• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pendidikan Karakter

Dalam dokumen NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER (Halaman 30-62)

BAB I BAB I PENDAHULUAN

D. Kajian Pustaka

2. Konsep Pendidikan Karakter

Istilah pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-an.

Thomas Lickona disebut-sebut sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul The Return of Character Education dan kemudin disusul oleh buku berikutnya yakni Educating of Chaaracter (How Our School Can Teach Respect and Responsibility). Melalui buku-buku Thomas Lickona tersebut, dunia barat menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter.

Istilah karakter sesungguhnya menimbulkan ambiguitas. Karakter secara etimologi berasal dari bahasa Yunani karasso, yang berarti cetak biru, format dasar, sidik seperti dalam sidik jari. Jika dilacak dari bahasa latin kharakter, kharassein, dan kharax yang maknanya tools for marking, to engrave dan ponted. Kata ini mulai digunakan kembali dalam bahasa Perancis caracter, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter.

Sedangkan karakter itu sendiri diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya.18

Di samping karakter dapat dimaknai secara etimologis, karakter juga dapat dimaknai secara terminologis. Secara terminologis, Thomas Lickona mendefinisikan karakter sebagai “ A reliable inner disposition to respond to situation in a morally good way”. Karakter mulia (good character) mencakup pengetahuan tentang kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar

18 Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan Mengumpulkan yang Terserak,

Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, hal. 102.

melakukan kebaikan (moral behavior). Dengan demikian, karakter mengacu pada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan ketrampilan.19

Dalam buku yang ditulis oleh Thomas Lickona, dijelaskan bahwa karakter terdiri dari nilai operatif, nilai dalam tindakan. Kita berproses dalam karakter kita, seiring suatu nilai menjadi suatu kebaikan, suatu disposisi batin yang dapat diandalkan untuk menggapai situsi dengan cara yang menurut moral itu baik. Karakter yang terasa demikian memiliki tiga bagian yang saling berhubungan: pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral.

Karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal-hal yang baik, menginginkan hal hal yang baik, dan melakukan hal yang baik dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan.20

Karakter adalah suatu yang dipahatkan dalam hati, sehingga menjadi tanda yang khas, karakter mengacu pada moralitas dalam kehidupan sehari- hari. Karakter bukan merupakan gejala sesaat melainkan tindakan yang konsisten muncul baik secara batiniah dan rohaniah. Karakter adalah serangkaian nilai yang operatif, nilai yang nyata sebagai aktualisasi dalam tindakan. Pengertian karakter dari sudut pandang pendidikan didefinisikan sebagai struktur rohani yang terlibat dalam perbuatan dan terbentuk oleh faktor bawaan dan pengaruh lingkungan. Karakter mengacu pada lingkungan

19 Darmiyati Zuchdi. Pendidikan Karakter: dalam Perspektif Teori dan Praktik.

(Yogyakarta: UNY Press, 2011), hal. 470

20 Thomas Lickona, Educating for Character (Mendidik untuk Membentuk Karakter),

(Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hal. 81-82.

etis dan moral seseorang untuk mengasihi Tuhan dan sesama yaitu kebijakan moral untuk berbuat baik.

Dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.21 Menurut The Random House Dictionary of the English Language, character (karakter) is the aggregate of features and traits from the individual nature of some persons or things22 (keseluruhan ciri khas sifat dan perangai yang membentuk watak sekelompok orang atau barang). Menurut Suyanto, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama., baik dalam lingkup keluarga,masyarakat, bangsa dan negara.23 Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuat.

Dalam buku yang ditulis oleh Doni Koesoema A, dijelaskan bahwa karakter dapat dilihat dari dua hal, yaitu pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai suatu yang telah ada (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai

21 Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter Berpusat dari Hati, (Jakarta: Al-Mawardi

Prima,2011), hal. 197-198

22 The Random House Dictionary of the English Language, (New York: Random House,

Inc.,1983), hal. 346.

23 Suyanto, Urgensi Pendidikan Karakter, (Ditjen

Mendikdasmen,Kemenpendiknas,2009), hal. 1.

kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebut sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).24

Karakter merupakan nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku.

