• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Deskripsi Gerakan Mahasiswa Indonesia tahun 1998

C. Gerakan Mahasiswa Pasca Kemerdekaan

Gerakan Mahasiswa tahun 1966 dan Lahirnya Orde Baru

Pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 45, berdirilah berbagai organisasi kemahasiswaan dengan dasar ideologi yang berbeda-beda, diantaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dekat dengan partai Masyumi, Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) yang berafiliasi dengan PSI,62 Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi dengan PNI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) berafiliasi dengan PKI, Resimen Mahasiswa (Menwa) berafiliasi dengan TNI AD dan lain sebagainya.63

62 Francoil Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia. Jakarta. LP3ES. 1985 hal. 7

63 Suharsih dan Ign. Mahendra K. Op. Cit hal 69

Semua organisasi

kemahasiswaan ini mengikuti konflik yang terjadi pada organisasi induknya yaitu partai politik dan TNI AD.

Antara tahun 1950 sampai 1960 an terjadi ledakan jumlah mahasiswa. Bila pada tahun 1946 sampai 1947 terdaftar 387 mahasiswa maka di tahun 1965 ada sekitar 280 ribu mahasiswa yang terdiri dari mahasiswa perguruan negeri, swasta serta akademi atau institut yang dibawahi berbagai kementerian.64

Pada tanggal 25 Oktober 1965 terjadi pertemuan tokoh-tokoh mahasiswa di rumah Brigjen Syarif Thayeb, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Thayeb mengusulkan pembentukan sebuah organisasi yang bertujuan menyikapi G30S serta memiliki jaringan nasional agar lebih dapat

Karena jumlahnya yang besar ini lah semua kekuatan politik baik itu partai politik maupun TNI mencoba merekrut kader dari mahasiswa.

Setelah persaingan ideologi yang begitu panjang dan tak terbendung lagi akhirnya meletuslah tragedi berdarah pada malam 30 September memasuki 1 Oktober 1965 yang merenggut nyawa tujuh perwira angkatan darat. Peristiwa tragis yang merenggut nyawa para perwira TNI AD, langsung di respon oleh mahasiswa dengan membentuk kesatuan aksi pengganyang Gestapu (KAP- Gestapu) pada tanggal 2 Oktober 1965 yang di pimpin oleh politikus NU Subchan dan aktivis Katolik Harry Tjan. Lima hari setelah pengangkatan jenazah para perwira TNI AD, KAP-Gestapu mengadakan rapat akbar di Jakarta yang di akhiri dengan penyerangan markas-markas PKI.

64 Francoil Raillon, Op. Cit. hal. 9

terkoordinir. Usulan Thayeb di terima mahasiswa dan akhirnya terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Komposisi KAMI terdiri organisasi keagamaan meliputi HMI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Kemudian organisasi non keagamaan seperti Sekretariat Bersama Mahasiswa Lokal (SOMAL), Pelopor Mahasiswa Sosialis Indonesia (PELMASI), Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).65

“Jagalah anak-anak muda ini (mahasiswa) jangan sampai mereka menjadi korban.

Gerakan mereka adalah gerakan kita juga, kata Soeharto. Pak, saya telah mendahului mengamankan mereka, jawab Kemal Idris. Oh baik, jangan sampai jatuh korban, pesan Soeharto”

Pendirian KAMI didukung penuh dari pihak militer dikarenakan bukan hanya ketuanya, David Napitupulu dekat dengan Brigjen Sukendro dan Jenderal Nasution akan tetapi militer khususnya angkatan darat memiliki tujuan yang sama, hal ini secara gamblang di ucapkan Soeharto sendiri dalam percakapan nya dengan Komandan Kostrad Kemal Idris :

66

Setelah terbentuknya KAMI, tuntutan-tuntutan mahasiswa menjadi lebih konkrit, yaitu Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang berisi : pembubaran PKI, retool kabinet dan turunkan harga. Pada saat Tritura tercetus pada tanggal 10 Januari 1966 dalam rapat akbar mahasiswa yang berlangsung di kampus UI Salemba, ikut hadir juga Kolonel Sarwo Edhi. Di depan massa KAMI, Kolonel Sarwo Edi di

65 Francoil Raillon, Op. Cit. hal. 15

66 Rosihan Anwar dkk, Kemal Idris : Bertarung Dalam Revolusi. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. 1996 hal.

