• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknis Penandaan (Tagging)

Dalam dokumen Glosarium Konservasi Penyu: Istilah Penting (Halaman 34-41)

PERMASALAHAN PENYU DI INDONESIA

1. Berdasarkan Ciri-Ciri Eksternal Penyu Perbedaan ciri-ciri eksternal penyu meliputi

3.4. Teknis Penandaan (Tagging)

Penandaan dilakukan hanya bagi populasi penyu dewasa. Bentuk dan model tagging dapat bermacam-macam, tapi dengan satu syarat bahwa tagging tersebut tidak menyebabkan penyu mati atau berubah tingkah lakunya yang disebabkan oleh tagging tersebut. Beberapa contoh model tag dapat dilihat pada Lampiran 3.

Cara-cara melakukan penandaan atau tagging pada penyu adalah sebagai berikut:

1) Siapkan alat dan bahan untuk tagging, seperti metal tag apalicatornya atau alat satelit dan lem serta cairan desinfektan. Alat-alat tagging harus dalam keadaan steril.

2) Siapkan penyu yang akan dipakaikan tag dan orang-orang yang akan melakukan tagging. Tagging sebaiknya dilakukan minimal oleh 3 orang: dimana 2 orang memegang penyu dan 1 orang yang memasang tag.

3) Catat data-data tentang tag dan penyu yang akan di tagging. Data-data tersebut meliputi nomor tag, lokasi tagging (nama dan koordinat), dan data-data penyu (CCL, CCW, jumlah sarang telur, dan jumlah telur per sarang).

3) Bersihkan lokasi tagging dengan cairan desinfektan untuk mencegah infeksi akibat tagging. Tag biasanya dipasang pada tungkai depan untuk metal tag dan bagian punggung untuk satelit.

4) Pasangkan tag (baik metal tag maupun satelit) dengan hati-hati, tepat dan benar. Dua orang memegangi penyu agar tidak berontak. Pastikan tag terpasang dengan baik, benar dan kuat.

5) Untuk tag dalam bentuk satelit, pastikan sensor satelit pada tag maupun pada alat penerima sensor berfungsi dengan baik.

6) Setelah dipastikan pemasangan tag benar, diamkan dulu sebentar penyu agar tenang.

7) Penyu dilepas ke laut.

Thermometer Raksa

Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika mengamati penyu bertelur antara lain:

x Tempat, waktu, orang yang menyaksikan, cuaca, kondisi laut, dsb

x Kondisi pantai peneluran (sampah, benda-benda yang terdampar, dam, binatang-binatang, ada tidaknya orang lain yang turut menyaksikan, cahaya lampu, api unggun, dsb)

x Jenis penyu yang naik untuk bertelur x Catat kelakukan penyu selama bertelur x Banyaknya telur

x Ukur body penyu (panjang karapas, lebar karapas, berat, dsb) x Keadaan sisik pada karapas, kepala, jumlah sisik pada kaki, dsb

x Cacat (ada tidak cacat pada tubuh, sisik atau kakinya yang tidak cukup, dsb) x Mahluk hidup yang melekat di tubuhnya (teritip, lumut, kerang, dsb) x Lain-lain (jenis makanan, pengambilan darah, suhu badan, tag bila ada, dll

Telur yang tertimbun di dalam pasir akan berkembang dan sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Untuk mengetahui perkembangan telur di dalam sarang perlu dilakukan pengamatan terhadap suhu pasir.

Alat pengukur suhu pasir yang biasa digunakan ada 3 (tiga) macam, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Alat-alat tersebut yaitu :

1) Thermometer tubuh

Alat terbuat dari kaca dengan air raksa di dalamnya. Untuk mengukur suhu pasir cukup dengan menyisipkannya ke dalam pasir. Kelemahan alat ini tidak dapat digunakan secara terus-menerus, karena perubahan suhu pasir yang cukup besar dapat secara tiba-tiba.

2) Thermometer pencatat otomatis

Alat ini terdiri dari sensor dan alat perekam(kertas pencatat) suhu. Alat ini digunakan dengan cara ditimbun dalam pasir, maka suhu pasir dan perubahannya akan tercatat secara otomatis pada kertas pencatat. Alat ini dapat dilakukan secara terus-menerus, namun kelemahannya tidak dapat digunakan di tempat terpencil yang tidak memiliki ketersediaan aliran listrik secara kontinyu 24 jam. Alat ini membutuhkan aliran listrik yang terus-menerus.

