• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

Dalam dokumen Jurnal Pendidikan Dasar Nusantara (JPDN) (Halaman 73-85)

Muhamad Basori [email protected] Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan

Universitas Nusantara PGRI Kediri

Abstract: Character education policy unveiled by the government in 2010. Wisdom This requires the implementation of character education systematically arranged and integrated to the subjects. The purpose of this study was to describe the atmosphere of the school in support of the implementation of character education, social studies teacher efforts in the implementation of the Social Studies study in character, and difficulties experienced by teachers in implementing the learning Social Studies character. This study used a qualitative approach to the type of research phenomenology. Informants in this study is the principal, curriculum affairs, Social Studies teachers, and students. Data collection is done by triangulation of sources and triangulasi techniques (interviews, observation and documentation). Analysis of the data in this study is inductive using model analysis Miles and Huberman. Activity in the data analysis, namely data reduction, a data display, and conclusion drawing / verification.

Outcomes research presented descriptively. The results showed that the school supports the implementation of character education through learning activities, the creation of the school culture, and integrating character education into the curriculum.

Keywords : Character Educational, Social Studies and the Learning Social Studies.

Abstrak: Kebijakan pendidikan karakter diresmikan pemerintah pada tahun 2010.

Kebijakan ini menghendaki pelaksanaan pendidikan karakter yang disusun secara sistematis dan terintegrasi hingga ke mata pelajaran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan suasana sekolah dalam mendukung implementasi pendidikan karakter, upaya guru IPS dalam implementasi pembelajaran IPS berkarakter, dan kesulitan-kesulitan yang dialami guru IPS dalam implementasi pembelajaran IPS berkarakter. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian fenomenologi. Informan dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, urusan kurikulum, guru mata pelajaran IPS, dan siswa. Pengumpulan data dilakukan secara triangulasi sumber dan triangulasi teknik (wawancara, observasi dan dokumentasi). Analisis data dalam penelitian ini bersifat induktif dengan menggunakan analisis model Miles and Huberman. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah mendukung implementasi pendidikan karakter melalui kegiatan pembelajaran, penciptaan budaya sekolah, dan pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam KTSP.

Kata kunci: Pendidikan Karakter, IPS, dan Pembelajaran IPS.

PENDAHULUAN

Mencermati kondisi sosio kebangsaan di Indonesia dewasa ini, di satu sisi boleh berbangga dengan berbagai capaian dan instrument yang ada. Kita dikenal sebagai bangsa dan negara yang demokratis di dunia, karena kita telah berhasil

Muhamad Basori, Peran Pembelajaran IPS...

http://efektor.unpkediri.ac.id 71 71 71 71 71 │Volume 1│Nomor 1│Juli 2015

menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dipilih oleh rakyat, kita sudah melaksanakan pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Untuk memberantas korupsi, kita sudah memiliki KPK, untuk mengatur pelaksanaan pendidikan kita sudah mempunyai UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, untuk mengawal keimanan dan ketaqwaan masyarakat, setiap hari Jum’at dan Minggu atau hari yang lain selalu ada upacara peribadatan sesuai dengan keyakinan masing-masing, dan masih banyak instrumen-instrumen lain untuk mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara. Namun di sisi lain kita juga risau dan prihatin. Kita banyak menghadapi masalah sosio kebangsaan yang akut dan kompleks. Misalnya, maraknya kenakalan dan perkelahian antar remaja atau pelajar, pilkada yang berakhir dengan tindak kekerasan, demo yang sering berujung dengan bentrokan, bahkan tidak jarang panggung-panggung hiburan terbuka atau pertandingan sepak bola sering kali dihiasi dengan perkelahian dan tindakan anarkhis dari penonton, lalu lintas di jalanan tidak tertib, lunturnya etika dan budi pekerti, minum-minuman keras dan narkoba, pelecehan seksual dan berbagai tindakan amoral lainnya, arogansi kekuasaan, korupsi ada di mana-mana, pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap anak dan perempuan yang masih sering terjadi, lunturnya nasionalisme, lemahnya kemandirian dan jati diri bangsa, yang kesemuanya masih terus menghantui kehidupan masyarakat dan bangsa kita.