137-138

daulat oleh mahasiswa untuk berbicara. Pada saat itu Sarwo Edhi mengatakan Tritura adalah hati nurani rakyat. Seandainya mahasiswa merasa yakin dengan rumusan tersebut, maka saya anjurkan jalan terus.67

Tepat pada tanggal 24 Februari 1966, KAMI dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) memutuskan untuk memboikot pelantikan kabinet Dwikora. Ketika demonstrasi mencapai jalan Merdeka Utara, pasukan Cakrabirawa menghalangi mereka dengan cara menembak ke arah demonstrasi.

Akibat tembakan itu, Arif Rahman Hakim (mahasiswa Kedokteran UI) dan Zubaedah (pelajar sekolah menengah) tewas tertembak pasukan Cakrabirawa.

Merasa telah mendapatkan dukungan militer, setelah rapat akbar di UI itu selesai, selanjutnya mahasiswa bergerak menuju istana negara untuk mengajukan tuntutan trituta. Setelah sampai di istana negara, mahasiswa di terima oleh Waperdam III Chairul Saleh. Ketua KAMI, Cosmas Batubara membacakan tuntutan Tritura yang dijawab oleh Chairul Saleh bahwa Tritura tidak benar dan menyerahkan keputusan kepada Presiden. Kecewa mendengar jawaban Chairul Saleh, Cosmas Batubara tampil ke muka menyerukan agar mahasiswa mogok kuliah dan menganjurkan rakyat untuk membayar karcis bus sebesar RP 200, bukan Rp 1.000 seperti yang ditetapkan pemerintah setelah keluar keputusan pemotongan nilai mata uang rupiah dan menaikan harga BBM guna mengatasi inflasi.

68

67Adi Suryadi Cula.Patah Tumbuh Hilang Berganti.Jakarta.PT RajaGrafindo Persada.1999 hal. 51

68 Suharsih dan Ign. Mahendra K. Op. Cit hal 73-74

Ia adalah pahlawan angkatan 66 pertama. Keesokan harinya Soekarno membubarkan

KAMI dengan keputusan presiden No. 41/ Kogam/ 1966, karena melihat semakin solidnya gerakan mahasiswa.

Menyikapi pembubaran KAMI, pada tanggal 4 Maret 1966, ribuan mahasiswa berkumpul di kampus UI untuk memproklamirkan organisasi baru pengganti KAMI yang telah di bubarkan oleh Soekarno dengan nama Resimen Arif Rahman Hakim yang terdiri dari 42 universitas dan perguruan tinggi.

Keesokan harinya mahasiswa melakukan aksi dengan membawa patung Soebandrio, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri dengan teriakan

“anjing Peking” serta mengutuk hubungannya dengan Peking. Mulai saat itu gerakan mahasiswa mendapatkan simpati masyarakat secara luas. Di Bandung para staf pegajar ITB dan Unpad mendirikan kesatuan aksi sarjana Indonesia (KASI) yang bertujuan membantu perjuangan mahasiswa.

Pada tanggal 11 Maret 1966 mahasiswa memcoba memboikot sidang kabinet seperti peristiwa 24 Februari 1966 dan dengan dibantu 6 bataliyon Siliwangi. Merasa khawatir terhadap keselamatan dirinya akhirnya Soekarno bersama Chairul Saleh dan Soebandrio meninggalkan istana negara menuju istana Bogor dengan menggunakan helikopter. Pada saat Soekarno berada di Istana Bogor tiga perwira tinggi menemui Soekarno yang memintanya untuk memberikan kekuasaan yang dibutuhkan guna mengendalikan ketertiban. Setelah didesak akhirnya Soekarno menandatangani surat perintah yang memberikan

