BAB VIII KOMPLEKSITAS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN YANG MENJADI
8.5 Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Pada tahun 2023 Komnas Perempuan mendorong Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat adat (Dit KMA) Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk advokasi pemenuhan pencatatan perkawinan pada 104 perempuan adat Sunda Wiwitan yang tersebar di beberapa Kabupaten di Jawa Barat yang selama ini mengalami kematian keperdataan atas status perkawinan adatnya. Upaya ini penting dilakukan karena hak konstitusi perempuan adat penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME tersebut telah bertahun- tahun tidak dipenuhi oleh negara.
Dalam melaksanakan pelayanan dan pemenuhan pencatatan perkawinan masyarakat penghayat kepercayaan, Direktorat KMA melandaskan pada:
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang- undang Nomor 23 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Adminduk, pada Bab VI Tata Cara Pencatatan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pasal 39 ayat (2) dan (3), persyaratan Pemuka Penghayat Kepercayaan antara lain sebagai berikut:
1. Pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Organisasi dan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana dimaksud harus terdaftar pada Kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Keputusan Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Nomor 2254/F2/KB.02.03/2021 menerbitkan Standar Pelayanan Surat Keterangan Terdaftar Pemuka Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan syarat diantaranya:
1. Surat pengajuan dari pengurus organisasi yang bersangkutan atau Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia mengusulkan Pemuka Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat.
2. Fotokopi KTP (kolom agama kosong sesuai dengan UU No. 24 Tahun 2013) / sesuai dengan putusan MK No.97/PUU-XIV/2016.
3. Surat pengantar dari Dinas kabupaten/kota setempat yang membidangi kebudayaan yang menerangkan bahwa yang bersangkutan akan mendaftar atau memperpanjang sebagai pemuka penghayat sesuai wilayah kerjanya.
Merujuk pada ketentuan di atas, rekomendasi organisasi Himpunan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (HPK) para perempuan adat mengajukan permohonan kepada Direktorat KMA untuk penetapan pemangku penghayat disertai surat pengantar dari dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten. Namun dalam implementasinya ternyata surat pengajuan tidak dapat diterima sehingga tidak bisa mengeluarkan penetapan Pemangku penghayat dari masyarakat adat.
Hambatan pemenuhan hak tersebut menurut Komnas Perempuan perlu adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019 tersebut sebagai regulasi yang menjadi pintu diskriminasi bagi kalangan penghayat perempuan adat ketika ketentuan berorganisasi menjadi penghambat terpenuhinya hak-hak dasar sebagai warga negara perempuan adat untuk mendapat kepastian hukum atas status perkawinan yang sejatinya menjadi kewajiban negara untuk mencatatkan peristiwa hukum tersebut.
Menyambung dari uraian di atas, bahwa Komnas Perempuan mencatat pada 31 Januari 2023 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 yang menolak permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Permohonan uji materiil diajukan oleh E. Ramos Petege. Komnas Perempuan menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan mengeluarkan rilis pada 6 Februari 2023 dengan menyatakan pertimbangan Mahkamah Konstitusi potensial memperkuat diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang menikah beda agama.5
Komnas Perempuan menyayangkan Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan Pandangan Komnas Perempuan yang telah memberikan keterangan tertulisnya (Ad Informandum) yang diserahkan kepada Mahkamah konstitusi pada 7 November 2022, dengan tanda terima nomor 17- 39/PUU/PAN.MK/AP3. Juga, telah menyampaikan kepada Publik dalam rilis yang disiarkan pada 24 November 2022, bahwa pandangan Komnas Perempuan telah disampaikan kepada Mahkamah
pertimbangan hambatan administrasi perkawinan bagi perempuan yang menikah beda agama dengan pasangannya.
Komnas Perempuan juga memberikan respon pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan, sebagai salah satu kebijakan yang diskriminatif,6 melalui rilis yang dikeluarkan pada 27 Juli 2023.
Komnas Perempuan mencatat bahwa pengakuan perkawinan warga negara yang berbeda agama telah mendapatkan pengakuan melalui pasal 35 UU No. 23 tahun 2006 jo. UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, dengan penjelasan pasal yang menyatakan yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Pengaturan SEMA yang meminta hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan umat beragama merupakan pengingkaran pada asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur pada pasal 4 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain prinsip tidak membeda-bedakan, mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, kewajiban hakim menggali, mengikuti, dan memahami nila-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. SEMA tersebut sebagai bentuk pengingkaran dan pengabaian lembaga negara pada pelaksanaan kewajiban konstitusional dan hak hukum warga negara, serta bentuk diskriminasi lembaga negara dalam bidang perkawinan .
Perempuan mengalami stigma lebih dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama. Pengaduan ke Komnas Perempuan menunjukkan perempuan yang menikah beda agama dianggap melakukan zina, perempuan sebagai anak diusir dari rumahnya, dan rentan mengalami kekerasan dari keluarga, seperti memisahkan paksa perempuan dari pasangannya/suami dan anak- anaknya, kekerasan psikis dan ekonomi. Hal serupa dialami oleh perempuan penghayat yang melakukan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial terhadap anak-anak yang dilahirkan, termasuk kerentanan perempuan menjadi korban KDRT ketika perkawinannya tidak tercatat.