Karakter secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.25

Dari pengertian secara etimologis maupun terminologis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat karakter itu adalah sifat utama (pola), baik pikiran, sikap, perilaku maupun tindakan, dan sifat utama (pola) tersebut melekat kuat pada diri seseorang dan menyatu dalam diri seseorang, seperti halnya ukiran yang sulit diubah.26 Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, maupun dengan lingkungan, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

24 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global),

(Jakarta: Grasindo, 2010), hal 90-91.

25 Wisjnu Martani, Pengembangan Karakter Spiritual di Kampus, (Yogyakarta : Fakultas

Psikologi UGM, 2012), makalah seminar nasional pendidikan

26 Maragustam Siregar, Menjadi Manusia Berkarakter Kuat, (Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga, 2009), hal. 2.

Dalam bukunya yang ditulis oleh Bagus Mustakim yang berjudul Pendidikan Karakter: Membangun Delapan Karakter Emas Menuju Indonesia Bermartabat, dijelaskan bahwa karakter terbentuk dalam proses sejarah sebagai sifat-sifat utama dalam suatu masyarakat yang mewujud menjadi pondasi budaya dalam masyarakat itu. Dalam konteks ini, pendidikan berfungsi sebagai institusi menginternalisasikan sifat-sifat utama yang menjadi ciri khusus dalam masyarakat ke dalam diri peserta didik.

Proses ini bertujuan agar peserta didik tumbuh menjadi manusia dewasa yang bermartabat dan berbudaya sehingga dapat hidup dan berkembang dalam budaya masyarakat setempat.

a. Karakter Intelektual

Karakter intelektual mulai tumbuh di era klasik. Di Yunani kuno, karakter manusia intelektual dikembangkan berdasarkan pendekatan filsafat yang ditandai dengan munculnya idealisme dan realisme.

Berdasarkan sistem filsafat idealisme, kekuatan alam ide menjadi tolak ukur keberhasilan seseorang. Hakikat manusia adalah jiwanya yang mengide, etik maupun estetik. Dengan demikian, secara ideal karakter yang ingin dibangun oleh filsafat idealisme dalam diri seseorang adalah seorang manusia yang dapat menghadapi segala persoalan hidup di dalam masyarakat secara rasional. Sedangkan dalam pandangan filsafat realisme mengajarkan bahwa benda adalah riil. Dalam karakter ini, pengembangan intelektualitas manusia bertujuan untuk memahami alam kebendaan menuju tercapainya tujuan yang ingin diraih.

Manusia intelektual adalah manusia yang mampu menemukan berbagai nilai yang bersumber dari alam, baik alam ide maupun kebendaan berdasarkan observasi yang obyektif dan ilmiah. Nilai-nilai yang ditemukan kemudian dijadikan pondasi dalam sistem budaya masyarakat yang dijaga dan dilestarikan untuk kepentingan bersama.

b. Karakter Teologis

Karakter teologis lahir pada peradaban agama. Semua pengetahuan didasarkan pada wahyu yang merupakan sumber kebenaran mutlak.

Kebenaran diukur dari kesesuaian antara pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dengan informasi yang diwahyukan dalam kitab suci.

Karakter ditandai dengan kekuasaan wahyu atas manusia. Kuasa wahyu merupakan ciri utama kehidupan masyarakat dalam peradaban- peradaban agama. Manusia tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawan dogma dan doktrin keagamaan dari kalangan agamawan.

Karakter manusia yang diidealkan pada peradaban abad pertengahan adalah manusia yang hidup dengan nilai-nilai ketuhanan.

Nilai-nilai ini dirumuskan oleh para agamawan berdasarkan wahyu dari Tuhan secara doktriner dan dogmatis. Nilai-nilai inilah yang menjadi ukuran kualitas kemanusiaan. Kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai ini dianggap sebagai kebaikan, sebaliknya bertentangan dengan nilai-nilai ini dianggap sebagai keburukan.

c. Karakter Humanis

Karakter humanis muncul pada pertengahan abad ke-14 yang ditandai dengan tumbuhnya gerakan keagamaan dan kemasyarakatan yang melahirkan era renaisans Eropa. Humanis berpandangan bahwa manusia adalah individu yang merdeka. Kehidupan sejatinya tidak berpusat pada Tuhan (teoritis), melainkan berpusat pada manusia (antroposentris).