Sementara itu di dalam UU. No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Inilah rumusan tujuan pendidikan yang sesungguhnya, tujuan pendidikan yang utuh dan sejati. Aspek-aspek yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan ini, baik yang terkait dengan tujuan eksistensial, kolektif maupun individual harus dicapai secara utuh melalui proses pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka proses pencapaian tujuan pendidikan nasional sedang berlangsung dan berada pada jalur yang benar, sesuai amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Th. 2003, yang berusaha membangun karakter dan kepribadian bangsa.

Namun sayang dalam pelaksanaan pendidikan di lapangan, rumusan tujuan pendidikan nasional yang begitu komprehensip itu tidak sepenuhnya dipedomani.

Secara formal sebenarnya telah muncul kesadaran bahwa misi utama pendidikan tidak sekedar membuat peserta didik pintar otaknya, tetapi juga berkarakter baik.

Tetapi dalam kenyataannya penyelenggaraan pendidikan kita lebih pragmatis dan masih tetap menekankan pada penguasaan materi ajar. Di lembaga pendidikan formal, penyelenggaraan pendidikan lebih banyak sebagai proses pengembangan

ranah kognisi, dan membangun kecerdasan intelektual, sehingga pendidikan kita lebih bersifat intelektualistik. Kalau hal ini terus berlangsung bisa bias tujuan.

Berbagai upaya untuk memecahkan masalah di bidang pendidikan tersebut, terus dilakukan. Sebagai contoh adanya peningkatan anggaran pendidikan, pembudayaan IT, adanya sekolah berstandar internasional, dilaksanakannya ujian nasional (sekalipun ada pro dan kontra), program sertifikasi guru (yang juga belum sepenuhnya memenuhi sasaran sebagai upaya peningkatan kualitas), juga ada revisi kurikulum misalnya dengan dikeluarkannya Permendikbud no. 64 tahun 2013 tentang Standar Isi, dan Permen no. 54 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), termasuk sudah barang tentu untuk mata pelajaran IPS. Namun kenyataannya, perbaikan Standar Isi pada umumnya dan untuk bidang IPS pada khususnya belum begitu memuaskan bila dikaitkan dengan maksud dan tujuan pembelajaran IPS.

Rumusannya baru, tetapi esensi substansinya tidak jauh berbeda. Kurikulum itu masih tetap menitikberatkan pada penguasaan materi. Kritikpun kembali terdengar bahwa pelajaran IPS terlalu sarat materi, bersifat kognitif dan hafalan.

Karena berorientasi pada materi ajar, maka pembelajaran IPS terjebak pada proses mengumpulkan informasi dan mengakumulasi fakta. Karena bersifat hafalan, pembelajaran IPS menjadi menjemukan, tidak menarik dan dipandang sebagai beban bagi peserta didik, apalagi kalau dikaitkan dengan statusnya sebagai mata pelajaran yang tidak di-UN- kan. Masyarakatpun memandang bahwa pelajaran IPS itu tidak penting, juga tidak banyak manfaatnya dalam kehidupan keseharian. Pelajaran IPS tidak bisa untuk membangun rumah, tidak bisa untuk membangun jembatan, dan seterusnya. Aliran positivisme dan paham materialisme yang berkembang telah ikut memperkokoh pandangan masyarakat itu. Hal-hal yang tidak observable, dan tidak terukur cenderung diabaikan atau tidak dikembangkan.

Perlu disadari bahwa pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi ajar, menjadi kurang bermakna bagi hidup dan kehidupan warga belajar.

