• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Berpikir Jaringan Islam Liberal

يقهيبلا : هاور

F. Paradigma Berpikir Jaringan Islam Liberal

b) Ancaman serius bagi setiap pemikiran keagamaan adalah kemandegan dan ketiadaan semangat inovasi. Kondisi semacam itu akan menyebabkan agama kehilangan relevansinya dengan zaman dan masyarakat yang terus berubah. Pemikiran keagamaan dalam bentuk tafsir, teologi dan lebih- lebih fikih, bagaimanapun merupakan hasil interaksi dengan semangat zamannya.

Sedangkan bagi mereka yang kontra dengan pemikiran Jaringan Islam Liberal antara lain berpandangan:179

a) Tidak banyak hal baru yang diungkap pemikiran JIL. Sejak awal abad 20, para pemikir yang disebut sebagai “pembaharu pemikiran Islam”

dengan berbagai variasi gaya dan kecanggihan melontarkan sebagian atau semua unsur-unsur pemikiran JIL. Muhammad Abid Al-Jabiri, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, adalah sebagian di antara mereka yang disebut sebagai “pembaharu”.

b) Gagasan yang dilontarkan kelompok JIL tidak bisa lagi dianggap sebagai hal yang absah dan berada dalam koridor Ikhtilafiyah (perbedaan pendapat) yang memang sangat dikenal dalam lapangan pemikiran Islam. Gagasan-gagasan yang diusung JIL telah masuk pada wilayah inhirofiyah (penyimpangan pendapat). Sebab landasan berpijak yang sering digunakan adalah sekularisme. Bukti konkretnya bisa dilihat dari tema-tema yang sering diangkat oleh JIL.

1. Alquran dan Sunah

Dalam memandang dan memperlakukan teks agama, kalangan liberalis Islam mempunyai ciri yang khas, yang menjadikan mereka berbeda secara metodologis dengan kalangan lain. Mereka menandang teks sebagai al-Turats (warisan) yang hidup, dinamis dan menjadi tempat rujukan. Menurut mereka, teks merupakan sumber inspirasi, resourse untuk melakukan adaptasi dan adjustment.

Karenanya teks yang dianggap secara legalistik qath‟iy yang berkaitan dengan hukum, harus di-reinterpretasi, apalagi karena jumlahnya sangat sedikit sekali.180

Harun Nasution mengatakan, hanya sedikit saja teks-teks yang qath‟iy, selebihnya merupakan wilayah nalar untuk ditafsirkan.

Maka, kitab fikih, kalam dan tafsir hanyalah produk-produk intellectual exercise. Karena itu, perkembangan penafsirannya harus didorong terus supaya lahir karya-karya yang kontekstual bagi perkembangan masyarakat. Sepanjang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, tidak ada teks yang sakral. Sebab ilmu pengetahuan berkembang dengan cara mengkritik yang lama dan menghasilkan yang baru. Sakralisasi teks mungkin diperlukan oleh orang awam supaya tidak bingung, sebagimana mereka perlu pemimpin, apabila tidak ada pemimpin mungkin pemandu, yaitu teks-teks. Tapi ketika

180 Komaruddin Hidayat, Wahyu Dilangit Wahyu di Bumi Doktrin Peradaban Islam Dipanggung Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 117.

sudah dewasa, orang harus tahu bahwa sakralisasi bisa mempersempit Islam.181

Menurut Ulil Absar Abdalla, sekurang-kurangnya ada dua asumsi dasar dalam pemahaman keislaman yang tekstualistik;

Pertama, adanya anggapan bahwa teks adalah sesuatu dengan sendirinya tembus pandang dan transparan. Seorang pembaca teks dapat langsung menembus dan menggali isi dan kandungan teks tanpa adanya hambatan apapun. Maksud Ulil, konteks tempat ayat turun, jelas berbeda dengan konteks sekarang ini. Semakin jauh jarak dari teks, semakin banyak membutuhkan perantara untuk menjembatani antara yang hidup diabad 21 dengan teks Alquran yang lahir dalam konteks sosial abad 7 M. Artinya, semakin jauh jarak kita dari teks, maka media atau jembatan yang perlu kita bangun jelas makin panjang. Alasannya tentu sangat sederhana, kita tidak pernah tahu persis gambaran masyarakat zaman nabi Saw saat menerima wahyu itu, situasi dan konteksnya, hubungan-hubungan sosial yang ada zaman itu dan seterusnya.

