• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

Dalam dokumen upaya kepolisian dalam pencegahan (Halaman 46-53)

BAB II TINJAU UMUM

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

31 disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar aturan tersebut. Dapat juga diartikan bahwa perbuatan pidana ialah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal dalam hal itu diingkan bahwa larangan ditunjuk pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditunjuk pada orang yang menimbulkan kejahatan).38 Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan yang bersifat melanggar hukum dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka perbuatan itu merupakan perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman pidana.

Menurut Simon starafbaar feit adalah kelakuan atau hendeling yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.39 Didalam Kitab Undang- Undang hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan stafbaar feit itu sendiri, biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik. Delik berasal dari kata bahasa Latin yakni kata delictum.

Menurut Roeslan Saleh, suatu perbuatan pidana ialah perbuatan yang melanggar tata tertib atau peraturan yang dikehendaki oleh hukum.40 Sementara menurut

38 P. A. F. Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana ndonesia”,187.

39 P. A. F. Lamintang , “Dasar-Dasar Hukum Pidana ndonesia “, 189.

40 Agus Rusianto, "Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana", (Jakarta : PT. fajar Interpratama Mandiri, 2016), 14

Moeljatno, Perbuatan yang dilarang dan dapat diancam dengan pidana, bagi siapa saja yang melanggar larangan itu dapat di pidana atas perbuatannya. perbuatan tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat yang melanggar, menjadi suatu hambatan bagi masyarakat yang bercita-cita hidup aman dan tentram .41 Tindak Pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum.

2. Sejarah Pembagian Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibagi-bagi dengan menggunakan berbagai kriteria. Pembagian ini berhubungan dengan berat/ringannya ancaman, sifat, bentuk dan perumusan suatu tindak pidana.pembedaan ini erat pula hubungannya dengan ajaran ajaran umum hukum pidana. Dengan membagi sedemikian itu sering juga dihubungkan dengan sebab-akibat hukum. Dalam sejarah pembagian tindak pidana pernah dikenal pembagian sebagai berikut:42

a. Di Jerman dibedakan menurut berat/ringannya tindak pidana yang disebut (1) Freidennbruche dan (2) Rechtsbrunche. Dikenal pulapembagian yang disebut : (a) Verbrechen,(b) Vergehen dan (c) Ubertretungen.

41 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 2015), 22.

42 Fitri Wahyuni, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia,(Tangerang : Nusantara Persada Utama, 2017), 38-39.

33 b. Code Penal mengenalkan pula pembagian dalam tiga

bagian sebagai berikut:

1) Crimen (misdaden, kejahatan)

2) Delicta (wanbedrijven, perbuatan tak patut) 3) Contravention (pelanggaran)

Sedangkan terhadap tiap-tiap bagian itu ditentukan jenis-jenis pidana untuk masingmasingnya, demikian pula badan peradilannya. Pidana untuk masing- masing jenis tindak piana secara berurutan adalah:

1) Peines criminelles 2) Peines correctionelles 3) Peines de police

Sedangkan badan peradilannya berurutan adalah 1) Cour d Assises (Peradilan hakim-hakim jury yang

menentukan bersalah/tidaknya petindak).

2) Tribunaux correctionnelles 3) Juges de paix.

c. Dikenal pula pembagian tindak pidana yang disebut sebagai (1) crimineel

onrecht yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan (2) politie onrecht, yaitu perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah. Teori-teori pembagian ini digunakan antara lain oleh:

a) Binding, yang membedakan perbuatan yang melanggar kepentingan hukum dengan perbuatan abstrak yang membahayakan kepentingan hukum b) Otto Meyer, membedakan perbuatan yang

bertentangan dengan kaidah kebudayaan dengan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah/Negara

c) Gewin, membedakan perbuatan yang melanggar hukum dan keadilan Tuhan dengan perbuatan yang melanggar ketertiban umum yang diatur oleh pemerintah

d) Creutzberg, membedakan perbuatan yang menentang hukum pada umumnya dengan pelanggaran terhadap larangan/ keharusan yang ditentukan oleh negara untuk kepetingan masyarakat.

