• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGOPTIMALKAN

pasangannya. Salah satu pasangan yang dulunya sering memberikan pujian atau hadiah, kini berubah menjadi terkesan cuek dan tidak semenarik dulu. Sampai kasus-kasus ketika antar pasangan merasa sudah merasa banyak melakukan sesuatu atas nama cinta, namun dianggap tidak melakukan apa-apa oleh pasangannya.

Intinya suami atau istri saling menganggap dan menyalahkan pasangannya sudah tidak sama lagi seperti dulu. Sudah tidak lovable. Sudah tidak membuat jatuh cinta lagi. Padahal ada ungkapan yang menjadi salah satu rahasia pernikahan yang harmonis adalah “jatuh cintalah setiap hari”. Terdengar terlalu indah ya? Tentu ungkapan tersebut hanya kiasan yang tidak dapat ditelan mentah-mentah bahwa setiap harinya kehidupan pasangan harus selalu indah dan harmonis. Konflik dan pertengkaran dalam kehidupan pernikahan justru perlu ada untuk saling mendewasakan masing-masing pasangan, namun yang ingin dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana untuk tetap menjaga kedekatan dan keharmonisan suami dan istri seperti mimpi yang diharapkan saat awal pernikahan.

Saat beberapa kali mendengar kisah tentang pasangan yang sedang berkonflik, anggapan umum yang sering dipikirkan oleh masing-masing suami atau istri adalah pasangannya yang telah berubah. Yang dulunya mudah untuk diminta melakukan sesuatu, sekarang menjadi enggan atau dibumbui keluhan dan rasa keterpaksaan. Dampak pemikiran bahwa “pasangan saya berubah” menjadi pemicu untuk memutuskan memulai dan mempertahankan konflik. Sebelum membahas hal ini lebih lanjut, mari kita kembali dulu ke awal mula seseorang memutuskan untuk menikah.

Jika dikaji dari sudut pandang psikologi, menikah dilihat sebagai proses menyeimbangkan antara upaya yang diberi untuk pasangan dan hasil (reward) yang diperoleh dari pasangan. Ketika upaya yang diberikan mendapatkan hasil yang tidak sesuai, maka seseorang akan merasa tidak puas

dan mulai memunculkan tuntutan-tuntutan. Sama halnya ketika seseorang merasa upaya yang dilakukannya lebih kecil daripada upaya yang dilakukan pasangannya atau hasil yang didapatkannya lebih kecil daripada hasil yang diterima oleh pasangan. Contohnya adalah ketika istri merasa sudah melakukan semua urusan rumah tangga, namun suaminya sama sekali tidak pernah membantunya ketika di rumah. Istri akan merasa upaya yang dia berikan tidak sama dengan upaya yang diberikan suami, apalagi jika suami tidak pernah memuji upaya yang dilakukan oleh istri melainkan hanya terus mengeluh hasil kerja istri, maka istri merasa bahwa upayanya yang besar tidak sebanding dengan hasil penghargaan berupa pujian yang diterimanya dari suami. Contoh lainnya adalah ketika suami merasa sudah memberikan kerja kerasnya untuk keluarga namun tidak mendapat hasil yang setimpal dari pasangannya yaitu misalnya istri lebih sibuk mengurusi karir dan aktivitas- aktvitas sosialnya sehingga mengabaikan kebutuhan suami.

Berdasarkan contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab anggapan perilaku pasangan yang berubah dapat terjadi karena seiring berjalannya waktu, prinsip upaya dan hasil yang tidak sama lagi seperti yang dulu diharapkan. Mengapa bisa terjadi perubahan seperti itu? Jangan-jangan dulu pasangan saya sengaja menunjukkan sisi yang baiknya dulu, lalu setelah menikah barulah menunjukkan sisi buruknya. Tunggu, jangan berburuk sangka dengan pasangan Anda. Netralkan kembali pikiran, lalu kita lanjut ke pembahasan ini.

Mari kita telusuri lebih dalam lagi. Pada dasarnya, alasan untuk menikah dan memilih seseorang yang kini menjadi pasangan, adalah karena seseorang ingin memenuhi sisi kebutuhan tertentu dalam diri. Kebutuhan tersebut muncul dari pengalaman masa lalu sejak kecil. Misalnya kasus istri yang menginginkan suaminya berperilaku seperti figur ayahnya, atau kasus suami yang menginginkan kondisi keluarganya sama ketika dia dibesarkan dulu. Makanya ketika ada ketidakcocokkan

antara suami dan istri, hal yang biasa ditelurusuri oleh konselor pernikahan adalah dimulai dari pengalaman pengasuhan di masa lalu pada masing-masing suami dan istri. Dari hal ini saja dapat terlihat jelas bahwa ketika memasuki hidup pernikahan, masing-masing pribadi ingiin memuaskan kebutuhannya terlebih dulu sehingga terkadang tidak menyadari hal apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh pasangannya.

Seringkali masa-masa awal pernikahan itu terasa indah.

Lalu seiring berjalannya waktu sikap pasangan berubah.

Yang sebenarnya terjadi adalah pasangan tersebut sedang memerlukan kebutuhannya dipenuhi. Upaya yang telah dilakukannya sudah dianggap cukup dan kini pasangan sedang mengharapkan hasil yang dapat diterimanya. Namun, karena hasil yang diinginkannya tidak sesuai dengan harapannya, maka sikapnya berubah menjadi lebih menuntut. Awalnya masing berupa tuntutan-tuntutan kecil seperi protes tidak dibuatkan kopi, mengomel karena tidak membantu membereskan kamar, dan sebagainya sampai berujung ke pertengkaran besar.

Ingat, hal-hal besar selalu dimulai dari hal-hal kecil yang menumpuk.

Lalu hal apa yang perlu dilakukan jika sudah terlanjur terjadi percekcokkan dalam rumah tangga? Kembali lagi ke prinsip kebutuhan tersebut. Puaskan kebutuhannya dengan cara yang efektif. Ketika salah satu pasangan merasa sudah melakukan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan pasangan namun pasangannya masih merasa tidak dicintai dengan tepat, maka mungkin ada bahasa yang digunakan kurang tepat.

Bahasa cinta. Ya, bahasa cinta yang diungkapkan mungkin kurang sesuai dengan kebutuhan pasangan.

Seorang konselor pernikahan Dr. Gary Chapman pernah memopulerkan 5 bahasa cinta, yaitu kata-kata penguatan, waktu berkualitas, hadiah, tindakan pelayanan, dan sentuhan fisik. Bahasa cinta yang dimaksud di sini adalah kebutuhan seseorang yang perlu dipenuhi untuk membuat dirinya terus

berkembang. Ibarat bunga yang harus selalu disiram, maka diri seseorang juga perlu disiram dengan perlakuan tertentu.

Bahasa cinta yang pertama