∷龇 鲲躜麽躞龉 鋈蹰黠 颥鳎筅 颥 躞黠 蚴鲟鼷鞫跤翊
昏奋鬣蟊孤丁§鬣蠡蓄J瑟嬲昏霉躐鑫汪翳爨鹦皤匿廴旬廴盛鑫洳昏蠡鑫0鑫脚翳翳鼠H夥霄羼掩蠡籀s缁鑫聱盎敲 醪羼廴魏濠擗氍嬲醪鼷廴0匕邋羼湖睇邋啜飕羼猢鑫廴愚镘盎N醪U弼醪蟊滠擗盘酹髯V⑨
狒:氡觳 够甘重珥№ ,钾燕t飘 泓(05噫魂)礤了7翟$胛 F拟 .蛴8饣罅 媾鑫瀑蝴裰rb鑫乎u 细ttp∶ 喁喇Ⅶ″,bpdas弘 器F搪Q∶oF。i碰
∷
虹魔
p0鼠
盎N
∷蹈宫湖恿T(∶∶)R售闷4(:氵 ¤胤
N遘
Ⅴ巍辶Ui谚导k$恩DA曦
武戚H路
A泗J:泯 ¤盘槲 钺 N戚汛 廴0NG$0RT撼 HuN2o咽 3
鼬
Nd蝴
限U” ∶盯医$搬U盛隰备2o哺磉Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013 iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... 2
1.3. Manfaat ... 2
1.4. Sasaran Lokasi ... 3
1.5. Batasan Istilah ... 3
BAB II TEKNIK PELAKSANAAN ... 12
2.1. Dasar Pelaksanaan ... 12
2.2. Unsur Pelaksana ... 12
2.3. Metode Pelaksanaan ... 13
2.2.1. Persiapan ... 13
2.2.2. Pelaksanaan ... 15
BAB III KEADAAN UMUM ... 18
3.1. Letak Luas ... 18
3.2. Topografi dan Kemiringan ... 20
3.3. Geologi Wilayah ... 23
3.4. Jenis Tanah ... 24
3.5. Iklim ... 26
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013 v
3.6. Hidrologi ... 28
3.7. Penutupan Lahan ... 33
3.8. Kondisi Lahan Kritis ... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37
4.1. Kejadian Banjir di Wilayah BPDAS Barito ... 38
4.2. Penanggulangan Banjir ... 45
4.3. Usaha-Usaha Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Barito Dalam Menanggulangi Banjir ... 47
4.4 Tanah Longsor ... 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
6.1. Kesimpulan ... 52
6.2. Saran ... 53 LAMPIRAN
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013 vi
DAFTAR TABEL
1. Tabel 3.1. Luas Wilayah Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Kalimantan Selatan ... 19 2. Tabel 3.2. Luas Wilayah Menurut Kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah Pada DAS Barito Hulu. ... 20 3. Tabel 3.3. Data Kemiringan Lereng Provinsi Kalimantan Selatan ... 21 4. Tabel 3.4. Data Kemiringan Lereng di Provinsi Kalimantan Tengah Pada DAS Barito Hulu ... 22 5. Tabel 3.5. Jenis Tanah di Provinsi Kalimantan Selatan... 25 6. Tabel 3.6. Kondisi Hidroklimatologi Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2002 – 2006 ... 26 7. Tabel 3.7. Pembagian SWS Barito dan SWS Cengal-Batulicin
Provinsi Kalimantan Selatan ... 29 8. Tabel 3.8. Sungai di Wilayah Kalimantan Selatan ... 30 9. Tabel 3.9. Pembagian SWS DAS Barito Hulu ... 32 10. Tabel 3.10. Kondisi Penutup Lahan Wilayah BPDAS Barito
Tahun 2011 ... 34 11. Tabel 3.11. Perubahan Kondisi Kekritisan Lahan di Wilayah
BPDAS Barito sejak Tahun 2003 – 2009 ... 34 12. Tabel 3.12. Tingkat Kekritisan Lahan Wilayah
BPDAS Barito Tahun 2009 ... 36 12. Tabel 4.1. Kekritisan Lahan Sub Sub DAS Riam Kiwa
hasil Review Tahun 2009 ... 40
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013 vii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1. Diagram Alir Kegiatan ... 17
2. Gambar 4.1. Pergerakan luapan air dari Sungai Riam Kiwa... 40
3. Gambar 4.2. Kondisi Kekritisan lahan di hulu sub sub DAS Riam Kiwa ... 41
4. Gambar 4.3. Perubahan penggunaan lahan dari areal berhutan ke tidak berhutan ... 41
5. Gambar 4.4. Lokasi desa alat seberang ... 42
6. Gambar 4.5. Keadaan morfologi ... 42
7. Gambar 4.6. Penutupan lahan sub DAS Riam Kiwa ... 43
8. Gambar 4.7. Peta Perubahan Lahan 2003-2009 DAS Satui Kab. Tanah bumbu ... 45
9. Gambar 4.8. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sehat ... 49
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Daerah aliran sungai (DAS) dapat dipandang sebagai sistem alami yang menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang kompleks. Proses- proses biofisik hidrologis DAS merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi atau yang dikenal sebagai siklus air. Sedang kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat merupakan bentuk intervensi manusia terhadap sistem alami DAS, seperti pengembangan lahan kawasan budidaya.
Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan atas sumberdaya alam (air, tanah, dan hutan) yang disebabkan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang membawa akibat pada perubahan kondisi tata air DAS.
Setiap tahun wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito selalu dilanda bencana alam, baik berupa banjir, kekeringan dan angin ribut, disamping terdapat pula bencana alam lain berupa abrasi sampai kebakaran, baik kebakaran hutan maupun kebakaran rumah dan lain-lain. Bencana alam tersebut selalu menimbulkan korban jiwa maupun harta benda yang tidak sedikit jumlahnya.
Proses alam yang sering terjadi di wilayah DAS Barito banyak dipicu oleh aktivitas manusia terutama banjir. Bencana banjir yang terjadi di daerah hilir sangat terkait dengan aktivitas penggunaan lahan yang terjadi di daerah hulu.
Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa semakin intensif terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi lahan permukiman dan aktivitas lainnya di bagian hulu menyebabkan semakin tinggi tingkat bahaya banjir yang terjadi di bagian
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
hilir. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di bagian hulu menyebabkan daerah resapan berkurang sehingga air hujan yang jatuh banyak menjadi air limpasan (overland flow) dan ini akan menjadi penyebab banjir yang berasal dari daerah hulu serta menyebabkan genangan di wilayah pantai/daerah hilir.
