56
P u i s i Bab 46. Bahasa puisi tidak terikat oleh kaidah kebahasaan umumnya, karena itu, ia memiliki kebebasan untuk menyimpang dari kaidah kebahasaan yang ada, biasanya disebut dengan lisencia poetica.
57
Bab 4 P u i s i
mengacu pada penyair. Pembaca sedikit banyak harus mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan tema puisi tersebut. Pokok pikiran itu begitu mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya (Herman J. Waluyo, 2008:17).
b. Rasa (Feeling)
Dalam menciptakan puisi suasana perasaan penyair itu diekspresikan dan harus dapat diekspresikan oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, penyair satu berbeda dengan penyair lainnya sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula (Herman J.
Waluyo, 2008: 140).
Rasa atau feeling adalah sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya bahasa dan bentuk puisi saja tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologis
c. Nada (Tone)
Nada, yaitu sikap penyair terhadap pembacanya, nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca.
Nada sering dikaitkan dengan suasana, jika nada berarti sikap penyair terhadap pokok persoalan (feeling) dan sikap penyair terhadap pembaca (tone) maka suasana berarti keadaan perasaan yang ditimbulkan oleh pengungkapan nada dan lingkungan yang dapat ditangkap oleh panca indera (Efendi dalam Kinayati Djojosuroto, 2006: 25).
58
P u i s i Bab 4d. Amanat
Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa dan nada puisi. Tema berbeda dengan amanat. Tema berhubungan dengan arti karya sastra, sedangkan amanat berhubungan dengan makna karya sastra. Arti karya sastra bersifat lugas, objektif dan khusus. Makna karya sastra bersifat kias, subjektif dan umum. Makna berhubungan dengan orang perorangan, konsep seseorang, dan situasi di mana penyair mengimajinasikan karyanya (Herman J. Waluyo, 2008: 151).
2. Unsur Fisik Puisi
a. Perwajahan Puisi (Tipografi)
Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris, tetapi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan. Hal ini tidak berlaku pada penulisan prosa. Ciri ini menunjukkan eksistensi sebuah puisi (Herman J. Waluyo, 2008: 113).
Perwajahan puisi yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal ini menentukan pemaknaan terhadap puisi.
b. Diksi (Pilihan Kata)
Diksi adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra (Abrams dalam Wiyatmi, 2006: 63). Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi sering kali juga menjadi ciri khas seorang penyair atau zaman tertentu.
Hendaknya disadari bahwa kata-kata dalam puisi bersifat konotatif. Artinya memiliki kemungkinan makna
59
Bab 4 P u i s i
yang lebih dari satu. Kata-katanya juga dipilih yang puitis, mempunyai efek keindahan dan berbeda dari kata- kata yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari (Herman J. Waluyo, 2008: 84).
c. Pengimajian
Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret dan dihayati melalui penglihatan, pendengaran atau cita rasa (Herman J. Waluyo, 2008: 91).
Imaji yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
d. Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh seperti halnya pengimajian kata yang diperkonkret. Ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian, pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya (Herman J. Waluyo, 2008: 94).
e. Bahasa Figuratif
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun- susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif.
Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, memancarkan banyak makna, atau kaya akan makna.
Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa,
60
P u i s i Bab 4yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Herman J. Waluyo, 2008: 96).
Menurut Perrine dalam Herman J. Waluyo (2008: 96-97) bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair, diantaranya:
1) Bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif.
2) Bahasa figuratif adalah cara untuk menghasilkan imajinasi tambahan dalam puisi, sehingga yang abstrak jadi konkret dan menjadi puisi lebih nikmat dibaca.
3) Bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair.
4) Bahasa figuratif adalah cara untuk mengonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Perrine, dalam Herman J. Waluyo, 2008: 96-97).
Bahasa figuratif dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengiasan dan pelambang. Kedua hal ini dapat membuat puisi menjadi lebih indah dan bernilai seni tinggi (Kinayati Djojosuroto, 2006: 17), yaitu:
1) Pengiasan
Bahasa kias atau figurative language merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa, yang makna katanya digunakan untuk mencapai efek tertentu (Abrams dalam Wiyatmi, 2006: 64).
Kiasan yang dimaksud di sini mempunyai makna lebih luas dengan gaya bahasa kiasan, karena mewakili apa yang secara tradisional disebut gaya bahasa secara keseluruhan. Dalam gaya bahasa, suatu hal dibandingkan dengan hal lainnya.
Pengiasan ini dibagi menjadi enam, yaitu metafora,
61
Bab 4 P u i s i
perbandingan, personifikasi, hiperbola, sinekdoke, ironi (Herman J. Waluyo, 2008: 98).
a) Metafora
Metafora adalah kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebanding dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd
& Lewis dalam Wiyatmi, 2006: 65).
