Pembahasan tentang nasakh dan mansukh yang muncul dalam kajian ilmu tafsir merupakan masalah yang mengandung perdebatan di kalangan para ulama.
Kontroversi yang timbul bertolak dari bagaimana memahami dan menghadapi ayat-ayat Al Qur’an yang pada lahirnya kelihatan saling berlawanan. Segolongan ulama
188 Annaba : Jurnal Pendidikan Islam
berpendapat bahwa ada ayat-ayat yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan dan dengan demikian ada nasakh dalam Al Qur’an. Sebaliknya, segolongan ulama lainnya berpendapat bahwa ayat-ayat yang dikatakan tampak bertentangan bisa dikompromikan dan dengan demikian tidak ada nasakh dalam Al Qur’an. (Dewan Redaksi Enskopedi Islam, p.17)
a. kelompok ulama yang mendukung nasakh dan mansukh
Salah satu ayat yang menjadi basis pembangunan teori nasakh adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 106:
ِتْأَن اَه ِسْنُن ْوَأ ٍةَيآ ْن ِم ْخَسْنَن اَم
ۗ اَهِلْث ِم ْوَأ اَهْن ِم ٍرْي َخِب َّنَأ ْمَل ْعَت ْمَلَأ
ىَلَع َ َّاللَّ
ريِدَق ٍء ْيَش ِّلُك
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuat Ayat tersebut dijadikan dasar naqli bagi mayoritas ulama yang mendukung adanya nasakh dalam al-Quran.
Mayoritas ulama tanpa keraguan menetapkan ayat-ayat yang termasuk nasakh dan mansukh tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang berlaku menyeluruh sampai waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali oleh syara`. Jadi menurut mereka, nasikh mansukh bisa diterima oleh akal dan telah terjadi dalam
hukum syara` sesuai dalil di atas. Selain dalil naqli di atas, jumhur ulama pendukung nasakh juga mendasarkan dalil naqli. Mereka berpandangan perbuatan Allah itu mutlak, tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Ini karena, Allah lebih mengetahui kepentingan hambanya (Manna Khalil al-Qattan, p.331) Pendapat lain yang mendasari mayoritas ulama tentang teori nasakh adalah penetapan perintah-perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam al-Quran yang menurut Rosihan Anwar, ada yang bersifat sementara dan ketika keadaan berubah perintah tersebut dihapus dan diganti dengan perintah baru lainnya.
Namun, karena perintah- perintah itu kalam Allah, harus dibaca sebagai bagian dari al- Quran. (Rosihan Anwar, 2007, p.163) Persoalan nasakh bagi kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaikan beberapa dalil tersebut. Apabila tidak bisa dikompromikan, salah satunya dinasakh atau dibatalkan. Di samping itu, mereka berpendapat bahwa dalam al- Quran secara implisit memang mengandung konsep nasakh.
Oleh karen itu jika seseorang ingin menafsirkan al-Quran, menurut M. Abu Zahrah, harus terlebih dahulu mengetahui tentang nasikh dan mansukh (Muhammad Abu Zahrah,
Volume 4 No. 2, 1 September 2018 189 2008, p.120) Menurut
kelompok ini keberadaan nasakh dalam al-Quran selain memiliki dasar dari al-Quran, secara praktis juga nyata dalam sejarah Islam, dan nasakh disebut secara eksplisit di dalam al-Quran. Rachmat Syafe`i memberikan batasan terhadap ayat yang dinasakh, yaitu : (1) ayat al-Quran yang konsekwensi hukumnya saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, (2) harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut, yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh dan yang datang kemudian sebagai nasikh (Rachmat Syafe`i, 2006, p.94) Jumhur ulama, antara lain Imam Syafi’i mengakui adanya nasakh dalam Al Qur’an.
