BAB 7 BIOTEKNOLOGI DAN APLIKASINYA DALAM LINGKUP
7.3 Marka Molekuler
122
terbentuk selanjutnya diregenerasi dan dievaluasi sehingga diperoleh tanaman dobel haploid spontan atau disebut galur generasi DH0. Cara membedakan tanaman haploid dengan tanaman dihaploid adalah menggunakan teknik pewarnaan kromosom.
Gambar 7.1 Tahapan kultur anter pada pemuliaan padi
(Sumber : Dewi dan Purwoko, 2012)
123 umbi, warna tulang daun, dll. Marka biokimia atau marka protein dikenal dengan isozim, marka ini juga jumlahnya sangat terbatas dan dipengaruhi oleh lingkungan serta fase pertumbuhan dan bagian dari tanaman.
Marka molekuler adalah marka yang memanfaatkan sekuen DNA. Kelebihan marka molekuler adalah tidak dipengaruhi oleh lingkungan, jumlahnya banyak, dan dapat dideteksi secara dini pada tanaman. Marka molekuler dibagi menjadi dua, yaitu marka yang bersifat dominan dan marka kodominan. Marka dominan adalah marka yang hanya dapat mendeteksi alel tunggal dominan pada lokus yang sama, contohnya adalah RAPD dan AFLP. Marka kodominan adalah marka yang dapat mengidentifikasi semua alel pada lokus tertentu, atau dapat membedakan genotipe homozigot dan heterozigot, contohnya adalah RFLP SSR dan SNP.
Isolasi DNA dan PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan dua hal yang menjadi dasar dalam marka molekuler.
Isolasi DNA dapat dilakukan menggunakan teknik CTAB maupun menggunakan kit isolasi yang tersedia berbagai merk. PCR merupakan proses penggandaan (amplifikasi) DNA secara in vitro, yang dapat menghasilkan jutaan copy DNA dalam waktu beberapa jam dengan memanfaatkan suhu tinggi. DNA sensitif terhadap suhu tinggi, oleh karena itu dibutuhkan enzim Taq polymerase (enzim yang diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus) agar DNA tetap stabil.
7.3.1 RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) RFLP adalah marka molekuler yang menggunakan enzim restriksi dan hibridisasi southern. Hasil pemotongan ini kemudian dipisahkan berdasarkan ukurannya menggunakan elektroforesis, lalu ditransfer pada membran nylon. Fragmen DNA kemudian didenaturasi menjadi DNA tunggal yang akan melekat pada membran. Proses transfer DNA inilah yang disebut dengan blotting. Membran kemudian diinkubasi dengan probe
124
DNA (molekul DNA yang telah diberi label dengan bahan radioaktif maupun non-radioaktif). Probe akan melekat pada fragmen komplemennya, sehingga membentuk DNA utas ganda kembali. Proses ini disebut hibridisasi. Meskipun marka ini bersifat kodominan, namun memiliki kekurangan. Menurut Azrai (2005) kelemahan RFLP adalah pelaksanaannya rumit dan membutuhkan waktu lama, kuantitas dan kualitas DNA yang digunakan tinggi, prosedur hibridisasi yang rumit, dan minimnya informasi terkait probe DNA untuk tiap spesies.
7.3.2 AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) AFLP merupakan gabungan antara RFLP dengan PCR. AFLP merupakan perbaikan dari teknik RFLP. Sama halnya dengan RFLP, AFLP juga adalah marka yang menggunakan potongan DNA hasil restriksi menggunakan enzim restriksi endonuklease, lalu fragmen DNA diperbanyak dengan PCR. Enzim restriksi yang umum digunakan adalah EcoRIII, MstI, EcoRI dan MseI. Tahap penting dalam AFLP adalah ekstraksi DNA, restriksi (pemotongan), ligasi (penempelan), amplifikasi selektif dengan PCR, deteksi fragmen dengan gel elektroforesis, dan interpretasi hasil dari visualisasi dengan pewarnaan silver. Hanya fragmen DNA yang sesuai atau komplemen yang akan ditempeli oleh primer. Kelebihan marka AFLP adalah tidak perlu mengetahui sekuens DNA yang akan dianalisis dan hanya membutuhkan sedikit DNA, kelemahannya adalah sulit membedakan intensitas pita homozigot dan heterozigot (Azrai, 2005).