Pembelajaran yang mengutamakan penguasaan materi ajar seperti yang selama ini terjadi, cenderung kurang memperhatikan nilai-nilai moral dan pengembangan karakter peserta didik. Pembelajaran yang mengabaikan pengembangan karakter telah kehilangan ruh dan esensinya sebagai proses pendidikan yang sesungguhnya. Begitu juga pembelajaran IPS telah kehilangan ruhnya sebagai proses pendidikan yang dapat memberikan sumbangsih terhadap pendidikan karakter bangsa yakni untuk membentuk warga negara yang baik, warga negara yang memiliki kearifan dan keterampilan sosial, serta warga negara yang sadar akan jati dirinya sebagai bangsa.

Terkait dengan permasalahan itu maka pada tulisan singkat ini akan mencoba membahas topik ”Peran Pembelajaran IPS dan Pembangunan Karakter Bangsa”

METODE

Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis penelitian fenomenologi. Pendekatan ini digunakan agar diperoleh data yang

Muhamad Basori, Peran Pembelajaran IPS...

http://efektor.unpkediri.ac.id 73 73 73 73 73 │Volume 1│Nomor 1│Juli 2015

orisinal yang akhirnya dapat diperoleh pemahaman dan makna data yang relative mendalam tentang fenomena yang diperoleh dilapangan.

Penelitian ini berlangsung selama10 bulan, yaitu sejak bulan Agustus tahun 2014 sampai bulan Mei tahun 2015, Penelitian ini berlokasi di SDN Kepung 2 Kabupaten Kediri Kecamatan Kepung.

Subjek dalam penelitian ini adalah para pelaku pembelajaran; Wakil Kepala Sekolah selaku penanggungjawab bidang akademik di sekolah yang dipimpinnya, Guru IPS, dan Siswa.

Objek dalam penelitian ini adalah pelaksanaan pembelajaran IPS di SDN Kepung 2 Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri.

Metode Pengumpulan data dilakukan wawancara, observasi dan dokumentasi.

Analisis data dalam penelitian ini bersifat induktif dengan menggunakan analisis model Miles and Huberman. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif.

Keabsahan Data

Dalam penelitian ini, untuk menentukan keabsahan data, peneliti menerapkan teknik triangulasi, pengamatan terus-menerus, member chek, diskusi dengan teman sejawat, dependabilitas dan konfirmabilitas.

Teknik Analisis Data

Gambar 1. Komponen-komponen Analisis Data Menurut Milles dan Huberman (2009:

20).

PEMBAHASAN

Membahas tentang IPS dan pembelajaran IPS, selalu menarik dan menantang.

Pasalnya sejak IPS ini ”digelindingkan” sebagai kajian dan mata pelajaran di sekolah pada tahun 1968-an sampai sekarang, belum pernah tuntas. Masing-masing ahli dapat merumuskan pengertian IPS sesuai dengan disiplin dan pandangan masing- masing, begitu juga bagaimana cara membelajarkannya.

Soemantri (2001: 92) menegaskan bahwa program pendidikan IPS merupakan perpaduan cabang-cabang Ilmu-ilmu sosial dan humaniora termasuk di dalamnya agama, filsafat, dan pendidikan. Bahkan IPS juga dapat mengambil aspek-aspek tertentu dari Ilmu-ilmu kealaman dan teknologi.

Pengumpul an Data

Penyajian Data

Reduksi Data

Kesimpulan/

Verifikasi

Apa kriteria dan siapa yang dikatakan sebagai warga negara yang baik, yang mampu berpikir kritis dan arif terhadap masalah sosial, memiliki kemampuan berkomunikasi dan keterampilan inkuiri, serta memiliki komitmen terhadap nilai- nilai kemanusiaan dan pengembangan budaya bangsa itu? Mereka itu adalah warga negara (dan warga dunia) yang: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME., setia kepada dasar falsafah dan ideologi negara Pancasila; disiplin mentaati semua peraturan hukum dan norma-norma yang berlaku; memenuhi kewajibannya sebagai warga negara; menghormati dan dapat bekerja sama dengan anggota warga negara dan bangsa yang lain; ikut menumbuhkembangkan rasa persatuan dan kesatuan;

demokratis dan bertanggung jawab, memiliki kemandirian, tenggang rasa, toleransi, dan memahami perasaan semua warga, bangsa, agama dan kebudayaan;

menggunakan hak-haknya secara tepat dan proporsional.

