BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN
B. Kajian Teori
Bagian ini berisi pembahasan tentang teori yang dijadikan sebagai perspektif dalam penelitian. Pembahasan teori yang terkait dengan penelitian secara lebih luas dan mendalam akan semakin memperdalam wawasan peneliti dalam mengkaji permasalahan yang hendak dipecahkan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.28 Teori yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu:
28 Tim penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah IAIN Jember (Jember: IAIN Jember Press, 2018), 74
1. Fatwa DSN MUI No. 06
a. Pengertian Fatwa DSN MUI No. 06
Lahirnya Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disingkat DSN-MUI) yang kedudukannya diperkuat oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjadi landasan formal bagi kekuatan mengikat Fatwa DSN-MUI bagi pelaku aktifitas ekonomi syariah, khususnya Perbankan Syariah.
Fatwa DSN-MUI dijadikan sebagai “legitimasi” bahwa produk Perbankan Syariah telah sesuai dengan tuntunan syariat islam, sebagaimana nilai dan moralitas yang diinginkan oleh aktivitas ekonomi syariah.29
Dewan Syariah Nasional dan Majelis Indonesia pada tanggal 4 April 2000 atau 29 Dzhulijjah 1420 H, menetapkan Fatwa DSN-MUI No 06/DSN/MUI/IV/2000 tentang jual beli Istishna. Bahwa kebutuhan masyarakat untuk memperoleh sesuatu, sering memerlukan pihak lain untuk membuatkannya, dan hal seperti itu dapat dilakukan melalui jual beli Istishna, yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, Mustashni‟) dan penjual (pembuat, Shani‟).
Bai‟ Istishna merupakan kontrak penjualan antara Mustashni‟
(pembeli) dan Shani‟ (suplyer) dimana pihak suplier menerima
29 http://www.dsnmui.or.id/ diakses 11November 2021 pukul 14:30
pesanan dari pembeli dengan spesifikasi tertentu. Pihak suplier berusaha melalui orang lain untuk membeli atau membuat barang dan menyampaikannya kepada pemesan. Pembayaran dapat dilakukan di muka, cicilan atau ditanggungkan hingga waktu tertentu.
Bahwa transaksi Istishna pada saat ini telah dipraktekkan oleh lembaga keuangan syariah Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang Istishna untuk menjadi pedoman. Dengan segala pertimbangan dan dasar hukum yang sudah ada Dewan Syariah Nasional dan Mejelis Ulama Indonesia menetapkan fatwa tentang Jual Beli Istishna dengan ketentuan.
Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. Dalam hal pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan dan pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. Penyerahannya dilakukan kemudian hari. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Pembeli (mustashni) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Dalam hal ini pemesan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan diatas berlaku pula pada jual beli Istishna.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiban atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalu Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.30
2. Akad Istishna
a. Pengertian Akad Istishna
Al-Istishna adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen/pengrajin/penerima pesanan (shani‟) dengan pemesan (mustashni‟) untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu‟) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai‟ as-salam juga berlaku pada bai‟ al-istishna. Menurut Hanafi, bai‟ al-istishna termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna atas dasar istishna. Tujuan istishna umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiyaan investasi.31
30 Arman Prabowo, Implementasi Fatwa DSN-MUI Nomor 06/DSN /MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istishna, (Lampung: UIN Raden Intan, 2019) 50-52
31 Fithriana Syarqawie, Fikih Muamalah, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014), 12
b. Rukun dan Syarat Istishna
Pada prinsipnya bai‟ al-istishna adalah sama dengan bai‟ as-salam.
Maka rukun dan syarat istishna mengikuti bai‟ as-salam. Hanya saja pada bai‟ al-istishna pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya. Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa dipastikan kapan bangunannya selesai.
Adapun rukun-rukun istishna ada tiga, yaitu:
1. Pelaku terdiri atas pemesan (pembeli/mustashni‟) dan penjual (penjual/shani‟).
2. Objek akad berupa barang yang akan diserahkan dan modal istishna yang berbentuk harga.
3. Ijab dan qobul/serah terima32
c.
