• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teoritik

BAB 1 Pendahuluan

1.7. Kerangka Teoritik

yang digali dari ajaran atau hukum Islam atau penerapan ajaran atau hukum Islam akan menjelma dalam bentuk: Pertama, menemukan asas dan prinsip hukum. Kedua, pembentukan kaidah hukum, dan Ketiga, bahwa yurisprudensi (putusan) Peradilan Agama dapat mentransformasikan, melahirkan atau mengadaptasi ajaran (doktrin) hukum menurut ajaran Islam menjadi ajaran (doktrin) dalam sistem hukum nasional.52

mana yang telah dicampuri daya nalar manusia. Untuk itu, bila ditinjau dari proses pembentukan hukum Islam, ahli ushul fikih membuat batasan, bahwa “syari’ah” adalah “al-nushush al- muqaddasah” (ajaran Islam yang sama sekali tidak dicampuri oleh daya nalar manusia) dalam al-Qur’an maupun as- Sunnah al- mutawatirah. Adapun fikih dalam istilah ushul fikih ialah

“pemahaman” atau apa yang dipahami dari al-nushush al- muqaddasah.55 Syari’ah bersifat stabil (tsabat) sedangkan fikih bersifat dinamis (tathawwur).56

Untuk itu dapat disimpulkan bahwa syari’ah bersifat stabil dan tidak berubah, sedangkan fikih dapat berkembang dan bervariasi, sesuai dengan tingkat kemampuan daya nalar para mujtahid, ia berkembang tetapi tetap hukum yang Qur’ani. Dalam praktek sering kali, kedua istilah itu dirangkum dalam kata

hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Ini dapat dipahami karena hubungan keduanya memang sangat erat, dapat dibedakan, tetapi tidak mungkin diceraipisahkan. Syari’ah adalah landasan fikih, fikih adalah pemahaman tentang syari’ah.57

Seperti diketahui dari penjelasan di atas, hukum Islam mempunyai dua sifat, yaitu pertama bersifat al-tsabat (stabil) dan kedua bersifat al-tathawwur (berkembang). Untuk itu, dapat diterka aspek mana yang dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan hukum sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, jawabnya adalah hukum Islam dalam bidang

mu’amalah. Norma hukum dalam bidang mu’amalah, hanya sebagian kecil yang secara tegas dan terinci, sedangkan pada umumnya berupa prinsip-prinsip dasar secara singkat yang

55 Satria Effendi M. Zein, “Pengkajian dan Pengembangan Metodologi Hukum Fikih Islam,Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Semarang, 16 – 18 Oktober 1990, hal. 2.

56 Ibid., hal. 3.

57 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Islam di Indonesia, op. cit., hal. 42.

dalam pelaksanaannya memerlukan aturan tambahan. Maka, justru pada watak sumber hukum yang singkat dan terbuka tetapi cukup memuat pokok-pokok pikiran yang mengandung makna yang mendalam itulah terletaknya dinamika hukum Islam.58

Perlu diketahui bahwa di Indonesia hukum Islam berlaku (a) secara normatif, yaitu (bagian) dari hukum Islam yang

mempunyai sanksi kemasyarakatan, apabila norma- normanya dilanggar dan

(b) secara formal yuridis, yaitu (bagian) dari hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh perundang-undangan.59

Mentaati hukum Islam baik secara normatif maupun secara formal yuridis adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim karena merupakan bagian mutlak ajaran Islam. Salah satu bentuk hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal di Indonesia adalah keputusan Peradilan Agama.

Di lingkungan masyarakat muslim berlaku tiga kategori hukum dalam pandangan Islam, yaitu

(1) Syari’ah, (2) Fikih, dan

(3) Siyasah Syar’iyyah.60

Syari’ah dan fikih telah dijelaskan di atas, sedangkan

58 Satria Effendi M. Zein, op. cit., hal. 5.

59 Mohammmad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, op. cit., hal. 5 – 6.

60Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945, Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, Cet. 1, (Jakarta: UI Press, 1995), hal. 9.

siyasah sar’iyyah adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu, atau dengan kata lain siyasah sar’iyah adalah al-qawanin, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam negara yang sejalan atau tidak bertentangan dengan syari’at (agama).

