Pada umumnya pengobatan penyakit dilakukan berdasarkan timbulnya gejala tidak terkecuali untuk penyakit genetik seperti kanker. Telah diketahui bahwa suatu penyakit terjadi akibat ekpresi gen yang menghasilkan protein abnormal. Dengan adanya projek genetik manusia (Human Genetic Project) maka telah berhasil diidentifikasi seluruh gen yang berada pada 22 pasang kromosom autosomal dan sepasang kromosom sex (Sikora K, 1991).
Terapi gen atau gene therapy merupakan salah satu metode pengobatan penyakit genetik permanen dengan pemberian suatu fragmen Deoxyribo nuclease acid (DNA). Prinsip dasar terapi gen adalah rekayasa genetika, proses ini dilakukan dengan cara menggabungkan gen normal dengan vector DNA sebagai vehicle kemudian diinsersikan pada kromosom yang memiliki gen abnormal. Terapi gen ditujukan untuk
mengkoreksi kesalahan metabolisme pada penyakit kelainan genetic, kanker, penyakit infeksi, atau kelainan autoimun (Sikora K, 1991).
Mengapa terapi gen dapat dilakukan antara lain : DNA diketahui sebagai materi pembawa informasi genetik, struktur DNA dan kode genetic sudah dapat diidentifikasi, selain itu ditemukan pemotong DNA yaitu enzim endonuklease, teknik rekombinan gen (recombinant DNA) sudah dapat dilakukan dan hasil rekombinasi DNA dapat diproduksi pada sel bakteri. Alasan lainnya adalah ditemukannya proses cloning dan penggandaan DNA, maping DNA manusia sudah diketahui sehingga proses terapi gen telah dimulai sejak tahun 1990.
Dua macam cara melakukan terapi gen yaitu gen terapi pada sel somatik dan terapi pada sel reproduksi. Terapi sel somatic (somatic cell) lebih mudah dilakukan dan secara etika dapat diterima tetapi koreksi hanya terjadi pada satu generasi yaitu hanya pada pasien yang mengalami terapi tidak untuk keturunannya. Terapi sel reproduksi (Germ-line therapy) secara teknik sulit dilakukan dan secara etika sulit diterima. Terapi gen pada sel reproduksi dapat memperbaiki atau mengkoreksi gen pada semua generasi baik pasien maupun keturunannya (Sikora K, 1991; Winter, P.C.
Hickey, G.I. dan Fletcher, H.L. 1998). Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan terapi sel reproduksi hanya dilakukan pada hewan.
Prinsip dasar terapi gen adalah : gene addition dilakukan dengan cara menambahkan gen normal tetapi gen rusak tetap ada, umumnya dilakukan untuk pendekatan penyakit resesif ; gene replacement dilakukan dengan cara mengganti gen yang rusak ditujukan untuk penyakit dominan; sedangkan gene substraction
dilakukan untuk mencegah ekspresi gen, dengan cara terapi anti-sens atau terapi anti- gen (Sikora K, 1991).
Proses terapi gen dilakukan melalui identifikasi gen normal dan abnormal, memproduksi DNA rekombinan, memilih metode transfer gen normal (ex vivo atau in vivo), dan memastikan regulasi ekspresi dari gen yang sudah ditransfer (Sikora K, 1991).
Metode transfer gen normal kedalam sel pasien dapat dilakukan diluar tubuh (ex vivo), metode ini dilakukan pada sel atau jaringan yang dapat dikeluarkan dan dikembalikan ke tubuh pasien misalnya komponen system hemopoitik, kulit, dan sel endothelial. Transfer gen yang dilakukan langsung ke dalam sel atau jaringan pada pasien dikenal dengan metode in vivo (Sikora K, 1991). Proses in vivo dilakukan melalui beberapa cara :
1. Memasukkan DNA secara langsung menggunakan jarum suntik ke dalam jaringan spesifik; misalnya gen dystrophin disuntikkan langsung ke dalam sel otot atau melalui infus masuk ke pembuluh darah.
2. Memasukkan secara injeksi DNA yang sudah dilapisi lipid sehingga dapat berikatan dengan sel atau di endositosis oleh sel.
3. Memasukkan secara injeksi DNA yang telah dikonjugasikan dengan karier ke dalam DNA target. Misalnya antibody dikonyugasikan dengan asialoglycoprotein kemudian dimasukkan ke dalam DNA target di organ hati.
4. Memasukkan partikel bombardement yaitu DNA yang dilapisi komponen metal kemudian ditembakkan ke dalam sel (hati, kulit, pankreas, otot,dan sel limpa)
Penghantaran gen ke dalam sel manusia
Sampai saat ini, penghantaran gen ke dalam sel manusia dilakukan melalui jasa virus. Virus dapat berfungsi sebagai vehicle yang menghantarkan DNA mencapai target sel yang diinginkan (Sikora K, 1991). Berbagai virus yang dapat dimanfaatkan untuk membantu proses terapi gen, antara lain :
Virus Retro, merupakan virus bergenom RNA dimanfaatkan untuk membawa DNA mencapai sel T pada severe combined immunodeficiency (SCID) atau mencapai sel hepatosit pada familial hypercholesterolemia.