Dalam sebuah metafora terdapat dua unsur, yakni pembanding (vehicle) dan yang dibandingkan (tenor). Metafora ada dua macam, eksplisit dan implisit. Disebut metafora eksplisit jika pembandingnya disebutkan, misalnya kaulah kandil kemerlap. Kau dalam kutipan itu dibandingkan dengan pelita yang memberikan cahaya. Disebut metafora implisit bila yang disebutkan hanya unsur pembandingnya saja Perbandingan
Kiasan yang tidak langsung disebut perbandingan atau simile. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasannya dan digunakan kata-kata seperti: laksana, bak, dan sebagainya. Kadang-kadang juga tidak digunakan kata-kata pembanding (Herman J.
Waluyo, 2008: 99).
b) Personifikasi
Personifikasi adalah jenis bahasa kias yang mempersamakan benda dengan manusia, benda- benda mati dapat berbuat, berpikir sebagaimana manusia. Personifikasi membuat hidup lukisan, di samping memberi kejelasan dan memberikan bayangan agar konkrit (Rachmad Djoko Pradopo dalam Kinayati Djojosuroto: 18-19).
c) Hiperbola
Hiperbola adalah kiasan yang berlebih- lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapatkan
62
P u i s i Bab 4perhatian yang lebih seksama dari pembaca.
Hiperbola tradisional dapat dilihat dalam bahasa sehari-hari, seperti bekerja membanting tulang, menunggu seribu tahun lagi, dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2008: 99).
d) Sinekdoks
Sinekdoks adalah jenis gaya bahasa yang menggunakan bagian dari suatu benda untuk mewakili benda itu sendiri. Sinekdoki dan metonimi hampir sama karena hanya merujuk pada bagian atau sifat suatu hal atau benda yang dimanfaatkan untuk mewakili benda itu Terbagi atas sinekdoks part pro toto (menyebutkan sebagian untuk keseluruhan) dan sinekdoks totem pro parte (menyebutkan keseluruhan untuk maksud sebagian) (Herman J. Waluyo, 2008: 100).
e) Ironi
Ironi adalah kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran. Ironi dapat berubah menjadi sinisme dan sarkasme, yakni penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik. Jika ironi harus mengatakan kebalikan dari apa yang hendak dikatakan, maka sinisme dan sarkasme tidak, tetapi ketiga-tiganya mempunyai maksud yang sama, yakni untuk memberikan kritik atau sindiran (Herman J. Waluyo, 2008: 101).
f) Pelambang
Seperti halnya kiasan, pelambang digunakan penyair untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana sajak menjadi lebih jelas sehingga dapat menggugah hati pembaca.
Macam-macam lambang ditentukan oleh keadaan atau peristiwa itu. Ada lambang warna, lambang benda, lambang bunyi, lambang suasana (Herman J. Waluyo, 2008: 102).
63
Bab 4 P u i s i
(1) Lambang Warna
Warna mempunyai karakteristik watak tertentu. Banyak puisi yang menggunakan lambang warna untuk mengungkapkan perasaan penyair, misalnya warna hitam melambangkan kesedihan, warna putih melambangkan kesucian, warna kuning melambangkan kesetiaan, warna biru melambangkan harapan (Herman J Waluyo,2008:102).
(2) Lambang Benda
Nama benda dalam sebuah puisi digunakan untuk menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan oleh penyair. Dalam kehidupan sehari-hari, dapat dijumpai gambar garuda yang digunakan sebagai lambang persatuan Indonesia, dan sebagainya (Herman J Waluyo, 2008:103).
(3) Lambang Bunyi
Bunyi yang diciptakan oleh penyair juga melambangkan perasaan tertentu.
Perbedaan bunyi-bunyi akan menciptakan suasana yang khusus dalam sebuah puisi.
Penggunaan bunyi sebagai lambang ini erat hubungannya dengan rima. Di samping itu penggunaan lambang bunyi juga erat hubungannya dengan diksi. Waktu memilih kata-kata salah satu faktor yang diperhatikan adalah faktor bunyi yang padu (Herman J.
Waluyo, 2008: 104).
(4) Lambang Suasana
Suatu suasana dapat dilambangkan pula dengan suasana lain yang dipandang lebih konkret. Lambang suasana ini biasanya dilukiskan dalam kalimat atau alinea. Dengan demikian yang diwakili adalah suatu suasana dan bukan hanya peristiwa sepintas saja (Herman J. Waluyo, 2008: 105).
64
P u i s i Bab 4f. Verifikasi (Rima, Ritma dan Metrum) 1) Rima
Rima merupakan bunyi yang berselang atau berulang, baik dalam (kalimat) larik maupun pada akhir kalimat (larik) (Sutedjo Kasnadi, 2008: 108).
2) Ritma
Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan seperti tembang dalam tembang Jawa. Dalam tembang tersebut irama berupa pemotongan baris- baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur (Herman J. Waluyo, 2008: 110).
3) Metrum
Metrum merupakan tinggi rendahnya, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.