Kedua, seolah-olah yang disebut dengan Alquran hanyalah ayat-ayat yang tertera dalam mushhaf saja. Mengandaikan Alquran hanya sekedar teks yang tercantum dalam mushhaf, sama saja dengan mengandaikan Alquran sebagai teks yang mati. Menurut Prof. Nashr bahwa proses pewahyuan sejatinya adalah “‟amaliyyat al-ittishal”

181 Komaruddin Hidayat, Wahyu Dilangit Wahyu Dibumi..,h. 118.

proses komunikasi dua pihak, pihak yang mengirimkan pesan (Allah Swt) dan pihak yang menerima pesan (Muhammad Saw). Karena Nabi Saw bukanlah seorang yang terisolasi dari konteks tetapi orang yang hidup dalam suatu komunitas, maka sebetulnya Alquran bukan sekedar deretan teks mati, tetapi teks yang hidup dalam suatu konteks yang benar-benar nyata.182

Pemikiran Fazlur Rahmân mengenai “Cara Membaca Alquran” ini sangat mempengaruhi metodologi pemikir Islam Liberal di Indonesia, yang dirumuskan dalam dua daur, yaitu; Pertama, dalam daur ganda metodologis memahami Alquran ini, perlu dipahami terlebih dahulu arti atau makna pernyataan dengan mengkaji situasi atau masalah historis dan sosiologis dimana pernyataan Alquran tersebut merupakan jawabanya. Menurut Rahmân, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik, situasi konteks sosial masyarakat saat Alquran diturunkan harus dilakukan. Kedua, menggeneralisir jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam latar belakang sosio-historis dan ratio logis yang sering dinyatakan.183

Dari rumusan Rahmân diatas, dua langkah itu secara sederhana dikonkretkan oleh kalangan Islam Liberal dengan mencari terlebih dahulu dasar etis ayat, dengan analisis historis-konstektual ayat tersebut

182 Ulil Abshar, Islam Negara & Civil Society..,h. 422-425

183 Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 411-412.

secara ilmu tafsir disebut asbab al-nuzul tetapi bisa diperkaya oleh ilmu-ilmu baru seperti sejarah, sosiologi, hermeneutika, dan sebaginya.

Moral Alquran inilah yang nantinya bisa diharapkan menjustifikasi keadaan sosial sekarang yang hendak disinari semangat Alquran. Usaha awal membuat penafsiran Islam menjadi lebih liberal dimulai dengan membuka ruang yang disebut penafsiran teks.

Teks-teks otoritatif keagamaan tidak dengan sendirinya bisa ditangkap maknanya secara langsung, tanpa suatu penafsiran yang ketat.

Dari pemikiran yang dimulai membuka wacana tafsir ini, lalu berkembanglah secara lebih liberal usaha untuk mentransformasikan tradisi, tetapi tetap dengan menggunkan metodologi hermeneutis klasik Islam yang dikenal dalam wacana Islam.

Dasar-dasar liberal para ahli Islam ini diambil dari wacana liberal Islam klasik. Mereka melakukan penafsiran Alquran dengan menggunakan pembedaan yang sudah lama diterima kalangan ahli Alquran atas adanya ayat-ayat Alquran yang muhkamat (jelas dan pasti) dan yang mutasyabihat (sulit ditangkap maknanya secara langsung).184

Dalam penafsiran kalangan Islam Liberal ini, begitu penting pembedaan antara; Pertama, inti atau dasar Kitab atau induk Kitab.

Kedua, bagian yang bersifat kiasan dan tamstil. Dalam soal yang kedua ini, terbuka lebarlah ruang penafisran yang justru telah menimbulkan madzhab-madzhab dalam Islam. Sebenarnya penafsiran

184 Rachman, Islam Pluralis..,h. 414.

dalam ayat-ayat mutasyabihat melatih kalangan Islam Liberal untuk mengasah kemampuan mencari makna terdalam dari Alquran.