Cara pembagian tersebut diatas, ternyata menemui kesulitan untukmenarik garis pemisah antara bagian-bagian tersebut, karena tidak adanya pengkriteriaan yang jelas. Kesulitan itu terutama berada pada pembuat undang-undang, bukan kepada hakim karena pembuat undang-undanglah yang menentukan tindak pidana mana saja yang termasuk dalam bagian- bagian yang ditentukan.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Ada beberapa klasifikasi jenis tindak pidana, dalam KUHP dan doktrin jenis tindak pidana pembagiannya menjadi 2 jenis tindak pidana yaitu sebagai berikut :43 a. Kejahatan (misdrijiven) dan

b. Pelanggaran (overtrendingen)

Dalam KHUP kita sebelumnya tahun 1918 dikenal 3 jenis tidak pidana yaitu :

a. Kejahatan-kejahatan (misdaden)

43 Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, (Malang : Setara Press, 2015) 72.

35 b. Perbuatan-perbuatan buruk (wanbedrijiven)

c. Pelanggaran-pelanggaran (overtrendingen)

Hal ini menunjukan bahwasanya pembagian tindak pidana tidak harus slalu dua jenis saja seperti dalam KUHP kita sekarang. KUHP sendiri tidak merumuskan atau menjelaskan dasar dari pembagian tersebut. Pembagian tersebut hanya didasarkan atas penempatan saja, yaitu:

semua perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang ditempatkan dalam Buku kedua merupakan“kejahatan”, sedangkan yang ditempatkan dalam Buku Ketiga merupakan “pelanggaran”. Hal ini ternyata dari bab-bab dari KUHP itu sendiri.

Perbuatan Pidana juga dibedakan atas perbuatan pidana formil dan perbuatan pidana materil. Pidana formil adalah suatu perbuatan pidana yang sudah selesai dilakukan dan perbuatan itu mencocoki rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan, pidana formil ini mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan tanpa menyebut akibatnya.

Sementara pidana materil adalah suatu akibat yang dilarang, ditimbulkan dari suatu perbuatan tertentu dan perbuatan yang dilakukan bukan menjadi soal. Atau dengan perkataan lain yang dilarang dalam pidana materil adalah akibatnya.44

4. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai

44 Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, (Sinar Grafika : Jakarta, 2011),102.

dengan ancaman (Sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi pelanggarannya. Sehingga untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka harus terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Rumusan-rumusan ini menentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang.45

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. untuk mengetahui lebih jelas mengenai unsur-unsur tindak pidana dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Unsur Objektif

Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:

1) Sifat melanggar hukum 2) Kualitas si pelaku

Seperti dalam keadaan sebagai pegawai negri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP.

3) Kausalitas

45 Mohammad Ekaputra, “Dasar-Dasar Hukum Pidana”, ( Medan: USU Press, 2015), 79

37 Merupakan hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur Subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur ini terdiri dari:

1) Kesengajaan atau tidak kesengajaan

2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP

3) kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan dan sebagainya 4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam

Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu

5) Perasaan takut seperti terdapat dalam Pasal 308 KUHP.46 D Tinjauan Tentang Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Hukum Pidana Islam

Hukum Pidana Islam biasanya juga disebut dengan Fiqih Jinayah , dasar dari pengertian Jinayah mengacu pada hasil suatu perbuatan seseorang, jadi Pengertian ini berfokus pada perbuatan yang dilarang. Fiqih Jinayah merupakan salah satu dari enam cabang ilmu fiqih dari enam ilmu fiqih tersbut ialah fiqih ibadah , fiqih muamalah , fiqih munakahat, fiqih jinayah , fiqih siyasah dan fiqih mawaris. Hukum pidana Islam di artikan dalam istilah fiqih jinayah, definisikan dengan dua kata pokok yaitu fiqih dan jinayah. Secara etimologis, fiqih berasal

46 Teguh Prasetyo, “Hukum pidana”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 50.

dari kata faqila-yafqahu yang diartikan memahami perkataan atau ucapan yang baik dan benar. Fiqih merupakan ilmu tentang hukum Syariah yang mempunyai sifat suatu hasil analisis seseorang mujahid terhadap dalil-dalil yang terperincin, baik didalam Al- Qur‟an maupun hadits.47

Di kalangan fuqaha, jinayah berarti perbuatan- perbuatan yang dilarang menurut syari‟at. Meskipun demikian, pada umumnya, fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. selain itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan- perbuatan yang diancam dengan hukum hudud dan qisash, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta‟zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta‟zir.