Siyasah dilihat dari dasar sumbernya dapat dibagi dua, yaitu siyasah sar’iyyah dan siyasah wad’iyah.61 Dasar pokok siyasah sar’iyyah adalah wahyu atau agama. Nilai dan norma transendendal merupakan dasar bagi pembentukan peraturan yang dibuat oleh institusi-institusi kenegaraan yang berwenang.

Syari’ah adalah sumber pokok bagi kebijakan pemerintah dalam mengatur berbagai macam urusan umum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Siyasah wad’iyah adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat manusia yang bersumber pada manusia sendiri dan lingkungannya, seperti pandangan para ahli atau pakar, adat kebiasaan, pengalaman-pengalaman. Dengan demikian Ilmu siyasah sar’iyyah menempatkan hasil temuan manusia dalam segi hukum pada kedudukan yang tinggi dan sangat bernilai. Dan tiap peraturan yang secara resmi ditetapkan oleh negara dan tidak bertentangan dengan agama itu wajib dipatuhi sepenuh hati.62

Adapun kriteria siyasah wad’iyah yang Islami apabila isi dan prosedur pembentukkannya memenuhi syarat-syarat, yaitu isi peraturan itu sesuai, atau sejalan atau tidak bertentangan secara hakiki dengan syari’at Islam. Peraturan itu meletakkan persamaan kedudukan manusia di depan hukum dan pemerintahan, tidak memberatkan masyarakat, untuk mene- gakkan keadilan, dapat mewujudkan kemaslahatan dan mampu menjauhkan kemudaratan serta prosedur pembentukannya

61 Ibid., hal. 11.

62 Ibid., hal. 12.

melalui musyawarah.63

Transformasi dan metodologi hukum Islam dalam pembinaan sistem hukum nasional bahwa hukum Islam dapat dijadikan hukum positif atau sistem hukum nasional.

Perkembangan filsafat dan metodologi hukum Islam yang berkembang di Indonesia amat nyata dan dipraktekkan dalam proses pembentukan hukum Islam dari bentuk yang berserakan dalam kitab-kitab kuning menjadi hukum positif.

Hukum positif tersebut meliputi aturan-aturan yang berkenaan dengan:

(1) lembaga pemerintah dalam bidang keagammaan:

Departemen Agama RI, (2) lembaga Peradilan Agama, (3) hukum keluarga dan perkawinan, (4) hukum kewarisan,

(5) hukum perwakafan, (6) Kompilasi Hukum Islam,

(7) Hukum dan Tata Laksana Haji dan Umroh, (8) hukum Zakat,

(9) Perbankan Syari’ah, dan

(10) Undang-undang Nangroe Aceh Darussalam.

Pembentukan hukum Islam melalui proses syari’ah, tasyri’

hingga taqnin dan melahirkkan qanun dalam pengertian hukum positif,64 yang merupakan refleksi transformasi hukum Islam ke

63 Ibid., hal. 12.

64 Juhaya S Praja, Filsafat dan Metodologi hukum Islam dalm Pembinaan Sistem Hukum Nasional, Disampaikan dalam Kuliah Umum Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, 20 September 2003, hal. 3-4.

dalam hukum nasional.