7.3.3 RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
Prinsip kerja RAPD adalah berdasarkan perbedaan hasil amplifikasi PCR pada sampel DNA. Primer yang digunakan bersifat random, umumnya terdiri dari 8-10 nukleutida. RAPD banyak digunakan karena kualitas dan kuantitas DNA yang digunakan relatif sedikit biaya yang dibutuhkan tidak terlalu mahal, pengerjaannya juga mudah dan cepat karena tidak
125 membutuhkan proses hibridisasi. Namun tingkat keberulangannya rendah (pengerjaan di laboratorium satu dengan yang lainnya bisa memberikan hasil yang berbeda), sangat sensitif terhadap perbedaan konsentrasi DNA (Latief dan Amien, 2014). Satu primer RAPD dapat menghasilkan 6-12 pita sehingga marka ini cukup tepat untuk deteksi keragaman.
7.3.4 SSR (Simple Sequence Repeat)
SSR atau biasa juga disebut dengan marka mikrosatelit atau STRs (Short Tandem Repeats) adalah sekuens pendek dan berulang secara tandem dalam urutan DNA. Biasanya terdiri dari 2 hingga 4 basa nukleutida. Marka ini bersifat kodominan, sehingga dapat mendeteksi keragaman genetik secara lebih spesifik. Teknik pengerjaannya cukup mudah dan murah.
Mikrosatelit tersebar di seluruh genom, termasuk pada kloroplas.
Namun pada kloroplas mikrosatelit hanya terdiri dari satu basa, misal T(n). Sekuens berulang AT paling banyak dijumpai pada tanaman, sedangkan sekuen AC/TG pada hewan (Prasetyono dan Tasliah, 2004). Perbedaan jumlah sekuens menjadi dasar dalam mendeteksi perbedaan antar individu. Sekuens yang lebih panjang akan memiliki berat molekul yang lebih besar dibanding sekuens yang pendek, sehingga pita yang lebih berat ada di posisi atas dan pita molekul yang lebih ringan ada di bawah (Gambar 7.2). Primer spesifik forward dan reverse digunakan untuk mengamplifikasi sekuen mikrosatelit. Kelemahan marka ini adalah tidak tersedia pada semua spesies tanaman, dan untuk merancang primernya butuh waktu lama dan biaya yang mahal (Azrai, 2005).
126
Gambar 7.2 Perbedaan jumlah sekuens menyebabkan perbedaan pola pita sehingga terjadi polimorfisme
(Sumber : Prasetyono dan Tasliah, 2004)
7.3.5 SNP (Single Nucleutide Polymorphism)
Marka SNP merupakan marka yang populer belakangan ini, seiring dengan berkembangnya teknik sekuensing genom NGS (Next Generation Sequencing). Marka SNP menggunakan mutasi titik, sehingga prinsip marka ini adalah membedakan individu satu dengan yang lainnya berdasarkan perbedaannya pada satu nukleutida. Marka ini bersifat kodominan. Kelemahan marka ini adalah memerlukan informasi sekuens gen target analisis terlebih dahulu. Jumlah marka yang dapat digunakan jauh lebih banyak pada marka SNP dibanding marka SSR. Namun tingkat polimorfisme marka SSR lebih tinggi dibanding marka SNP (Prasetyono dkk, 2018). Gonzaga et al., (2015) melaporkan PIC pada 23 genotipe padi indica untuk marka SSR berkisar 0.563- 0.83, sedangkan marka SNP berkisar 0.49-0.58.