• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V BAB V Rekonstruksi Regulasi Perlindungan Hukum Bagi Debitur dan Pihak Ketiga Dalam Perjanjian Kredit dengan Objek Jaminan Fidusia Belum Mewujudkan Nilai

F. Kerangka Teoritik

2. Teori Perlindungan Hukum

pengertian penemuan hukum yang harus keluar dari logika hukum semata serta menggunakan pendekatan yang menembus norma dan situasi yang ada sehingga diperlukan pendekatan transenden dan spiritual dalam penemuan hukum. Antara hukum progresif dengan realisme hukummemiliki kesamaan dalam melihat hukum yang tidak hanya menggunakan kacamata hukum itu sendiri, melainkan dari tujuan sosial yang ingin dicapai. Konsekuensinya, hakim diberi kebebasan yang tinggi untuk membuat putusan. Halinilah yang membedakan keduanya karena dalam pemikiran hukum progresif ruang diskresional hakim masih dibatasi dengan nilai ideologis.

Kebebasan sepenuhnya pengadilan menurut Satjipto adalah wujud dari paham liberal.

41 Adapun pendapat yang dikutip dari bebearpa ahli mengenai perlindungan hukum sebagai berikut:

1. Menurut Satjipto Rahardjo perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.55

2. Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.56

3. Menurut Muchsin perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama manusia.57

4. Menurut Hetty Hasanah perlindungan hukum yaitu merupakan segala upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum,

55 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, 2003, Jakarta, hlm.

121.

56 Setiono, “Rule of Law”, (Surakarta: Disertasi S2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm.3

57 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta:

Disertasi S2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14

sehingga dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak- pihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum.58

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia. Sejalan dengan itu, Muchsin juga menyatakan perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:59

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundangundangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan- batasan dalam melakukan sutu kewajiban

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang

58 Hetty Hasanah, “Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumenatas Kendaraan Bermotor dengan Fidusia”, artikel diakses pada 7 Juni 2022 darihttp://jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html.

59 Satjipto Rahardjo, op, cit.

43 diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua macam, yaitu:60

1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa.

Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.

2. Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

60Loc, cit

manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

Menurut Paton, suatu kepentingan merupakan sasaran hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, melainkan juga karena ada pengakuan terhadap itu. Hak tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan, tapi juga kehendak.61 Terkait fungsi hukum untuk memberikan perlindungan, Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta mengatakan bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.62

Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa “Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap

61 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 54.

62 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi (Bandung: PT.

Remaja Rosda Karya, 1994), hal 64.

45 hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindugan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan ekpada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah”.63

Perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga Negara. Perlindugan hukum juga dapat diartikan sebagai tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.64

Dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), konsep perlindungan hukum, yang tidak lepas dari perlindungan hak asasi manusia, merupkan konsep Negara hukum yang merupkan istilah

63 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Rakyat Bagi Rakyat di Indonesia (sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara), (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal 38

64 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), 2004, Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Hal 3.

sebagai terjemahan dari dua istilah rechstaat dan rule of law. Sehingga, dalam penjelasan UUD RI 1945 sebelum amandemen disebutkan,

“Negara Indonesia berdasar atas hukum, (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat)”.

Teori Negara hukum secara essensial bermakna bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subject to the law), tidak ada kekuasaan diatas hukum (above the law), semuanya ada dibawah hukum (under the rule of law), dengan kedudukan ini, tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power).65

Dalam konteks tegaknya suatu negara modern, Jimly Assiddiqie menambhakan, diperlukan pilar-pilar utama, sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, antara lain:

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative

65 Muh. Hasrul, 2013, Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Efektif, Disertasi, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, hal 15.

47 mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang „supreme‟. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai „kepala negara‟. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan- tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan

affirmative actions‟ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui

affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law)

Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi Menurut Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu.66

Menurut moeljatno menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian67:

a) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

b) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias).

66Mahrus ali, S.H., M.H. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta. Sinar Grafika.Hal 59

67Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Hal 27

49 c) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang- undang jadi aturan hukum yang tertulis lebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam pasal 1 KUHP, dimana dalam teks belanda disebutkan: wettelijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Akan tetpi dengan adanya ketentuan ini konsekuensinya adalah bahwa berbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis.68

Bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di indonesia juga dan juga negeri belanda pada umumnya masih diakui prinsip ini, meskipun masih ada beberapa sarjana yang belum dapat menyetujuinya misalnya Taverne, Pompe, dan jonkers.

Jadi seseorang dapat dipidana kalau suatu perbuatan diancam dengan pidana oleh suatu undang-undang atau menurut pikiran dasar (Grundgedanken) suatu undang-undang pidana dan menurut perasaan sehat dari rakyat patut dipidana.

Bentuk analogi yang dilarang dikutip dari pendapat Vos, yang mengatakan bahwa penerapan analogi tidak di izinkan setidak-tidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-

68ibid

delik baru dan bertentangan dengan pasal 1 ayat 1 KUHP. Dengan penerapan undang-undang secara analogi diartikan penerapan ketentuan dalam hal pembuat undang-undang belum memikirkan atau tidak dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu.

Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara perbedaan antara penerapan analogi dan interpretasi ekstensif merupakan dua jalur tetapi satu hasil.69

Beberapa Aspek Asas legalitas70:

a) Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana undang-undang.

b) Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan Analogi.

c) Tidak boleh ada delik yang berlaku tidak jelas.

d) Ketentuan pidana tidak berlaku surut.

e) Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang

69Andi Hamzah.2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta. Rineka Cipta. Hal 45

70Teguh Prasetyo. 2010. Hukum Pidana. Jakarta. Penerbit Raja Grafindo Perkasa. Hlm.39

51 dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau „rules and procedures‟ (regels). Prinsip normative demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip „frijs ermessen

yang memungkinkan para pejabat tata usaha negara atau administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri

beleid-regels‟ („policy rules’) ataupun peraturan-peraturan yang dibuat untuk kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.