Pembelajaran IPS juga diharapkan dapat melatih peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan seperti berkomunikasi, beradaptasi, bersinergi, bekerja sama, bahkan berkompetisi sesuai dengan adab dan norma-norma yang ada. Selanjutnya para peserta didik diharapkan menghargai dan merasa bangga terhadap warisan budaya dan peninggalan sejarah bangsa, mengembangkan dan menerapkan nilai-nilai budi pekerti luhur, mencontoh nilai-nilai keteladanan dan kejuangan para pahlawan, para pemuka masyarakat dan pemimpin bangsa, memiliki kebanggaan nasional dan ikut mempertahankan jati diri bangsa.

Mencermati uraian tentang pengertian dan tujuan IPS, maka pendidikan IPS sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti (Zuchdi, 2008: 5) itu memiliki arah dan tujuan yang sama dengan tujuan pembelajaran IPS, yakni sama-sama bertujuan agar peserta didik menjadi warga negara yang baik. Bahkan secara tegas Gross menyatakan bahwa Values Education as social studies “to prepare students to be well-fungtioning citizens in democratic society” (Darmadi, 2007: 8). Pendidikan karakter adalah proses pemberian bimbingan dan fasilitasi kepada peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya, manusia yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter, pendidikan moral, atau pendidikan budi pekerti itu dapat dikatakan sebagai upaya untuk mempromosikan dan menginternalisasikan nilai-nilai utama, atau nilai- nilai positif kepada warga masyarakat agar menjadi warga bangsa yang baik, warga bangsa yang percaya diri, tahan uji dan bermoral tinggi, demokratis dan bertanggung jawab.. Dengan demikian pendidikan karakter merupakan proses pembudayaan dan pemanusiaan. Pendidikan karakter akan mengantarkan warga belajar dengan potensi yang dimilikinya dapat menjadi insan-insan yang beradab, dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kehambaan dan kekhalifahan.

Dalam pengembangan pendidikan karakter, guru harus juga bekerja sama dengan keluarga atau orang tua/wali peserta didik. Bahkan menurut Bulach (2002: 80), guru dan orang tua perlu membuat kesepakatan tentang nilai-nilai utama apa yang perlu

Muhamad Basori, Peran Pembelajaran IPS...

http://efektor.unpkediri.ac.id 75 75 75 75 75 │Volume 1│Nomor 1│Juli 2015

dibelajarkan misalnya: respect for self, others, and property; honesty; self- control/discipline. Dalam kaitan ini Lickona (2000:48) menyebutkan beberapa nilai kebaikan yang perlu dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan peserta didik agar tercipta kehidupan yang harmonis di dalam keluarga dan masyarakat. Beberapa nilai itu antara lain: kejujuran, kasih sayang, pengendalian diri, saling menghargai/menghormati, kerjasama, tanggung jawab, dan ketekunan. Pendidikan karakter bukan sekedar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual peserta didik atas dasar nilai-nilai kebaikan, sehingga menjadi pribadi yang mantap dan tahan uji, pribadi-pribadi yang cendekia, mandiri dan bernurani, tetapi juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Dengan demikian pendidikan karakter sebenarnya dapat menjadi salah satu langkah untuk menyembuhkan penyakit sosial (Koesoema, 2007: 116).

Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan karakter adalah proses menyaturasakan sistem nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya Indonesia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan karakter bangsa merupakan suatu proses pembudayaan dan transformasi nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai budaya bangsa (Indonesia) untuk melahirkan insan atau warga negara yang bermartabat dan berperadaban tinggi. Karakter bangsa adalah sebuah keunikan suatu komunitas yang mengandung perekat kultural bagi setiap warga negara. Karakter bangsa menyangkut perilaku yang mengandung core values dan nilai-nilai yang berakar pada filosofi Pancasila, dan simbol-simbol keindonesiaan seperti: Sang Saka Merah Putih, semboyan Bhineka Tunggal Ika, lambang Garuda Pancasila, Lagu Indonesia Raya (ALPTKI, 2009: 3). Esensi nilai-nilai keindonesiaan ini harus menjadi bagian penting dalam pengembangan pendidikan karakter bangsa.

Namun harus diingat bahwa pendidikan karakter bangsa tidak hanya berurusan dengan transformasi dan internalisasi core values dan nilai-nilai keindonesiaan kepada peserta didik, tetapi pendidikan karakter bangsa juga merupakan proses usaha bersama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berkembangnya nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan individu, masyarakat dan bangsa.

Kementrian yang bertanggung jawab penuh tentang pelaksanaan program

”Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”, Kementrian Pendidikan Nasional pada tahun 2010 telah menyusun ”Disain Induk Pendidikan Karakter”, sebagai kerangka paradigmatik implementasi pembangunan karakter bangsa, melalui sistem pendindikan. Desain yang dimaksud kurang lebih sebagai berikut ini.

Tabel 1. Desain Induk Pendidikan Karakter sebagai Kerangka Paradigmatik

Tahap Deskripsi

Tahap perencanaan (1) filosofis- agama, Pancasila, UUD 1945, UU No.20 Tahun 2003, beserta ketentuan perundangan- undangan turunannya; (2) teoritis misalnya teori pendidikan, pendekatan psikologis, nilai dan moral, sosial budaya; (3) pertimbangan empiris, berupa

pengalaman dan praktik terbaik dari tokoh dan lembaga, satuan pendidikan, pesantren, dll.

Tahap Implementasi Proses ini melalui tiga pilar pendidikan, yakni satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Pada masing-masing pilar ada dua pendekatan, intervensi dan habituasi. Intervensi, dikembangkan suasana interaksi belajar mengajar. Pendekatan habituasi dilakukan dengan menciptakan kondisi yang kondusif, seperti yang telah dipraktikan melaui proses intervensi.

Tahap Evaluasi Evaluasi program untuk perbaikan berkelanjutan, yang sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter pada diri peserta didik untuk mengetahui bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu sudah berhasil baik atau belum.

Dengan demikian pengembangan pendidikan karakter sebenarnya sebagai upaya kembali ke hakikat pendidikan yang sesungguhnya, seperti diamanatkan oleh UU Sisdiknasdidikan ini, baik yang terkait dengan tujuan eksistensial, kolektif maupun individual harus dicapai secara utuh melalui proses pendidikan dalam berbagai jalur dan jenjang. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka proses pencapaian tujuan pendidikan nasional sedang berlangsung dan berada pada jalur yang benar, sesuai amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Th. 2003.

Namun sayang dalam pelaksanaan pendidikan di lapangan, rumusan tujuan pendidikan nasional yang begitu komprehensip itu tidak sepenuhnya dipedomani.

Penyelenggaraan pendidikan kita lebih pragmatis dengan tetap menekankan pada penguasaan materi ajar. Di lembaga pendidikan formal, pendidikan lebih banyak sebagai proses pengembangan ranah kognisi, dan membangun kecerdasan intelektual, sehingga pendidikan kita lebih bersifat intelektualistik. Pendidikan kita cenderung kurang memperhatikan pengembangan kepribadian. Pendidikan kita lebih berpegang pada paradigma “belajar untuk mengerjakan soal ujian dari pada ujian untuk belajar (belajar hidup). Kurikulum yang dipandang sebagai komponen vital dan strategis dalam keseluruhan sistem pendidikan, nampaknya belum menjadi instrumen efektif bagi terwujudnya pendidikan nasional yang ideal, karena masih kental dengan

content oriented” . Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga masih akrab dengan paradigma esensialisme (Lasmawan, 2014: 1).

