BAB VIII: METODOLOGI SYARAH HADIS (METODE MAUDHU’I)
2. Ciri-ciri Metode Maudhu’i
Sekurang-kurangnya ada tiga varian metode tematik (al-mawdlū’i) yang popular dari beberapa varian metode tematik lainnya. Ketiga varian tersebut adalah; pertama, metode tematik atas kosa-kata (semiotik), kedua, metode tematik di kitab hadis tertentu, dan ketiga, metode tematik di kitab hadis secara keseluruhan. Point pertama dari varian tematik adalah terkoneksi dengan disiplin ilmu semantik atau (‘ilm ad-dilālah). Point kedua dari varian tematik adalah penemuan tema pokok dan subsub tema di kitab hadis tertentu, dan point ketiga dari varian tematik adalah menentukan tema atau judul,
37 Haifa>’ Abdul Azi>z al-Ashrafi>, al-Sharh} al-Maud}u>’i> li al-H{adi>th al-Shari>f Dira>sah Naz}ariyyah Tat>biqiyyah, (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2012), 23-25.
51 kemudian dikumpulkan hadis-hadis di berbagai kitab hadis (tidak terbatas pada satu kitab hadis).
Pertama; Metode Tematik Berbasis Kosa-kata (semantic) adalah disiplin ilmu kontemporer yang fokus pada kajian kata-kata kunci dalam hadis. Fokus kajian semantik pada kata-kata kunci hadis dan dimaknai dengan meninjau makna dasar, sinkronik- diakronik, makna relasional dan medan semantiknya. Kajian semantik menjadi penting karena diperlukan kepastian untuk memaknai sejumlah kata yang membentuk konsepsi tertentu. Metode semantik lebih menekankan kepada kajian hadis untuk mensyarah konsepnya sendiri dan berbicara tentang dirinya sendiri. Teknisnya adalah dengan cara menganalisis struktur semantic terhadap kata-kata kunci (keyword) dalam hadis.
Fokus dari semantic adalah makna kata. Semantik hadis sebagai suatu kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci yang terdapat di dalam hadis dan menggunakan bahasa hadis yang khas. Semantik atau ilmu makna memiliki varian yang cukup banyak pada teknis operasional memaknai. Hal itu disebabkan banyak pendapat mengenai jenis- jenis makna. Palmer misalnya membagi makna ke dalam empat bagian; pertama, makna kognitif, kedua, makna ideasional, ketiga, makna denotasi, dan keempat, makna proposisi.
Sementara Izutsu hanya membagi makna ke dalam dua bagian; pertama, makna dasar; sebagai makna yang melekat pada suatu kata dan kedua, makna relasional; yaitu makna konotatif yang diberikan kepada makna dasar dengan menempatkan kata tersebut pada tempat khusus yang berada pada hubungan yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Pemahaman yang lebih luas dan detil tentang makna relasional ini akan terlihat pada tahap pemaknaan dengan melihat medan semantiknya (semantic field).
Dapat dipastikan bahwa hadis memuat struktur kalimat yang terbentuk dari satu atau beberapa kosa-kata (mufrada>t). Penggunaan kosa-kata pada satu kalimat akan terrelasi dengan konteksnya (siyaq al-kala>m). Jika kosa-katanya banyak pada tema tertentu, maka secara semantik bisa dikategorikan pada kosakata yang menjadi kata kunci pokok/utama/inti (central word), kata kunci menengah [medium] dan ada yang menjadi kata kunci pinggiran (peripheral). Tiga bagian kosa-kata tersebut akan terlihat pada kajian medan semantiknya (semantic field).
Kajian makna kosakata adalah agar tidak terjadi kekeliruan pemaknaan dan penyederhanaan makna (simplicity). Izutsu menegaskan bahasa simplisitas makna akan
52 mereduksi keluasan makna hadis. Dalam teori semantik, tidak dikenal sinonimitas (mura>dif), tapi yang ada adalah tendensi makna dari tiap-tiap kosakata dan kedekatan makna antar kosakata yang ditengarai sinonim tersebut. Tendensi makna dihasilkan dengan cara merujuk kepada makna teks berdasarkan relasi-relasinya. Dengan kata lain, pemaknaan yang dilakukan dengan melihat konteks kalimat (قايسلا). Dalam kajian semantic, upaya pemaknaan seperti itu disebut dengan makna relasional (relational meaning). Makna relasional ini tentunya dibuat setelah ditemukan makna dasarnya dari kamus-kamus bahasa Arab yang otoritatif.
Adapun langkah-langkah metode tematik berbasis kosa-kata ini adalah sebagai berikut: a. Menentukan kosakata yang akan diteliti. b. Menemukan makna dasar dari kosa-kata yang diteliti. c. Menemukan makna sinkronik-diakronik dari kosa-kata yang diteliti. d. Menemukan medan semantik dari kosa-kata yang diteliti. e. Menemukan makna relasional dari kosa-kata yang diteliti . f. Menemukan makna konseptual atau dari kosa-kata yang diteliti.
