BAB II HAK ATAS SUMBER DAYA ALAM
2. Subjek dan Pemegang Kewajiban Berkaitan dengan
Diskusi pokok dalam masalah hak-hak kolektif berkenaan dengan subjek hukum hak-hak tersebut. Dalam hukum hak asasi manusia internasional, hingga kini terdapat dikotomi antara individu dan kelompok sebagai subjek hukum.
Sebagaimana telah diuraikan di muka, konsep klasik hak-hak asasi manusia hanya mengakui individu sebagai subjek hak asasi manusia. Hakhak kelompok dianggap secara otomatis terlindungi apabila hak-hak individu dilindungi. Namun perkembangan kemudian, kelompok-kelompok atau kolektivitas diakui sebagai subjek hukum hak asasi manusia. Hal ini karena tidak sepenuhnya benar bahwa hak-hak kelompok dalam segala hal diperhatikan melalui perlindungan hak-hak individu. Tuntutan-tuntutan tertentu dari kelompok-kelompok tidak secara memadai dapat dicakup oleh ketentuan-ketentuan perlindungan hukum hak-hak individual.
Pengakuan kelompok/kolektivitas sebagai subjek hukum hak asasi manusia nampaknya telah menjadi suatu keharusan. Fakta menunjukkan bahwa kelompok
44 sangat sering menjadi korban penyalahgunaan hak-hak asasi manusia.
Pembantaian massal kaum Yahudi oleh Hitler, pemusnahan etnik Serbia Bosnia, Politik Apartheid adalah beberapa contohnya. Motivasi utama kejahatan-kejahatan tersebut bukan individu, melainkan kelompok. Identitas kelompok inilah yang membuat individu-individu anggotanya menjadi sasaran kejahatan-kejahatan tersebut. Dengan demikian, pengakuan terhadap kelompok adalah esensial bagi perlindungan yang efektif terhadap hak-hak para individu anggotanya.
Subjek hak asasi manusia menurut Iredell Jenkins adalah “the person, real or legal, ini whom the right inheres".79 Jadi, subjek hukum di sini berarti orang (baik itu manusia maupun badan hukum) di mana hak tersebut melekat. Subjek hukum yang berupa manusia dapat merupakan individu-individu maupun kumpulan-kumpulan individu. Sedangkan subjek hukum lain yang diakui oleh hukum hak asasi manusia internasional adalah badan hukum baik merupakan perkumpulan-perkumpulan seperti serikat pekerja, maupun berupa negara.
Intinya, subjek hukum ini merupakan kumpulan dari individu-individu yang terorganisasi dalam suatu wadah tertentu. Inilah yang membedakannya dengan sekedar sekumpulan individu-individu manusia. Dua subjek hukum inilah yang menjadi subjek hak-hak kolektif.
Dalam kompilasi hak-hak kolektif sebagaimana telah diuraikan di muka, instrument-instrumen hak-hak asasi manusia internasional menggambarkan subjek hak-hak tersebut dengan “people”. Secara harfiah, “people” dapat berarti orang, rakyat, bangsa, anak bangsa/negeri dan suku.80 Dalam Black’s Law Dictionary,
“people” (A State) diartikan sebagai “The aggregate of mass of the individuals who constitute the state”.81 Selanjutnya disebutkan bahwa dalam Hukum Tata Negara, “people” diartikan dengan "the entire body of those citizens of a state or nation wh.invested with political power for political purposes".82 Dari kedua :.
ngertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa people adalah buah kolektivitas.
79 Iredell Jenkins, Loc. Cit., hal. 247
80 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 424.
81 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, six edition, West Publishing Co., St. Paul, Minnesota, 1990, hal. 1135.
82 Ibid, hal. 1135.
45 Dalam kebanyakan kepustakaan hak asasi manusia, "people' sering diterjemahkan "rakyat" atau "bangsa".83 Kedua pengerti-I an tersebut secara konseptual berlainan. Rakyat lebih menunjukkan sebuah kolektivitas yang dikaitkan dengan teritorial/ wilayah tertentu dari sebuah negara. Sedangkan bangsa/kebangsaan lebih dicirikan dengan ciri-ciri fisik, budaya, bahasa, agama maupun psikologi kelompok tersebut.84
Namun yang jelas, kelompok yang disebut "people" ini dapat didefinisikan dengan kriteria nasional, etnis, rasial dan religius.85 Kriteria nasional berkaitan dengan wilayah teritorial tertentu. Kriteria etnis berkaitan dengan ciri-ciri fisik kelompok. Kriteria rasial berkaitan dengan ciri-ciri yang lebih spesifik yang konsepnya lebih didominasi oleh masalah kebudayaan, bahasa dan psikologi kelompok. Sedangkan kriteria religius berkaitan dengan agama atau kepercayaan suatu kelompok. Kriteria terakhir ini biasanya dimasukkan dalam konsep rasial.86 Dengan demikian, hak-hak kelompok dapat berkaitan dengan dipunyainya karakter tersendiri yang jelas berbeda dari yang lain. Konsep karakter yang berbeda ini dapat tergantung pada sejumlah kriteria yang dapat muncul secara kombinasi, seperti Suku Bangsa Moro di Filipina Selatan.