Mengingat kejadian bencana banjir di wilayah DAS Barito termasuk sering terjadi sehingga menyebabkan banyak kerugian baik harta maupun nyawa manusia, maka perlu dilakukan kegiatan monitoring dan evaluasi daerah banjir. Diharapkan dengan kegiatan ini dapat diketahui data-data dan informasi kejadian banjir, dampak dan kerugian yang ditimbulkan baik jiwa maupun materi, sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan yang harus dilakukan.
1.2. Makasud dan Tujuan
Maksud dari kegiatan Monev kinerja DAS daerah banjir dan longsor adalah terdokumentasikannya data-data kegiatan pengelolaan DAS dan faktor penyebab banjir untuk pengendalian banjir dan longsor . Tujuannya monev ini adalah agar kegiatan pengendalian banjir dan longsor pada DAS prioritas dapat termonitor khususnya kinerja DAS dan dampak kerugian yang ditimbulkan, yang dapat digunakan sebagai dasar perencanaan pengelolaan dimasa yang akan datang.
1.3. Manfaat
Monitoring dan evaluasi banjir ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka menyusun kebijakan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penanganan bencana alam.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
2. Sebagai bahan untuk penyusunan penanganan bencana alam secara terpadu dan komprehensif.
1.4. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi monitoring dan evaluasi adalah wilayah kerja Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Barito yang secara administratif terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dan 4 kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah.
1.5. Batasan Istilah
1. Daerah Aliran Sungai (catchment area, watershed) adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
2. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis kedalam Sub DAS – Sub DAS.
3. Banjir adalah suatu aliran berlebih atau penggenangan yang datang dari sumber atau badan air lainnya dan menyebabkan atau mengancam kerusakan. Pembeda antara debit normal dan aliran banjir ditentukan oleh tinggi arus air dimana banjir ditunjukkan aliran air yang melampaui kapasitas tampung tebing/tanggul sungai sehiingga menggenangi daerah sekitarnya.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
4. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan kerugian harta benda dan dampak psikologis. (UU No. 24 Tahun 2007)
5. Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan angin topan dan tanah longsor. (UU No. 24 Tahun 2007)
6. Daerah Rawan Banjir adalah suatu daerah langganan banjir yang terletak di dataran rendah dan cekungan sehingga mudah digenangi air. Banjir bisa diakibatkan oleh hujan setempat (local flow) atau limpasan dari sungai yang terletak di dekatnya.
7. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah semua wilayah darat yang dibatasi oleh pemisah tofografi yakni punggung bukit yang menerima air hujan yang jatuh di atasnya dan mengalirkannya melalui sungai utama ke laut ataupun danau.
8. Daerah Tangkapan Air ( DTA ) atau Catchment Area adalah suatu wilayah daratan yang menerima air hujan, menampung dan mengalirkannya melalui satu outlet/tempat/peruntukan, misalnya Daerah Tangkapan Air sebuah Waduk (DTW).
9. Dataran Banjir (flood plain) adalah hamparan lahan yang terletak di sebelah kanan dan kiri sungai yang rentan terhadap banjir dengan besaran tertentu.
Umumnya yang digunakan sebagai dasar batas penentuan adalah besaran
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
banir dengan periode ulang (return period) 50 tahun.
10. Degradasi DAS adalah hilangnya nilai dengan waktu termasuk menurunnya potensi produksi lahan dan air yang diikuti tanda-tanda perubahan watak, hidrologi sistem sungai (kualitas, kuantitas, waktu aliran), yang akhirnya membawa percepatan degradasi ekologi, penurunan peluang ekonomi, dan peningkatan masalah sosial.
11. Degradasi lahan adalah penurunan atau kehilangan seluruh kapasitas alami untuk menghasilkan tanaman yang sehat dan bergizi sebagai akibat erosi, pembentukan lapisan padas (hardpan), dan akumulasi bahan kimia beracun (toxic), disamping penurunan fungsi sebagai media tata air.
12. Flood Warning and Forecasting System adalah suatu system yang dapat digunakan untuk memperkirakan tentang waktu dan besarnya banjir yang akan terjadi pada suatu titik pengamatan yang tercover di dalam sistem tersebut.
13. Hutan (Ekologik) suatu ekosistem yang dicirikan dengan suatu tajuk penutupan pepohonan yang lebih kurang rapat dan ekstensif, lebih khusus suatu komunitas tanaman yang utamanya terdiri dari pepohonan dan vegetasi berkayu lainnya, yang tumbuh lebih kurang bersama-sama secara erat biasanya paling tidak dengan 10% penutupan tajuk oleh pepohonan. (Roberston, 1971) 14. Hutan (Pengelolaan) suatu kawasan yang dikelola untuk produksi kayu
bangunan dan produk-produk hutan lainnya dan/atau yang dipertahankan di bawah vegetasi berkayu untuk kemanfaatan tidak langsung seperti perlindungan kawasan daerah penampung hujan atau rekreasi (Roberston, 1971).
15. Hutan (Hukum) suatu kawasan lahan yang dinyatakan menjadi hutan di bawah suatu undang-undang atau perundang-undangan hutan (Roberston,
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
1971)
16. Karakteristik DAS adalah gambaran spesifik mengenai DAS yang dicirikan parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometeri, topografi, tanah, geologi, vegetasi, penggunaan lahan, hidrologi dan manusia.
17. Karakteristik Lahan adalah suatu atribut lahan yang dapat diukur atau yang dapat dilakukan sebagai suatu cara memerikan kualitas lahan atau pembeda antara satuan lahan dari kesesuaian untuk penggunaan yang berlainan (FAO, 1976).
18. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (UU No.26 Tahun 2007).
19. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana (UU No.24 Tahun 2007).
20. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (UU No.24 Tahun 2007).
21. Konservasi adalah perlindungan, perbaikan dan pemakaian sumber daya alam menurut prinsip-prinsip yang akan menjamin keuntungan ekonomi atau sosial yang tertinggi secara lestari.
22. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatan secara bijaksana, bagi sumber daya terbaharui menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
23. Lahan adalah suatu kawasan dari permukaan bumi yang karakteristiknya mencakup semua yang stabil, atau daurnya dapat diramalkan, sifat-sifat
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
biosfer yang secara vertikal di atas dan di bawah kawasan ini mencakup sifat-sifat atmosfer, tanah dan geologi, hidrologi, tanaman dan populasi temak dan hasil- hasil kegiatan manusia di masa lampau dan pada saat ini yang sampai pada tingkat tertentu, sifat-sifat ini berpengaruh nyata terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat ini dan di masa-masa mendatang (FAO, 1976).