kekuasaan kepada Soeharto untuk memulihkan ketertiban dan stabilitas negara.69

Setelah peristiwa G 30 S, gerakan mahasiswa cenderung memakai konsep gerakan moral (moral force). Dalam konsepsi ini, mahasiswa bertindak sebagai kekuatan moral daripada sebagai kekuatan politik, dalam arti bahwa mahasiswa muncul sebagai aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis, setelah krisis berlalu kemudian kembali ke kampus untuk belajar. Arief Budiman menyebut gerakan ini sebagai Gerakan Koreksi. Gerakan ini sifatnya hanya melakukan kritik terhadap suatu permasalahan. Gerakan ini merasa tidak perlu mengumpulkan massa yang besar dan melengkapi dirinya dengan ideologi alternatif. Bagi gerakan ini, pemerintahan Soeharto saat itu sudah baik, hanya perlu dikoreksi kebijakannya.

Di kemudian hari surat perintah itu kita kenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar dan menandai lahirnya rezim Orde Baru dengan Soeharto menjadi presiden Republik Indonesia menggantikan Soekarno, yang kemudian memimpin selama 32 tahun dan dikenal sebagi rezim paling korup, otoriter serta berdarah sepanjang sejarah bangsa Indonesia.

Gerakan Moral Sebagai Awal Perlawanan Mahasiswa Indonesia tahun 1974

70

69 Francoil Raillon, Op. Cit. hal. 19

70 Suharsih dan Ign. Mahendra K. Op. Cit hal 78

Konsep gerakan yang dicetuskan oleh Arief Budiman mengambil contoh dari seorang tokoh koboi Shane. Shane datang ke kota kecil yang penuh dengan bandit yang kejam, lalu berhasil menghabisi bandit- bandit itu. Tetapi ketika ia diminta untuk menjadi sheriff di kota itu, ia menolak.

Shane lalu pergi begitu saja. Makna dari ilustrasi ini adalah bahwa gerakan

mahasiswa tidak boleh pamrih dengan kekuasaan dan tidak boleh memiliki vested interest. Seperti Shane, gerakan mahasiswa harus tulus.71

Meskipun banyak yang menganggap pemerintahan Soeharto sudah baik, awal tumbuhnya kritik atau kekecewaan kepada pemerintahan Soeharto juga sudah ada pada masa ini, terutama dalam hal korupsi. Selain korupsi, masih banyaknya pelanggaran HAM diberbagai tempat, pembangunan aliansi dengan tokoh politik dan pengusaha besar pada era Soekarno, serta slogan-slogan politik kosong. Nasib tahanan yangt belum diputuskan, pembantaian massal setelah peristiwa 65, dan penangkapan Yap Thiam Hien, seorang pembela Dr.

Soebandrio. Penangkapan ini menimbulkan berbagai reaksi dari sesama pengacara, intelektual, editor surat kabar dll.72

Jika ditelusuri, bangkitnya gerakan mahasiswa pada saat itu tidak bisa dilepaskan dari kondisi konstelasi sosial politik dan ekonomi nasional yang sedang terjadi. Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya gerakan ini adalah faktor obyektif seperti jumlah mahasiswa bertambah terus, tetapi anggaran pendidkan relatif kurang dan tidak sepadan dibandingkan dengan fasilitas yang tersedia, meningkatnya inflasi dan bertambahnya kesulitan hidup sehari-hari, semua itu menimbulkan ketegangan. Ditambah lagi dengan merajalelanya korupsi ditahun 1970 yang mengiringi pertumbuhan ekonomi di samping munculnya tanda-tanda pertama dari boom oil. Selain itu, pembangunan ternyata tidak

71 Muridan S. Widjojo. Penakluk Orde Baru. Gerakan Mahasiswa ’98. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan. 1999.

hal 236-237

72 Suharsih dan Ign. Mahendra K. Op. Cit hal 78

membuat sejahtera seluruh lapisan masyarakat, pembangunan hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat.73