Manusialah yang menjadi penguasa realitas, karena itu manusia dapat menentukan nasibnya sendiri.

Renaisans dan humanisme menghadirkan karakter manusia baru yang pernah tumbuh dan berkembang di era klasik, yakni manusia intelektual. Manusia tidak lagi dinilai dari kepatuhan terhadap doktrin agama berdasarkan hasil pemahaman para agamawan terhadap wahyu Tuhan. Penilaian kualitas kemanusiaan diukur dari kemampuan dalam memahami realitas di sekitar dirinya secara obyektif dan ilmiah

d. Karakter Modernis

Zaman modern ditandai dengan semakin menguatnya humanisme.

Dalam humanisme sebagai mana telah disebutkan sebelumnya, rasio dipandang sebagai kekuatan untuk memahami realitas. Humanisme yang berkembang di eropa diikuti dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ini mengarah pada lahirnya modernisme.

Modernisme memandang bahwa pengetahuan didasarkan pada fakta-fakta yang dijadikan sebagai objek. Fakta itu berupa gejala atau fenomena yang

tunduk pada hukum alamiah yang tetap. Tidak ada kekuatan atau subyek di belakang gejala itu.

Dalam pandangan modernisme, realitas merupakan suatu totalitas dan satu kesatuan organis. Unsur-unsurnya dianggap tidak memiliki perbedaan secara prinsipil. Inti dari karakter pandangan modernis adalah manusia yang memahami realitas secara rasional dan saitifik. Rasional artinya menjadikan kekuatan rasio sebagai kekuatan tunggal yang menentukan, sedangkan saitifik berarti menganggap adanya suatu kebenaran esensial dan universal yang didasarkan pada langkah tertentu (metode ilmiah).

e. Karakter Postmodernis

Dalam pandangan postmodernis, realitas bukan merupakan suatu kesatuan tunggal, melainkan terbagi ke dalam berbagai fragmen. Realitas bukan suatu yang singular, homogen, ataupun tunggal melainkan prular, heterogen, dan fragmentalis. Karakter pada masyarakat postmodernis bisa menerima berbagai macam realitas kehidupan yang berbeda-beda sebagai suatu kemajemukan. Disamping bisa menerima suatu keniscayaan, manusia postmodern dapat membangun suatu sistem nilai-nilai yang harmonis, sinergis diatas kemajemukan yang ada. Realitas yang berbeda- beda bukan menjadi halangan. Sebaliknya perbedaan tersebut menjadikan potensi positif untuk berkompetisi secara sehat menuju kebaikan bersama.

Bagi bangsa Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha yang sungguh-sungguh, sistematik dan

berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa masa depan yang cemerlang tidak akan tercapai tanpa adanya pembangunan dan penguatan karakter di setiap individunya.

Usaha pemerintah untuk membentuk warga negaranya menjadi warga negara yng memiliki intelektualitas tinggi dan berkarakter, pemerintah banyak melakukan berbagai usaha untuk menyempurnakan pendidikan melalui kurikulum pendidikan. Hal ini diwujudkan dalam pendidikan kecakapan hidup yang bersifat mendasar dan diberikan dalam berbagai versi.

Dalam sejarah pendidikan Indonesia, pendidikan karakter juga pernah dimaknai dan ditampung oleh semangat memberikan pengertian dan jiwa patriotisme dalam hati peserta didik melalui pendekatan formal struktural melalui mata pelajaran formal yang disebut civic, pendidikan moral, penataran pedoman pendidikan penghayatan dan pengalaman pancasila (P4). Serta pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn).27

Berdasarkan sejarah pendidikan di Indonesia maka pendidikan budi pekerti atau karakter pernah diberikan dalam bentuk mata pelajaran sendiri. Selanjutnya pendidikan budi pekerti diintegrasikan ke dalam mata pelajaran civic dan agama. Khusus mengenai pelajaran civic atau kewarganegaraan ini mengalami beberapa kali perubahan. Tahun 1961, kewarganegaraan berganti menjadi civics.

27 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter Strategi...., hal. 204.

Pada tahun 1957 setelah pemerintah RI berdiri dalam kurikulum pendidikan pada waktu itu muncul mata pelajaran budi pekerti. Pelajaran budi pekerti adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di dalam kelas.