Ujian Nasional (UN) yang sebenarnya merupakan program peningkatan kualitas pendidikan, dalam hal-hal tertentu telah melahirkan budaya nerabas, kurang sistematis yang dapat membawa dampak pendangkalan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Begitu juga sertifikasi guru yang sebenarnya untuk meningkatkan

Muhamad Basori, Peran Pembelajaran IPS...

http://efektor.unpkediri.ac.id 77 77 77 77 77 │Volume 1│Nomor 1│Juli 2015

profesionalisme guru dan kualitas pembelajaran, belum sepenuhnya memenuhi harapan.

Harus disadari bahwa realitas pendidikan seperti dijelaskan di atas, sebenarnya sangat erat kaitannya dengan kebijakan pembangunan di masa Orde Baru.

Setelah memasuki era Orde Baru, terjadilah berbagai perubahan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Orde Baru mulai menggulirkan paradigma pembangunan yang menitikberatkan pada pembangunan fisik dan ekonomi. Hal-hal yang yang tidak berhubungann langsung dengan persoalan ekonomi, materi, dan uang umumnya tidak menarik, dan tidak marketable. Masyarakat cenderung berilaku pragmatis dan mengorbankan idealisme sebagai warga bangsa. Bidang pendidikan yang merupakan kegiatan investasi masa depan yang tidak secara langsung dapat dinikmati, kurang mendapatkan porsi sebagaimana mestinya. Aspek-aspek moral dan karakter yang merupakan unnsur fundamental dari kegiatan pembangunan, menjadi terabaikan. Oleh karena itu krisis ekonomi dan moneter menjadi berkepanjangan, sehingga berlanjut menjadi krisis multidimensional yang kemudian bermetamorfosis menjadi krisis intelektual dan hati nurani atau krisis akhlak dan moral (Soedarsono, 2009: 115). Bidang pendidikan yang sebenarnya merupakan aspek fundamental dalam menangani kulaitas kehidupan manusia, tidak dapat berperan banyak dalam mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia. Sebab pendidikan yang merupakan strategi pembudayaan dan pemanusiaan masa depan tidak ditata untuk itu.

Problematika lain, mengapa pendidikan karakter itu stagnan dan kurang diperhatikan sekolah, karena menyangkut teknik penilaian. Pendidikan karakter yang terkait dengan aspek nilai, moral dan kepribadian, sangat sulit untuk diukur. Sebagai akibat dari kuatnya pengaruh aliran positivisme, telah membawa kebiasaan bahwa tagihan-tagihan penyelenggaraan pendidikan lebih bersifat akademik, dapat dikuantifikasikan, selalu observable, dan dapat diukur secara nyata. Dengan alasan objektivitas, maka dikembangkan instrumen penilaian (soal-soal tes) yang juga mendekati “kepastian”, misalnya soal dengan pilihan ganda. Menekankan penilaian pendidikan yang semata-mata pada kemampuan akademik-intelektualistik telah meredusir keseluruhan proses pendidikan yang hanya pada satu dimensi, dan sering mengabaikan aspek yang fundamental dalam kehidupan, yakni pengembangan karakter. Makna pribadi seseorang bagaikan sekumpulan barang produksi yang dapat dikuantifikasi dan distandarisasi (Koesoema. 2007: 120 dan 277).