3) Thermometer memori

Alat ini terdiri dari sensor, pencatat memori dan baterai yang menyatu. Alat ini cukup ditimbun dalam pasir ketika akan digunakan untuk mengukur suhu pasir dalam waktu yang cukup lama.

Kelemahan alat ini tidak dapat memberikan data apabila alat tidak tertimbun dalam pasir (berada di luar timbunan)

Data suhu pasir yang diperoleh dari alat thermometer di atas dapat digunakan untuk mengetahui rasio jenis kelamin tukik, prosentase penetasan, masa inkubasi, dan lain-lain. Gambar 48 di bawah ini menyajikan jenis-jenis thermometer dimaksud.

sebelum tahun 1997 pernah dilakukan (Tomascik et al, 1997), namun setelah periode tersebut pembaruan data belum pernah dilakukan. Data kelimpahan populasi hasil pemantauan dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun hanya ada untuk beberapa lokasi peneluran seperti Jamursba Medi–Warmon di Papua, Kabupaten Berau - Kalimantan Timur serta pantai Sukamade dan Ngagelan di Jawa Timur.

Semua jenis penyu di lokasi tersebut mengalami penurunan, kecuali populasi bertelur penyu Lekang di pantai peneluran Alas Purwo, Jawa Timur.

Pada penjelasan di bawah ini disajikan contoh kelimpahan populasi beberapa jenis penyu di beberapa pantai peneluran.

a. Kelimpahan populasi Penyu Belimbing di Jamursba Medi – Warmon, Papua

Pantai Jamursba Medi adalah lokasi peneluran penyu belimbing terbesar di kawasan Pasifik (Hitipeuw et al, 2007). Panjang kedua pantai tersebut adalah 18 km dan 6 km. Hasil pemantauan terhadap populasi penyu belimbing oleh WWF dan rekan dari tahun 1993–2004 yang dilakukan oleh Hitipeuw et al (2007) menunjukkan bahwa jumlah sarang telur (nest) penyu di pantai Jamursba Medi berfluktuasi dan diprediksi antara 1921–13.360 sarang, dengan rerata 4573 ± 2910 (SD). Angka ini diduga ditelurkan oleh sekitar 300–900 ekor penyu betina. Angka yang sebanding juga diperoleh di lokasi peneluran Warmon yang berjarak ± 30 km dari Jamursba Medi.

Berdasarkan pemantauan pada periode 1993–2004, jumlah penyu belimbing yang bertelur di kedua lokasi ini diperkirakan antara 600–1800 ekor per-tahun. Musim bertelur puncak di Jamursba Medi adalah pada Bulan April–September, sedangkan di Wermon adalah Oktober–Maret. Kecenderungan populasi (population trend) di Jamursba Medi mengalami penurunan (Gambar 7), demikian pula prediksi di Warmon.

Gambar 7. Jumlah sarang telur (nests) penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) per musim di pantai peneluran Jamursba Medi, Papua. Garis putus-putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari Hitipeuw et al, 2007.

b. Kelimpahan Populasi Penyu Hijau di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur

Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur adalah salah satu lokasi peneluran dan ruaya pakan penyu hijau di Asia (Adnyana, 2003; Adnyana et al, 2007). Kepulauan ini terletak di wilayah perairan seluas ± 1.222.988 ha, lokasinya mulai dari Pulau Panjang (di Utara) hingga semenanjung Mangkaliat (di Selatan). Di Perairan ini terdapat 31 pulau-pulau kecil dimana 9 diantaranya tempat penyu bertelur, yaitu Pulau Derawan, Sangalaki, Samama, Maratua, Bulang-Bilangan, Mataha, Sambit, Balikukup dan Pulau Kaniungan. Pulau Kaniungan adalah lokasi bertelur bagi penyu sisik. Situasi pulau- pulau penyu yang tersebar di seluruh perairan Berau tidak memungkinkan dilakukannya pemantauan populasi di semua tempat

Kelimpahan populasi bertelur penyu hijau di wilayah ini diperkirakan antara 4500–5000 ekor per tahun (Tomascik et al, 1997; Adnyana, 2003). Musim peneluran terjadi sepanjang tahun dengan musim puncak sekitar Bulan Mei–Oktober.