Bulan Oktober 1973 para mahasiswa mengadakan aksi ke gedung MPR/DPR untuk menyampaikan “Petisi 24 Oktober”. Isi petisi tersebut adalah kritik terhadap kebijakan pembangunan yang dianggap tidak populis dan hanya Menjelang pemilu tahun 1971, Arief Budiman melakukan gerakan yang disebut Golongan Putih (Golput). Gerakan ini dimaksudkan untuk menghimpun orang-orang yang tidak ikut pemilu. Selain itu, dia juga melakukan kritik terhadap aktivis mahasiswa yang mendukung pemilu bahkan menyuarakan untuk mencoblos Golkar. Tidak itu saja, sepanjang tahun 1972, Soeharto menekan sembilan partai politik yang ada untuk bergabung menjadi dua partai besar, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk partai Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) untuk partai Nasionalis dan Kristen. Selain juga ide rejim Soeharto tentang “massa mengambang” dimana penduduk di pedesaan hanya dimungkinkan mengikuti pemilu tiap lima tahun sekali dan tidak boleh berhubungan dengan politik.

Protes mahasiswa kembali muncul ketika Ibu Tien Soeharto mengusulkan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973. Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman dianggap tidak sesuai dengan situasi Indonesia.

Pada waktu itu beberapa gerakan yang muncul mengatasnamakan Gerakan Penghemat, Gerakan Akal Sehat (GAS) dan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat.

73 Francois Raillon, Op. Cit. hal 78

menguntungkan kelompok yang kaya. Pada waktu itu, mahasiswa Jakarta dan Bandung melancarkan kritik terhadap pembangunan yang berlandaskan bantuan asing yang akhirnya melahirkan pemerasan Negara dan ketidakadilan sosial, karena orang-orang Jepang dan Cina bekerjasama dengan beberapa tokoh nasional yang menjual Indonesia.74

Memasuki tahun 1974, suasana semakin memanas. Tanggal 9 Januari para mahasiswa melanjutkan demonstrasi menentang para Aspri dan negara Jepang. Di Jakarta dan Bandung, terjadi pembakaran boneka-boneka yang menggambarkan Soedjono Humardani dan Perdana Menteri Jepang, Tanaka. Para mahasiswa melalui sebuah Apel Siaga Mahasiswa di kampus UKI tanggal 12 Januari kemudian mengajak masyarakat untuk menyambut Tanaka dengan gerakan aksi, memasang bendera setengah tiang di hari kedatangan Tanaka dan mengadakan aksi total tanggal 15 Januari serta mengajak koran untuk memboikot memberitakan Tanaka.75

Tanggal 14 Januari mahasiswa berdemonstrasi di lapangan terbang Halim Perdana Kusuma sebagai protes atas kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka, tetapi tidak terjadi bentrokan pada waktu itu. Hari berikutnya, tanggal 15 Januari para mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran UI jalan Salemba. Mereka menyusun kembali Tritura yang berisi 1. Bubarkan Aspri, 2. Turunkan Harga, 3.

Ganyang Korupsi. Setelah itu mahasiswa bergerak ke Monumen Nasional di Lapangan Merdeka. Dalam perjalanan, jumlah massa aksi semakin bertambah

74 Francois Raillon, Op. Cit. hal 103

75 Muridan S. Widjojo. Op.cit hal 53

karena para pelajar ikut bergabung dalam barisan. Mereka juga menurunkan bendera-bendera penyambutan tamu negara yang berada di sepanjang jalan menjadi setengakah tiang sebagai tanda duka cita karena datangnya Tanaka.

Ketika demonstran mendekati Istana Presiden, massa menjadi tidak terkontrol dan meletuslah kerusuhan besar. Massa membakar mobil-mobil Jepang dan mengobrak-abrik pertokoan. Kerusuhan yang terjadi pada tanggal 15 Januari ini membuat pusat kota Jakarta sempat terhenti aktivitasnya selama dua hari.

Hampir 1.000 mobil, kebanyakan buatan Jepang, 144 gedung dibakar atau dirusak, 9 orang meninggal, seratus lebih cedera dan 820 orang ditangkap.

Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa ‘Malari’ atau Malapetaka 15 Januari. Setelah peristiwa ini beberapa koran ditutup seperti Nusantara, Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Express, Pedoman dan Ekspress. Alasan dari pemerintah atas pencabutan Surat Ijin Terbit adalah karena karena mingguan ini terus melakukan provokasi- provokasi yang mengganggu ketertiban dan keamanan. Dari jumlah ratusan yang ditangkap, 45 orang diantaranya tetap ditahan. Di antara mereka adalah Rahman Tolleng, Hariman Siregar, Subadio Sastrosatomo dan Prof. Sarbini Sumawinata (mantan pemimpin PSI), Adnan Buyung Nasution, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, H.J Princen (Ketua Liga Hak-hak Asasi Manusia) serta aktivis-aktivis muda Islam.

Tuduhan bagi mereka adalah orang-orang tersebut dianggap sebagai otak dari demonstrasi Malari yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan.76

Setelah peristiwa ‘Malari’, kontrol terhadap Dewan Mahasiswa dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), juga makin ketat diberlakukan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pemerintah No. 028/1974. SK ini memberi kewenangan lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol mahasiswa. Langkah-langkah lain yang diambil diantaranya mahasiswa harus mendapatkan izin untuk semua aktivitas di dalam kampus, pers mahasiswa harus diawasi oleh Menteri Penerangan dan birokrat kampus, dan peraturan yang mengharuskan organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan partai untuk bergabung menjadi satu oganisasi yang diatur oleh rejim. Ini ditambah dengan pencucian otak para mahasiswa dengan pembentukan komisi yang merubah Pancasila menjadi alat kontrol politik.77

Situasi ekonomi politik tahun 1977 mulai membuat gerakan mahasiswa muncul kembali. Kondisi ekonomi semakin buruk, dengan ditunjukkan oleh disparitas distribusi penghasilan nasional dimana 40% penduduk miskin menguasai kekayaan nasional sebesar 15%, 40% penduduk menengah memegang kekayaan nasional sebesar 40% dan 20% penduduk lapisan atas menguasai 45%

kekayaan negara. Jumlah pengangguran sebanyak 8.300.00 orang, meningkat jauh Gerakan Mahasiswa Tahun 1978 dan Munculnya NKK/BKK

76 Francois Raillon, Op. Cit. hal 113

77 Suharsih dan Ign. Mahendra K. Op. Cit hal 84

dibandingkan pada tahun 1961 yang hanya berjumlah 3,6 juta. Jumlah hutang luar negeri juga meningkat tajam dibandingkan ketika masa Orde Lama. Mahasiswa menilai bahwa memburuknya situasi ekonomi merupakan bukti kebohongan penguasa dan pemerintah yang pasca peristiwa Malari telah berjanji akan memperbaiki distribusi kesempatan dan hasil pembangunan.78

Pemilu 1977 menjadi momentum kembalinya gerakan mahasiswa. Di Jakarta mahasiswa melakukan aksi protes atas pelaksanaan pemilu yang tidak jujur karena birokrasi sipil dan militer yang memihak Golkar. Mereka menolak kemenangan Golkar yang dihasilkan oleh pemilu yang cacat. Sementara di Bandung, mahasiswa ITB membentuk Gerakan Anti Kebodohan (GAK) karena mereka meyakini bahwa semua proses pemilu telah berfungsi sebagai upaya sistemik untuk membodohi rakyat oleh penguasa. Di samping itu, berbagai komite aksi dibentuk oleh mahasiswa ITB dan mahasiswa universitas lainnya di Bandung. Atas rangsangan mahasiswa Jakarta dan Bandung itu mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia kembali memainkan peran politiknya.79

Pada bulan Januari 1978, dalam rangka memperingati Tritura di kampus ITB digelar spanduk yang bertuliskan pernyataan “tidak mempercayai dan tidak menginginkan Soeharto kembali menjadi presiden”. Disamping itu Dewan Mahasiswa ITB juga menerbitkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 yang dinyatakan sebagai kritik Indonesia pertama terhadap kebijakan Rejim “Orde Baru”. Buku tersebut mencerca pemerintah untuk korupsi yang meluas, kebijakan

78 Suharsih dan Ign. Mahendra K. Op. Cit hal

79 Muridan S. Widjojo hal 57-58

ekonomi yang memfasilitasi kepentingan memperkaya diri sendiri dengan biaya kesejahteraan sosial, represi terhadap suara politik independen dan kehilangan hubungan dengan rakyat.