Dasar Hukum Istishnaَابِّرلا َمَّرَح َو َعْيَ بلْا ُوَّللا َّلَحَأَو
Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
(QS. Al-Baqarah:275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang secara nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
Mengingat istishna ini metodenya hampir sama dengan metode pada salam maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada salam juga berlaku pada istishna. Selanjutnya ulama Hanafi
32 Fithriana Syarqawie, Fikih Muamalah, (Banjarmasin: IAIN Antasari Press, 2014), 13
berpendapat bahwa qias dan kaidah-kaidah umum tidak memperbolehkan istishna, karena istishna merupakan jual beli barang yang belum ada, sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah karna barang yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah karena bahan yang digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual atau shani‟. Hanya saja bila berlandaskan pada istishna, ulama hanafiyah memperbolehkan. Karena akad semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat, bahkan telah disepakati (ijma‟) tanpa ada yang mengingkari.33
3. Jual Beli
a. Pengertian Jual Beli
Jual beli secara bahasa merupakan masdar dari kata عيبي -عاب bermakna memiliki dan membeli. Begitu juga dengan kata ىرش dan رجت mengandung dua makna tersebut. Pengertian jual beli secara syar‟
adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan memberi kepemilikan. Atau dengan kata lain secara syara‟ jual beli adalah pemindahan kepemilikan dengan kompensasi menurut konteks yang disyariatkan.
Islam mensyariatkan jual beli dan menetapkan hukumnya boleh. Islam tidak membenci jual beli, bahkan Islam menganggap jual
33 Syaikhu,Fikih Muamalah Memahami Konsep dan Dialektika Kontemporer, (Yogyakarta: UIN Antasari Banjarmasin, 2020), 126
beli sebagai salah satu wasilah kerja, sehingga Al-Qur‟an memberikan sifat yang baik terhadapnya. Rasulullah Saw pun menyetujui sebagian dari jual beli itu dan melarang sebagian yang lain. Rasulullah Saw dan masyarakat sama-sama memperjualbelikan apa yang mereka butuhkan dan menghalangi apa yang telah dilarang.34
b. Dasar Hukum
Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur‟an, sunah, dan ijma‟ yakni:
1. Al-Qur‟an, di antaranya:
)
572:ةرقيلا ( اوّٰبِّرلا َمَّرَحَو َعْيَ بْلا ُوّّٰللا َّلَحَاَو
اArtinya:“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah:275)
2. As-sunah, di antaranya:
ٍعْيَ ب ُّلُكَو ِهدَيِب ِلُجَّرلا َلَمَع:َلاَقَ ف؟ُبَيْطَأ ِبْسَكلْا ُّيَا :.م.ص ُِّبَِّنلا َلِئُس عفارلا نباةعافر نع مكالحا وححصو رازبلا هاور( .ٍرْوُرْ بَم
)
Artinya:“Nabi SAW. Ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, „Seorang bekerja dengan tanggannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim menyahihkan dari Rifa‟ah Ibn Rafi‟)
Maksud mabrur dalam hadis di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
3. Ijma‟
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau
34 Ibid 44
barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.35
c. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam:
1. Jual beli saham (pesanan)
Jual beli saham adalah jual beli memulai pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
2. Jual beli muqayadhah (barter)
Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
3. Jual beli muthlaq
Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.
4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.36
d. Rukun-rukun Jual Beli
Rukun secara umum ialah suatu yang harus dipenuhi untuk sahnya pekerjaan. Dalam jual beli berdasarkan pendapat ulama Hanafiyah yang
35 Rachmat Syafe‟i, M.A., Fiqih Muamalah, (Bandung:Pustaka Setia 2001), 74-75
36 Ibid 101
terdapat dalam bukunya Abdul Rahman Ghozali rukun jual beli ialah ijab dan qobul yang menunjukkan sikap saling tukar, atau saling memberi.
Rukun dalam jual beli berdasarkan pendapat ulama Hanafiah ada dua yakni ijab dan qobul. Sedangkan berdasarkan pendapat jumhur ulama‟
rukun jual beli harus mencakup empat macam, antara lain:
1. Akidain (penjual dan pembeli) 2. Ada barang yang dibeli 3. Sighat (lafadz ijab dan qabul) 4. Ada nilai tukar pengganti barang37
37 Akhmad Farroh Hasan, Fiqih Muamalah dari Klasik hingga Kontemporer (Teori dan Praktik), (Malang: UIN Maliki Malang Press, 2018), 33
BAB III
METODE PENELITIAN