24. Lahan kritis / lahan tidak produktif adalah lahan yang kondisinya sedemikian rupa telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan.
Dengan demikian ditinjau dari segi hidrologis, ekonomis dan lingkungan dapat mengganggu kelangsungan pembangunan dalam suatu wilayah.
a. Segi hidrologis /tata air, berkaitan dengan penerapan teknis konservasi tanah yang mempengaruhi tata air, meliputi : jumlah air yang meresap (infiltrasi), debit sumber mata air dan air yang mengalir di permukaan tanah (run off).
b. Segi ekonomi, berkaitan dengan tingkat produktivitas lahan yang rendah bila dibandingkan dengan kemampuan lahan tersebut sebagai akibat terbatasnya tingkat kemampuan pemilikannya atau berkaitan dengan lahan-lahan yang kurang/tidak dimanfaatkan.
c. Segi lingkungan, berkaitan dengan semakin menurunnya kualitas sumber daya alam.
25. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No.24 Tahun 2007).
26. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai adalah penggunaan, pengaturan dan perilaku sumber daya hutan, tanah dan air suatu daerah aliran sungai untuk
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
mencapai tujuan tertentu.
27. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (UU No.24 Tahun 2007).
28. Pengendalian Banjir (flood control) adalah rangkaian kegiatan pengoperasian bangunan-bangunan pengendali banjir yang ditujukan untuk mengurangi atau meminimalkan kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh banjir dengan cara mengalihkan aliran banjir.
29. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan utnuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana (UU No.24 Tahun 2004).
30. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi ataupun komponen lain dalam lingkungan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas lingkungan menurun sampai pada tingkat yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
31. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Peraturan Menteri Kehutanan No.P.26 Tahun 2006).
32. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup.
33. Penggunaan lahan adalah suatu ungkapan yang dilakukan dalam suatu artian umum untuk mengacu kepada berbagai bentuk penggunaan lahan oleh manusia, dalam konteks yang tidak membawakan konotasi teknis dari tipe penggunaan lahan (FAO, 1976).
34. Pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam membangun, menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan guna meningkatkan mutu hidup.
35. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan serta pemulihan prasarana dan sarana (UU No.24 Tahun2007).
36. Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (UU No.24 Tahun2007).
37. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana (UU No.24 Tahun 2007).
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
38. Rehabilitasi lahan adalah salah satu aspek konservasi tanah yang bertujuan untuk memulihkan atau memperbaiki kembali keadaan lahan kritis sehingga dapat berfungsi sebagai media produksi dan tata air yang baik.
39. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No.24 Tahun 2007).
40. Siaga Banjir adalah suatu kondisi dimana pada kondisi/elevasi/ketinggian tersebut banjir menunjukkan kecenderungan untuk naik dan diperkirakan akan membahayakan penduduk di wilayah tersebut. Pada kondisi tersebut petugas banjir harus siap siaga untuk mengahadapi hal-hal yang kemungkinan akan terjadi yang diakibatkan oleh banjir.
41. Tata Air DAS adalah hubungan kesatuan individual unsur-unsur hidrologis yang meliputi hujan, aliran sungai, peresapan dan evapotranspirasi dan unsur lainnya yang mempengaruhi neraca air suatu DAS.
42. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional (UU No.26 Tahun 2007).
43. Wilayah Sungai (WS) adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalma satu atau lebih DAS dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 Km2 (Peraturan Menteri Kehutanan No.P.26 Tahun 2006).
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
44. Monitoring dan evaluasi DAS dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
menyeluruh mengenai perkembangan keragaan DAS, yang ditekankan pada aspek penggunaan lahan, tata air, sosial ekonomi dan kelembagaan.
45. Monev kinerja DAS adalah kegiatan pengamatan dan analisis data dan
fakta yang dilakukan secara sederhana, praktis, terukur, dan mudah dipahami terhadap kriteria dan indikator kinerja DAS dari aspek/kriteria pengelolaan lahan, tata air, sosial, ekonomi, dan kelembagaan, sehingga
“status” atau “tingkat kesehatan” suatu DAS dapat ditentukan.
46. Monev penggunaan lahan dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
mengenai perubahan jenis, pengunaan, pengelolaan lahan, tingkat kesesuaian penggunaan lahan dan erosi pada suatu DAS/Sub DAS, yang bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi lahan terutama menyangkut kecenderungan degradasi lahan.
47. Monev tata air dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran air dari DAS/Sub DAS bersangkutan setelah dilaksanakan kegiatan pengelolaan DAS.
48. Monev sosial ekonomi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang
pengaruh dan hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekonomi dengan kondisi sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi ) di dalam DAS/Sub DAS, yang bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi sosial ekonomi sebelum dan setelah dilaksanakan kegiatan pengelolaan DAS.
49. Monev kelembagaan pengelolaan DAS dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan dan kemandirian masyarakat serta tingkat intervensi pemerintah dalam kegiatan pengelolaan DAS.
12
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir di Wilayah Kerja BPDAS Barito
BAB II TEKNIK PELAKSANAAN
2.1. Dasar Pelaksanaan
Dasar pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi daerah banjir ini adalah:
1. Daftar Isian Pelaksanaan (DIPA) Nomor : 0300/029-04.2.01/18/2011 tanggal 9 Desember 2011 Balai Pengelolaan DAS Barito tahun anggaran 2012.
2. Surat Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan Sosial No. S.115/V-DAS/2011.
2.2. Unsur Pelaksanaan
Dalam rangka Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir di Wilayah Kerja BPDAS Barito pada dasarnya diperlukan adanya tim pelaksana. Unsur pelaksana utama dalam keanggotaan tim berasal dari personil Balai Pengelolaan DAS Barito. Adapun susunan tim pelaksana tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pengarah (Kepala Balai Pengelolaan DAS Barito) 2. Penanggung Jawab ( Kepala Seksi Evaluasi BPDAS Barito) 3. Anggota ( Staf Balai Pengelolaan DAS Barito )
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
2.3. Metode Pelaksanaan
Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir di Wilayah Kerja BPDAS Barito secara umum dilakukan melalui beberapa pendekatan dan metodologi, yaitu metode pemetaan, analisa spasial, tabular, dan pendekatan deskriptif. Diagram alir kegiatan dapat dilihat pada Gambar 2.1.