Pulau Sangalaki adalah pulau dengan kepadatan bertelur tertinggi, menyumbang lebih dari 30%

dari total keseluruhan populasi bertelur di Kabupaten Berau (Adnyana et al, 2007). Pemantauan populasi yang dilakukan di pulau ini sejak awal Tahun 2002 menunjukkan terjadinya kecenderungan populasi yang semakin menurun (Gambar 8). Bahkan jika dibandingkan dengan total sarang telur penyu yang dicatat pada periode tahun 1985-1990, rerata (±SD) jumlah sarang pada periode 2002–2007 (4151 ± 1088) adalah sekitar 57,5% dari rerata yang diperoleh pada periode 1995 – 2000 (Adnyana et al, 2007)

Gambar 8. Jumlah sarang telur (nests) penyu Hijau (Chelonia mydas) per tahun di Pulau Sangalaki, Kalimantan Timur. Garis putus-putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari Adnyana et al, 2007.

Gambar 47. Pengukuran CCL dan CCW pada saat Monitoring Penyu yang Bertelur

Gambar 48. Pengukuran Track Penyu pada saat Monitoring Penyu yang Bertelur

3.3.1. Telur dan Sarang Telur

Monitoring terhadap telur dan sarang telur penyu dilakukan sejak awal penyu mulai bertelur hingga telur-telur tersebut menetas menjadi tukik. Monitoring ini harus dilakukan rutin setiap hari hingga telur-telur menetas menjadi tukik. Beberapa aktivitas yang harus dilakukan selama monitoring telur dan sarang telur diantaranya sebagai berikut:

1) Mengukur diameter dan lubang sarang telur.

2) Menghitung jumlah telur yang dilepaskan oleh penyu pada setiap sarangnya.

3) Mengukur diameter dan berat telur penyu.

4) Melakukan penandaan pada sarang telur dan pemagaran di sekitar sarang telur (baik pada pembinaan habitat peneluran secara alami maupun semi alami), terutama agar terlindung dari predator.

5) Memindahkan telur-telur penyu jika sarang telur berada pada daerah intertidal (daerah yang terpengaruh pasang surut) ke daerah supratidal (di atas daerah intertidal dimana tidak terpengaruh pasang surut).

6) Menghitung jumlah dan persentase telur yang menetas menjadi tukik.

7) Melakukan pemantauan terhadap kondisi sarang telur secara rutin hingga telur-telur menetas menjadi tukik.

3.3.2. Tukik

Monitoring terhadap tukik dilakukan mulai setelah tukik baru menetas. Pemantauan terhadap tukik tersebut meliputi:

1) Jumlah dan persentase tukik yang menetas terhadap jumlah telur penyu.

2) Jumlah dan persentase tukik hidup terhadap tukik yang menetas.

3) Rasio kelamin tukik yang menetas dan yang hidup.

4) Pengukuran berat dan parameter morfometri tukik yang hidup (panjang lengkung karapas dan lebar lengkung karapas).

5) Selain itu, dalam monitoring tukik ini juga harus diarahkan agar tukik dapat menuju laut secara sendiri atau alami.

3.3.3. Penyu yang Bertelur

Monitoring terhadap penyu yang bertelur dilakukan setelah penyu tersebut mengeluarkan telurnya atau pada saat penyu akan kembali ke laut setelah bertelur. Pada kondisi tersebut, aktivitas- aktivitas yang dilakukan pada penyu tersebut tidak akan mengganggu penyu.

Kegiatan-kegiatan monitoring yang dilakukan pada penyu yang bertelur diantaranya:

1) Pengukuran berat dan morfometri penyu (panjang lengkung karapas atau curve carapace length/

CCL dan lebar lengkung karapas atau curve carapace width/CCW). Lihat Gambar 47.

2) Monitoring track penyu (lebar dan pola track penyu ketika datang dan kembali ke laut). Lihat Gambar 48.