Persoalan tersebut perlu mendapatkan perhatian secara seksama oleh semua pihak yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan. Pendidikan IPS yang dikatakan sebagai pendidikan nilai harus dilakukan revitalisasi. Pendidikan tanpa perspektif pendidikan nilai, tanpa menekankan pada pengembangan karakter peserta didik, akan kehilangan esensinya sebagai proses pendidikan yang sejati. Perlu pemikiran dan upaya untuk memposisikan esensi serta hakikat pendidikan secara tepat. Program pendidikan IPS atau mata pelajaran apapun juga harus menempatkan UU Sisdiknas sebagai rujukan normatif tertinggi bagi penyelenggaraan system pendidikan nasional secara utuh. Penyelenggaraan pendidikan selama ini telah

kehilangan ruh dan aspek moralitas, sehingga tidak jarang melahirkan kultur yang tidak sehat. Muncullah perilaku ketidakjujuran dalam pendidikan, seperti yang terjadi kasus pada UN, ijazah palsu, perjokian, plagiat, lemahnya internalisasi nilai pendidikan dan terfragmentasinya ranah-ranah pendidikan yang lebih didominasi ranah kognitif (ALPTKI, 2009: 2).

Dalam mendeisain kurikulum pendidikan IPS, termasuk dalam proses pembelajarannya, harus juga berangkat dari hakikat dan karakter peserta didik, bukan berorientasi pada materi semata. Pendekatan esensialisme sudah saatnya untuk dimodifikasi dengan teori rekonstruksi sosial yang mengacu pada teori pendidikan interaksional (Sukmadinata, 1996: 6). Sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat, pembelajaran IPS harus dikembalikan sesuai dengan khitah konseptualnya yang bersifat terpadu yang menekankan pada interdisipliner dan trasdisipliner, dengan pembelajaran yang kontekstual dan transformatif, aktif dan partisipatif dalam perpektif nilai-nilai sosial kemasyarakatan.

Sesuai dengan maksud dan tujuannya, pembelajaran IPS harus memfokuskan perannya pada upaya mengembangkan pendidikan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungannya. Pembelajaran IPS diarahkan untuk melahirkan pelaku-pelaku sosial yang berdimensi personal (misalnya, berbudi luhur, disiplin, kerja keras, mandiri), dimensi sosiokultural (misalnya, cinta tanah air, menghargai dan melestarikan karya budaya sendiri, mengembangkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, kepedulian terhadap lingkungan), dimensi spiritual (misalnya, iman dan taqwa, menyadari bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Pencipta), dan dimensi intelektual (misalnya, cendekia, terampil, semangat untuk maju). Terkait dengan ini Lasmawan (2014: 2-3) menjelaskan adanya tiga kompetensi dalam pembelajaran IPS, yakni kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi intelektual.

Kompetensi personal merupakan kemampuan dasar yang berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan kepribadian diri peserta didik sebagai makhluk individu yang merupakan hak dan tanggung jawab personalnya. Orientasi dasar pembentukan dan pengembangan kompetensi personal ini ditekankan pada upaya pengenalan diri dan pembangunan kesadaran diri peserta didik sebagai pribadi/individu dengan segala potensi, keunikan dan keutuhan pribadinya yang dinamis. Sejumlah kompetensi yang personal ke-IPS-an yang perlu dikembangkan misalnya, pembentukan konsep dan pengertian diri, sikap objektif terhadap diri sendiri, aktualisasi diri, kreativitas diri, kemandirian itu sendiri, termasuk bagaimana menumbuhkembangkan budi pekerti luhur, disiplin dan kerja keras serta sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME, sehingga perlu menumbuhkembangkan dan memantapkan keimanan dan ketaqwaannya.

Kompetensi sosial adalah kemampuan dasar yang berkaitan dengan pengembangan kesadaran sebagai makhluk sosial dan makhluk yang berbudaya.

Sejumlah kompetensi dasar yang dikembangkan adalah kesadaran dirinya sebagai anggota masyarakat sehingga perlu saling menghormati dan mengharagai;

Dalam dokumen Jurnal Pendidikan Dasar Nusantara (JPDN) (Halaman 73-85)

Dokumen terkait