Menurut Syaid Sabiq definisi Jinayah dalam definisi syari‟at adalah setiap perbuatan yang diharamkan dan perbuatan yang diharamkan oleh setiap perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT (syari‟at), karena ada bahaya yang menimpa agama jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Jika dicermati maka yang dikemukakan oleh Syaid Sabiq ini erat hubungannya dengan al-maqasid syariah (tujuan hukum islam). Sedangkan menurut Abdul Kadir Audah, pengertian Jinayah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan syara, baik perbuatan

47 Nurul, Irfan dan Masyrofah, “Fiqh Jinayah”, (Jakarta:

Amzah, 2013), 2.

39 mengenai jiwa, harta benda, maupun selain jiwa dan harta benda.48

Berdasarkan pengertian diatas, maka secara prinsip pengertian “jinayah” atau “jarimah” tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana), delik dalam hukum positif (pidana).Tujuan disyari‟atkan fiqih Jinayah adalah dalam rangka untuk memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan.

2. Jenis-jenis Jarimah a. Jarimah Hudud

Jarimah hudud ialah jarimah yang diancam hukuman had, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya yang menjadi hak tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi. Pengertian hak tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapus baik oleh perorangan (yang menjadi korban jarimah), ataupun oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara.49

Hukuman yang termasuk hak tuhan ialah setiap hukuman yang dikehendaki oleh kepentingan umum seperti untuk memelihara ketenteraman dan keamanan masyarakat dan manfaat penjatuhan hukuman tersebut akan dirasakan oleh kerusuhan masyarakat. Jarimah Hudud ada tujuh yaitu: zina, qasaf, khamr, mencuri, haribah, murtad dan pemberontakan.

48Bakti dan Zulkarnain,”Dasar-dasar Hukum Acara Jinayah”,(Jakarta:Kencana, 2016), 2.

49 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana

Islam, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2018), 13.

b. Jarimah Qisas

Secara bahasa qisas dapat diartikan sebagai tatabba'tu al-atsara yang artinya aku mengikuti jejak atau menelusuri jejak atau langkah. Sedangkan secara istilah qisas adalah menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.50

c. Jarimah Ta‟zir

Ta zir menurut bahasa adalah ta dib, artinya memberi pelajaran, Ta zir juga diartikan dengan arraddu wal man u yang artinya menolak dan mencegah. Sedangkan pengertian Ta zir menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Mawardi adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri.51

4. Unsur-Unsur Pidana Islam

Suatu perbuatan tidak dapat dihukum, kecuali jika terpenuhi semua unsur-unsurnya, baik unsur umum maupun unsur khusus begitulah dalam ketentuan hukum Islam. Unsur-unsur umum tersebut ialah :

a.Rukun syar'i atau unsur formil, yaitu adanya nas Syara

yang jelas melarang perbuatan itu dilakukan dan jika dilakukan akan dikenai hukuman. Nas Syara‟ ini menempati posisi yang sangat penting sebagai azaz legalitas dalam hukum pidana Islam, sehingga dikenal suatu prinsip la hukma li af‟al al-uqalaqal

50 Nurul Irfan dan Masyrofah, “Fiqh Jinayah”, (Jakarta : Amzah, 2013), 4.

51 Nurul Irfan dan Masyrofah, “Fiqh Jinayah”, (Jakarta : Amzah, 2013), 93.

41 wurud an-nass (tidak ada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sebelum datangnya nas).

b. Rukun maddi atau disebut juga unsur materil, yaitu adanya perbuatan pidana yang dilakukan.

