BAB V Penutup
D. Penegakan Hukum
Apa yang diartikan orang selama ini sebagai penegakan hukum (law enforcement) sepertinya hanya tertuju pada adanya tindakan represif dari aparat penegak hukum dalam melakukan reaksi tegas terhadap penindakan pelaku kriminal.
Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu sangatlah sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum hanya seakan menjadi tanggung jawab aparat hukum semata, padahal tidak demikian halnya, oleh karena penegakan hukum konteksnya luas, termasuk tanggung jawab setiap orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum (perzoonlijk) melekat kewajiban untuk menegakkan hukum.
Memang bagi orang awam, penegakan hukum semata dilihatnya sebagai tindakan represif dari aparat hukum, tindakan di luar dari aparat hukum hanya dipandangnya sebagai partisan hukum, misalnya tindakan informative terhadap aparat hukum adanya peristiwa hukum atau gejala akan terjadinya peristiwa hukum.
Sebenarnya penegakan hukum dalam konteks yang luas berada pada ranah tindakan, perbuatan atau perilaku nyata atau faktual yang bersesuaian dengan kaidah atau norma yang mengikat.
30 Ibid.,
Pada perspektif akademik, Purnadi Purbacaraka, menyatakan bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah / pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahapakhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.31
Soerjono Soekanto, dalam kaitan tersebut, menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan perilaku nyata manusia.
Liliana Tedjosaputro, menyatakan bahwa penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, oleh karena penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah- kaidah dan pola perilaku nyata, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.32
Tugas utama penegakan hukum, adalah untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, karenanya dengan penegakan hukum itulah hukum menjadi kenyataan (Liliana).
Penegakan hukum tidak lain adalah perilaku nyata dalam memaknai dan menetapkan pilihan keputusan dari seseorang dalam berhadapan dengan suatu peristiwa hukum kongrit dalam pergaulan kehidupan kemanusiaan dalam arti yang luas.
Perilaku dalam pemilihan suatu keputusan terhadap suatu peristiwa hukum kongrit, tidak terlepas dari berbagai faktor, baik internal maupun
31Nurul Qamar dkk, Sosiologi Hukum (sociology of Law) (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2016), 85.
32Ibid., 86.
eksternal. Internal merupakan faktor yang lebih bersifat individualistik, sementara faktor eksternal lebih dominan dari pengaruh diluar kedirian manusia, ya lingkungannya, politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
Jika kedua faktor ini baik dan mampu bersekutu dengan baik, maka wajah penegakan hukum mencerminkan ketenteraman dan kesejukan. Namun dikala kedua faktor ini tidak mampu bersekutu baik, maka wajah penegakan hukum tercermin buram dan suram. Demikian pula manakala kedua faktor tersebut tidak baik, maka menampakkan wajah penegakan hukum yang lalim.33
Penelitian terhadap efektivitas hukum merupakan penelitian yang membahas bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat, penelitian ini sangat relevan di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, penelitian ini mensyaratkan penelitinya disamping mengetahui ilmu sosial, dan memiliki pengetahuan dalam penelitian ilmu sosial (social science research).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum / peraturan itu sendiri; (2) petugas / penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat.
a. Kaidah Hukum
Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan antara tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal ini, diungkapkan sebagai berikut.
33Ibid., 86.
1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
2) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.34
b. Penegak Hukum
Lebih jauh Soekanto mengemukakan masalah pokok dalam penegakan hukum adalah terletak pada: hukumnya sendiri (peraturan perundang- undangannya), penegak hukumnya, sarana atau fasilitas yang mendukung, masyarakat dimana hukum itu diberlakukan, dan budaya hukum masyarakat.35 Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah dan bawah. Artinya di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup dan tugas-tugasnya. 36
34 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 31.
35 Sabian Utsman, Dasar-dasar Sosiologi Hukum (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 373.
36 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, 33.
c. Sarana atau Fasilitas
Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektivkan suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Ruang lingkup sarana tersebut, terutama sarana fisik, berfungsi sebagai faktor pendukung.
d. Kesadaran Hukum Masyarakat
Salah satu faktor yang mengefektivkan suatu peraturan adalah warga masyarakat, yaitu berupa kesadaran warga masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. 37
Jika yang akan kita kaji adalah efektivitas Perundang-undangan, maka kita dapat mengatakan bahwa tentang efektivnya suatu perundang-undangan, banyak tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
a. Pengetahuan tentang substansi (isi) Perundang-undangan.
b. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
c. Institusi yang terkait dengan ruang-lingkup Perundang-undangan di dalam masyarakatnya.
d. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undang- undang sapu), yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
37Ibid., 36.
Oleh karena itu, menurut pendapat saya, pada umumnya, faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan, adalah professional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.
Yang jelas bahwa seseorang menaati ketentuan perundang-undangan adalah karena terpenuhinya suatu kepentingannya (interest) oleh perundang- undangan tersebut. Bekerjanya perundang-undangan dapat ditinjau dari dua perspektif:
a. Perspektif organisatoris, yang memandang perundang-undangan sebagai
„institusi‟ yang ditinjau dari ciri-cirinya.
b. Perspektif individu, atau ketaatan, yang lebih banyak berfokus pada segi individu atau pribadi, dimana pergaulan hidupnya diatur oleh peraturan perundang-undangan.38
38 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence) (Jakarta: Prenada Media Grup, 2012), 378.
BAB III
NAFKAH ANAK AKIBAT PERCERAIAN DI DESA MUNGGUNG KECAMATAN PULUNG KABUPATEN PONOROGO
A.Gambaran Umum Desa Munggung Kecamatan Pulung Kabupaten