Di Jakarta mahasiswa UI menggunakan momentum Tritura untuk tirakat di makam pahlawan Ampera dengan dukungan 200 orang yang datang dengan beberapa bus. Di Yogya mahasiswa UGM mengusung keranda “Matinya Demokrasi” sambil membacakan tuntutan Suara Rakyat yang ditujukan kepada DPRD setempat. Di Surabaya malah demo mahasiswa terlibat bentrokan dengan aparat keamanan, sehingga terjadi korban di pihak mahasiswa. Ketua DM UI Lukman Hakim berhasil mengadakan pertemuan 67 Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa se-Indonesia dengan menggunakan dana kegiatan mahasiswa yang berasal dari SPP.80

Menjelang pertemuan parlemen untuk pemilihan presiden pada maret 1978, pemimpin dewan mahasiswa di Universitas di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Palembang dan Medan mengeluarkan statemen bersama dan berdemonstrasi menuntut secara tegas penggantian Soeharto, orientasi ulang sistem ekonomi dan politik serta penegakan negara hukum. Mahasiswa juga mengkritik aliansi dekat antara Golkar dan tentara maupun peran tentara dalam politik. Aksi-aksi kemudian terjadi di beberapa kota kota seperti Yogyakarta dan Bandung, tetapi lemah di Jakarta. Reziim Orde Baru kemudian menumpas gerakan tersebut dengan kekuatan militer dan para pemimpinnya dipenjarakan

80 Suharsih dan Ign. Mahendra K. Op. Cit hal 85

selama beberapa tahun. Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) dikepung panser, bahkan di Universitas Gajah Mada (UGM), mahasiswa sampai dikejar ke dalam kampus.81

Banyak lagi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengebiri mahasiswa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan instruksi No. 1/U/1978 dan SK No. 037/U/1979 yang berisi pembubaran Dewan Mahasiswa dan pembatasan aktivitas mahasiswa. Mahasiswa hanya diizinkan beraktivitas seputar kesejahteraan, rekreasi dan persoalan akademik atau intelektual. Upaya ini semakin kuat dengan ketika pada tanggal 19 April 1978, Mendikbud yang saat itu dijabat oleh Daoed Joesoef menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang berarti menata ulang dan redefenisi kampus secara mendasar, fungsional dan bertahap. Kebijakan ini dituangkan dalam SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0156/V/1978 yang menyatakan bahwa aktivitas dan ekspresi politik mahasiswa di dalam kampus adalah tidak sah dan hanya mengizinkan adanya diskusi ”akademik” tentang subjek politik. Lewat pembahasan intensif antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bersama para rektor, tanggal 24 Februari menteri mengeluarkan SK No.037/U/1979 yang mengatur Bentuk Susunan Lembaga/Organisasi Kemahasiswaan di lingkungan Perguruan Tinggi Departemen P dan K. dengan begitu di tiap perguruan tinggi di bentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) sebagai badan non struktural yang berfungsi membantu rektor

81 Ibid hal 85

merencanakan kegiatan mahasiswa. Dengan begitu maka sejak peraturan- peraturan itu dimunculkan, praktis semua kegiatan mahasiswa baik kurikuler maupun non kurikuler dikontrol oleh pimpinan perguruan tinggi.82

Selain itu, di bidang penyelenggaraan pendidikan tinggi, Menteri P dan K mengeluarkan SK No. 0124 yang mewajibkan diberlakukannya Sistem Kredit Semester (SKS) dengan mekanisme mengajar dan belajar terprogram secara intensif. Mahasiswa diwajibkan menyelesaikan sejumlah beban studi untuk setiap semester yang secara keseluruhan terdiri dari 8 sampai 12 semester untuk jenjang S-1. Meskipun demikian ketatnya peraturan tersebut, mahasiswa mencoba menyiasatinya dengan mengkombinasikan perhatian kepada masyarakat bersama kegiatan kritik lewat pembentukan kelompok studi, selain berkiprah lewat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mempraktekkan pemikiran kritis dalam memberdayakan masyarakat.83

Pada akhir 80-an, perubahan perspektif terhadap paradigma (mitos) gerakan moral mulai tampak dikalangan aktivis yang berkiprah di luar kampus.

