7
Perubahan Paradigma Layanan Perpustakaan
Untuk Generasi
Digital Immigrant
dan Generasi
Digital Native
1. Pendahuluan
Perkembangan perpustakaan dalam dua dasa warsa terakhir menunjukkan perubahan
yang sangat besar, antara lain dipicu oleh perkembangan teknologi informasi yang sangat
cepat setelah munculnya internet pada tahun 1990-an. Perubahan yang terjadi cukup
signifikan, yaitu dari perpustakaan manual menjadi digital atau perpustakaan hybrid, yaitu
paduan antara perpustakaan dengan koleksi cetak dan koleksi digital.
Selain merubah proses transfer informasi, teknologi informasi juga telah
menyebabkan munculnya generasi baru yang sangat berbeda dengan sebelumnya, yaitu dari
generasi digital immigrants ke generasi digital native. Kata native, dalam bahasa Inggris yang
berarti ‘asli’ sehingga cukup menjelaskan bahwa digital-native adalah orang-orang yang
hidup pada jaman digital sejak lahir. Jadi, ketika mereka lahir, sudah ada komputer,
handphone, internet dan perangkat-perangkat digital lainnya. Mereka tumbuh dalam dunia
World Wide Web.
Menurut Wahyudiati (2011) : “Generasi digital native adalah generasi yang lahir di era internet dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin praktis, cepat, mudah dan murah. Dengan adanya perubahan generasi pemakai perpustakaan menuntut pula peningkatan pelayanan perpustakaan. Mulai dari pengembangan koleksi perpustakaan dari koleksi hardcopy, audio visual dan softcopy, dari layanan konvensional ditingkatkan menjadi layanan e-library.Tidak kalah pentingnya juga rekonstruksi dan redesain fasilitas yang disesuaikan dengan tuntutan era informasi global”.
Sementara Digital Immigrant adalah orang-orang yang hidup dalam proses transfer
teknologi informasi dari teknologi manual dan konvensional berubah menjadi digital. Mereka
adalah generasi yang mau belajar teknologi baru tetapi belum bisa meninggalkan tradisi lama
secara 100 %. Mereka memanfaatkan teknologi informasi yang baru tersebut dengan cara
mereka sendiri.
Generasi digital native adalah orang-orang yang aktif menggunakan perpustakaan saat
ini. Bahkan diprediksikan saat ini sampai dengan tahun 2030 nanti, generasi digital native
akan mendominasi pemakai perpustakaan (apapun jenis perpustakaan itu) dibandingkan
dengan pemakai dari generasi digital immigrants yang jauh lebih sedikit. Adanya perubahan
generasi dari digital immigrant ke generasi digital native, maka mau tidak mau, perpustakaan
Perubahan Paradigma Layanan Perpustakaan 2 informasi pemakainya. Jika tidak demikian, perpustakaan tentu akan ditinggalkan oleh
pemakainya.
2. Generasi Digital Native dan Digital Immigrant
Teknologi komunikasi dan teknologi informasi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan
dalam kehidupan masyarakat sekarang. Bahkan karena adanya pengaruh teknologi informasi
tersebut, sekarang ini muncul sebutan baru pemakai perpustakaan, yaitu generasi Digital Native
dan generasi Digital Immigrant.
Digital native adalah istilah yang digunakan untuk menamakan generasi anak-anak yang
lahir setelah tahun 1990-an. Mereka ini hidup dalam dunia teknologi informasi dan selalu
terhubung dengan berbagai kalangan secara online, baik melalui mobile technology maupun
teknologi berkabel. Generasi ini juga bersifat multi-tasking dan multi modal. Digital native juga
sering disebut sebagai Generation Y, Generation I, Net Generation, Millenials, atau Echoboom.