dan tahapan kegiatan dapat diuraikan sebagai berikut:
2.3.1. Persiapan
a. Pembuatan Rencana Kerja
Rencana Kerja disusun disesuaikan dengan ruang lingkup kegiatan monitoring dan evaluasi daerah banjir. Rencana kerja digunakan sebagai pedoman / acuan bagi pelaksana kegiatan monitoring dan evaluasi daerah banjir agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan harapan.
b. Bahan dan Peralatan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan ini adalah sebagai berikut:
a) Peta Rupa Bumi skala 1 : 50.000 b) Peta Geologi
c) Peta Lahan Kritis
d) Peta Penutupan/Penggunaan Lahan e) Peta Tanah
f) Peta Lereng
g) Perangkat Komputer
h) Perangkat Lunak Arc-View 3.3.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
i) Global Positioning System (GPS) j) Kamera Digital
k) Kertas HVS, Alat tulis l) Blanko isian (kuisioner) c. Pembuatan Blanko Isian
Blanko isian digunakan untuk membantu kegiatan wawancara dan pengamatan langsung di lapangan, sehingga data-data yang diinginkan dapat terserap secara optimal.
d. Pertemuan dan Pengarahan
Dalam rangka memberikan arahan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi daerah banjir, maka perlu diadakan pertemuan dan pengarahan dengan maksud memberikan bekal dan persamaan persepsi dalam melaksanakan kegiatan tersebut.
e. Persiapan Administrasi
- Mempersiapkan Surat Pengantar kepada instansi terkait
- Mempersiapkan Surat Perintah Tugas (SPT) dari Kepala BPDAS Barito
- Mempersiapkan SPPD dan kelengkapannya.
- Lain-lain yang diperlukan
f. Studi Pustaka
Mempelajari berbagai laporan, pedoman/petunjuk teknis, buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi daerah banjir.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
2.3.2. Pelaksanaan
a. Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara di lapangan dengan masyarakat/aparat daerah setempat, meliputi:
- Data iklim meliputi curah hujan rata-rata tahunan.
- Data hidrologi meliputi batas genangan, lama genangan, tinggi genangan, frekuensi banjir, sumber banjir.
- Data tanah terutama tekstur.
- Data geomorfologi, meliputi bentuklahan, kemiringan lereng, serta proses yang dominan.
- Data sosial ekonomi meliputi bentuk dan orientasi penggunaan lahan, jumlah penduduk, serta luas penggunaan lahan yang rawan terhadap bencana alam.
- Dokumentasi lapangan, berupa foto-foto lapangan b. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dapat diperoleh di Instansi terkait (Kantor Koordinator Satuan Kerja Sementara Pengendali Banjir dan Pengamanan Pantai Prov. Kalsel) meliputi laporan kejadian banjir serta kerugiannya. Data Curah Hujan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Stasiun Banjarbaru.
c. Pengolahan Data
Data dan informasi mengenai kejadian banjir yang terkumpul diolah, ditabulasi untuk kemudian dianalisa.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
d. Analisa dan Evaluasi
Analisa dilakukan menyeluruh terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya banjir seperti hujan, karakteristik sungai, karakteristik DAS, erosi dan sedimentasi, kemiringan lereng, drainase, perubahan penggunaan lahan dan lain-lain. Untuk keperluan analisis rawan banjir diperlukan dukungan data kondisi penutupan lahan bagian hulu, kapasitas saluran sungai dan debit sungai, baik debit rata-rata maupun debit puncak. Hal ini untuk mengetahui kemampuan sungai untuk mengalirkan airnya ke muara. Di samping itu, perlu pula data periode ulang banjir yang terjadi. Dengan melimpahnya air dari saluran sungai maka lahan yang cekung akan tergenang. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis bentuk lahan, sehingga dapat diketahui daerah-daerah yang rawan terhadap penggenangan. Di sisi lain pasang surut juga menjadi rawan bencana bagi DAS bagian hilir.
Evaluasi dilakukan untuk menemukan akar permasalahan penyebab banjir untuk kemudian dapat ditentukan upaya-upaya yang harus dilakukan baik pencegahan sebelum kejadian, penanganan saat kejadian maupun penanganan sesudah kejadian.
e. Pemetaan Hasil Monitoring dan Evaluasi Kejadian Banjir
Hasil analisa dan evaluasi kejadian banjir dituangkan dalam peta kejadian banjir sehingga lokasi kejadian dapat diketahui secara keruangan.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
Gambar 2.1. Diagram Alur Kegiatan
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor Tahun 2013
BAB III KEADAAN UMUM 3.1. Letak dan Luas
Wilayah Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Barito secara hidrologis terdapat di 2 (dua) provinsi yaitu bagian tengah dan hilir terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan dan bagian hulunya terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah.
Secara geografis Provinsi Kalimantan Selatan terletak antara 1140 20’
49,2”–1160 32’ 43,4’’ Bujur Timur dan 10 21’ 47,88’’ – 40 56’ 31,56” Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Provinsi Kalimantan Timur Sebelah Selatan : Laut Jawa
Sebelah Barat : Kalimantan Tengah Sebelah Timur : Selat Makasar
Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas wilayah daratan dan laut sepanjang 12 mil laut mempunyai luas total 4.987.899 Ha, yang terdiri dari luas wilayah dataran dan perairan darat sebesar 3.753.052 Ha (dengan Luas perairan darat sebesar 29.996 Ha) dan luas perairan laut sejauh 12 mil sebesar 1.234.847 Ha, yang terbagi menjadi 11 kabupaten dan 2 kota dengan Kota Banjarmasin sebagai ibukota Provinsi sekaligus pusat pemerintahan.