c. Rukun adabi yang disebut juga unsur moril, yaitu pelaku perbuatan itu dapat diminta pertanggung jawaban hukum, seperti anak kecil, orang gila atau orang terpaksa, tidak dapat dihukum.52 E Tinjauan Hukum Penyebaran Konten Pornografi

1. Pengertian Pornografi

Istilah Pornografi dalam bahasa Yunani yaitu

ponographos” yang berasal dari kata “porneí” dan

”graphein”. Kata “porne” sebagai prostitue atau pelacuran dan “graphein” sebagai “to white”, to draw; graphe yang sama dengan writing, drawing, sehingga oleh beliau pornographies disamakan dengan writing about prostitutes yang diartikan sebagai tulisan atau penggambaran tentang pelacur atau pelacuran.53

Secara Etimologi pornografi berasal dari dua suku kata yakni pornos dan grafis. Pornos artinya suatu perbuatan yang asusila (dalam hal yang berhubungan dengan seksual), atau perbuatan yang bersifat tidak senonoh atau cabul. Sedangkan grafis adalah gambaran atau tulisan, yang dalam arti luasnya termasuk benda benda patung, yang isinya atau artinya menunjukkan atau

52Irfan Nurul, Masyrofah “Fiqh Jinayah”, (Jakarta:

Amzah 2018), 3.

53 Burhan Bungin, “Pornomedia Konstruksi Teknologi Telematika Dan Perayaan Seks Di Media Sosial”, (Jakarta: Prenada Media, 2003), 124.

menggambarkan sesuatu yang bersifat asusila atau menyerang rasa kesusilaan masyarakat. Memberikan batasan bahwa pornografi merupakan produk visualisasi, seperti gambar, foto, film dan jenis lainnya, yang mengeksploitasi seks dengan cara yang asusila, cabul, tak senonoh, jorok, melecehkan hukum dan martabat wanita, martabat moral dan ajaran agama serta adat dan istiadat tradisi.54

Definisi pornografi yang diajukan Catherine Mckinnon, seperti dikutip oleh Ninuk Merdian Pambudy dapat dipakai sebagai acuan internasional, yaitu: “Grafis yang menunjukkan subordinasi seksual perempuan secara eksplisit melalui gambar atau kata-kata, termasuk dehumanisasi perempuan sebagai objek sosial, benda, komoditas, penikmat penderitaan, sasaran penghinaan, atau pemerkosaan (dengan jalan diikat, disayat, dimutilasi, atau bentuk-bentuk penyiksaan fisik), menggambarkannya sebagai pemuas seksual atau perbudakan, dipenterasi dengan menggunakan benda atau pemuas seksual atau perbudakan secara biadab, cedera, penyiksaan, dipertunjukkan, secara seronok atau tak berdaya, berdarah- darah, tersiksa, atau tersakiti dalam konteks kondisi seksual mata”.

Departemen penerangan mengartikan pornografi sebagai penyajian tulisan atau gambar yaitu:

a. Mempermainkan selera rendah masyarakat semata-mata menonjolkan masalah seks dan kemaksiatan.

b. Bertentangan dengan:

54 Waluyadi, “Kejahatan, pengadilan dan Hukum Pidana”,(Bandung : Mandar maju, 2009), 13.

43 c. Kaidah-kaidah moral dan taat susila serta

kesopanan.

d. Kode etik jurnalistik.

e. Ajaran agama yang merupakan prima causa di indonesia dan;

f. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kesemuanya itu dapat menimbulkan nafsu birahi, rangsangan dan pikiran pikiran yang tidak sehat, terutama di kalangan anak-anak muda, serta menyinggung rasa susila masyarakat luas, yang bertanggung jawab terhadap keselamatan generasi dimasa datang dalam membina kepribadian bangsa yang berfalsafah pancasila. Secara singkat pornografi adalah penyajian tulisan ataungambar- gambar yang menimbulkan nafsu birahi dan menyinggung rasa susila masyarakat.55

2. Unsur-Unsur Pornografi

Pertumbuhan dunia jejaring sosial telah mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang teknologi dan komunikasi yang telah meneyebabkan peningkatan kejahatan, penyebaran dan penggunaan pornografi yang berdampak negatif. Berdampak pada moral dan efek pribadi individu khususnya Indonesia.