3) Jika diperlukan, pemasangan tag (tagging), untuk mengetahui pola migrasi, intensitas peneluran penyu, perkembangan penyu (CCL, CCW dan bobot) dan ada tidaknya rekrutmen atau penambahan populasi penyu.

4) Pencatatan suhu pasir dalam sarang.

c. Kelimpahan Populasi Penyu Hijau di Pantai Sukamade, Jawa Timur

Pantai Sukamade yang terletak di kawasan Taman Nasional Meru Betiri adalah salah satu pantai peneluran penting di Jawa Timur. Di sepanjang 3 km pantai peneluran ini terdapat 4 jenis penyu yang bertelur, yaitu penyu hijau, belimbing, sisik dan abu-abu. Namun data yang dikumpulkan sejak periode awal 1980-an menunjukkan hanya penyu hijau yang masih dominan ditemukan bertelur, sedangkan jenis lainnya sangat jarang.

Jumlah sarang telur per tahun yang ditemukan di Sukamade berkisar antara 177–2.072 dengan rerata (±SD) 747 ± 475. Kajian yang dilakukan oleh tim gabungan dari Universitas Udayana, WWF Indonesia dan pengelola Taman Nasional Meru Betiri di Tahun 2004-2005 memperkirakan bahwa jumlah penyu hijau yang bertelur di lokasi ini tak kurang dari 500 ekor per tahun (Adnyana et al, 2005).

Musim peneluran terjadi sepanjang tahun dengan musim puncak sekitar Bulan November-Desember.

Cakupan wilayah peneluran yang relatif pendek (3 km) memungkinkan dilakukannya pemantauan yang intensif. Pemantauan populasi yang dilakukan sejak awal 1970-an menunjukkan terjadinya kecenderungan populasi yang semakin menurun (Gambar 9).

Gambar 9. Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Belimbing, Sisik dan Abu-abu) per tahun di pantai Sukamade, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Jumlah ini adalah dominan (>95%) penyu Hijau. Garis putus- putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari basis data TNMB dan Adnyana et al, 2005.

d. Kelimpahan populasi Penyu Abu-abu di Pantai Ngagelan, Jawa Timur

Pantai Ngagelan terletak di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur juga merupakan lokasi peneluran bagi 4 jenis penyu (penyu hijau, belimbing, sisik dan penyu abu-abu). Jika di pantai Sukamade didominasi oleh penyu hijau, maka di pantai Ngagelan mayoritas penyu yang ditemukan adalah jenis penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea). Musim puncak peneluran di sepanjang 18 km pantai peneluran ini adalah sekitar Bulan April – September.

Data peneluran penyu yang dikumpulkan oleh para petugas lapangan Taman Nasional Alas Purwo sejak Tahun 1983–2008 menunjukkan bahwa populasi penyu (>95% penyu abu-abu) yang bertelur meningkat tajam dari tahun ke tahun (Gambar 10). Data ini semestinya dapat dipakai contoh keberhasilan suatu pengelolaan konservasi penyu di Indonesia. Namun demikian, mengingat kompleksitas isu konservasi penyu, maka data mesti diinterpretasi dengan hati-hati. Salah satu argumen dari fenomena ini diduga karena tingkat eksploitasi penyu abu-abu untuk dimanfaatkkan dagingnya relatif rendah dibandingkan dengan penyu hijau, demikian halnya untuk diambil cangkangnya dibandingkan dengan penyu sisik. Meningkatnya upaya pemantauan oleh para petugas lapangan pada tahun-tahun belakangan (yang seiring dengan meningkatnya isu konservasi penyu) di Taman Nasional Alas Purwo adalah faktor lain yang sangat signifikan.