Tetapi disini timbul persoalan mendasar dalam menentukan ayat muhkamat dan mutasyabihat. „Abdullah Yusuf „Alî memberi komentar ayat-ayat diatas, “Ahli tasfir biasanya mengartikan ayat muhkam kedalam kategori aturan-aturan hukum syar‟iy yang setiap orang paham artinya, Tetapi arti ini mungkin lebih luas lagi karena induk kitab hanya meliputi hukum yang paling mendasar saja.185

Model hermeneutis ini, jelas sekali mempunyai implikasi yang jauh dan luas dalam menafsir ulang ayat-ayat Alquran. Pemikir Sudan, Mahmûd Muhammad Thâhâ, memberikan kerangka hermeneutis liberal dengan memasukan unsur pembedaan ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyah. Ayat yang turun di Makkah bersifat puitis, profetis, egalitarian dan berseifat visionary, telah memberikan basis visi etis yang harus menjadi dasar pembacaan atas ayat yang turun di Madinah yang lebih banyak bersifat pengaturan kehidupan sosial. Pendekatan ini, jelas sekali sangat membantu para pemikir Islam Liberal dalam membaca ayat Alquran secara terang.186

2. Qiyas

Al-Syafi'i mendefinisikan qiyas, ”menganalogikan sesuatu yang belum jelas ketentuan hukumnya (furu') dengan yang sudah jelas

185 Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), h 414-415

186 Rachman, Islam Pluralis..,h.414.

hukumnya dalam Alqur`an dan al-Sunnah (ashl) karena ada kesamaan

„illah”.

Model qiyas seperti ini tidaklah tepat menurut Muqsith, setidaknya karena dua hal. Pertama, tidak ada dua peristiwa yang persis sama, sehingga hukum keduanya bisa diparalelkan. Persamaan

„illah yang menjadi alasan pengoperasian qiyas sesungguhnya merupakan tindakan simplifikasi. Kedua, menyangkut hal-hal yang bersifat sosial. Qiyas mengabaikan konteks yang melandasi kehadiran hukum ashl dan pengetahuan terhadap konteks hukum ashl tidak termasuk rukun qiyas.187

3. Ijmak

Konsep ijmak dalam tradisi Islam sebenarnya bisa dikatakan sebagai konsep revolusioner. Sebab sumber-sumber hukum sebelumnya hanya mengacu pada Alquran dan al-Sunnah saja. Lalu dalam perjalanan sejarahnya, membuktikan bahwa terdapat otoritas selain Alquran dan Sunnah yaitu ijmak. Ijmak memberikan ruang bagi penemuan makna autentik yang bersumber dari konsensus. Pada periode modern, pemikir-pemikir muslim mengembangkan konsep ijmak dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijmak sebagai transfer kekuasaan dari individu yang mewakili

187 Abdul Muqsith Ghazali, “Menilik Metode Qiyas Syâfi‟î” diakses pada 15 Desember 2003 dari http://islamlib.com

madzhab madzhab yang terorganisasi dalam bentuk institusi legeslatif parlemen atau Majelis Perwakilan Rakyat.188

Melanjutkan pemikiran alur Iqbal, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijmak dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok akan mengkristal kedalam ijmak setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijmak lebih bersifat dinamis, berorentasi kedepan dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihadnya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu akan membentuk ijmak baru dan menggantikan ijmak lama.

Menurut penulis, bahwasanya JIL menawarkan sebuah gagasan perihal hirarki sumber hukum Islam. Menurut mereka, maqashid alsyariah merupakan sumber hukum pertama dalam Islam, baru kemudian diikuti secara beriringan Alquran dan al-Sunnah. Maqashid al-syariah merupakan inti dari totalitas ajaran Islam. Maqashid alsyariah menempati posisi lebih tinggi dari ketentuan-ketentuan Alquran. Maqashid al-syariah merupakan sumber inspirasi tatkala Alquran hendak menanam ketentuan-ketentuan legal spesifik di masyarakat Arab. Maqashid al-syariah adalah sumber dari segala

188 Abdul Muqsith Ghozali, ed., Ijtihad Islam Liberal Upaya Merumuskan Keberagaman yang Dinamis (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), h. 97.

sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari Alquran. Oleh karena itu, sekiranya ada ketentuan Alquran maupun Sunnah yang bertentangan secara subtantif dengan maqashid al-syariah, maka ketentuan tersebut mesti direformasi. Ketentuan tersebut harus batal atau dibatalkan demi logika maqashid al-syariah Jaringan Islam Liberal mengatakan bahwasanya sumber dari Alquran adalah maqashid al- syari‟ah mungkin kurang tepat sebab sumber dari maqâshid al- syari‟ah adalah wahyu yaitu Alquran dan Sunnah. Bagaimana mereka mengatakan bahwasnya maqâshid al-syari‟ah adalah sumber dari Alquran namun tujuan dari maqashid al-syari‟ah tersebut adalah memahami tujuan dari wahyu. Jadi wahyulah yang dijadikan sumber oleh maqashid al-syari‟ah.

G. Wacana-Wacana Pemikiran Jaringan Islam Liberal yang Menjadi