A program-level Feedback and Grievance Redress Mechanism (FGRM) has been established under the ESMF Annex 7. In the context of the IPPF, relevant measures will be incorporated under the FGRM to ensure that affected Indigenous Peoples and local communities are aware of their rights and ensure that the system established under the Program is accessible and free of charge.
FGRM in J-SLMP will be important to ensure that relevant concerns and suggestions delivered during public consultations are incorporated at the planning and implementation stages of any activities and/or physical investment under the Project. It is important for J-SLMP to strengthen the current GRM system that has already in place in various agencies/entities at the national, provincial and district/city levels to help resolve any grievances to or complaints that may occur during the J-SLMP implementation.
The J-SLMP will provide training and technical support to strengthen these existing structures and assigned representatives to enable them effectively to deal with possible grievances, and inquiries that may arise during the J-SLMP implementation.
4.9 BUDGET AND RESOURCES
All relevant costs and resources will be the responsibility of the implementing agencies. The Safeguards Committee will ensure that such costs and resources are available and mobilized proportionate to the nature and risk levels.
Overall costs of the IPP implementation including management of access restriction and support to alternative livelihoods cannot be determined at this stage, since the number of people who might be
affected, as well as the when or where, remains unknown, as does the nature, extent and scale of the risks and impacts. However, it is anticipated that the budget requirements will include budget for training and technical support for capacity development. The indicative financial requirements per year for conducting training and capacity building programs for provincial government in Jambi including outreach to the various stakeholders and communities, and also safeguards committee is provided in ESM document on Section 6.215. Training programs will cover the overall ESMF roll out, and also the Resettlement Planning Framework (RPF)/Process Framework (PF) for access restrictions, FGRM, and IPPF.
4.10 IPPF ACTION PLANS
This chapter outlines necessary action items that the MoEF and Jambi Government have committed to deliver to ensure that a robust system is in place to address risks and impacts on Indigenous Peoples and Masyarakat Adat. Discussions are ongoing, so most of the responsibilities and timeline will be further discussed in program design. Summary of the actions related to the IPPF are provided in Table 6.
Table 6 Actions, responsibility, and timeline for the IPPF.
Action Responsibility Timeline
District and village consultations on the IPPF
DGCC and SEKBER TBC
Assignment of safeguards
committee at provincial and district levels
To be discussed, but possibly organised by Bappeda
-
Training and awareness raising on key requirements and processes under the IPPF
To be discussed, but possibly organised by Provincial Environment and/or Forestry
Agency
-
Establishment of FGRM committees
To be discussed -
Training of local dispute mediators To be discussed -
15 to be further detailed, this should also reflect the costs for relevant specialists in the PMU/Safeguards Committee, and other travels for technical support, mentoring, supervision
APPENDICES
Appendix A1
Summary of Meetings and Public
Consultations
Provinsi
Tabel A1.1 Konsultasi KLHSS & KPLHS di tingkat provinsi.
Pemangku Kepentingan Komentar/Masukan
Ramses Nainggolan - Manggala Agni
Keterlibatan pemangku kepentingan dilaksanakan oleh Manggala Agni dalam mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan. KLHK, melalui Peraturan Menteri KLHK No. 32/2016 menguraikan langkah-langkah yang perlu diambil oleh pemegang konsesi dalam mencegah kebakaran hutan. Ini termasuk persyaratan minimum untuk jumlah tim pencegahan kebakaran yang perlu dikelola oleh pemegang konsesi. Manggala Agni menyelenggarakan Pelatihan untuk Pelatih, serta Pelatihan Fasilitator untuk memastikan kapasitas pencegahan/penanggulangan kebakaran yang memadai. Mekanisme insentif untuk tim pencegahan kebakaran berbasis masyarakat mencakup dukungan untuk HHBK dan produk samping kayu, bekerja sama dengan KPH. Manggala Agni memiliki kesiapan dan perlengkapan yang baik, dan ini menjadi pusat keunggulan bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran di Provinsi Jambi.
Franky Zamzani - Ditjen Perubahan Iklim
Perambahan tidak selalu didorong oleh masalah ekonomi/kemiskinan. Dalam banyak kasus hal tersebut didorong oleh keserakahan, sebagai penyebab mendasar. Penggunaan metode non-pembakaran mungkin menantang, karena metode pembakaran konvensional lebih murah dan lebih efektif. Oleh karena itu, patroli untuk mencegah kebakaran masih diperlukan.