Gambar 10. Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Belimbing, Sisik dan Abu-abu) per tahun di pantai peneluran Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Jumlah ini adalah dominan (>95%) penyu Lekang. Garis putus- putus menunjukkan kecenderungan penurunan) linier. Data dikutip dari basis data Taman Nasional Alas Purwo.

c. Sejumlah tukik yang telah lepas dari cangkang telur, masih hidup namun masih berada dalam sarang (LIN)

d. Sejumlah tukik yang telah lepas dari cangkang telur, sudah mati dan ada dalam sarang (DIN) e. Sejumlah tukik hidup yang masih ada dalam cangkang telur siap terbuka/pecah (LPE) f. Sejumlah tukik mati yang masih ada dalam cangkang telur siap terbuka/pecah (DPE)

g. Cangkang yang terbuka sebagian atau seluruhnya dengan residu telur atau tukik mati (mengindikasikan adanya pemangsa yang disimbulkan dengan P)

h. Telur tidak berkembang, tidak ada tanda-tanda adanya embrio (UD)

i. Telur tidak menetas namun disertai dengan adanya tanda-tanda embrio kecil atau belum berkembang sempurna (UH)

j. Telur tidak menetas namun disertai dengan adanya tanda-tanda embrio yang telah berkembang sempurna (UHT)

Berdasarkan pengamatan pada sarang telur penyu tersebut, maka bisa diduga jumlah telur per sarang (CS) dengan rumus:

CS = (E + LIN + DIN) + (UD + UH + UHT + LPE + DPE) + P

Jika jumlah tukik yang muncul ke permukaan pasir (E) tidak diketahui, maka bisa dihitung dengan rumus:

E = S - (LIN + DIN)

Perhitungan persentase (%) tukik yang mampu muncul ke permukaan pasir dilakukan dengan rumus:

% = (E/CS) x 100 atau % = {(S - (LIN + DIN)/CS} x 100

Perhitungan persentase (%) tukik yang menetas (hatching success) dihitung dengan rumus:

% = {(E + LIN + DIN)/CS} x 100 atau % = (S/CS) x 100 3.3. Teknis Monitoring

Monitoring atau pemantauan terhadap penyu merupakan salah satu langkah penting untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan upaya pengelolaan konservasi penyu. Kegiatan monitoing dari sisi waktu ada yang dilakukan secara rutin, periodik dan insidental, tergantung pada kondisi populasi penyu dan intensitas kehadiran penyu pada suatu kawasan konservasi penyu.

Kegiatan monitoring rutin dapat dilakukan di stasiun penangkaran penyu, kegiatan monitoring periodik dapat dilakukan dalam periode tertentu, misalkan setiap minggu atau setiap bulan, sedangkan monitoring insidental dilakukan jika terjadi kasus-kasus tertentu diluar kebiasaan, misalkan adanya pencemaran, bencana alam atau kematian massal.

Kegiatan monitoring juga dapat dilakukan secara langsung maupun dengan bantuan alat, seperti untuk memantau intensitas peneluran dan pertumbuhan dengan bantuan metal tag, dan untuk memantau pola migrasi penyu dengan bantuan tagging satelit.

Aspek-aspek yang akan dimonitor dalam pengelolaan konservasi penyu meliputi :

- Monitoring telur dan sarang telur (pantai peneluran, dimensi sarang penyu bertelur dan lubang telur, dimensi telur, jumlah telur, tingkat penetasan),

- Monitoring terhadap tukik

- Monitoring terhadap penyu yang bertelur

Contoh format laporan hasil monitoring disajikan pada Lampiran 1.

Gambar 46 di bawah ini menjelaskan tata cara pemeliharaan tukik dalam bak pemeliharaan.

Gambar 46. Tata cara pemeliharan tukik dalam bak pemeliharaan (Sumber : Yayasan Alam Lestari, 2000) Keterangan:

x Bak dibuat berukuran kecil, bahan dari plastik karena ringan dan mudah dipindah-pindah. Apabila bak yang dibuat berukuran besar, sebaiknya terbuat dari kayu yang dibungkus plastik untuk menghemat biaya

x Buatkan over flow dalam bak untuk membuang minyak atau sampah-sampah berukuran kecil yang terapung di permukaan air yang keluar bersama air buangan

x Pasang jaring pada pipa pembuangan agar tukik tidak masuk ke dalam pipa pembuangan

3.2.4. Pelepasan Tukik

Pelepasan yang dimaksud adalah pelepasan tukik ke laut hasil pemeliharaan yang dilakukan dalam bak-bak penampungan. Tukik-tukik ini dapat berasal dari penetasan secara alami maupun hasil penetasan buatan. Tujuan pelepasan adalah untuk memperbanyak populasi penyu di laut.