Menurut Priyanto (2009) : “Net Gen atau digital native biasanya berharap teknologi dan konektivitas selalu ada kapanpun dan dimanapun. Konektivitas bagi mereka sangat penting karena mereka menggunakannya sebagai media untuk membangun jaringan kerja sosial dan
profesional. Mereka sudah biasa menggunakan e-mail, IM, chatting, blog, webcam, camera
phones, TV, video cameras, internet forum, digital music, online gaming, digital photos, laptops, dan lain-lain”.
Digital native adalah generasi digital yang sangat paham dengan internet,
multitasking, dan technologically literate. Mereka ingin cepat dalam menelusur informasi dan
selalu tersambung dengan internet. Mereka sangat menyukai sumber-sumber informasi dalam
bentuk digital. Mereka sembarangan dalam mengakses informasi (random access to
information) dan menyukai fun learning.
Lebih lanjut dapat disebutkan karakteristik dari digital native adalah: mereka berada
dalam dunia media dan gadgets terkait teknologi informasi, teknologi yang mereka gunakan
mobile, internet menjadi bagian dari dunia mereka, mereka multitaskers, mereka siap dengan
perubahan besar teknologi bahkan untuk 10 tahun mendatang, cara belajar dan meneliti
terbentuk oleh techno-world mereka, selalu on, selalu connected, canggih dan mudah
Digital natives ini adalah generasi yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya
(Digital Immigrant). Generasi ini terbiasa berkomunikasi dan berinteraksi melalui situs jejaring
sosial seperti facebook, twitter, online game, dan lain-lain. Menurut artikel yang dimuat di
majalah, Indonesia sudah menjadi negara terbesar di dunia yang menggunakan facebook dan
sebagai negara yang sangat cepat mengadopsi twitter. Indonesia juga memiliki lebih dari 120 juta
pemakai handphone (HP), dan market ini terus tumbuh dengan pesat. 60 % dari semua lalu lintas
internet di Indonesia terjadi lewat handphone (HP), bukan melalui komputer. (Sumber : Majalah
Charisma Edisi Februari-Maret 2011).
Net Generation atau generasi digital native adalah anak-anak yang ada pada saat ini.
Ini berarti, mereka adalah orang-orang akan menjadi pemakai perpustakaan sekarang dan
masa depan. Generasi digital native ini akan mendominasi pemakai perpustakaan sampai
kurang lebih tahun 2030. Untuk itu perpustakaan, apapun jenis perpustakaannya, harus
mengubah paradigma layanannya untuk memenuhi kebutuhan akan informasi generasi digital
native ini.
Digital Immigrant adalah sebutan bagi mereka yang lahir sebelum tahun 1980.
Generasi digital immigrant adalah generasi yang pada masa mudanya masih menggunakan
fasilitas konvensional atau tradisonal seperti mesin ketik, surat pos, dan sebagainya. Mereka
adalah generasi yang mau belajar teknologi baru tetapi belum bisa meninggalkan tradisi lama
secara 100 %. Mereka memanfaatkan teknologi informasi yang baru tersebut dengan cara
mereka sendiri dan terkadang menemukan berbagai kesulitan dalam memanfaatkannya.
Digital immigrants ini adalah generasi yang sudah dewasa atau tua pada waktu
internet mulai ada. Mereka generasi yang beralih dari teknologi konvensional ke teknologi
digital, dari mesik ketik manual menjadi keyboard, dari menulis surat menjadi e-mail, dan
mereka belum terbiasa menggunakan Google (internet) sebagai search engine. Sangat
berbeda dengan generasi digital natives yang selalu menggunakan Google ataupun search
engine lainnya (internet) untuk mencari informasi yang mereka butuhkan. Kenyataan lainnya
adalah bahwa para digital immigrants melihat bahwa orang-orang tidak akan berhasil kalau
belajar sambil nonton TV atau mendengarkan musik. Belajar seharusnya tidak sambil
bermain. Padahal justru saat ini gaya atau cara belajar para digital natives sudah jauh
berubah. Mereka justru bisa belajar kalau sambil mendengarkan musik atau bahkan sambil
Perubahan Paradigma Layanan Perpustakaan 4 ini tentu saja perpustakaan sebagai penyedia informasi dan fasilitas publik harus selalu
tanggap dengan berbagai perubahan perilaku pemakainya. Kalau tidak maka perpustakaan
pasti akan ditinggalkan oleh para pemakainya.