Secara rinci luas Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan kabupaten/kota disajikan pada Tabel 3.1.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Tabel 3.1.Luas Wilayah Menurut Kabupaten / Kota Provinsi Kalimantan Selatan
No Kabupaten /
Kota Ibukota
Luas (Ha)
Luas Total (Ha) Daratan Laut*
4 mil 12 mil
1. Tanah Laut Pelaihari 372.930 104.000 - 476.930
2. Kotabaru Kotabaru 942.273 361.800 - 1.304.073
3. Tanah Bumbu Batulicin 506.696 50.000 - 556.696
4. Banjar Martapura 471.097 - - 471.097
5. Barito Kuala Marabahan 237.622 11.300 - 248.922
6. Tapin Rantau 217.495 - - 217.495
7. Hulu Sungai
Selatan Kandangan 180.494 - - 180.494
8. Hulu Sungai
Tengah Barabai
147.200 - - 147.200
9. Hulu Sungai
Utara Amuntai 95.125 - - 95.125
10. Balangan Paringin
181.975 - - 181.975
11. Tabalong Tanjung
359.995 - - 359.995
12. Banjarmasin Banjarmasin 7.267 - - 7.267
13. Banjarbaru Banjarbaru
32.883 - - 32.883
Kalimantan Selatan 3.753.052 - - 4.280.152
Sumber : Kalimantan Selatan dalam Angka, 2006
Hasil Perhitungan Revisi RTRWP Kalimantan Selatan, 2004
Bagian Hulu Wilayah BPDAS Barito (DAS Barito Hulu) terletak di Provinsi Kalimantan Tengah yang meliputi 4 (empat) kabupaten, yaitu Murung Raya, Barito Utara, Barito Selatan dan Barito Timur. Secara geografis DAS hulu terletak antara 113°15’ BT - 115°45’ BT dan 0°45’ - 2°45’ dengan luas 4.377.079,13 Ha atau 43.770,8 Km2 . Secara hidrologis DAS Barito Hulu berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Provinsi Kalimantan Barat Sebelah Selatan : DAS Barito Hilir
Sebelah Barat : DAS Kapuas
Sebelah Timur : Provinsi Kalimantan Timur
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Secara admistratif luas wilayah DAS Barito Hulu dirinci pada Tabel 3.2. sebagai berikut:
Tabel 3.2. Luas Wilayah Menurut Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah Pada DAS Barito Hulu.
No Kabupaten Ibukota Luas (Ha) Presentase (%)
1 Murung Raya Puruk Cahu 2.370.000 53,06
2 Barito Utara Muarateweh 830.000 18,58
3 Barito Timur Tamiang Layang 383.400 8,58
4 Barito Selatan Buntok 883.000 19,77
Total 4.466.400 100
Sumber : Kalimantan Tengah dalam Angka, 2003
3.2. Topografi dan Kemiringan Lereng
Sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai ketinggian di bawah 100 meter dari permukaan air laut (dpal). Kemiringan lahan di wilayah Kalimantan Selatan dapat dibedakan :
Daerah datar (0 - 8 %) meliputi areal seluas 990.493,298 Ha atau 26,392
% dari seluruh luas daratan yang ada tersebar di sepanjang pantai timur dan selatan, sepanjang aliran sungai Barito dan sungai-sungai lainnya.
Daerah landai (8 - 15 %) meliputi areal seluas 645.772,865 Ha atau
17,207 % dari seluruh areal yang ada tersebut di daerah antara pegunungan Meratus dengan sungai Barito, di bagian barat dan pantai timur dan dengan pantai selatan.
Daerah agak curam (15 - 25 %) meliputi areal seluas 1.076.184,531 Ha
atau 28,675 % dari seluruh luas daratan yang ada tersebar di sebelah timur dan selatan mendekati pegunungan Meratus.
Daerah curam (25 - 45 %) meliputi areal seluas 706.329,785 Ha atau 18,820 % dari luas daratan yang ada.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Daerah sangat curam (> 45 %) meliputi areal seluas 334.271,521 Ha
atau 8,907 % dari luas daratan yang ada. Daerah ini merupakan punggung-punggung pegunungan Meratus dan bagian bahu dari sungai- sungai yang ada.
Secara lebih lengkap data kemiringan lereng di Provinsi Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Data Kemiringan Lereng di Provinsi Kalimantan Selatan
No Kelas
Kemiringan Lereng (%)i Luas Presentase
Lereng (Ha) (%)
1 I Datar (0 - 8%) 990.493,298 26,392
2 II Landai ( 8 - 15%) 645.772,865 17,207
3 III Agak Curam (15 - 25%) 1.076.184,531 28,675
4 IV Curam (25 - 40%) 706.329,785 18,820
5 V Curam Sekali (> 40%) 334.271,521 8,907
Total 3.753.052,000 100
Sumber : Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Barito
Bagian hulu yang merupakan wilayah Provinsi Kalimantan Tengah didominasi oleh morfologi perbukitan. Semakin ke utara, tepatnya di Kabupaten Murung Raya daerahnya semakin tinggi karena berupa perbukitan lipatan dan patahan yang dikelilingi oleh hamparan Pegunungan Muller/Schwaner.
Kabupaten Murung Raya sebagian besar (72%) dari luasnya berada pada ketinggian 500 – 1000 m dpal. Bagian wilayah dengan lereng atau kemiringan 0 - 2 % terdapat di bagian selatan tepi sungai Barito, bagian wilayah dengan kemiringan 2 -15% tersebar di semua kecamatan seluas 1.785 Km 2 (21,94% ), bagian wilayah dengan kemiringan 15 - 40% tersebar di semua kecamatan seluas 4.275 Km 2 ( 52,55% ) dan wilayah di atas 40% seluas 2.075 Km2 (25,51% ).
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Wilayah Barito Utara meliputi pedalaman DAS Barito yang terletak pada ketinggian sekitar 200-1.730 m dari permukaan laut. Bagian selatan merupakan dataran rendah dan bagian utara merupakan dataran tinggi dan pegunungan.
Puncak gunung terdapat di sepanjang perbatasan wilayah dengan Kaltim yang merupakan jajaran pegunungan Muller. Sedangkan perbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur bagian selatan sebagian besar terdapat puncak bukit yang tidak terlalu tinggi dari jajaran pegunungan Meratus. Perbatasan dengan Provinsi Kalimantan Selatan berada disekitar Gunung Ketam, Gunung Tanggur dan Gunung Luang.
Sedangkan lebih ke arah selatan yang merupakan wilayah dari Kabupaten Barito Timur dan Barito Selatan kondisi fisiografinya sebagian besar berada di wilayah daratan dengan tingkat ketinggian antara 0 - 50 meter dpal dan tingkat kemiringan antara 0 - 8 %. Kabupaten Barito Selatan didominasi oleh dataran yang luas yang berupa rawa dan perbukitan yang curam.
Kabupaten Barito Timur didominasi dataran rendah dengan sedikit perbukitan.
Secara rinci pembagian kelas lereng pada wilayah DAS Barito dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Data Kemiringan Lereng di Provinsi Kalimantan Tengah Pada DAS Barito Hulu
No Kelas
Kemiringan Lereng (%) Luas Presentase
Lereng (Ha) (%)
1 I Datar (0 - 8%) 2.710.981,60 61,94
2 II Landai ( 8 - 15%) 721.735,76 16,49
3 III Agak Curam (15 - 25%) 585.462,07 13,38
4 IV Curam (25 - 45%) 286.905,58 6,55
5 V Curam Sekali (> 45%) 71.995,12 1,64
Total 4.377.080,13 100
Sumber : Data Raster SRTM
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
3.3. Geologi Wilayah
Kompleks batuan dasar Kalimantan di bagian barat dan tengah, termasuk Pegunungan Schwaner mewakili singkapan dasar benua terbesar di Indonesia. Batuan dasar adalah batu di dasar lapisan stratigrafi yang umunya lebih tua dari batuan atasnya.