Dri Handoyo - KPH Tanjung Jabung Barat
Pencegahan kebakaran hutan di tingkat akar rumput (yaitu, KPH) perlu didukung oleh Manggala Agni. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar KPH tidak memiliki peralatan, fasilitas, dan personel yang tepat untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Keterlibatan masyarakat setempat sangat penting dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Desa bebas api (yang dibentuk oleh Asian Agri) memberikan contoh kerja keterlibatan masyarakat di tingkat desa.
Ibu Sri - Dinas Perkebunan Tersedia peraturan untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran di sektor pertanian. Peralatan yang tepat untuk penanggulangan kebakaran merupakan bagian dari evaluasi kinerja perusahaan perkebunan (evaluasi dilakukan oleh dinas perkebunan provinsi). Desa bebas api yang dibentuk oleh Asian Agri menerima insentif untuk insiden tanpa kebakaran setiap tahun.
Badan perkebunan sekarang mendorong penggunaan pestisida organik dan pupuk organik untuk meminimalkan risiko polusi dan pencemaran yang terkait dengan praktik pengendalian hama.
Ransum antara penjaga hutan dengan kawasan hutan sangat rendah. Karena kekurangan ini, perambahan tidak dapat ditangani secara memadai.
Afrizal - KPH Tanjung Jabung Timur
Penebangan liar tersebar di ekosistem lahan gambut di kawasan KPH. Namun kayu diangkut ke provinsi lain (Sumatera Selatan). Diperlukan adanya gugus tugas antar provinsi untuk mengatasi kebocoran seperti ini
Haryo - Ditjen Perubahan Iklim
Koordinasi dan kesepakatan formal antara KPH di provinsi tetangga (Jambi dan Sumatera Selatan) perlu dibentuk dan diperkuat. Ini diperlukan untuk mengatasi risiko kebocoran dari Jambi ke provinsi lain.
Farid - BKSDA Jambi Perekrutan Masyarakat Mitra Polhut (MMP) dapat dilakukan untuk mengimbangi kekurangan sumber daya patroli
Andri - KPH Batanghari Konflik terjadi di konsesi seperti PT REKI. Konsesi restorasi ini berada di sebelah (di tengah) perkebunan kelapa sawit. Ketika perkebunan menjadi tidak produktif (karena usia) dan biaya penanaman kembali melonjak (sementara harga minyak sawit tetap sama), petani lokal dapat memilih untuk memperluas perkebunan ke konsesi PT REKI. Selain itu, keluarga baru yang berekspansi dari rumah tangga utama akan membutuhkan sebidang tanah tambahan untuk mendukung penghidupan rumah tangga baru.
Pemangku Kepentingan Komentar/Masukan Haryo - Ditjen Perubahan
Iklim
Perlindungan tidak perlu dibentuk kembali. Peraturan dan perangkat yang ada (mis., Ekolabel, HCV, RSPO, ISPO) telah menyediakan mekanisme untuk mengurangi risiko negatif (Perlindungan). Mekanisme ini akan diselaraskan dengan Kebijakan Operasional Bank Dunia
Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Kabupaten Tanjung Jabung Timur dipilih untuk mewakili masalah yang terkait dengan lahan gambut.
Ringkasan input pemangku kepentingan disajikan pada Tabel A1.2.