3. Perubahan Paradigma Layanan Perpustakaan untuk Generasi Digital Immigrant
dan Generasi Digital Native
Munculnya fenomena perubahan pemakai perpustakaan dari generasi digital
immigrant ke generasi digital native tentunya menyebabkan perpustakaan harus merubah
paradigma layanannya. Dari layanan yang konvensional menjadi layanan digital yang cepat,
tepat, mudah dan praktis. Jika perpustakaan masih terus menggunakan layanan konvensional
cepat atau lambat pasti akan ditinggalkan penggunanya dan perpustakaan akan dikalahkan
oleh search engine seperti google.com, yahoo.com dan lainnya.
Berkaitan dengan perubahan paradigma layanan ini maka perpustakaan perlu menata
ulang kembali segala hal yang berkaitan dengan desain gedung perpustakaan, koleksi, sarana
dan fasilitas perpustakaan. Perubahan paradigma layanan dapat dilakukan antara lain dengan:
a. Desain Gedung Perpustakaan
Gedung perpustakaan merupakan hal utama yang harus diperhatikan. Dengan adanya
perubahan perilaku masyarakat pemakai pada saat ini, mau tidak mau perpustakaan harus
membenahi diri. Pembangunan gedung baru yang representatif sangat diperlukan.
Seandainya belum memiliki dana untuk pembangunan gedung baru, perpustakaan dapat
melakukan penataan ulang interior perpustakaannya. Pemakai akan merasa sangat
nyaman di perpustakaan jika perpustakaan bersih, rapi dan tertata dengan baik.
Perpustakaan perlu mendesain kembali ruang layanannya antara lain dengan
membedakan berbagai jenis ruang berdasarkan kebutuhan pemakai, antara lain :
• Back office dan front office
Perlu ada perbedaan yang jelas antara back office dan front office pada pembagian
ruang-ruang di perpustakaan. Penataan ulang dilakukan sehingga pemakai hanya tahu
front office yang rapi dan cantik. Sedangkan kegiatan pengadaan, pengolahan dan
proses teknik lainnya dilaksanakan di area back office. Tidak akan tampak oleh
pemakai misalnya tumpukan buku yang belum diolah dan peralatan alat tulis kantor
• Zona diskusi dan zona senyap
Perpustakaan perlu membagi ruang atau area atau zona untuk belajar pemakainya.
Zona itu dapat berupa zona senyap dan zona diskusi. Bagaimanapun, ada pemakai
yang amat menyukai belajar di perpustakaan dengan keadaan yang senyap dan
nyaman. Untuk itu perpustakaan harus menyediakan area senyap untuk pemakai
dengan tipe seperti ini.
Di lain pihak, ada pemakai yang ingin ke perpustakaan untuk bertemu dengan
temannya dan berdiskusi. Perpustakaan sebaiknya menyediakan area untuk diskusi
pemakainya. Jadi pemakai perpustakaan yang ingin belajar dengan tenang di zona
senyap tidak terganggu dengan diskusi yang dilakukan pemakai di zona diskusi.
• Ruang untuk pelatihan information skills
Perpustakaan perlu menyediakan ruangan yang bermanfaat bagi acara-acara tertentu,
misalnya pertemuan, pelatihan literasi informasi, bedah buku, acara-acara
kepustakawanan dan lain-lain.
• One-stop service
Sekarang muncul kecendrungan pemakai tidak mau direpotkan oleh banyaknya
jumlah counter yang harus mereka datangi untuk menyelesaikan sebuah urusan,
misalnya pendaftaran keanggotaan atau keterangan bebas tagihan pinjaman buku.