Kerangka epistemologis atau metodologis hukum Islam yang berkembang di Indonesia dan mengambil bentuk hukum positif sebagaimana diutarakan di atas dapat dijelaskan secara kritis berikut di bawah ini,65 Metodologi hukum Islam yang digunakan dalam proses taqnin dan materi hukum positif nampaknya mengikuti aliran konvergensi atau al-jami’. Hal ini menandai dominasi pemikiran hukum Islam paruh pertama Abad kedua puluh yang ditandai dengan semangat al-ruju’ ila al- Qur’an wa al-Sunnah dan “membuka pintu ijtihad” melalui studi perbandingan madzhab. Terdapat senergi antara penggabungan metode ahnaf dan kalam dalam ilmu ushul al-fiqh dengan ilmu perbandingan madzhab dan hukum serta penalaran induktif dan penelitian empirik yang disumbangkan oleh para pakar dan saintis untuk menarik kesimpulan hukum atau istinbath al- ahkam. Dari penalaran induktif dan penelitian empirik ini penerapannya digeneralisasikan menjadi norma hukum yang berlaku secara umum.

Hukum Islam senantiasa ada dalam hukum nasional baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis berupa nilai-nilai hukum yang Islami dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktek hukum. Transformasi yang sudah diberikan hukum Islam terhadap hukum nasional berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Intruksi Presiden seperti telah dikemukakan, membuktikan bahwa hukum Islam punya kekuatan dan kemampuan dalam berintegrasi dengan hukum nasional.

Aspek kekuatan ini menjadi semakin kokoh karena didukung oleh Pancasila, yang sila-silanya merupakan norma dasar atau norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar negara dan telah mendudukkan agama pada posisi yang fundamental, serta memasukkan ajaran agama dan hukumnya

65 Ibid., hal. 14-15.

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, hukum Islam yang merupakan bagian dari ajaran agama anutan mayoritas penduduk Indonesia menempati dan memiliki peluang besar untuk mewarnai hukum nasional.

Melihat kemajemukan Indonesia, dan juga tercermin dalam kemajemukan masyarakat Islam Indonesia, baik etnis, budaya dan lainnya. Akibatnya tidak semua masalah hukum Islam bisa diunifikasi, melainkan harus lebih dulu dipilah, mana yang sudah dapat diunifikasi dan mana yang belum. Keberatan masyarakat non Islam atas pemberlakuan (penjiwaan) hukum Islam pada hukum nasional. Dampaknya, secara politis belum pernah terjadi adanya political will yang kuat dari penguasa untuk memperlakukan hukum Islam (terutama dalam bidang hukum pidana)66 secara nasional.

Melihat dan kemudian mempertimbangkan hal seperti tersebut di atas, maka dihadapkan kepada persoalan “ hukum Islam dalam perspektif pembentukan budaya hukum di masa datang”. Memasalahkan budaya hukum Islam, maka kita dihadapkan pada dua kemungkinan yaitu:

(a) mengenai hukum positif Islam, sehingga kita terbatas memasalahkan hukum yang berlaku bagi mereka yang beragama Islam, atau

(b) mengenai nilai-nilai hukum Islam, yang akan dapat berlaku bagi seluruh warga negara bahkan mungkin seluruh penduduk termasuk yang bukan warga negara.

Kedua alternatif ini dapat mempengaruhi pembentukan hukum

66 Abd. Salam, “Hukum Islam di Indonesia: Pelembagaan, Pembaharuan dan Prospek Transformasinya,” Mimbar Hukum No. 64 Thn XV 2004, hal. 13.

nasional di masa yang akan datang.67

Alternatiif pertama ialah hukum positif Islam (dalam arti tertulis) yang terlegalitas dalam Kompilasi hukum Islam dan atau di peraturan perundang-undangan yang lain. Kelembagaan yang digunakan ialah lembaga Pengadilan Agama untuk menegakkan hukum positif Islam yang menjadi hukum materiil atau hukum terapan Peradilan Agama. Bekerjanya hukum positif Islam ini melalui proses dan tahapan yang merupakan satu kesatuan dan direncanakan secara rasional dan sistematis melalui tahap formulasi (pembuatan perundang-undangan oleh lembaga legislatif), tahap aplikasi (penerapan perundang-undangan melalui putusan oleh hakim pengadilan), dan tahap eksekusi (pelaksanaan putusan pengadilan oleh aparat eksekusi).