Pornografi merupakan perbuatan yang berdampak negatif terhadap perilaku terutama genarasi muda, banyak anak-anak yang menjadi korban pornografi. Berdasarkan Undang-undang No 44 Tahun 2008 tentang pornografi, di

55 Andi Hamzah, “Pornografi Dalam Hukum Pidana Indonesia Suatu Studi Perbandingan”, (Jakarta: Bina Mulia, 2010), 9.

era digital seperti sekarang ini atauran diperlukan sebagai dasar pemberantasan pornografi, unsur pornografi yang diatur dalam pasal 34 sama dengan pasal 8 Undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi. Berdasarkan pornografi yang diatur dalam undang-undang maka dari unsur-unsur antara lain :56

a. Unsur subjektif, terdapat kesalahan yang disengaja Unsur kesalahan dengan sengaja oleh pelaku adalah unsur yang secarategas dilakukanoleh pelaku dengan sengaja dan menyadari perbuatanya dan perbuatan yang dilakukan memiliki sebab akibat serta mempunyai sifat melawan hukum terhadap perbuatan pelaku. Kesalahan ini termasuk dalam tindak pidana kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Akan tetapi tindakan pidana melakukan perbuatan dengan adanya kesengajaan untuk menyebarluaskan pornografi di media sosial melanggar ketentuan dalam pasal 4 angka (1) Undang-Undang Pornografi adalah membuat, memperbanyak, menyebarluaskan, menyiarkan, atau menyediakan konten pornografi secara eksplisit dengan memuat :

1. Persengamaan, dan termasuk persengamaan Yang menyimpang

2. Ketelanjangan atau yang mengesankan ketelanjangan

3. Alat kelamin

b. Unsur objektif, yaitu perbuatan yang telah terdapat muatan pornografi

56 Suratman, Andri Winjaya Laksana, Analisis Yuridis

Penyidikan Tindak Pidana

Pornografi Berdasarkan UU No. 44 Tahun 2008, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 1, No. 2 Mei-Agustus 2014, h. 172.

45 Dalam unsur perbuatan yang telah menjadikan orang sebagai muatan pornografi terdapat dalam rumusan tindak pidana pasal 35 Undang- UndangPornografi yang berbunyi : “setiap orang yang membuat orang lain untuk objek atau moden yang mengandung muatan pornografi maka yang dimaksud dalam pasal 9 dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dengan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,- (enam miliar rupiah)”.

Berdasarkan penjelasan di atas perbuatan atau tindakan yang telah dilarang dalam pasal 35 Undang Undang Pornografi dengan muatan dilarang dalam pasal 9 Undang Undang Pornografi sebagai berikut : jika setiap seseorang melakukan orang lain untuk sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

1) Adanya perbuatan

2) Adanya objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

3. Klasifikasi Pornografi

Adapun beberapa klasifikasi pornogarfi yaitu :57 a. Pornoteks

Pornoteks adalah karya pencabulan (Porno) yang di tulis sebagai naskah cerita atau berita dalam bentuk versi hubungan seksual, dalam berbagai bentuk

57 Burhan Bungin, “Sosiologi Media Kontruksi Sosial Teknologi Telematika Dan Perayaan Seks Di Media Masa”. (Jakarta:

Kencana, 2005), 124-125.

narasi, kontruksi cerita testimonial, atau pengalaman pribadi secara detail dan fulgar, pembaca seakan-akan ia menyaksikan sendiri mengalami atau melakukan sendiri peristiwa hubungan-hubungan seks itu. penggambaran yang detail secara narasi terhadap hubungan seks ini menyebabkan terciptanya Theatre of the mind pembaca tentang arena seksual yang sedang berlangsung sehingga fantasi seksual pembaca menjadi mengebu terhadap objek hubungan seks yang digamarkan itu.

b. Pornosuara

Pornosuara yaitu suara, tuturan, kata-kata, dan kalimat-kalimat yang di ucapkan sesorang, yang langsung, yang tidak langsung, bahkan secara halus ataupun fulgar melakukan rayuan seksual, suara atau tuturan tentang objek seksual atau aktivitas seksual.