Pemakai tentunya menginginkan dapat menyelesaikan urusannya di perpustakaan
hanya pada satu counter layanan dan cepat selesai.
• Peralatan digitalisasi dan pengembangan multimedia
Perpustakaan perlu memiliki peralatan untuk digitalisasi dokumen untuk membuat
alih bentuk dokumen tercetak menjadi dokumen digital. Koleksi yang dialih bentuk
dari tercetak ke bentuk digital misalnya adalah local content untuk koleksi
perpustakaan perguruan tinggi, e-book, e-journal ataupun koleksi multimedia.
• Perpustakaan perlu menyediakan ruang pertemuan baik besar maupun kecil,
Perubahan Paradigma Layanan Perpustakaan 6 b. Fasilitas
Untuk melayani generasi digital natives perpustakaan sangat perlu melengkapi
fasilitasnya dengan :
• Akses internet, area hotspot (Wifi), dan televisi.
Dengan karakteristik dari generasi digital native yang ingin selalu tersambung dengan
internet, maka perpustakaan harus menyediakan komputer untuk akses internet dan
area hotspot (Wifi). Pada area hotspot pemakai dapat mengakses internet dengan
komputernya atau laptopnya sendiri. Perpustakaan menyediakan televisi dengan
berlangganan misalnya Astro, Indovision, Aora, atau Yess TV, sehingga pemakai
yang jenuh belajar dapat bersantai dengan menonton televisi.
• Koleksi .
Generasi digital native dan digital immigrant memiliki kebutuhan koleksi yang
berbeda. Walaupun generasi digital native sangat menyukai koleksi digital, namun
koleksi tercetak tetap perlu berada di perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan
informasi dari generasi digital immigrant. Jadi, perpustakaan perlu menyediakan
berbagai jenis koleksi, baik tercetak maupun digital dan melanggan berbagai database
jurnal elektronik yang sesuai dengan kebutuhan informasi pemakainya. Perpustakaan
juga perlu melakukan penyiangan buku secara periodik sehingga koleksi buku yang
jarang atau tidak pernah dibaca oleh pemakai dapat ditarik dari rak jajaran koleksi.
• Website Perpustakaan
Perpustakaan perlu menyediakan sarana akses secara online terhadap perpustakaan.
Sehingga pemakai dapat memanfaatkan/mengakses perpustakaan kapanpun dan
dimanapun pemakai itu berada tanpa tergantung pada jam buka perpustakaan.
Penyediaan website perpustakaan merupakan solusi yang sangat tepat untuk
memenuhi keinginan ini. Penyediaan website perpustakaan membuat pemakai dapat
mengakses katalog online perpustakaan, koleksi digital, e-books, e-journals , yang
dimiliki perpustakaan. Pemakai dapat mengunduh data koleksi digital perpustakaan
dari manapun pemakai berada. Perpustakaan hendaknya juga menyediakan sarana
komunikasi online dengan pemakainya, misalnya dengan facebook, e-mail, instant
• Learning Space dan Learning Commons
Perpustakaan menyediakan learning space untuk pemakainya guna
mendukung kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan perpustakaan dengan
membuat ruang diskusi, workstation untuk kelompok kecil, workstation untuk belajar
bersama, dan workstation untuk belajar mandiri.
Perpustakaan perlu menata lingkungan dan tempat duduk yang lebih baik.
Pemilihan furniture dan tata letak yang nyaman, tersedia tempat duduk dekat jendela
dan menghadap taman dimana tampak tanaman yang cantik akan sangat disukai
pemakai. Juga perlu disediakan sofa serta kursi panjang yang empuk untuk tempat
duduk para pemakai yang ingin bersantai. Untuk pemakai yang ingin belajar mandiri
juga perlu disediakan study carrels. Tanaman hidup yang terawat baik dapat dipakai
untuk memperindah ruangan perpustakaan.