Sebagian besar Kalimantan terdiri dari batuan yang keras dan agak keras, termasuk batuan Kuarter di jajaran Pegunungan Meratus, batuan vulkanik dan endapan Tersier. Kalimantan tidak memiliki gunung api yang aktif seperti di Pulau Sumatera dan Jawa, tetapi memiliki daerah batuan vulkanik yang tua yang kokoh di bagian barat daya dan bagian timur Kalimantan. Batuan vulkanik terbentuk sebagai hasil magma dari perut bumi yang mencapai permukaan dan kemudian membeku. Interaksi antara magma dan air tanah di bawah gunung api merupakan bagian penting dari proses utama pembentukan mineral seperti emas.
Suatu wilayah yang luas di bagian tengah, timur dan selatan Kalimantan tersusun dari batuan endapan seperti batu pasir dan batu sabak. Kebanyakan formasi sedimen ini banyak mengandung batu bara dan batuan yang mengandung minyak bumi. Bagian selatan Kalimantan terutama tersusun dari pasir keras yang renggang dan teras kerikil yang sering dilapisi oleh timbunan gambut muda yang dangkal dan kipas aluvial yang tertimbun karena luapan sungai.
Secara lebih jelasnya keadaan geologi wilayah Kalimantan Selatan tersusun dari berbagai satuan batuan/litologi yang dikelompokkan dalam beberapa kelompok/formasi, urutan dari tua ke muda adalah sebagai berikut:
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Kelompok batuan Pra Tersier, yang terbentuk pada zaman Mesozoikum terdiri dari batuan granit, granodiorit, gabro, diabas, batuan ultramafik sekis, batuan sedimen dan metasedimen, memperlihatkan indikasi mineralisasi bijih/ore. Formasi ini mendominasi di sepanjang pegunungan Meratus.
Kelompok batuan tersier, yang terbentuk pada zaman Kenozoikum (Eosen- Plitosen), terdiri dari formasi tanjung, berai, warukun, dahor. Merupakan batuan sedimen yang mendominasi hamparan berbentuk perbukitan dan memberikan kontribusi bahan galian batubara dan batu gamping yang sangat potensial. Formasi ini mendominasi di bagian sayap barat dan timur pegunungan Meratus.
Kelompok Aluvial, dikenal sebagai satuan batuan dari hasil endapan sungai purba dan berbentuk undak serta tersebar dan sebagian menutupi batuan yang lebih tua. Formasi ini mendominasi kawasan di sebelah barat pegunungan Meratus.
3.4. Jenis Tanah
Jenis tanah di Provinsi Kalimantan Selatan didominasi oleh Aluvial, Podsolik Merah Kuning (PMK) dan Organosol. Tanah yang khas di daerah ini adalah tanah Organosol, biasa disebut tanah gambut. Tanah ini merupakan golongan tanah yang tersusun dari bahan organik atau campuran bahan mineral dan bahan organik setebal paling sedikit 50 cm mengandung paling sedikit 39% bahan organik (bila liat) atau 20% (bila berpasir). Kepadatan atau bulk density kurang dari 0,6 dan selalu jenuh air. Tanah ini mudah mengerut tak balik, dan bila kering peka erosi dan mudah terbakar. Data Luas dan jenis tanah di Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 3.5. sebagai berikut :
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Tabel 3.5. Jenis Tanah di Provinsi Kalimantan Selatan
No Jenis Tanah Luas Persentase
(Ha) (%)
1 Aluvial 709.948,955 18,917
2 Komp. Podsolik Merah - Kuning Latosol - Litosol 590.405,526 15,731 3 Komp. Podsolik Merah - Kuning Laterik 531.319,369 14,157
4 Latosol 371.746,197 9,905
5 Organosol Glei Humus 633.502,039 16,880
6 Podsolik Merah Kuning 916.129,914 24,410
Total 3.753.052,00 100
Sumber : Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Barito
Secara umum jenis tanah yang dominan terdapat di Kabupaten Murung Raya terdiri dari 3 jenis yaitu : Podsolik seluas 30,17%, Oksisol (Laterik) seluas 61,98% dan Litosol seluas 7,85%. Jenis tanah Podsolik terdapat di Kecamatan Laung Tuhup, Murung, Tanah Siang, Permata Intan dan sedikit di Kecamatan Sumber Barito. Jenis tanah Oksisol (Laterik) banyak ditemukan di Kecamatan Sumber Barito dan sedikit di Kecamatan Tanah Siang. Sedangkan jenis tanah litosol hanya terdapat di Kecamatan Sumber Barito.sebanyak 57,69% dari jenis tanah sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk perkebunan kelapa, kelapa sawit, karet, tanaman pangan, persawahan dan permukiman.
Sementara itu untuk jenis dan penamaan tanah dilakukan menurut sistem Soil Taxanomy (USDA, 1990) pada tingkat ordo tanah. Berdasarkan peta tanah tinjau skala 1 : 1.000.000 (Puslitanak, 2000) dan peta Land System dan Land Suitability skala 1 : 250.000 (RePPPort, 1985) di Kalimantan Tengah terdapat 8 (delapan) ordo tanah yang tersebar pada wilayah kabupaten/ kota yaitu terdiri dari Histosol, Entisol, Inceptisol, Ultisol, Oxisol, Alfisol, Mollisol, dan Spodosol. Untuk wilayah Kabupaten Barito Timur yang sebagian besar berada pada wilayah daratan dan perbukitan dengan tanah mineral, terutama tanah ordo ultisol, oxisol, alfisol, dan mollisol pada lahan kering sebagian besar telah
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian tanaman pangan (ladang) dan perkebunan (terutama kebun Karet dan Rotan). Kabupaten Barito Selatan mempunyai tanah yang hampir sama dengan Kabupaten Barito Timur.
Kabupeten Barito Utara memiliki tanah Regosol yang tersebar di daerah Selatan, Podsolik Merah Kuning dengan batuan induk dari batuan beku dan terdapat pada daerah perbukitan, Oksisol (Laterik) terdapat di bagian Utara dengan morfologi bergelombang hingga berbukit.