Pada tahun 1964 kurikulum yang berlaku pada masa itu adalah kurikulum sekolah rakyat. Dalam kurikulum tersebut, pelajaran pendidikan budi pekerti dijadikan suatu mata pelajaran yang disebut dengan mata pelajaran agama atau budi pekerti. Mata pelajaran tersebut merupaka gabungan dari sejarah, ilmu bumi, dan kewarganegaraan.

Pada tahun 1968 kementrian mengeluarkan kurikulum yang baru yang dikenal dengan kurikulum 1968. Pada masa itu sekolah rakyat dirubah menjadi sekolah dasar. Prinsip utama yang mendasari kurikulum pada masa ini adalah dasar pendidikan nasional adalah falsafah pancasila.

Tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia pancasila sejati.

Isi pendidikan terdiri dari tiga hal, yaitu mempertinggi mental budi pekerti, memperkuat keyakinan agama, mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan, serta membina fisik yang kuat dan sehat. Adapun ciri-ciri dari kurikulum 1968 adalah munculnya pembinaan jiwa pancasila sebagai komponen yang dominan yang meliputi pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan bahasa Indonesia, pendidikan bahasa daerah, dan pendidikan olahraga. Dalam kurikulum ini pendidikan budi pekerti sudah tidak muncul lagi dalam mata pelajaran. Hal ini menunjukkan berubahnya orientasi pendidikan.

Pada tahun 1975 disebut juga kurikulum 1975 dan menggantikan kurikulum 1968. Dalam kurikulum ini, pendidikan agama berdiri sendiri.

Tahun 1994, pendidikan civic berubah lagi menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). PPKn sebagai penggabungan bahan kajian.

PPKn yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4. PPKn persekolahan kita melihat adanya integrasi budi pekerti pada pelajaran tersebut.

Mengawali munculnya kurikulum 2004 hingga tahun 2010 standar kompetensi sebagai pengganti kurikulum 1994 nampaknya pendidikan berbasis karakter tetap ditempatkan sebagai pendidikan integrasi bukan merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri.

Menurut Lickona, sebagaimana yang dikutip oleh Marzuki, pendidikan karakter mencakup tiga unsur pokok, yakni mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan, (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Senada dengan pendapat Lickona, Frye (2002:2) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “A national movement creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by modeling and teaching good character through an emphasis on universal values that we all share”.28

Pendidikan karakter terdiri dari dua kata, yakni pendidikan dan karakter. Pendidikan adalah pembentukan diri secara utuh yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didik. Sedangkan karakter adalah cerminan

28 Darmiyati Zuchdi, Pendidikan Karakter: dalam Perspektif Teori dan Praktik.

(Yogyakarta: UNY Press, 2011), hal. 470

tindakan seseorang. Dari kedua pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa pendidikan karakter adalah pembentukan diri manusia secara utuh yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didiknya, yang mana pembentukan diri tersebut menjadi tabiat atau kebiasaan ang tertanam pada diri seseorang.29

Selain pengertian diatas, pengertian lain tentang pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melakanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter berpijak pada karakter dasar manusia, yang bersumber dai nilai moral universal, yang bersumber dari agama yang juga disebut juga sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter tersebut.30

Menurut FW Foerster, ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yakni :

a. Keteraturan interior dimana setiap tindakan diukur berdasarkan hirearki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.

b. Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain.

29 Drs. Nur Kholid, M. Pd, nuansa-pendidikar.blogspot.com/, diakses pada tanggal 27

April 2012, pukul 19.30

30 Kemendiknas, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama,

(Jakarta : 2010), hal. 12.

c. Otonomi, seseorng menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi.

d. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna menginginkan apa yang dipandang baik. Kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.31

Secara teoritik nilai karakter berkembang secara psikologis dalam diri individu mengikuti perkembangan usia dan konteks sosial. Dalam kaitannya dengan usia, Piaget merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan dengan membagi menjadi beberapa tahapan dalam dua domain yakni kesadaran mengenai aturan dan pelaksanaan aturan. Sedangkan penelitian Kohlberg menghasilkan rumusan tiga tingkat dalam perkembangan karakter, yakni: prakonvensional, konvensional, dan poskonvensional. Dalam pandangan Islam, tahapan-tahapan pengembangan dan pembentukan karakter dimulai sedini mungkin.