Virus Adeno adalah virus bergenom DNA digunakan untuk membawa DNA mencapai target sel epithelium nasal/bronkus atau kornea pada cystic fibrosis.
Virus Moloney murine leukemia (MoMLV) dimanfaatkan pada keganasan (malignant oncogen)
Virus Herpes simplex virus (HSV) digunakan untuk mencapai target central nervous system (CNS) pada Latent infections in neurons
Monitoring terapi gen dilakukan dengan cara :
Identifikasi gen dengan metode Polyerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi keberadaan cDNA yang dimasukkan.
Identifikasi mRNA dengan metode Reverse Trancriptase - Polyerase chain reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi proses transkripsi gen.
Imunoassay untuk mendeteksi protein hasil translasi.
Uji-uji lain yang berkaitan dengan efek fisiologi sebagai akibat dari penyakit genetik
Terapi gen pertama dilakukan tahun 1999 dilakukan pada seorang anak perempuan berusia 4 tahun yang mengalami SCID akibat defisiensi ADA. Penderita ini memiliki risiko tinggi terhadap infeksi oportunis dan malignancy. Gen ada merupakan gen housekeeping yang regulasi tidak ketat dan telah berhasil di cloning pada tahun 1983 (Sikora K, 1991, Ross, D.W. 1996).
Melalui vektor retrovirus dilakukan gene replacement pada sel T normal.
Limfosit anak tersebut dikultur secara in vitro kemudian dimasukkan kedalam tubuhnya dengan cara infus sel T yang gen ada nya telah dikoreksi (Ross, D.W. 1996).
Terapi gen diulang setiap 1-2 bulan pada tahun pertama terapi dan setiap 3 – 6 bulan pada tahun kedua. Setelah tahun kedua anak ini diperbolehkan rawat jalan dengan berbagai monitoring terhadap pembentukan antibodi , respons terhadap imunisasi , dan penurunan kejadian infeksi . Hasil terapi gen pada anak tersebut adalah bebas sinusitis dan nyeri kepala serta dua tahun setelah terapi tamat sekolah taman kanak-kanak (Sikora K, 1991).
Transgenesis dengan manusia akan memungkinkan untuk penghapusan gen penyakit dalam populasi keturunan, Namun, teknis maupun isu-isu etis kemungkinan akan mencegah percobaan transgenik dilakukan dengan telur manusia (Ross, D.W.
1996). Oleh karena itu, kemampuan untuk menggantikan gen penyakit yang dikenal dengan salinan yang normal pada manusia menderita adalah tujuan akhir dari terapi gen. protokol terapi gen Manusia bertujuan untuk memperkenalkan mengoreksi salinan gen penyakit ke dalam sel somatik dari individu yang terkena (Suryohudoyo, P. 2000). Ekspresi dari kopi DNA yang benar dari gen terpengaruh dalam sel-sel somatik mencegah penularan melalui garis kuman, dengan demikian, menghindari banyak masalah etis dari transgenesis. Hal ini analog dengan perlakuan terhadap individu dengan transplantasi organ atau jaringan (Sikora K, 1991; Ross, D.W. 1996).
Teknik yang paling umum digunakan dalam studi terapi gen adalah pengenalan gen dikoreksi menjadi sel-sel sumsum tulang, fibroblas kulit atau hepatosit. Vektor yang paling umum digunakan berasal dari retrovirus dan hanya memanfaatkan daerah promotor transkripsional virus ini (yang LTRs) untuk mendorong ekspresi gen yang
diinginkan. Keuntungan dari sistem vektor retrovirus berbasis ekspresi yang terjadi pada tipe sel paling (Sikora K, 1991).
Sejumlah kelainan bawaan manusia telah diperbaiki pada sel kultur dan beberapa penyakit (misalnya melanoma maligna dan penyakit imunodefisiensi gabungan yang berat, SCID) saat ini sedang diobati dengan teknik terapi gen yang menunjukkan bahwa terapi gen mungkin menjadi teknik terapi yang kuat terhadap penyebab penyakit pada masa mendatang (Sikora K, 1991; Ross, D.W.
1996; Suryohudoyo, P. 2000).
Gangguan Manusia Ditangani di Sel budidaya oleh Gene Terapi
Disorder Affected Gene
SCID adenosine deaminase (ADA)
SCID purine nucleoside phosphorylase (PNP)
Lesch-Nyhan syndrome hypoxanthine-guanine phosphoribosyltransferase (HGPRT)
Gaucher disease acid β-glucosidase (glucocerebrosidase) Familial hypercholesterolemia (FH) LDL receptor
Phenylketonuria (PKU) phenylalanine hydroxylase
β-Thalassemia β-Globin
Hemophilia B Factor IX
BAB III