Perpustakaan perlu menyediakan juga tempat yang dijadikan sebagai learning
commons. Learning Commons menggambarkan space secara fisik dimana
perpustakaan dapat dijadikan sebagai tempat belajar bersama. Prinsip learning
commons memungkinkan setiap pemakai bisa saling berbagi untuk memanfaatkan
berbagai sumber informasi yang dapat diakses melalui teknologi sehingga
menciptakan suasana masyarakat pembelajar yang sedang mencari ilmu pengetahuan.
Dengan prinsip disain Learning Commons perpustakaan perlu memiliki space yang
semakin fleksibel. Space ini dapat memadukan kegiatan formal dan informal dalam
lingkungan perpustakaan dimana belajar dapat terjadi di setiap tempat, setiap waktu
secara fisik maupun virtual.
Pemakai dapat melakukan kegiatan-kegiatan seperti tersebut di bawah ini
dalam learning commons, antara lain: kolaborasi, bersosialisasi, makan dan minum,
pertemuan kelompok, belajar, memanfaatkan koleksi perpustakaan, menonton
pameran, memanfaatkan hotspot, dan lain-lain.
c. Pustakawan
Untuk melayani generasi digital native dan digital immigrant, maka pustakawan
sebaiknya menjadikan pemakai sebagai mitranya. Ketika perpustakaan dan pustakawan
Perubahan Paradigma Layanan Perpustakaan 8 larangan tersebut. Seringkali tanpa disadari pustakawan melarang pemakai melakukan
sesuatu tetapi tidak memberikan solusi terhadap larangan tersebut.
Pustakawan juga harus membina hubungan baik dengan pemakai. Pustakawan harus
siap dan proaktif terhadap kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta ilmu
pengetahuan. Pustakawan diharapkan dapat memanfaatkan dan mengelola berbagai
bentuk media dari kemajuan teknologi informasi. Perpustakaan memerlukan pustakawan
yang aktif, kreatif, inovatif, dan terus mengikuti perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi.
d. Menjalin Kerjasama Dengan Perpustakaan Lain
Perpustakaan menjalin kerjasama dengan perpustakaan lain, salah satu keuntungannya
adalah untuk mempermudah pemakai dalam menemukan informasi yang dibutuhkannya.
Model layanan sistem ATM bersama pada perbankan dapat di adopsi untuk layanan
kerjasama perpustakaan. Satu kartu anggota dengan pin/kode tertentu dapat digunakan di
seluruh jaringan perpustakaan yang telah bekerjasama. Berkunjung dan melihat
perkembangan perpustakaan lain sangat perlu dilakukan oleh pustakawan, agar tahu
perkembangan perpustakaan yang sedang terjadi.
e. Pelayanan Perpustakaan
Perpustakaan perlu mendesain layanannya agar terkesan tidak monoton. Misal
penyediaan layanan mandiri untuk peminjaman dan pengembalian buku. Istilah layanan
peminjaman dan pengembalian misalnya diganti dengan check in dan check out. Generasi
digital native sangat menginginkan perpustakaan memberikan layanan 24/7 artinya 24
jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Ini berarti pemakai menginginkan
perpustakaan tidak boleh tutup. Layanan online perpustakaan dibuat 24 jam. Bila ada
perbaikan sistem harus dilakukan dengan cepat.
Perpustakaan dapat meningkatkan kualitas layanannya menjadi lebih baik di bidang:
akses informasi, pengiriman dokumen, rujukan, informasi kilat, akses artikel jurnal,
informasi professional, dan pendidikan pemakai. Jika di dunia perbankan dikenal layanan
mobile banking maka di perpustakaan juga perlu mulai dipikirkan layanan mobile library
service. Peminjaman dan promosi koleksi bisa dilakukan, dipesan dan dicari melalui
diperlukan layanan delivery order pada peminjaman koleksi, tentu dengan syarat dan
ketentuan berlaku. Sistem layanan yang praktis, cepat dan terpercaya yang mampu
menembus batas ruang dan waktu akan meningkatkan pemanfaatan perpustakaan di era
digital native.
f. Penyediaan Kafe atau Tempat Istirahat
Sekarang, di perpustakaan memungkinkan adanya kantin atau restoran. Pemakai dapat
membaca e-book ataupun berdiskusi dengan temannya sambil minum ataupun makan.
