Program pembangunan yang dilaksanakan sejak awal lahirnya orde baru lebih banyak menggunakan pendekatan top down yang menempatkan masyarakat sebagai objek. Dampak dari pendekatan tersebut menyebabkan terpinggirkan serta tidak optimalnya pemanfaatan potensi kekuatan lokal untuk menghela pembangunan secara lebih mandiri dan berkelanjutan. Program pembangunan yang menggunakan pendekatan proyek memperparah kondisi akibat perubahan perilaku masyarakat dari semula proaktif, guyub, rukun dan solidaritas sosial kuat berubah menjadi pasif, lebih banyak menunggu kucuran dana serta, semakin menurunnya solidaritas sosial.
Momentum perubahan terjadi tatkala terbit UU No. 6 Tahun 2014 beserta peraturan-peraturan serta petunjuk teknis dan pelaksanaannya mengindikasikan pembangunan Desa menerapkan penganggaran partisipatif. Perubahan tersebut diharapkanakan mengakhiri marginalisasi peranan masyarakat dalam pembangunan karena mekanisme perencanaan dan pelaksanaan pembangunan melibatkan seluruh masyarakat sehingga berpeluang besar menemukan prioritas yang tepat, efektif dan efisien untuk bergeraknya potensi sumber daya lokal secara mandiri.
Keberhasilan program P4MI dalam memobilisasi partisipasi masyarakat sehingga mampu memberikan kontribusi setara dengan nilai finansial lebih dari 20 % dalam pembangunan infrastruktur desa memberikan pembelajaran bahwa dukungan penuh akan diberikan manakala infrastruktur tersebut berkaitan langsung dengan kebutuhan riil mereka. Untuk memahami dan mengetahui kebutuhan tersebut diperlukan proses yang cukup panjang serta kesabaran ekstra sampai dihasilkan keputusan yang benar dan bernilai ekonomis tinggi. Dalam konteks ini wahana strategis yang disediakan adalah musyawarah desa yang efektif dengan memberikan kesempatan penuh kepada segenap komponen untuk bersuara dan menyampaikan aspirasi, serta kesabaran birokrasi desa untuk mendengarkannya. Karena sesungguhnya merekalah yang menjadi pelaku utama kehidupan pedesaan dan mereka jua pulalah yang akan menikmatinya hasil dari pembangunan tersebut. Selain itu pengenalan mereka terhadap potensi desa sangat matang karena intensitas interaksi mereka dengan kehidupan desa berlangsung simultan dalam waktu yang lama. Nilai-nilai yang menjadi azas musyawarah desa tersebut bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa ini, tetapi merupakan kristalisasi system nilai yang hidup dan berkembang masyarakat lalu membudaya yang dikenal sebagai kearifan lokal. Tatkala ada kesempatan untuk berpendapat dalam kerangka merubah nasib biasanya mereka bersemangat berpartisipasi tetapi ketidakberdayaan serta dominansi birokrasi desa yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpendapat akhirnya suara mereka tidak terdengar. Jika hal ini berulang-ulang bahkan berkesinambungan akan menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan yang lambat laun menggerus kearifan lokal tersebut dan itulah yang sedang terjadi di sebagian besar pedesaan kita.
Untuk menghidupkan kembali kearifan local yang merupakan salah satu bentuk dari modal sosial tersebut memerlukan upaya sungguh-sungguh untuk memulihkannya, karena harus diawali terlebih dahulu dengan perubahan paradigmatik bahwa modal sosial tidak kalah pentingnya dari modal sumber daya alam, sumber daya manusia, finansial, teknologi dan informasi.
Dinamika Penerapan Penganggaran Partisipatif Pada Pembangunan Desa | 152 Minimal ada dua pekerjaan rumah (PR) yang harus kita hadapi untuk mengoptimalkan modal sosial pada penerapan penganggaran partisipatif pada pembangunan desa, pertama terkait membangun kesadaran baru kepada birokrasi desa bahwa keberhasilan pembangunan tersebut harus mendapatkan dukungan penuh masyarakat dengan memperhatikan kearifan lokal. Kedua adalah mempertahankan nilai-nilai dari kearifan lokal tersebut agar tetap hidup dan fungsional dalam derap langkah pembangunan pedesaan, tidak hanya sekedar pelengkap penderita bagi kelengkapan persyaratan administrasi pembangunan desa. Upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan PR pertama adalah dengan mewajibkan kepada pihak desa menambah kajian sosial desa pada penyusunan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMD) dan pengajuan usulan pembangunan desa untuk memprediksi peluang kontribusi dari masyarakat untuk setiap rencana kegiatan. Selain itu adalah dengan menambah besaran kontribusi masyarakat dalam laporan pertanggungjawaban pembangunan desa sebagai variablel penilaian akuntabilitas proksi dari nilai non-keuangan sebagai perwakilan dari nilai modal social. PR kedua adalah dengan melibatkan pihak eksternal sepertiak ademisi dan penggiat Lembaga pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) dalam musyawarah proses penyusunan RPJMD agar benar-benar sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku berbasis modal sosial. Pihak yang dilibatkan selain paham aspek keuangan juga menguasai dan piawai dalam praktek dan berkualifikasi sebagai fasilitator dalam penganggaran partisipatif.