Pada tingkatan yang lain, subjek hukum hak-hak kolektif yang dapat diidentifikasikan adalah negara, yang dalam hukum internasional merupakan subjek hukum utama. Dengan demikian, dia adalah pemegang hak dan kewajiban internasional yang utama. Negara adalah sebuah badan hukum yang menurut Aristoteles dan Jean Bodin, terbentuk dari keluarga-keluarga.87 Senada dengan pendapat ini adalah Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa negara tidak lain dari suatu konstruksi yuridis yang tidak akan mungkin tanpa manusia-manusia anggota
83 Sebagai contoh, dalam buku Hak-hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Dunia (isu dan Tindakan) yang disunting oleh Todung Mulya Lubis, clan diterlemahkan oleh A. Setiawan Abadi,
"people" sering diterjemahkan "rakyat". Sedangkan dalam buku Dokumen-dokumen Pokok mengenai Hak Asasi Manusia" yang disunting oleh Ian Brownlie clan diterjemahkan oleh Beriansyah, "people" diterjemahkan “bangsa”.
84 Ian Brownlie, Loc. Cit., hal. 96.
85 Roland Rich, Loc. Cit., hal. 211.
86 Ian Brownlie, Loc. Cit., hal. 96.
87 'Soehino, Prim Negara, Liberty, Yogyakarta,198Q hal. 108
46 masyarakat negara itu.88 Acuan kepada negara yang merupakan subjek hukum internasional mengandung acuan pada sebuah fakta sosial berupa komunitas teritorial dari orang-orang dengan suatu organisasi politik tertentu. Apabila disebutkan bahwa hak seseorang pasti merupakan kewajiban pihak lain yang relevan, maka dapat dikatakan sejauh disebutkan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kewajiban suatu negara, maka dapat disimpulkan adanya hak negara lain berkaitan dengan hal tersebut.
Pertanyaan lalu, apakah hak yang diberikan kepada negara merupakan hak asasi manusia? Dari pengertian tersebut di atas, kaidah-kaidah Hukum Internasional yang menganugerahkan hak-hak tertentu kepada negara, berarti menganugerahkan hak-hak kolektif. Artinya bahwa hak-hak tersebut diberikan kepada kolektivitas manusia yang mengorganisir dirinya dalam negara itu, melalui negaranya. Menurut James Crawford, hak-hak negara sebagai komunitas orang- orang ini, dimoderatkan melalui pemerintah negara-negara itu.89
Pembicaraan mengenai hak asasi manusia, akan berkenaan pul.a dengan bahasan mengenai kepada siapa kewajiban-kewajiban tertentu tertentu berkaitan dengan hak tersebut dibebankan. Pemegang kewajiban berkaitan dengan hak asasi manusia dapat disebutkan secara tegas maupun tidak lain dengan subjek hak kolektif, di mana yang menjadi subjek hak-hak kolektif adalah selalu sebuah kolektivitas/kelompok. Pemegang kewajiban yang berkaitan dengan hak kolektif tidak mesti harus berkelompok, tetapi juga perorangan. Konvensi mengenai Pencegahan dan hukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan Suatu Bangsa dengan Sengaja tahun 1948 yang dimaksudkan untuk melindungi kelompok- kelompok, baik nasional, etnis, maupun religius, dalam pasal IV menyebutkan penguasa yang bertanggung jawab secara konstitusional, pejabat maupun perorangan sebagai pemegang kewajiban untuk merealisasikan, tersebut.
Di samping itu, pemegang kewajiban dalam hak kolektif dapat berupa negara.
Hal ini jelas terlihat pada pasal-pasal yang berkenaan dengan hak-hak kolektif yang kebanyakan diformulasikan dalam kalimat seperti "The States parties to the
88 Ibid, hal. 109
89 James Crawford, Loc. Cit., hal. 262
47 present covenant having responsibility for...". Persoalannya kemudian adalah yang disebut negara di sini apakah negara-negara lain ataukah termasuk negaranya sendiri? Dari pasal-pasal hak-hak kolektif, dapat dilihat bahwa kedua hal tersebut dimungkinkan. Pasal 1 ayat (3) ICCPR menegaskan kewajiban- kewajiban negara-negara lain terhadap hak-hak rakyat dalam daerah yang tidak berpemerintahan sendiri, daerah-daerah perwalian, untuk menentukan nasib sendiri. Di sini kewajiban-kewajiban tersebut dibebankan kepada negara-negara lain. Apabila hak menentukan nasib sendiri dikaitkan dengan pasal 27 ICCPR mengenai kelompok minoritas, maka jelas terlihat bahwa kewajiban-kewajiban tersebut dibebankan kepada pemerintah negara tempat rakyat itu berada.