Sebagai alternatif kedua ialah dari hukum positif Islam yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam, kita tarik asas-asas yang kemudian dituangkan ke dalam hukum nasional. Dengan cara demikian maka pembudayaan hukum Islam tidak saja terjadi di bidang hukum perdata khususnya hukum keluarga, melainkan dapat juga di bidang-bidang lain dari pada hukum perdata, bahkan juga hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara dan seterusnya. Dengan orientasi ini, maka hukum Islam akan benar-benar menjadi sumber hukum nasional.68

Alternatif kedua akan lebih ideal kerena menarik nilai-nilai (values) dari suatu peraturan (hukum positif) masa yang lampau untuk mendapatkan asas-asas yang kemudian dirumuskan sebagai peraturan (induktif) bagi semua warga negara, atau ditarik langsung nilai-nilai kehidupan dari al-Qur’an, kemudian dijabarkan dalam asas dan peraturan dagi semua warga negara

67 Padmo Wahjono, “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa datang,” Mimbar Hukum No. 3 Thn II 1991, hal. 1.

68 Ibid., hal. 5.

(deduktif). Apabila ditinjau masalah pembudayaan hukum Islam dalam kaitannya dengan pembentukan hukum di masa yang akan datang serta ragam politik hukum yang akan mendasarinya serta suatu kerangka teori, dan apabila hal ini dikaitkkan dengan

struktur” suatu sitem hukum, maka menjadi relevan dipahaminya teori tentang pertingkatan hukum (stufenbau des rechts hierarchie hukum). Hukum harus dapat dikembalikan kepada hukum yang lebih tinggi kedudukannya.

Dengan demikian akan didapatkan pertingkatan sebagai berikut:

(1) adanya cita hukum (rechtsidee) yang merupakan norma yang abtrak;

(2) ada norma antara (tussen norm, generelle norm, law in books) yang dipakai sebagai perantara untuk mencapai cita- cita hukum; dan

(3) ada norma kongktrit (contrete norm) yang dinikmati orang sebagai hasil penerapan norma antara atau penegakannya di penggadilan.69

Apabila teori pertingkatan hukum ini diterapkan pada permasalahan hukum Islam sebagai sumber hukum nasional di masa yang akan datang, maka gambaran pertingkatan hukumnya adalah sebagai berikut:

(a) norma abstrak, berupa nilai-nilai di dalam kitab suci al- Qur’an (universal dan abadi serat tidak boleh diubah manusia),

(b) norma antara, berupa asas-asas (principles) serta pengaturan, hasil kreasi manusia sesuai situasi, kondisi, budaya dan kurun waktu, muncul sebagai peraturan negara, pendapat ulama, pakar/ilmuwan, kebiasaan, dan

69 Ibid., hal. 8.

(c) norma kongkrit, berupa semua (hasil) penerapan dan pelayanan hukum kreasi manusia bukan Nabi, serta hasil penegakan hukum di pengadilan (hukum positif, living law).

Secara ringkas dapat dirumuskan sebagai berikut:

(1) nilai-nilai Islam;

(2) asas-asas dan penuangannya ke dalam hukum nasional; dan (3) terapannya di dalam hukum positif serta penegakannya.

Transformasi hukum Islam sebagai ius constituendum dalam hukum nasional sebagai ius constitutum telah lama diperjuangkan oleh para ulama sebelum abad ke XX,70 yaitu menstranformasikan hukum Islam ke dalam hukum Adat, melalui dua cara:

(1) membiarkan tetap berlakunya hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, dengan disertai mengganti bahasa hukum adat dengan hukum Islam, dan (2) dengan mengganti lembaga hukum Adat yang bersangkutan

dengan hukum Islam dengan lembaga hukum Islam yang sejenis, atau menggantinya dengan lembaga hukum Islam lain melalui teknik hilah.