Tabel A1.2 Ringkasan masukan dari para pemangku kepentingan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Pemangku Kepentingan Komentar/Masukan Subhan - Dinas Lingkungan
Hidup Provinsi Jambi
Tata kelola hutan tidak optimal. Saat ini terdapat 33.000 ha berdasarkan perjanjian, termasuk 20.000 ha perhutanan sosial. Namun, hanya 1/3 (10.000 ha) yang ditanam. Selain itu, terdapat kebutuhan untuk mengakui hak-hak masyarakat adat. Setelah pengakuan, fasilitasi selanjutnya mungkin diperlukan untuk membantu meningkatkan mata pencaharian masyarakat adat setempat Ridwan - Dinas Lingkungan
Hidup Provinsi Jambi
Desain Bio Carbon Fund perlu berkonsultasi dengan rencana aksi provinsi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (Rencana Aksi Daerah -RAD / Emisi Gas Rumah Kaca - GRK)
Dini - Bappeda Kabupaten Muaro Jambi
Peran dan tanggung jawab kabupaten perlu diperkuat dalam implementasi BioCF
Efrian - Bank Dunia Deskripsi lini waktu untuk BioCF yang terdiri dari tahap persiapan proyek (hingga Desember 2019); tahap investasi di muka (2020 - 2025); dan tahap pengurangan emisi mulai tahun 2022
Nurhasman - Taman Nasional Berbak Sembilan
Perlu informasi tentang lokasi kegiatan. Lokasi berada dalam area penilaian kinerja, tetapi lokus spesifik perlu ditentukan sebelum penerapan BioCF. Saat ini tantangan termasuk konflik tenurial di dalam taman nasional
Joko - KPH XIV Tanjung Jabung Timur
Kehutanan sosial telah diterapkan, ada delapan izin perhutanan sosial di KPH XIV. Komoditas dapat mencakup ekowisata, dan HHBK (mis., Dyera/jelutung) Mustam - Bappeda Tanjung
Jabung Timur
Terlepas dari kekayaan hutan/alam di kabupaten ini, degradasi hutan sedang terjadi (mis., di Hutan Lindung Londrang). Degradasi hutan ini menyebabkan banjir di musim hujan dan kebakaran di musim kemarau. Mangrove juga mengalami degradasi, dan perlu dimasukkan dalam masalah utama untuk BioCF Anwar Sadat - Dinas
Perkebunan Provinsi
Kelapa sawit selalu dipandang sebagai pemicu degradasi dan deforestasi hutan.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa penyerapan karbon tinggi terdapat di perkebunan kelapa sawit. Kebakaran juga merupakan masalah di perkebunan kelapa sawit
Arna - Dinas Pertanian, Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Terdapat peraturan daerah Perda Kabupaten Tanjung Jabung Timur No. 18/2013 tentang alokasi lahan untuk pertanian berkelanjutan. Namun implementasi dan penegakan peraturan ini masih lemah
Farid - BKSDA Jambi Cagar Alam (mangrove) berada di pantai Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat. Total area mangrove adalah 4.160 ha. Degradasi di cagar alam ini mencapai 1.500 ha. Penanaman kembali telah dilakukan pada tahun 2010 (890 ha) dan 2018 (30 ha). BKSDA mendorong kemitraan dengan masyarakat setempat untuk restorasi ekosistem (berdasarkan peraturan dari Dirjen KSDE No.
6/2018 tentang kemitraan konservasi).
Pemangku Kepentingan Komentar/Masukan
Konflik manusia-satwa liar (buaya muara - Crocodilus porosus) terjadi di luar kawasan lindung. Penanganan konflik meliputi pemantauan penduduk, sosialisasi, dan pendirian tempat perlindungan.
Joko - KPH XIV Tanjung Jabung Timur
Jelutung (Dyera sp) cocok untuk lahan gambut. Jelutung dapat berpotensi digunakan untuk mengurangi laju deforestasi (mis., di Hutan Lindung Londrang).
Namun, hubungan dengan pasar perlu dibangun untuk memastikan nilai ekonomi bagi masyarakat setempat yang terlibat dalam budidaya Jelutung.
Sarjuna - Kecamatan Mendahara Ulu
Terdapat tiga kelompok tani di dalam kawasan hutan produksi (309 ha). Mereka terkena dampak banjir karena pengeringan lahan gambut di hutan produksi.
Tidak ada mekanisme pengaduan khusus untuk menangani masalah ini. Belum ada respons dari instansi terkait
Wahyudi - KPH Batanghari Kawasan KPH mencakup provinsi Jambi dan Sumatera Selatan, sehingga penghitungan karbon harus “adil”. Terdapat risiko bahwa pengurangan emisi tidak dihitung dengan benar, dan emisi dari kabupaten/provinsi tetangga dianggap sebagai milik Jambi. Perlu untuk mengatasi risiko tersebut.
Perhutanan sosial telah dimulai di KPH Batanghari, tetapi kegiatan ilegal (pengeboran minyak ilegal) terjadi di Tahura Senami.