Pelepasan tukik dilakukan pada waktu malam hari sekitar jam 19.00-05.30 WIB. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar tukik tidak mudah dimangsa oleh predator.

Gambaran umum secara visual teknis penangkaran penyu dapat dilihat pada Lampiran 5 tentang Penangkaran Penyu di Pulai Kerabak Ketek, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat.

3.2.5. Teknis Menghitung Angka Penetasan Telur Penyu

Menghitung angka penetasan telur penyu dilakukan dengan menggali sarang telur yang sudah menetas. Ketika tim monitoring atau pemantau menggali suatu sarang telur penyu yang sudah menetas, maka akan diamati:

a. Sejumlah tukik yang muncul ke permukaan pasir (E)

b. Sejumlah cangkang telur (diberi kode S) yang mengindikasikan jumlah tukik yang menetas (Catatan:

hanya cangkang yang >50% dari total telur yang dihitung. Fragmen kecil tidak perlu dihitung)

Supplai air

Pembuangan air

Jaring

e. Kelimpahan Populasi di Lokasi Peneluran Lainnya

Prediksi kelimpahan populasi juga bisa dilakukan dengan melihat catatan data lainnya yang terkait, misal data jumlah telur yang dilaporkan oleh para pemegang hak konsesi telur penyu seperti yang terjadi di pantai Paloh–Sambas, Kalimantan Barat. Jumlah sarang telur penyu yang dihasilkan di pantai peneluran penyu Paloh, Kabupaten Sambas, provinsi Kalimantan Barat dari Tahun 1996 hingga 2004 adalah 27.872 sarang, dengan rerata ± SD per tahun adalah 3097±750 (Laporan Koperasi Tanjung Bendera, 2004). Angka ini memang tidak menunjukkan angka kelimpahan populasi penyu di lokasi tersebut, karena merupakan catatan petugas koperasi yang mesti membayar sejumlah ‘konsesi’

kepada pihak tertentu. Data ini hanya bisa dipergunakan sebagai penduga minimal. Selain sebagai penduga kelimpahan minimal, seri data yang dikumpulkan dalam 9 tahun ini juga memberikan gambaran kecenderungan populasi penyu di Paloh yang menurun dari tahun ke tahun (Gambar 11).

Gambar 11. Jumlah sarang telur (nests) semua jenis penyu (penyu Hijau, Sisik dan Abu-abu) per tahun di pantai peneluran Paloh, Kalimantan Barat. Jumlah ini adalah dominan (>90%) penyu Hijau. Garis putus-putus menunjukkan kecenderungan (penurunan) linier. Data dikutip dari basis data Koperasi Tanjung Bendera, 2004.

Indikasi penurunan populasi di lokasi peneluran lainnya seperti Pesisir Selatan dan Kepulauan Banyak di Sumatera Barat, area peneluran di wilayah Laut Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan tempat- tempat lainnya di Indonesia dapat diketahui dari laporan-laporan pemantauan singkat (Suganuma et al, 1999; dan Adnyana, 2009) maupun berita yang disampaikan oleh media cetak maupun elektronik.

Pemantauan yang lebih terstruktur perlu dilakukan untuk mengetahui situasi yang sebenarnya.

2.1.3.2. Kelompok atau Keragaman Populasi Penyu di Indonesia

Secara taksonomik, dikenal 7 jenis penyu di dunia, dimana 6 (enam) diantaranya hidup di perairan Indonesia, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu pipih (Natator depressus), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada.

Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al., 1992, Charuchinda et al., 2002).

Namun dengan teknik genetik telah diketahui bahwa setiap jenis terdiri dari berbagai populasi atau stok. Penelitian yang dilakukan oleh NOAA (Dutton, unpublished) menunjukkan bahwa populasi penyu belimbing yang bertelur di pantai Jamursba Medi sejenis dengan penyu-penyu belimbing yang bertelur di Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Populasi penyu ini kemudian disebut sebagai kelompok Pasifik Barat yang memiliki keragaman genetik berbeda dengan kelompok lainnya, yaitu kelompok Pasifik Timur (Mexico, Costa Rica, dan Amerika Tengah) serta Kelompok Peninsula Malaysia yang kini dinyatakan telah punah. Data genetik yang dikombinasikan dengan temuan penanda metal (metal tag) maupun penelusuran telemetri mengindikasikan bahwa penyu-penyu belimbing yang berkembang biak (kawin dan bertelur) di Pasifik Barat (termasuk populasi Papua) memiliki ruaya pakan dan berkembang di Pasifik Utara. Sementara itu, stok populasi di Pasifik Timur diketahui beruaya pakan di belahan Selatan (southern hemisphere) yang meliputi perairan dekat Peru dan Chile (Gambar 12).