Para ulama Indonesia sesudah abad ke XX mentransformasikan hukum Islam ke dalam legislasi hukum nasional, dengan menggunakan teknik:

(1) takhshishu al-qadha, (2) takhayyur atau talfiq, (3) reinterpretasi,

(4) siyasah syar’iyyah, dan

70 Taufiq, “Transformasi Hukum Islam ke dalam Legislasi Nasional,”

Mimbar Hukum No. 49 Thn. XI 2000, hal. 24.

(5) keputusan pengadilan.71

Takhshis al-qadla, yaitu menentukan hak negara untuk memberikan kewenangan peradilan baik dari segi orang, wilayah, yurisdiksinya, dan hukum acara yang diterapkan.

Negara dapat mengambil kebijaksanaan prosedural untuk memberikan kepada peradilan agar tidak menerapkan ketentuan hukum keluarga dalam situasi tertentu, tanpa berusaha untuk merubah substansi hukum Islam tersebut. Takhayyur, yaitu memilih ajaran-ajaran fikih selain dari madzhab mayoritas masyarakat, apabila pendapat tersebut lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dari pada ajaran madzhab yang dianut mayoritas masyarakat tersebut. Teknik ini dikenal juga teknik talfiq, yaitu menggabungkan beberapa ajaran madzhab yang berbeda. Reinterpretasi, yaitu melakukan interpretasi baru terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis berkenaan dengan perubahan sosial. Siyasah syar’iyyah, yaitu kebijakan penguasa untuk menerapkan peraturan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syari’ah.

Sampai saat ini dapat dilihat, bahwa politik hukum pemerintah terhadap hukum Islam tampak lebih jelas, sebab salah satu asas dalam pembangunan, termasuk pembangunan hukum adalah keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional, dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.

Disamping itu dalam pembentukan hukum perlu diindahkkan ketentuan yang memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, dan nilai yuriidis yang sesuai denga ketentuan peraturan perundang-undangan yang

71 Ibid., hal. 25.

berlaku. Maka dalam pembentukan hukum di masa mendatang, syari’ah merupakan pengendali, dan sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral, dan etik.72

Dari penjelasan di atas telah dikemukakan bahwa dalam pembangunan hukum masa datang, syari’ah merupakan pengendali dan landasan spiritual, moral dan etik. Dengan demikian secara konstitusional umat Islam mempunyai peluang untuk mentransformasikan syari’ah (hukum Islam) menjadi hukum nasional (hukum positif) melalui lembaga legislatif, serta melalui lembaga yudikatif. Menurut ilmu hukum untuk mentransformasikan hukum Islam menjadi hukum nasional, diperlukan tiga kegiatan. Pertama, menggali nilai-nilai Islam dari al-Qur’an dan Sunnah. Kedua, mensarikan asass-asas hukum Islam dan penuangannya ke dalam hukum nasional, dan ketiga, penerapannya ke dalam hukum positif dan penegakannya.73

Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang- undang Dasar 1945 Pasal 24 dan Pasal 25. Pasal 24 ayat (1) berbunyi “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung da lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Dan, pada ayat (2) dinyatakan, “susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang- undang”. Undang-undang organik selanjutnya yang menjabarkan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dassar 1945 tersebut adalah Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diperbaharui dengan Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman dan diperbaharui dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menentukan adanya empat lingkungan peradilan termasuk di dalamnya Peradilan Agama, yang diatur dalam Undang-undang RI No. 7 Tahun 1989

72 Taufiq, “Kebijakan-kebijakan Politik Pemerintah Orde Baru mengenai Hukum Islam (Sejarah dan Perkembangannya),” Mimbar Hukum No. 32 Thn VIII 1997, hal. 21.

73 Ibid., hal. 21.

dan perubahannya dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 serta perubahannya dalam Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 dan perubahan atas Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Adapun ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama (UU.

No. 7 Tahun 1989) adalah sebagai berikut:

1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (Pasal 1 ayat (1). Ketentuan ini dirumuskan selengkapnya dalam Pasal 2, yaitu “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, kewenangan absolut dari Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas (pencari keadilan yang beragama Islam) dan asas bidang hukum perdata tertentu yang diatur pasal 49 sampai dengan Pasal 53.