Pembentukan karakter merupakan bagian yang penting dalam proses pendidikan suatu bangsa. Pada umumnya setiap lembaga pendidikan berharap agar peserta didiknya memiliki kemampuan yang tinggi di bidang kognitifnya dan juga berkarakter baik.

Mengenai cara pembentukan perilaku hingga menjadi karakter, Bimo Walgito mengemukakan tiga cara, yaitu:32

31 Abdul Majid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, ( Bandung: Remaja Rosda Karya,

2011), hal. 36

32 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM),

1994), hal. 79

a. Kondisioning atau pembiasaan, dengan membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut.

b. Pengertian, cara ini mementingkan pengertian dengan adanya pengertian mengenai perilaku akan terbentuklah perilaku.

c. Model, dalam hal ini perilaku terbentuknya karena adanya model atau teladan yang ditiru.

Sedangkan menurut pendapat para pakar pendidikan yang lain ada lima cara dalam upaya membentuk perilaku hingga menjadi karakter, yakni :

a. Mengajarkan

Memberikan pemahaman kepada peserta didik mengenai karakter maupun faedahnya. Terdapat dua fungsi dalam pengajaran, yakni memberikan pengetahuan konseptual baru dan sebagai pembanding antara pengetahuan yan telah dimiliki peserta didik dengan pengetahuan baru.

b. Keteladanan

Suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada para peserta didik, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan

c. Menentukan prioritas

Melihat proses evaluasi atas berhasil atau tidaknya pendidikan tersebut d. Praksis prioritas

Merupakan bukti nyata dari penentuan prioritas yang telah dilakukan dari pihak sekolah.

e. Refleksi

Pemantulan diri terhadap karakter, baik dalam dirinya sendiri atau yang sering disebut dengan istilah istighosah.33

Dalam menentukan nilai-nilai pendidikan karakter yang relevan tidak dapat dilepaskan dari situasi dan konteks historis masyarakat tempat pendidikan karakter akan diterapkan. Sebab, nilai-nilai tertentu mungkin pada masa tertentu lebih relevan, akan tetapi pada situasi lain bisa saja nilai tertentu tidak relevan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakat setempat. Oleh karena itu, kriteria penentuan nilai-nilai pendidikan karakter ini sangatlah dinamis, dalam arti aplikasi praktisnya di dalam masyarakat yang akan mengalami perubahan terus menerus, sedangkan jiwa dari nilai-nilai itu sendiri akan tetap sama.34

Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini:

a. Agama

Masyarakat Indonesia dalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaan. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai- nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

33 Hamruni, Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Anak Usia Dini Berbasis

Edutainment (Musik dan Lagu Model), makalah seminar pendidikan nasional, tidak diterbitkan, Universitas Islam Negeri, 2012, hal. 2

34 Doni Kusuma A, Pendidikan Karakter. Strategi Mendidik anak di Zaman Global

(Jakarta : Grasido, 2007), hal. 208.

b. Pancasila

Negara Kesatuan republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat di dalam batang tubuh UUD 1945. Hal ini mengandung arti bahwa nilai- nilai yang terkandung di dalam pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni.

Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara Indonesia.

c. Budaya

Sebagai suatu kebenaran bahwa idak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui oleh masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter.

d. Tujuan Pendidikan Nasional

Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional

adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Terkait dengan upaya untuk mengembangkan materi kurikulum tentang pendidikan karakter, Pusat Kurikulum, Balitbang Diknas, telah merumuskan delapan belas pilar nilai karakter yang harus dikembangan untuk anak didik di Indonesia. Berikut ini dikemukakan kedelapan belas nilai karakter sebagaiman dikutip oleh Zamroni, yakni :35

a. Religius

Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

b. Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

c. Toleransi

Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

d. Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

e. Kerja Keras

Sikap, tindakan, dan usaha untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.

35 Darmayati Zuchdi. Pendidikan Karakter: dalam Perspektif Teori dan Praktik.

(Yogyakarta: UNY Press, 2011), hal 168-170

Dalam dokumen NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER (Halaman 30-62)

Dokumen terkait