3.5. Iklim
Kalimantan Selatan beriklim tropis dengan temperatur udara maksimum 34,4 0C dan minimun 21,7 0C, kelembaban udara rata-rata antara 71 – 91 %, panjang penyinaran Matahari rata-rata 60 %. Pada bulan Januari -Februari bertiup angin barat sedangkan Juli-September bertiup angin tenggara.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Banjarbaru dengan stasiun meteorologi Syamsuddin Noor Banjarbaru, data hidroklimatologi rerata tahunan seperti disajikan pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Kondisi Hidroklimatologi Propinsi Kalimantan Selatan Tahun 2002 – 2006
Tahun
Curah Hujan ( mm )
Hari Hujan ( hari )
Kelembaban Udara ( RH ) ( % )
Temperatur (0C )
Kecepatan Angin ( Knot )
Penyinaran Matahari
( jam )
2002 2532,0 228 86,0 26,4 3,6 131,0
2003 2644,8 206 81,9 26,5 5,2 92,4
2004 1947,6 168 80,0 26,8 5,0 110,2
2005 1814,4 163 77,6 27,2 4,5 111,9
2006 2769,6 144 79,0 27,0 4,9 146,0
Sumber : - Kota Banjarbaru dalam angka, 2002-2006 - Stasiun Meteorologi Syamsuddin Noor
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Iklim di wilayah Kalimantan Tengah atau daerah hulu mempunyai ciri yang hampir sama dengan di Kalimantan Selatan, yaitu iklim tropis lembab yang panas. Iklim ini dipengaruhi oleh musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Keadaan temperatur udara rata-rata maksimum lebih kurang 35°C dan minimum kurang lebih 20°C dengan kelembaban nisbi (RH) rata-rata 85 % pertahun. Karena secara geografis dilalui oleh garis khatulistiwa dan bercurah hujan tinggi. Menurut peta curah hujan Propinsi Kalimantan Tengah, Wilayah Kabupaten Barito Utara mempunyai curah hujan yang tertinggi diantara kabupaten-kabupaten lainnya, yaitu dari 3.000 mm/tahun dibagian selatan menjadi lebih dari 4.000 m/tahun dibagian utara.
Kondisi iklim Kabupaten Murung Raya adalah tropis lembab panas dengan suhu 26,5° C pada siang hari dan 23,2° C pada malam hari. Curah hujan rata-rata 2.909 mm/tahun dengan kelambapan nisbi 85%.
Kondisi iklim Kabupaten Barito Utara hampir sama dengan Kabupaten Murung Raya. Menurut Stasiun Meteorologi Beringin Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara mempunyai iklim lembab panas, dengan suhu maksimum 32° C pada siang hari dan minum 23° C pada malam hari, dengan kelambapan nisbi rata-rata 85%.
Iklim Kabupaten Barito Timur cenderung tropis dengan mendapat penyinaran matahari rata-rata 50% sepanjang tahun. Suhu udara cukup panas 34° C pada siang hari dan 23° C pada malam hari. Curah Hujan rata-rata relatif tinggi mencapai 197,67 mm/bulan.
Kabupaten Barito Selatan mempunyai iklim lembab panas dengan suhu rata-rata berkisar antara 21° C hingga 23° C. Curah hujan berkisar antara 3.000
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
mm/tahun hingga 3.500 mm/tahun dengan jumlah hujan rata-rata mencapai 114 hari/tahun
3.6. Hidrologi
Kalimantan Selatan yang mempunyai luasan 3.753.052 Ha, secara hidrologi memiliki 2 (dua) Satuan Wilayah Sungai (SWS), yaitu : SWS Barito seluas 1,887,935,3 Ha dan SWS Cengal–Batulicin seluas 1.865.116,7 Ha.
SWS Barito mempunyai Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito dan Kapuas di Kalimantan Tengah dan DAS Martapura, Riam Kanan dan Kiwa di Kalimantan Selatan. Anak-anak sungai Barito yang berada di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan adalah sungai Martapura, sungai Negara, sungai Batang Alai, sungai Amandit, sungai Tapin, sungai Balangan dan sungai Tabalong.
SWS Cengal–Batulicin adalah SWS yang merupakan gabungan beberapa sungai kecil di bagian timur Propinsi Kalimantan Selatan yang bermuara di laut Jawa dan selat Makasar, terdiri dari DAS Cengal, Sampanakan, Batulicin, Kusan dan Kintap. Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Pengelolaan DAS Barito, maka pembagian SWS Barito dan SWS Cengal–Batulicin disajikan pada Tabel 3.7.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Tabel 3.7. Pembagian SWS Barito dan SWS Cengal–Batulicin Provinsi Kalimantan Selatan
SWS DAS Area
Sub DAS Area
Sub - sub DAS
(Ha) (Ha)
1 2 3 4 5 6
1.SWS Barito
DAS Barito 1.887.935,3 Sub DAS 1.090.738,3
Sub-Sub DAS
Negara Tab. Kiwa
Sub-Sub DAS
Tab. Kanan
Sub-Sub DAS
Balangan
Sub-Sub DAS
Panggang
Sub-Sub DAS
Batang Alai
Sub-Sub DAS
Bahalayung
Sub-Sub DAS
Amandit
Sub-Sub DAS
Tapin
Sub DAS 463.348,9 Sub-Sub DAS
Martapura Riam Kiwa
Sub-Sub DAS
Alalak
Sub-Sub DAS
Riam Kanan
Sub DAS 109.600,7
Barito Tengah
Sub DAS 36.202,0
Barito Hulu
Sub DAS 188.045,4 Sub DAS
Barito Hilir Barito Hilir Ds
2.SWS Cengal -
Batulicin DAS Cengal 131.706,7
DAS Manunggul 51.625,2
DAS Sampanahan 178.738,4
DAS Cantung 344.477,1
DAS Batulicin 152.434,1
DAS Kusan 195.412,4
DAS Satui 176.984,0
DAS Kintap 74.004,1
DAS Tabunio 241.403,6
DAS Maluka 88.883,9
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
SWS DAS Area
Sub DAS Area
Sub - sub DAS
(Ha) (Ha)
1 2 3 4 5 6
DAS P. Laut 207.097,2 Sub DAS Sanggup 22.298,4
Sub DAS Bungur 25.367,0
Sub DAS Sejaka 26.507,3
Sub DAS Embung-
Embungan 51.895,4
Sub DAS Semaras 35,252,3
Sub DAS Sekojang 45.776,8
DAS P. Sebuku 22.349,9
Total 3.753.052 3.753.052
Sumber : BP DAS Barito Propinsi Kalimantan Selatan
Wilayah Kalimantan Selatan juga banyak dialiri sungai. Sungai tersebut antara lain Sungai Barito, Sungai Riam Kanan, Sungai Riam Kiwa, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, Sungai Tapin, Sungai Batulicin, Sungai Sampanahan, dan sebagainya. Umumnya sungai-sungai tersebut berpangkal pada Pegungungan Meratus dan bermuara di Laut Jawa dan Selat Makassar. Sungai mempunyai peran yang penting bagi masyarakat Kalimantan Selatan, sebagai jalur transportasi, dan sumber mata pencaharian, pengairan, MCK. Pusat-pusat perekonomian dan pemerintahan banyak tumbuh di samping sungai mengikuti alur sungai. Adapaun nama-nama sungai di Propinsi Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 3.8. sebagai berikut.