Kedua; Metode Tematik dalam kitab hadis tertentu. Ada beberapa ilmuan yang tidak setuju dengan jenis metode tematik ini. Alasannya bahwa jenis metode ini masih dikategorikan sebagai metode tahlili atau ijmali; dicirikan dengan menafsirkan hadis berdasarkan sub tema, disyarah mengalir hadis per hadis. Paradigma atau secara sederhananya asumsi dasar dari metode tematik dalam kitab hadis tertentu adalah bahwa hadis yang dikumpulkan para ulama hadis telah disesuaikan dengan tema dan sub tema masing-masing. Jika demikian, maka sistematika hadis yang ada dalam kitab hadis telah bersifat tematik. Inilah alasan pensyarah yang mensyarah kitab hadis mengikuti alur susunan kitab hadis yang disyarah.
Ketiga, Metode Tematik hadis keseluruhan. Pembagian metode tematik yang ke tiga ini adalah tema hadis yang diambil dari totalitas seluruh kitab hadis yang memuat tema tersebut. Tentu saja tidak semua kitab memuat hadis-hadis yang akan dimasukan pada tema/judul yang dikaji. Ada beberapa langkah teknis metode tematik ini sebagai berikut:
1. Menentukan tema yang akan dibahas
2. Mengumpulkan hadis-hadis dalam bingkai judul yang sudah dibuat.
3. Mengurutkan hadis berdasarkan sebabnya (asba>b al-wuru>d) jika ada.
4. Melakukan kajian/telaah terhadap kitab-kitab hadis dengan menggunakan metode tahlili secara memadai merujuk asba>b al-wuru>d jika ada dan pemaknaan secara
53 semantisnya, juga mengkaji korelasi antar kata dalam satu kalimat, antar kalimat dalam satu hadis dan antar hadis dalam satu sub bab.
5. Selanjutnya membuat point-point penting sebagai pesan yang dikandung hadis pada lingkup tema yang dibuat.
6. Membuat ringkasan dengan merujuk kepada syarah-syarah yang menggunakan metode ijmāli; dan pendapat para sahabat.
7. Hendaklah pensyarah menggunakan metode penelitian ilmiah (manhaj al-bah}th al-
‘ilmi) dalam rentang penulisan hadis tematik.
8. Penulisan syarah tematik hendaklah diorientasikan kepada: pertama, menampilkan kebenaran hadis dengan penjelasan komprehensif, kedua, menampilkan kebenaran hadis tersebut disajikan dengan menggunakan bahasa yang menarik (bi uslu>b musyaraq-‘aḍab), logis dan argumentatif (uslub al-bayani al-s}ah}i>h) dan tidak terjebak dengan redaksi yang rumit dan gaya sastra (mutajaniban al-alfa>z}
alghari>bah wa asa>lib al-saja’).
Langkah-langkah teknis di atas hanya sebagai contoh semata dan tidak bersifat permanen. Dapat dibuat secara fleksible sesuai dengan kebutuhan. Langkah-langkah tersebut untuk menegaskan fungsi hadis sebagai penjelas al-Qur’an pada satu sisi, dan juga berkedudukan sebagai sumber hukum yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an pada sisi lain. Kedudukan hadis sebagai penjelas dan penopang al-Qur’an menjadikan setiap diksi kata atau kalimat yang digunakan mengandung tema-tema pokok. Terkadang ia berisi tentang hukum syariah, akidah, akhlak, kisah-kisah penuh hikmah dan sebagainya. Kesemua hadis tidak lepas dari tema, sehingga metode maudlu’i atau tematik ini selalu hadir dalam setiap metode syarah hadis. Meskipun demikian, hal tersebut tidak mengurangi pembatasan metodologi syarah hadis yang telah dikembangkan para pengkaji hadis.
Metode ini menekankan pada pembahasan tema-tema tertentu sehingga penjelasannya bersifat lebih menyeluruh, tepat sasaran dan semakin mudah dipahami.
Di antara ciri-ciri metode syarah maudlu’i adalah:
1. Membahas tentang tema tertentu sesuai dengan kecenderungan pensyarah dan kebutuhan masyarakat pada masing-masing era.
2. Pembahasan berupa makna, asba>b al-wuru>d, sanad, matan dan sebagainya hanya terbatas pada tema pokok yang menjadi tujuan utama pensyarahan hadis.
3. Pensyarah menentukan tema kemudian mengumpulkan hadis-hadis dan sumber-sumber lain yang memiliki kesesuaian dari pelbagai kitab hadis.
54 4. Hadis-hadis yang seirama dengan tema, kemudian disyarah untuk kemudian
disimpulkan sesuai tema yang ada.