Menurut mereka, ayat yang dinasakh adalah ayat Al Qur’an yang mengandung ketentuan- ketentuan hukum.disamping alasan nash-nash itu, menurut mereka ada ayat-ayat yang bertentangan dan tidak bisa dikompromikan. (Dewan Redaksi Enskopedi Islam, p.16)
Munawir Sjadzali juga sependapat dengan kelompok yang menyatakan adanya nasakh, sehingga ia menggunakan metode klasik yang disebut dengan nasakh tersebut. Namun dalam praktiknya, Munawir Sadjali menggunakannya dengan cara yang berbeda dengan ulama klasik, sehingga menghasilkan pemahaman yang radikal dan
memberikan peran yang luas kepada akal untuk melakukan reinterpretasi terhadap hukum atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat al- Quran dan hadis nabi Muhammad saw. (Munawir Sjadzali , 1997, p.47) Sayyid Quthb dalam tafsirnya "Tafsir fi Zhilal al-Qur'an"
berpendapat bahwa ayat 106 dari surat al-Baqarah itu diturunkan sebagai sanggahan terhadap tuduhan orang-orang yahudi bahwa Nabi tidak konsisten, baik mengenai kepindahan kiblat dari masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram, maupun perubahan petunjuk, hukum dan perintah yang terjadi akibat pertumbuhan masyarakat Islam, dan situasi serta kondisi mereka yang terus berkembang (Sayyid Quthb, p.101-102) Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa nasakh (pergeseran atau pembatalan hukum/petunjuk) itu dapat terjadi tidak hanya pada zaman nabi Muhammad saw. tetapi juga sepeninggal beliau kalau memang kondisi dan situasinya telah berubah.
Di samping itu akal budi manusia juga dapat berperan sebagai alat yang dapat menasakh wahyu atau membatalkan/menggeser hukum baik yang termaktub dalam ayat-ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw.
selama hal tersebut berkaitan dengan masalah mu'amalah (kemasyarakatan). Dengan demikian, bukan berarti al- Quran dan Hadits yang diubah,
190 Annaba : Jurnal Pendidikan Islam
bukan pula syari'at yang diubah, tetapi pengetrapannya yang dapat diubah (Munawir Sjadzali, 1985, p.87) Pandangan Munawir Sadzali, yang menyatakan bahwa nasakh dapat terjadi sepeninggal nabi Muhammad saw., ini jelas-jelas bertentangan dengan ulama yang berpegang pada pandangan klasik yang menyatakan bahwa naskh hanya terjadi pada masa nabi Muhammad saw. atau masa tasyri'. Demikian juga
pendapatnya yang
membolehkan akal budi (rasio) manusia sebagai alat yang dapat menaskh wahyu Allah bertentangan dengan pendapat umum Ahmad Azhar Basyir, salah seorang tokoh Muhammadiyah misalnya mengatakan bahwa yang berhak menasakh hukum- hukum Allah hanya Allah sendiri. Selain Allah tidak berhak menasakh hukum- hukum Allah. Setelah al-Quran selesai diwahyukan, nasikh mansukh sudah berhenti.
Semua pernyataan fuqaha' dan
mufassirin tentang
kemungkinan terjadinya nasakh, tertuju pada kurun waktu semasa al-Quran belum selesai diwahyukan. Oleh karenanya jalan nasakh tidak dapat dipergunakan untuk membahas kemungkinan reaktualisasi ajaran Islam, setelah al-Quran diturunkan empat belas abad yang lalu.
(Ahmad Azhar Basyir, p.56) Pernyataan senada juga
dikemukakan oleh Ali Yafie salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama yang menyatakan bahwa perubahan hukum- hukum (taghayyur al-ahkam) melalui jalur nasakh terjadi pada tingkat syariah (al-Quran dan Sunnah) saja. Dengan berakhirnya periode tasyri (dengan wafatnya penerima wahyu yaitu Rasulullah saw.) maka perubahan-perubahan hukum Islam melalui jalur nasakh, sudah berakhir juga.
Maka merujuk kepada naskh dalam rangka upaya revision of the law dalam hukum Islam tidak pada tempatnya. (Ali Yafie, 1998, p.100) Berdasarkan pernyataan di atas, tampaknya M. Quraish Shihab memperbolehkan adanya pergantian hukum (nasakh) oleh manusia terhadap kasus yang dihadapinya dengan beralih pada ayat hukum yang dianggap cocok sesuai kasus yang dihadapinya. Semua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat/orang tertentu, karena kondisi yang berbeda.
Ayat hukum yang tidak lagi berlaku baginya, tetapi dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula (M.
Quraish Shihab, p.149-150) b. Ulama yang menolak nasakh
mansukh
Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang kelihatan
Volume 4 No. 2, 1 September 2018 191 bertentangan sehingga tidak
perlu dinasakh. Kelompok penolak yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahani, menyatakan bahwa dalam al- Quran tidak terdapat nasakh.
Jika mengakui adanya nasakh berarti mengakui adanya kebatilan dalam al-QuranAbu Muslim al-Isfahani mendasarkan argumentasinya pada al-Quran surat Fushilat ayat 42