Pornosuara ini secara langsung atau tidak memberi penggambaran objek seksual maupun aktivitas seksual kepada lawan bicara atau pendengar sehingga berakibat kepada efek rangsangan seksual terhadap orang yang mendengar atau menerima informasi seksual itu.

c. Pornoaksi

Suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh, penonjolan bagian-bagian tubuh yang dominan memberi rangsangan seksual sampai dengan aksi mempertontonkan payudara dan alat vital yang tidak disengaja maupun disengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual bagi yang melihatnya.

Pornoaksi pada awalnya adalah aksi-aksi subjek-objek seksual yang dipertontonkan secara langsung dari seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan

47 rangsangan seksual bagi seseorang termasuk menimbulkan hysteria seksual di masyarakat.58

d. Pornomedia

Dalam konteks media masa pornografi, pornoteks, pornosuara, dan pornoaksi menjadi bagian yang saling berhubungan sesuai dengan karakter edai yang menyiarkan porno itu namun dalam banyak kasus pornografi (cetak visual) memiliki kedekatan dengan porno teks, karena gambar dan teks dapat disatukan dalam media cetak. Sedangkan pornoaksi dapat bersamaan pemunculannya dengan pornografi (elektronik) karena ditayangkan di media elektronik.

Kemudian pornosuara dapat bersamaan muncul dalam media audio visual seperti telivisi, atau media audio semacam radio dan media telekomunikasi lainnya.

4. Tindak Pidana Penyebaran Konten Pornografi

Secara etimologis pornografi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua kata yaitu pornos dan grafis.

Pornografi adalah perbuatan asusila, cabul atau mesum, sedangkan grafis adalah gambar, video dan teks. Artinya kejahatan kecabulan adalah kejahatan kesusilaan dan pornografi sering dipandang sebagai tindakan sekseual yang mengarah pada kecabulan atau eksplotasi seksual dan melanggar norma sosial.59

Pengertian tindak pidana pornografi menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang

58Adami Chazawi, “Tindak Pidana Mengenai Kesopanan”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015), 125.

59 Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi (Malang:

Banyumedia Publishing, 2013), 8.

Pornografi Bab I ketentuan umum pasal 1 Angka (1) dapat dijelaskan bahwa : pengertian pornografi adalah suatu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, video, tulisan, suara, gambar gerak, animasi, percakapan, gerak tubuh maupun bentuk pesan teks melalui media sosial dan/atau suatu pertunjukan di muka umum, yang mengandung kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat yang telah dirumuskan dalam Undang- Undang Pornografi dan dapat diancam pidana bagi yang melakukan perbuatan tersebut. Pornografi juga merupakan suatu bentuk delik kesusilaan pada KUHP yang diatur dalam buku II Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan (pasal 282-283 KUHP) dan buku III Bab VI tentang pelanggaran kesusilaan (pasal 532-533 KUHP).

Dalam ketentuan tindak pidana pornografi diatur pada pasal 282 KUHPyang mana menjelaskan bahwa terdiri dari 3 (tiga) angka di mana setiap angka memiliki beberapa bentuk tindak pidana pornografi. Angka (1) menyiarkan, mempertunjukan, menempelkan, angka (2) membuat atau memasukan ke dalam negeri, meneruskan, mengeluarkan, dari dalam negeri, memiliki persediaan, angka (3) menawarkan, menunjukkan atau menekankan pemberatan bentuk tindak pidana pornografi sengaja, di antaranya apabila membuat dan melakukan kejahatan ini karena kebiasaan dan mata pencaharian. Ketentuan dalam pasal 283 KUHP yaitu adanya suatu bentuk perlindungan pada dampak negatif dalam pornografi bagi anakanak dibawah umur atau orang yang belum dewasa. Maka dari itu ketentuan dalam pasal 283 KUHP perlu adanya upaya perlindungan hukum bagi orang yang belum dewasa agar terhindar dari tindak pidana porografi.

Dalam dokumen upaya kepolisian dalam pencegahan (Halaman 46-53)

Dokumen terkait