Pilihan untuk mengangkat tema populis (kerakyatan) sekaligus merupakan kritik dan penolakan terhadap kecenderungan elitis dan ekslusif, yang dipandang inheren dengan angkatan 66. Mahasiswa banyak melakukan diskusi dengan elemen-elemen yang termarjinalisasi oleh model pembangunan rezim Orde Baru, Konsolidasi Gerakan Mahasiswa Kembali Ke Rakyat

82 Suharsih dan Ign. Mahendra K. Op. Cit hal 86-87

83 Muridan S. Widjojo hal 59-60

seperti kaum miskin kota, buruh, petani dan sebagainya. Mereka menolak segala bentuk turunan produk Orde Baru, dengan memfokuskan pada kegagalan Orde Baru menjalankan ideologi pembangunanisme. Gerakan moral berintikan

“kemurnian” mahasiswa, tulus, non partisan. Disisi lain, Orde Baru juga melakukan reduksi terhadap makna politik sehingga berkonotasi negatif dan

“kotor”. Ajang mahasiswa demikian umumnya seruan pejabat di masa OB, bukanlah di bidang ”politik praktis”.84

Sebagai akibat dari peraturan mengenai kehidupan berorganisasi (NKK/BKK), terdapat tiga bentuk umum dari organisasi yang muncul yaitu yang representasi organ formal universitas, organisasi mahasiswa intra kampus, serta organisasi pemuda yang disponsori oleh pemerintah. Konteks politik yang cenderung refresif menyebabkan mahasiswa mencari format baru untuk mewadahi kegiatan mereka. Era ini mencatat awal pembentukan Kelompok Studi (KS), Lembaga Swadaya Masyarakat dan Komite-Komite aksi pada pertengahan 80- an.

85

Dengan semakin dipagarinya kampus dari dunia politik, mahasiswa menemukan format baru gerakan mahasiswa, yaitu dengan terbentuknya Kelompok Studi (KS). Kelompok Studi merupakan arena untuk mengasah kemampuan kritis mahasiswa atas persoalan sosial dan politik. KS muncul sebagai alternatif akibat ketidakmampuan organisasi formal di kampus untuk menyalurkan ide-ide kritis mahasiswa mengenai perubahan sosial. Dalam

84 Ibid hal 103-104

85 Ibid hal 66-67

perkembangannya, KS tidak hanya berfungsi sebagai arena untuk diskusi melainkan juga melakukan aksi-aksi advokasi.

Gerakan mahasiswa yang bangkit kembali melalui kelompok-kelompok diskusi tersebut kemudian melakukan konsolidasi dan kemudian mengambil strategi melingkar, yang melahirkan berbagai macam organisasi mahasiswa, seperti Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), GM Forsal di Semarang, SEMESTA di Salatiga, KPMB, KPMURI, KPMB di Bandung, FKMM di Malang dan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Se-Jakarta (FKSMJ).

Selain kemunculan berbagai macam organisasi mahasiswa tersebut, gerakan mahasiswa pada masa ini juga mengaplikasikan hasil diskusinya dengan cara melakukan pengorganisiran di basis-basis massa rakyat. Demonstrasi- demonstrasi kampus pertama muncul kembali pada 1987, yang memuncak pada tahun 1989 dalam rangkaian protes mahasiswa mengenai isu-isu tanah dan kekerasan kepada rakyat sipil. Seperti yang terjadi di Kedung Ombo, Kaca Piring, Blangguan, Pandega dan lain-lain. Kasus Kedung Ombo patut diberi catatan tersendiri karena kasus ini yang membawa mahasiswa kembali keluar dari ruang kuliahnya dan terlibat dalam masalah-masalah sosial politik.86

Meskipun demikian, selama periode ini juga terjadi penangkapan terhadap para aktivis mahasiswa. Kasus yang menonjol adalah ditangkapnya Bambang Isti Nugroho, Bonar Tigor Naipospos dan Bambang Subono. Selain itu juga terdapat

86 Suharsih dan Ign. Mahendra K. Op. Cit hal 91-92

Dokumen terkait