2. pasal 49 adalah pasal yang menentukan kewenangan Peradilan Agama secara mutlak, yang berarti bidang-bidang hukum perdata yang tercantum dalam pasal tersebut menjadi wewenang mutlak (kompetensi absolut) Peradilan Agama. Pasal 49 ayat (1) berbunyi: Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang (a) perkawinan, (b) kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan (c) wakaf dan shadaqah. Ayat (2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (a) ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. Ayat (3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dalam ayat (1) huruf (b) ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan

bagian-masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, disamping penambahan wewenanng absolud tentang sengketa ekonomi syari’ah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.

Adapun hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal sebagai pegangan hakim Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991) tanggal 10 Juni 1991 yang ditujukan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskannya. Adapun Kompilasi Hukum Islam terdiri dari

(a) Buku I tentang Hukum Perkawinan, (b) Buku II tentang Hukum Kewarisan, (c) Buku III tentang Hukum Perwakafan.

Berdasarkan Instruksi Presidden No. 1 Tahun 1991, Menteri Agama pada tanggal 22 Juni 1991 telah menetapkan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991 di atas.

Pengembangan hukum Islam yang menjadi wewenang Peradilan Agama khususnya hukum kewarisan sangat dimungkinkan dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres RI No. 1 Tahun 1991). Intruksi Presiden dimaksud bersifat terbuka untuk dikembangkan, sesuai dengan perkembangan zaman dan pemenuhan kebutuhan umat Islam Indonesia. Dorongan pengembangan hukum Islam itu dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam (Inprs RI No. 1 Tahun 1991) Pasal 229 yang dinyatakan: “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.”

Pengembangan hukum materiil Peradilan Agama itu

sangat penting. Ini berarti melengkapi apa yang belum ada dalam kompilasi itu dan menyempurnakan apa yang sudah ada di dalamnya, disamping pembaharuan dengan peningkatan kualitas pembentukan hukum melalui yurisprudensi tetap Peradilan Agama. Yang tetap terjadi karena rentetan keputusan atau beberapa keputusan yang sama, disebut (dalam bahasa Belanda) standaardarresten, yaitu keputusan yang dijadikan ukuran dan dasar bagi peradilan untuk memutus perkara yang sama.74

Peraturan perundang-undangan, biasanya hanya menen- tukan yang bersifat umum saja, sedang pertimbangan hal-hal yang kongkrit diserahkan kepada hakim. Ini berarti bahan dalam hukum dan atau peraturan perundang-undangan ada ruang kosong yang dapat diisi oleh hakim. Cara mengisinya dapat dilakukan dengan konstruksi, yakni pembuatan pengertian hukum (baru) yang sesuai dengan hukum yang bersangkutan.75 Untuk itu dibutuhkan suatu metodologi (cara) yang dipergunakan dalam pengembangan hukum untuk mengisi kekosongan hukum itu dengan melakukan konstruksi, yaitu mempergunakan akal secara logis dan sistematis, dan konstruksi itu biasanya dilakukan oleh hakim kalau ia harus menjalankan hukum atau perundang-undangan secara berikut:76

(1) analogi (qiyas), menyamakan hukumnya sesuatu yang belum ada hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada hukumnya dengan persamaan illah (alasan) hukum. Perlu diingat bahwa tidak semua bidang hukum dapat dilaksanakan dengan analogi,

(2) penghalusan hukum (rechtsverpijning). Untuk mencapai keadilan, kadangkala hakim tidak menjalankan suatu ketentuan walaupun ketentuan itu menyebut dengan jelas

74 Mohammad Daud Ali, “Pengembangan Hukum Materiil Peradilan,”

op. cit., hal. 41.

75 Ibid., hal. 41.

76 Ibid., hal. 41 – 42.

Dokumen terkait