Tabel 3.8. Sungai di Wilayah Kalimantan Selatan
No Kabupaten/Kota Nama Sungai
1 Kotabaru Satui, Batu Laki, Sebamban, Kusan, Cantung, Bangkalan, Batulicin, Sampanahan, Manunggul, Cangal, Serongga, Sejakah, Bakambit, Sekonyang, Pasir, Ambungan, Sebati
2 Tanah Laut Maluka, Tabanio, Sebuhur, Sawarangan, Kintap, Asam-Asam, Cuka, Banyuhirang
3 HSS Negara, Angkinang, Amandit, Kajang 4 HST Batang Alai, Labuhan, Kasarangan
5 Banjarmasin Martapura
6 Banjar Martapura, Riam Kanan, Riam Kiwa, Mangkaok, Alalak, Paring, Apukan
7 Barito Kuala Barito, Kapuas, Alalak, Negara, Puntik, Drainase Tamban, Drainase Anjir Pasar, Drainase Tabukan, Drainase Tabunganen
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
8 Tapin Tapin, Negara, Bungur, Binuang, Tambarangan, Muning, Tatakan, Mangkaok
9 HSU Negara, Tabalong, Balangan, Awayan, Barito 10 Tabalong Tabalong, Kumap, Tabalong Kiwa, Ayup 11 Banjarbaru Tidak ada
Sumber : Kalselprov.go.id
Wilayah Kabupaten Murung Raya dilintasi oleh Sungai Barito dan beberapa cabang anak sungainya dengan panjang dan kedalaman dasar sungai sangat bervariasi. Sungai-sungai tersebut berfungsi sebagai urat nadi transportasi untuk angkutan barang dan penumpang di sebagian besar wilayah Kabupaten Murung Raya. Beberapa cabang atau anak sungai yang dapat dilayari yaitu : sungai Laung sepanjang 35,75 km, sungai Babuat sepanjang 29,25 km, sungai joloi sepanjang 40,75 km dan sungai Busang sepanjang 75,25 km. Kedalaman dasar berkisar antara 3-8 m dan lebar badan sungai lebih dari 25 m. Pembagian Sub DAS pada DAS Barito Hulu dapat dilihat pada Tabel 3.9.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Tabel 3.9. Pembagian SWS DAS Barito Hulu Sumber: Peta SRTM dan Analisa GIS
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
3.7. Penutupan Lahan / Penggunaan Lahan
Kondisi penutup lahan di di wilayah BPDAS Barito cukup bervariasi, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat ETM 7+ maka didapatkan beberapa kelas peggunaan lahan seperti yang tertera pada Tabel 3.10.
Hutan masih mendominasi wilayah SWP DAS Barito terutama di bagian hulu yang masuk daerah administrasi Provinsi Kalimantan Tengah. Daerah hulu ini tutupan masih bagus terutama di Kabupaten Murung Raya, namun demikian maraknya aktivitas pertambangan mengancam perubahan fungsi lahan di daerah hulu tersebut.
Pertumbuhan penduduk memicu terjadinya aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup. Karena di wilayah BPDAS Barito didominasi masyarakat pedesaan, maka luas areal untuk sektor pertanian cukup besar. Jenis penggunaan lahan adalah pertanian lahan kering, hal ini menyesuaikan dengan kondisi tanah yang didomonasi oleh podsolik merah kuning.
Pertambangan juga berkembang dengan pesat dari sekitar 63.046 Ha pada Tahun 2006 kini mencapai 67.567 Ha pada Tahun 2009 dan diperkirakan akan bertambah terus. Hal ini tentu saja perlu mendapat perhatian khusus agar tidak terus mengancam keberadaan hutan.
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Tabel 3.10. Kondisi Penutup Lahan / Penggunaan Lahan Wilayah DAS Barito Tahun 2013
No Penutup Lahan Luas (ha)
1 A Tubuh Air 96.739,15
2 Htn Hutan 3.688.450,92
3 Pk Perkebunan 546.352,16
4 Pm Pemukiman 44.719,45
5 Pt Pertanian lahan kering 3.273.349,66
6 Sw Sawah 336.865,03
7 Tb Tambang 71.073,74
8 Tm Tambak 23.293,63
9 Tr Transmigrasi 14.721,85
Total 8.095.565,59
3.8. Kondisi Lahan Kritis
Berdasarkan Peta Lahan Kritis Wilayah BPDAS Barito Tahun 2013 dapat disimpulkan daerah yang dikatakan kritis (agak kritis, kritis, sangat kritis) mengalami peningkatan sejak Tahun 2003 seperti dilihat pada Tabel 3.11.
sebagai berikut.
Tabel 3.11. Perubahan Lahan Kritis Wilayah Kerja BPDAS Barito tahun 2009 dan 2013
No. Kriteria Lahan Kritis
2009 2013
Luas (Ha) Luas (Ha)
1. Tidak Kritis 402.103,7 465.830,6
2. Potensial Kritis 3.769.951,7 3.845.023,4
3. Agak Kritis 2.651.505,8 2.563.563,3
4. Kritis 1.172.308,6 1.053.981,0
5. Sangat Kritis 113.598,8 181.070,4
Total 8.109.468,8 8.109.468,7
Sumber: BPDAS Barito tahun 2009 dan tahun 2013
Monitoring dan Evaluasi Daerah Banjir dan Tanah Longsor tahun 2013
Peningkatan kebutuhan hidup manusia memicu terjadinya pembukaan lahan yang secara tidak langsung akan merubah fungsi lahan. Hal ini bila tidak terkontrol akan mengakibatkan peningkatan degradasi lahan secara signifikan.
Hal - hal semacam ini yang akan memicu dan memperparah kejadian bencana alam terutama banjir. Berkurangnya penutupan lahan secara signifikan akan menambah banyak dan lajunya limpasan permukaan. Secara lebih lengkap kondisi kekritisan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.12.