Seorang fasilitator sesuai dengan namanya adalah orang yang piawai dalam memfasilitasi dalam arti,sebagai suatu cara menyampaikan pesan untuk maksud dan tujuan yang spesifik antara satu pihak kelainnya secara tidak langsung melalui proses internalisasi seluruh peserta pertemuan, dirumuskan bersama denga ndipandu oleh seseorang yang terlatih untuk kegiatan tersebut. Karena isi pesan tidak langsung maka perlu menggunakan metode, media, alat bantu yang spesifik untuk masing-masing topik pokok bahasan. Pengertian spesifik bukanlah berarti eksklusif, tetapi khas dan mudah serta murah didapatkan dan digunakan di kawasan tertentu. Metode, media dan alat bantu adalah sarana untuk menyampaikan pesan. Yang paling pokok/ prinsip adalah : “ Pesan pokok apa yang akan disampaikan”. Kalau pesan pokok tersebut sudah ditentukan, fasilitator pada prinsipnya dapat membuat metode, media, alat bantu baru dan atau memodifikasi yang sudah ada.
Contoh konkrit,ketika ingin menyampaikan pesan tentang pentingnya bekerjasama seorang instruktur, birokrat atau akademisi akan langsung pada uraian danperintah untuk bekerjasama agar dapat mewujudkan tujuan bersama. Berbeda dengan seorang fasilitator, dia melakukan langkah-langkah antara lain:
Kepada anggota kelompok yang hadir di Balai Desa diberi masing-masing 1 batang sapu lidi sebagai ucapan selamat datang. Setelah semuanya hadir, minta mereka membersihkan halaman atau ruang pertemuan yang sudah kita beri sampah kertas maupun daun dan ranting. Kita amati reaksi mereka. Kalau ada yang menanyakan kembali, jawaban kita tetap konsisten agar mereka membersihkan tempat pertemuan terlebih dahulu. Sampai ditemukan ada yang berinisiatif untuk mengumpulkan lidi kemudian diikat menjadi sapu. Setelah halaman dan atau ruangan
Dinamika Penerapan Penganggaran Partisipatif Pada Pembangunan Desa | 153 bersih, kumpulkan mereka, lalu menggali hikmah apa yang dapat ditarik dari peristiwa tadi. Arahkan pembicaraan pada perlunya bekerjasama dan pentingnya pengikat agar kerjasama dapat kuat dan berlangsung rutin.
Demikian juga ketika kita ingin mengetahui prioritas rencana investasi yang benar- benar dibutuhkan petani. Diawali dengan ”potret diri” dilanjutkan dengan ”idamanku”.
”aku makhluk berdikari”. ”amanah adalah jiwaku” dll. Judul tersebut selanjutnya dibuat langkah-langkah garis besar saja yang penting pesan pokoknya sudah dirumuskan.
Mengapa cukup langkah garis besar saja? Kalau terlalu rinci sering menjebak diri kita sendiri, khususnya fasilitator dengan jam terbang masih minim. Kalau hal tersebut terjadi maka malapetaka ”mati angin” pun datang. Apa kiatnya? untuk tahap awal memang fasilitator jangan ”bermain sendirian” dulu. Harus berdua!. buatlah kesepakatan untuk aba-aba jika terjadi mati angin, fasilitator satunya akan mengambil alih dengan cara yang sangat manis. Untuk itu fasilitator yang sedang tidak bermain harus mengamati secara cermat permainan yang sedang berlangsung.
Jangansampaiterjadi !
Dinamika Penerapan Penganggaran Partisipatif Pada Pembangunan Desa | 154 Perubahan paradigmatik dari model pembelajaran yang instruktif paedagogik yang kita jalankan saat ini menjadi fasilitatif andragogik tidak semudah membalik telapak tangan perlu upaya yang sungguh dan berkesinambungan. Pembangunan Desa berlandaskan kearifan lokal sebagai upaya untuk mengoptimalkan modal sosial yang berakar dimasyarakat dirasa cukup tepat jika menggunakan pendekatan partisipatif dengan metode fasilitatif andragogik,karena modal social versi Indonesia berakar pada nilai-nilai agama sehinggamudahuntuk di revitalisasidenganpendekatanketauladanan dan dakwah yangberagamdigalidarikhasanahbudayabangsakitasendiri.
Fenomena berhasilnya Desa Ponggok Polanharjo Klaten menjadi desa mandiri yang meraih beberapa gelar prestasi di tingkat lokal maupun nasional berkat ketepatan birokrasi desa mengenali potensi dan membiayainya serta pada waktu yang tepat menumbuhkan Bumdes jika dapat di diseminasi diseluruh Desa Indonesia maka proses transformasi dari Indonesia membagun desamenjadi “Desa Membangun Indonesia” akan dapat diwujudkan.