Pramudya - Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Dinas lingkungan hidup telah memprakarsai pembentukan hutan kota (40 ha) di Muara Sabak (ibukota Kabupaten Tanjung Jabung Timur),
Jelutung adalah komoditas utama di Tanjung Jabung Timur, dan tumbuh dengan baik di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit. Hama (babi hutan) adalah masalah dalam budidaya Jelutung, dan dibutuhkan hubungan/akses ke pasar untuk menghasilkan nilai ekonomis dari produk tersebut.
Efrian - Bank Dunia Tim untuk mendukung desain dan pengembangan program (serta perlindungan) telah dibentuk.
Appendix A2
Outline of Indigenous Peoples
Plan
OUTLINE OF AN INDIGENOUS PEOPLES PLAN
This outline is part of the World Bank Safeguard requirements. An indigenous peoples (IPs) plan is required for all projects with impacts on IPs. Its level of detail and comprehensiveness is commensurate with the significance of potential impacts on IPs. The substantive aspects of this outline guide the preparation of an Indigenous Peoples Plan (IPP), although not necessarily in the order shown.
A. Executive Summary of the Indigenous Peoples Plan This section concisely describes the critical facts, significant findings, and recommended actions.
B. Description of the Project This section provides a general description of the project; discusses project components and activities that may bring impacts on IPs; and identify project area.
C. Social Impact Assessment This section:
i. Reviews the legal and institutional framework applicable to IPs in project context.
ii. Provides baseline information on the demographic, social, cultural, and political characteristics of the affected IP communities; the land and territories that they have traditionally owned or customarily used or occupied; and the natural resources on which they depend.
iii. Identifies key project stakeholders and elaborate a culturally appropriate and gender- sensitive process for meaningful consultation with IPs at each stage of project preparation and implementation, taking the review and baseline information into account.
iv. Assesses, based on meaningful consultation with the affected IPs communities, and the potential adverse and positive effects of the project. Critical to the determination of potential adverse impacts is a gender-sensitive analysis of the relative vulnerability of, and risks to, the affected IPs communities given their particular circumstances and close ties to land and natural resources, as well as their lack of access to opportunities relative to those available to other social groups in the communities, regions, or national societies in which they live.
v. Includes a gender-sensitive assessment of the affected IPs perceptions about the project and its impact on their social, economic, and cultural status.
vi. Identifies and recommends, based on meaningful consultation with the affected IPs communities, the measures necessary to avoid adverse effects or, if such measures are not possible, identifies measures to minimize, mitigate, and/or compensate for such effects and to ensure that IPs receive culturally appropriate benefits under the project.
D. Information Disclosure, Consultation and Participation This section
(i) Describes the information disclosure, consultation and participation process with the affected IPs communities that can be carried out during project preparation;
(ii) Summarizes their comments on the results of the social impact assessment and identifies concerns raised during consultation and how these have been addressed in project design;
(iii) In the case of project activities requiring broad community support, documents the process and outcome of consultations with affected IPs communities and any agreement resulting from such consultations for the project activities and safeguard measures addressing the impacts of such activities;
(iv) Describes consultation and participation mechanisms to be used during implementation to ensure IPs participation during implementation; and
(v) Confirms disclosure of the draft and final to the affected IPs communities.
E. Beneficial Measures
This section specifies the measures to ensure that I P s receive social and economic benefits that are culturally appropriate, and gender responsive.
F. Mitigative Measures
This section specifies the measures to avoid adverse impacts on IPs; and where the avoidance is impossible, specifies the measures to minimize, mitigate and compensate for identified unavoidable adverse impacts for each affected IPs groups.
G. Capacity Building
This section provides measures to strengthen the social, legal, and technical capabilities of (a) government institutions to address IPs issues in the project area; and (b) IPs organizations in the project area to enable them to represent the affected IPs more effectively.
H. Grievance Redress Mechanism
This section describes the procedures to redress grievances by affected IPs communities. It also explains how the procedures are accessible to IPs and culturally appropriate and gender sensitive.
I. Monitoring, Reporting and Evaluation
This section describes the mechanisms and benchmarks appropriate to the project for monitoring, and evaluating the implementation of the IPP. It also specifies arrangements for participation of affected IPs in the preparation and validation of monitoring, and evaluation reports.
J. Institutional Arrangement
This section describes institutional arrangement responsibilities and mechanisms for carrying out the various measures of the IPP. It also describes the process of including relevant local organizations and/or NGOs in carrying out the measures of the IPP.
K. Budget and Financing
This section provides an itemized budget for all activities described in the IPP.