Gambar 12. Stok genetik penyu Belimbing yang masih tersisa di dunia

Area berwarna solid adalah lokasi peneluran dengan stok genetik definitif.

Area ber garis-garis adalah lokasi peneluran penyu Belimbing dengan stok genetik yang belum sepenuhnya dikertahui. Stok populasi yang ada di Papua sejenis dengan yang ada di Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Stok populasi penyu Belimbing yang bertelur di Malaysia dinyatakan telah punah (Dutton, unpublished).

3.2.3. Pembesaran Tukik

Pembesaran tukik dilakukan dengan sistem rearing di pantai, pembesaran tukik menjadi penyu muda atau sampai dewasa, termasuk tukik yang cacat fisik sejak lahir. Lokasi pembesaran tukik harus berada pada daerah supratidal (di atas daerah pasang surut) untuk menghindari siklus gelombang laut pada bulan mati dan bulan purnama.

Langkah-langkah pembesaran tukik adalah sebagai berikut:

1) Setelah telur penyu menetas, pindahkan tukik-tukik ke bak-bak pemeliharaan.

Bak-bak pemeliharaan dapat berbentuk lingkaran atau empat persegi panjang dengan bahan dapat dari fiber atau keramik. Ketingian air dalam bak pemeliharaan dibuat berkisar antara 5–10 cm, mengingat tukik yang baru menetas tidak mampu menyelam

Jumlah dan ukuran bak pemeliharaan tukik disesuaikan dengan luas lahan yang tersedia dan estimasi jumlah tukik yang akan ditangkarkan.

2) Suhu air yang cocok untuk tukik adalah sekitar 25 0C

3) Selama pemeliharaan tukik diberi makan secara rutin dan jika ada yang sakit dipisahkan agar tidak menular kepada tukik yang lain.

Pemberian pakan tukik dilakukan dalam wadah bak/ember dalam ukuran besar. Langkah-langkah pemberian pakan adalah sebagai berikut :

a)  Setiap ember diisi sebanyak 25 ekor tukik.

b) Jenis pakan yang digunakan adalah ebi (udang kering/geragu) dan sekali-kali diberi pakan daging ikan rucah/cacah. Sesekali dapat diberikan sayuran seperti selada atau kol.

Umumnya tukik belum mau makan 2 – 3 hari setelah penetasan. Nafsu makan tukik sangat besar pada umur lebih dari 1 tahun, akan tetapi jangan terus diberi makan.

c) Pakan diberikan 2 kali sehari sebanyak 10-20% dari berat tubuh tukik dengan cara menyebarkan ebi secara merata.

d) Waktu pemberian pakan adalah pagi dan sore hari.

4) Kondisi air dalam bak pemeliharaan harus diperhatikan, baik kuantitas maupun kualitasnya.

a)  Air dalam bak pemeliharaan dapat kotor akibat dari sisa-sisa makanan atau kotoran tukik. Air yang kotor dapat menimbulkan berbagai penyakit yang biasa menyerang bagian mata dan kulit tukik b)  Lakukan pergantian air sebanyak 2 kali dalam sehari sesudah waktu makan. Air dalam bak

pemeliharaan harus selalu mengalir atau gunakan alat penyaring ke dalam pipa air bak pemeliharaan.

c)  Standar kualitas air mengacu pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Kualitas Air untuk Biota laut.

5) Perawatan tukik

Tukik-tukik di dalam bak pemeliharaan seringkali saling gigit sehingga terluka. Pisahkan dan pindahkan segera tukik yang terluka dari bak pemeliharaan, bersihkan lukanya dengan larutan KMnO4 (kalium permanganat) di bak tersendiri.

Dalam dokumen Glosarium Konservasi Penyu: Istilah Penting (Halaman 34-41)

Dokumen terkait