Tentu dengan adanya fasilitas ini perlu diikuti dengan penempatan lokasi dan
aturan-aturan tertentu sehingga tidak mengganggu lingkungan dan koleksi perpustakaan.
g. Pengenalan Tentang Plagiarism
Perpustakaan perlu memberikan pengetahuan tentang plagiarisme kepada
pemakainya. Karena kemudahan akses informasi melalui internet sangat memudahkan
seseorang melakukan plagiarism. Pelaksanaan pemberian pengetahuan tentang
plagiarisme dapat berbentuk pelatihan atau seminar maupun kampanye melalui berbagai
media poster, brosur dan lainnya.
h. Menciptakan “Library Brand”Baru
Perpustakaan perlu menciptakan sebuah library brand baru untuk bagian dari
perpustakaan yang melayani koleksi digital kepada pemakai. Hal ini dapat dilakukan
misalnya salah satu bagian gedung atau ruang dari perpustakaan diberi nama“Layanan
Digital Perpustakaan”atau “Digital Resource Center” atau “Digital Corner”.
i. Promosi
Ketika perpustakaan mengadakan suatu kegiatan, maka akan lebih baik jika
mengundang wartawan yang dapat menuliskan kegiatan tersebut sebagai berita di surat
kabar. Dengan munculnya berita tentang kegiatan di perpustakaan maka otomatis hal ini
sebagai promosi perpustakaan.
Perpustakaan dapat mengadakan acara bedah buku dari seorang pengarang terkenal
misalnya. Perpustakaan juga dapat melakukan pameran buku, seminar dan
pelatihan-pelatihan di bidang perpusdokinfo, mengadakan lomba-lomba kepustakawanan baik yang
Perubahan Paradigma Layanan Perpustakaan 10
memunculkan berita di website perpustakaan tentang kegiatan ataupun event-event
spektakuler yang dilakukan oleh perpustakaan.
4. Penutup
Banyak perubahan paradigma layanan perpustakaan yang harus dilakukan oleh
perpustakaan untuk melayani pemakai dari generasi digital immigrant berubah ke generasi
digital natives, antara lain : penyediaan perpustakaan online untuk mengantisipasi kebutuhan
pemakai akan layanan 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu, penyediaan learning
commons sebagai fasilitas perpustakaan yang lebih memfokuskan pada penyediaan fasilitas
belajar bersama bagi pemakai. Karena cara belajar generasi digital native justru tidak lagi
sendiri-sendiri tetapi bersama-sama sambil berdiskusi bahkan belajar bersama dengan
memanfaatkan situs jejaring sosial.
Perubahan lainnya kalau dulu di perpustakaan orang tidak boleh membawa makanan
dan minuman agar tidak merusak buku-buku yang dibacanya, justru pada saat ini semakin
banyak perpustakaan yang menyediakan kafe, kantin, ataupun restoran agar pemakai
perpustakaan bisa belajar lebih lama sambil meminum kopi.
Perpustakaan sebagai penyedia sumber informasi bagi pemakainya hendaknya
senantiasa tanggap terhadap segala perubahan perilaku dan cara belajar dari generasi Digital
Native, karena kelompok inilah yang sekarang ini paling banyak memanfaatkan layanan
perpustakaan. Sehingga tujuan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar yang “nyaman”
Daftar Rujukan
Priyanto, Ida F. 2011. Disain Perpustakaan dan Perubahan Perilaku Informasi. Bahan
Seminar: 18 Juli 2011.
Priyanto, Ida F. 2009. Minat Baca Versus Perpustakaan. Sumber :
Wahyudiati. Perubahan Paradigma Layanan Perpustakaan Perguruan Tinggi untuk
Generasi Digital Native. Yogyakarta : Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta.