• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manipulasi Agama dan Legalisasi Pernikahan di Bawah Umur di Indonesia

N/A
N/A
Edelweisse Dhian

Academic year: 2023

Membagikan "Manipulasi Agama dan Legalisasi Pernikahan di Bawah Umur di Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 7, No.1, Maret 2023

ISSN: 2549 – 3132; E-ISSN: 2549 – 3167 DOI: 10.22373/sjhk.v7i1.13316

Manipulasi Agama dan Legalisasi Pernikahan Di Bawah Umur

di Indonesia Qodariah Barkah

Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, Indonesia Cholidi Chalidi

Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, Indonesia Siti Rochmiyatun

Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, Indonesia Sulikah Asmorowati

Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia Henky Fernando

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia Email: [email protected]

Abstrak:Kasus pernikahan di bawah umur terus meningkat, didukung oleh hukum agama, dan diterima oleh umat Islam Indonesia.Untuk menganalisis fenomena tersebut, penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan penelusuran teks/argumen keagamaan.

Analisis dikonstruksi untuk menjelaskan hubungan antara praktik pernikahan dini dengan penggunaan teks Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber utama dalam hukum Islam.Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan tafsir ini turut melanggengkan praktik pernikahan di bawah umur, karena tidak hanya mengedepankan pemahaman parsial dan murni tekstual terhadap ajaran Islam mengenai pernikahan, namun juga mudah dimanipulasi untuk mendukung pandangan tertentu, sebagai bentuk manipulasi agama terhadap pernikahan di bawah umur. . Akibatnya, pernikahan diajarkan dan dipahami hanya dari sudut pandang doktrinal, tanpa mempertimbangkan kesehatan dan kesejahteraan pasangan suami istri.

Sebaliknya, penelitian ini merekomendasikan penggunaan pendekatan terpadu yang terus berupaya mencegah pernikahan di bawah umur, yang mampu memperoleh pemahaman komprehensif yang mengakui kepentingan seluruh pemangku kepentingan termasuk pasangan di bawah umur. Hanya dengan cara itulah pemahaman dan pengalaman agama secara komprehensif dapat diperoleh

Kata kunci: Pernikahan di bawah umur, manipulasi agama, naskh, Al-Qur'an, praktik keagamaan, masyarakat muslim

║Dikirim: 20 Mei 2022║Diterima: 27 Maret 2023║Diterbitkan: 31 Maret 2023 http://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/samarah

(2)

Abstrak:Perkawinan usia dini yang terus mengalami peningkatan jumlah kasus mendapat dukungan dari agama dan masyarakat Muslim di Indonesia. Untuk menganalisis fenomena tersebut penelitian ini merupakan kajian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan penelusuran teks/dalil agama. Analisis dibangun untuk menjelaskan hubungan antara praktik perkawinan usia dini dengan penggunaan nash al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber utama dalam hukum Islam. Melalui analisis data, penelitian ini menunjukkan adanya kontribusi nash agama terhadap pelanggengan perkawinan usia dini saat ini. Hal ini terjadi akibat adanya

pemahaman yang tekstual-parsial terhadap nash mengenai anjuran perkawinan.

Penggunaan nash yang cenderung dimanipulasi berdampak pada kepatuhan- kepatuhan atas perintah agama. Demikian pula, pemahaman yang tekstual-parsial berdampak pada pengamalan ajaran agama yang hanya mempertimbangkan satu sisi khususnya keagamaan, tanpa melihat dampak lain seperti jaminan

keselamatan bagi pasangan perkawinan usia dini. Studi ini menyarankan perlunya upaya-upaya terintegrasi untuk selain mencegah perkawinan usia dini terus terjadi, juga memberikan pemahaman terhadap ajaran agama secara komprehensif dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk pelaku perkawinan usia dini sehingga terbentuk pemahaman yang utuh mengenai pengamalam ajaran agama.

Kata Kunci:Perkawinan usia anak, manipulasi agama, nash, qur'an, praktik beragama, masyarakat muslim

Perkenalan

Pernikahan di bawah umur sudah menjadi praktik yang semakin umum di Indonesia.

Menurut data Badan Pusat Statistik,1Sumatera Selatan memiliki tingkat pernikahan di bawah umur tertinggi di Indonesia, dengan 13,5% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun; angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, yaitu 10,82%. Keadaan ini tidak lepas dari kesalahpahaman yang terus terjadinaskh(pencabutan teks agama untuk menyelesaikan kontradiksi) dan doktrin agama, yang menghasilkan pemahaman ajaran Islam yang parsial dan murni tekstual sehingga menghasilkan pendekatan yang salah terhadap praktik keagamaan.

Praktik pernikahan di bawah umur telah dilegitimasi melaluinaskhdan dibenarkan karena mencegah praktik-praktik menyimpang sepertizina(perbuatan zina).Namun pada saat yang sama, risiko yang ditanggung oleh pasangan di bawah umur diabaikan. Pernikahan di bawah umur secara signifikan dan

1Badan Pusat Statistik pada tahun 2019.

(3)

berdampak buruk terhadap kesehatan perempuan, dan angka kematian sangat tinggi di kalangan ibu muda (di bawah usia 20 tahun) dan anak-anak mereka.2

Banyak pakar yang menyelidiki pernikahan di bawah umur, “sering kali menyelidiki praktik tersebut dalam konteks penggunaannya untuk memenuhi harapan agama dengan mencegah godaan dan perilaku berdosa”3atau “konsekuensinya terhadap kesehatan.”4Sejumlah sarjana telah menyelidiki

“faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pernikahan di bawah umur”.5

“Dan kajian lainnya mengenai perkawinan anak dan potensi eksploitasinya”.6Kajian-kajian tersebut belum mengeksplorasi pernikahan di bawah umur sebagai praktik keagamaan yang dilatarbelakangi oleh pemahaman ajaran agama yang bersifat parsial dan tekstual. Oleh karena itu, artikel ini mengeksplorasi bagaimana agama dimanipulasi untuk membenarkan praktik pernikahan di bawah umur di Indonesia.

Artikel ini berupaya berkontribusi pada literatur dengan menyelidiki caranyanaskh digunakan di kalangan umat Islam Indonesia untuk membenarkan pernikahan di bawah umur. Penelitian ini berupaya memahami mengapa agama digunakan untuk membenarkan pernikahan di bawah umur, meskipun praktik tersebut memberikan dampak buruk bagi pihak-pihak yang terlibat (khususnya perempuan) dan mengancam kesejahteraan mereka. Secara lebih spesifik, artikel ini mengkaji tiga elemen penting dalam praktik pernikahan di bawah umur di kalangan umat Islam Indonesia.Pertama, penggunaan naskhuntuk melegitimasi praktik pernikahan tertentu; Hal ini erat kaitannya dengan kesalahpahaman masyarakat terhadap ajaran Islam tentang pernikahan.Kedua,

2Reni Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak Di Indonesia,”Jurnal Studi Pemuda, 2015; Riska Afriani dan Mufdlilah, “Analisis Dampak Pernikana Dini Pada Remaja Putri Di Desa Sidoluhur Kecamatan Godean Yogyakarta,”Rakernas Aipkema, (2016).

3Al-Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir Jawas, “Anjuran Untuk Menikah,” Almanhaj – Media Salafiyyah Ahlus Sunnah, (2013), https://almanhaj.or.id/12977-anjuran-untuk-menikah-2.html;

Afriani dan Mufdlilah, “Analisis Dampak Pernikana Dini Pada Remaja Putri Di Desa Sidoluhur Kecamatan Godean Yogyakarta”; Akhmad Farid Mawardi Sufyan, “Analisis Kritis Makna 'Al-Syabab' Dan 'Istitha'ah' Pada Hadits Anjuran Menikah,”Al-Ulum : Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Ke Islaman, (2017), Warsito Warsito, “Hadist Perintah Memperbanyak Keturunan Tinjuan Tekstual Dan Kontekstual Dalam Prespektif Ekonomi,”Riwayah : Jurnal Studi Hadis, (2018).

4

Badan Pusat Statistik, “Perkawinan Usia Anak Di Indonesia,”Jurnal Inggris Psikiatri

, 2017; Rina Yulianti, “Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Perkawinan Usia Dini,”

Jurnal Pamator

3, tidak. 1 (2010), Afriani dan Mufdlilah, “Analisis Dampak Pernikana Dini Pada Remaja Putri Di Desa Sidoluhur Kecamatan Godean Yogyakarta”; Kartikawati, “Dampak Perkawinan Anak Di Indonesia.”

5Ahmed Hamed dan Fouad Yousef, “Prevalensi, Bahaya Kesehatan dan Sosial, dan Sikap terhadap Pernikahan Dini pada Wanita Pernah Menikah, Sohag, Mesir Hulu,”Jurnal Asosiasi Kesehatan Masyarakat Mesir92, tidak. 4 (Desember 2017), Kasjim Salenda, “Penyalahgunaan Hukum Islam dan Pernikahan Anak di Sulawesi Selatan Indonesia,”Al-Jami'ah: Jurnal Kajian Islam, (2016), Eva F. Nisa, “Perempuan Muslim di Indonesia Kontemporer: Narasi yang Bertentangan Secara Online di Balik Kongres Perempuan Ulama,”Tinjauan Studi Asia43, tidak. 3 (Juli 2019), hal.

434–54

6Susanne Louis B. Mikhail, “Perkawinan Anak dan Prostitusi Anak: Dua Bentuk Eksploitasi Seksual,”

Gender dan Pembangunan

, (2002)

(4)

pemahaman masyarakat Muslim tentang 'ketaatan' dalam konteks doktrin agama, termasuk keyakinan bahwa pernikahan adalah sarana untuk menghindari godaan dan perilaku berdosa.Ketiga,legitimasi praktik keagamaan oleh lembaga

pemerintah, khususnya pengadilan (sebagai lembaga yang berwenang memutus perkara agama).

Pasal ini berangkat dari dalil bahwa pembenaran perkawinan di bawah umur melalui referensi agama (

dalil

) berakar pada kesalahpahaman atas referensi ini dan praktiknya

naskh

diri. Meskipun hal ini menimbulkan risiko yang signifikan bagi para

partisipannya, pernikahan di bawah umur telah disetujui oleh pemahaman umat Islam yang parsial dan tekstual terhadap ajaran agama serta dibenarkan oleh tradisi dan budaya. Oleh karena itu, sembari mengembangkan solusi komprehensif dan integral terhadap

pernikahan di bawah umur, kita juga perlu menantang pemahaman dan pandangan keliru para pemimpin agama mengenai praktik tersebut.

Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan di Palembang, Sumatera Selatan. Lokasi ini dipilih karena tiga alasan.Pertama, Palembang memiliki prevalensi pernikahan di bawah umur tertinggi di Indonesia.Kedua, masyarakat Palembang sangat bercirikan agama Islam, serta ketaatan pada tradisi; Kekuatan keimanan Islam mereka terlihat tidak hanya dalam praktik sehari- hari, namun juga dalam pakaian mereka.Ketiga,masyarakat Palestina mempunyai ikatan sejarah yang mendalam dengan berbagai budaya, yang kesemuanya mempengaruhi praktik mereka.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.7Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan penelusuran teks/argumen keagamaan.Analisis dilakukan berdasarkan data primer

dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Observasi terfokus pada praktik pernikahan di bawah umur di kalangan umat Islam di

Palembang, yang merupakan hal lumrah dalam kehidupan sehari-hari yang berakar pada ajaran para pemuka agama. Sedangkan wawancara dilakukan terhadap informan tokoh agama, adat (adat) para pemimpin, pejabat pemerintah, dan akademisi—untuk memperoleh informasi mengenai praktik pernikahan di bawah umur. Informan dipilih berdasarkan kompetensi spesifiknya, dan pernyataan mereka menjadi landasan penelitian ini. Data tambahan juga dikumpulkan melalui tinjauan literatur yang relevan, termasuk artikel akademis mengenai subjek tersebut serta teks-teks keagamaan (misalnya Al-Qur'an dan Hadits).

Data yang dikumpulkan selanjutnya dikategorikan berdasarkan

kecenderungannya, sehingga menghasilkan peta data relevan yang memungkinkan pengelolaan dan analisis lebih lanjut. Analisis dilakukan dengan pendekatan interpretatif, yang memungkinkan peneliti menjaga koherensi data. Untuk data yang dikumpulkan melalui wawancara, analisis dilakukan dalam tiga tahap: pernyataan kembali, deskripsi, dan

7Zainudin Ali,

Metode Penelitian Hukum,

Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

(5)

penafsiran. Penyajian ulang (restatement) dilakukan dengan pendekatan terhadap pernyataan informan berdasarkan sudut pandangnya sendiri. Sedangkan deskripsi digunakan untuk mengetahui kecenderungan pandangan dan sikap informan mengenai perkawinan di bawah umur. Interpretasi, pada akhirnya, melibatkan pemeriksaan mendalam terhadap hasil wawancara, sehingga menghasilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan kontekstual.8

Konseptualisasi Pernikahan Di Bawah Umur

Pernikahan di bawah umur mengacu pada pernikahan individu yang tidak siap, biasanya sebelum usia delapan belas tahun9atau usia dua puluh.10Pernikahan di bawah umur masih menjadi hal yang umum, meskipun dampak buruknya terhadap kesehatan cukup besar; pernikahan di bawah umur telah dikaitkan dengan peningkatan infeksi, pendarahan berlebihan, dan demam, serta berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, keguguran, dan kehamilan yang tidak diinginkan.11Pada saat yang sama, perkawinan di bawah umur juga diketahui berdampak pada kondisi mental, sosial, dan lingkungan tempat tinggal individu (terutama perempuan), sehingga berdampak pada kualitas hidup mereka.12dan kemampuan mereka untuk mewujudkan tujuan hidup mereka.13Tingkat perceraian juga lebih tinggi pada pasangan yang menikah di bawah umur,14Demikian pula, Duman dkk. menyadari bahwa pernikahan di bawah umur berdampak buruk

8Henky Fernando, dkk., “Diseminasi Simbolik: Makna Korupsi Dalam Media Sosial Instagram,"Bricolage : Jurnal Magister Ilmu Komunikasi8, tidak. 1 (2022), hal. 79

9Naresh Manandhar dan Sunil Kumar Joshi, “Kesehatan Ko-Morbiditas dan Pernikahan Dini pada Wanita di Daerah Pedesaan Nepal: Studi Deskriptif Cross-Sectional,”

Jurnal Asosiasi Medis Nepal

, 2020, Minale Bezie dan Dagne Addisu, “Penentu Pernikahan Dini pada Wanita Menikah di Kota Injibara, Ethiopia Barat Laut: Studi Cross-Sectional Berbasis Komunitas,”

Kesehatan Wanita BMC

, 2019, Lauren Rumble dkk., “Eksplorasi Empiris Penentu Perkawinan Anak Perempuan di Indonesia,”

Kesehatan Masyarakat BMC

18, tidak. 1 (2018), hal. 407.

10Nurma Fuji Astutik dan Ira Nurmala, “Hubungan Faktor Individu, dan Sosial

Faktor Niat Ibu Melanjutkan Tradisi Pernikahan Dini di Indonesia,”Jurnal Kedokteran Forensik dan Toksikologi India, (2020).

11Rosmala Nur dkk., “Perkawinan Usia Dini dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Reproduksi Wanita,”Jurnal Teknik dan Ilmu Terapan, (2019).

12Nur Laily et al., “Perbedaan Pengaruh Kualitas Hidup Terhadap Perkawinan Kepuasan pada Wanita Pernikahan Dini dan Bukan Pernikahan Dini,”Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat India, 2018, Ahmed F. Hamed dan Fouad MA Yousef,

“Prevalensi, Bahaya Kesehatan dan Sosial, dan Sikap terhadap Pernikahan Dini pada Wanita Pernah Menikah, Sohag, Mesir Hulu,”Jurnal Asosiasi Kesehatan Masyarakat Mesir, (2017), Astutik dan Nurmala, “Hubungan Faktor Individu, dan Faktor Sosial dengan Niat Ibu Melanjutkan Tradisi Pernikahan Dini di Indonesia.”

13Laily et al., “Perbedaan Pengaruh Kualitas Hidup Terhadap Kepuasan Pernikahan pada Wanita Pernikahan Dini dan Bukan Pernikahan Dini.”

14Adugnaw Zeleke Alem dkk., “Distribusi Spasial dan Faktor Penentu Pernikahan Dini pada Wanita Menikah di Ethiopia: Analisis Spasial dan Multilevel,”Kesehatan Wanita BMC, 2020, Trivanie Erlim Putri dan Dwini Handayani, “Investasi Kesehatan Anak di Usia Dini

(6)

dampaknya terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, karena ibu-ibu muda mempunyai pengetahuan yang terbatas mengenai layanan kesehatan dan pengasuhan anak, sehingga hanya mengetahui sedikit tentang imunisasi dan menyusui.15Oleh karena itu, Putri dan Handayani

mengidentifikasi pernikahan di bawah umur sebagai pelecehan anak,16Demikian pula, Masruroh dkk.

menggambarkan pernikahan di bawah umur sebagai hambatan utama bagi pembangunan manusia.17

Masruroh & Wijaya berpendapat bahwa setiap upaya pencegahan pernikahan di bawah umur harus melibatkan tiga unsur: a) sosialisasi dan pemberdayaan, untuk memastikan remaja tetap lebih fokus pada pendidikan dan masa depan mereka; b) bimbingan, untuk menanamkan pada diri remaja keinginan untuk berpartisipasi dalam proses pemberdayaan; dan c) pembentukan kelompok masyarakat untuk membimbing remaja dan menyediakan tempat bagi mereka untuk beraktivitas.18

Sementara itu, di tingkat kebijakan, prevalensi pernikahan di bawah umur dapat dikurangi dengan merevisi, memantau, dan mengevaluasi usia minimum yang sah untuk menikah.19

Karena legitimasi perkawinan di bawah umur didukung oleh keyakinan masyarakat bahwa praktik tersebut wajar dan bahkan diinginkan, maka penting juga untuk menciptakan kesadaran hukum, politik, dan sosial akan pentingnya mencegah perkawinan di bawah umur.20Seringkali, keputusan untuk memulai pernikahan di bawah umur diambil oleh orang tua dari remaja yang terlibat; misalnya, di Sumenep, Madura, perempuan yang menikah di bawah umur cenderung meneruskan tradisi tersebut dan memaksa anak mereka untuk menikah dini.21Oleh karena itu, pemberdayaan anak juga perlu dilakukan dengan memungkinkan mereka membuat keputusan sendiri dan menjaga otonomi mereka.22

Pernikahan Ibu di Pedesaan Indonesia,” inProsiding Konferensi Asosiasi Manajemen Informasi Bisnis Internasional ke-33, IBIMA 2019: Keunggulan Pendidikan dan Manajemen Inovasi melalui Visi 2020, (2019).

15

Nagihan Saday Duman, dkk., “Kesadaran dan Sikap Dokter Terhadap Pernikahan dini,"Jurnal Psikiatri Klinis, (2017).

16Putri dan Handayani, “Investasi Kesehatan Anak pada Ibu Pernikahan Usia Dini di Perdesaan Indonesia.”

17

Masruroh Masruroh, dkk. al., “Pemberdayaan Siswa SMP Dalam Pencegahan Pernikahan Usia Dini di Kabupaten Gunung Kidul,”Tinjauan Sistematis di Farmasi, (2020).

18

Masruroh, Masruroh, dkk., “Pemberdayaan Siswa SMP Dalam Pencegahan Pernikahan Usia Dini di Kabupaten Gunung Kidul.”Tinjauan Sistematis di Farmasi, (2020).

19Restu Anandya Palupi, dkk., “Praktik Kebijakan Kesehatan Masyarakat untuk Pernikahan Usia Dini

di Gunung Kidul, Indonesia: Evaluasi Praktik Peraturan Bupati tentang Kesehatan Anak,” in

Web Konferensi E3S

, (2019),

20

Saday Duman, dkk., “Kesadaran dan Sikap Dokter Terhadap Pernikahan Usia Dini.”

21Umi Supraptiningsih, “Kontes Pro dan Kontra Peningkatan Usia Pernikahan di Indonesia,"

Samarah

, (2021), https://doi.org/10.22373/sjhk.v5i1.9136; Astutik dan Nurmala,

“Hubungan Faktor Individu, dan Faktor Sosial dengan Niat Ibu Melanjutkan Tradisi Pernikahan Dini di Indonesia.”

22Sastro Mustapa Wantu dkk., “Perkawinan Anak Dini: Hukum Adat, Dukungan Sistem, dan Kehamilan di Luar Pernikahan di Gorontalo,”Samarah, (2021), Alem dkk., “Distribusi Spasial

(7)

Legitimasi Agama pada Pernikahan Di Bawah Umur

Legitimasi dipahami sebagai proses di mana perilaku tertentu diperkuat dan dibenarkan, tidak peduli kontroversi atau dampak merugikannya.

23

Ketika perilaku bermasalah dibenarkan melalui legitimasi agama, bukan agamanya yang salah,

melainkan penggunaannya sebagai dasar legitimasi.

24

Seringkali, pendekatan legitimasi seperti itu dibenarkan karena menjamin keberlangsungan kelangsungan identitas tertentu.

25

Namun, agama bukanlah satu-satunya sumber legitimasi dan identitas; hal ini juga dikaitkan dengan situasi material, pengetahuan, dan lingkungan individu, yang semuanya menawarkan legitimasi mereka sendiri.

26

Oleh karena itu, analisis identitas dapat membantu memahami bagaimana otoritas tertentu menjalankan kekuasaan dan melegitimasi aktivitas tertentu.

27

Akbar menulis, dalam konteks legitimasi agama, ketika suatu hal tidak memiliki dasar sumber atau otoritas agama, maka akan

dipandang netral oleh agama dan jamaah yang berbeda.

28

Identitas dan pemahaman keagamaan ini dapat dimanipulasi oleh pihak berwenang, kemudian pada akhirnya diinternalisasi dan dimasukkan ke dalam nilai-nilai masyarakat.

29

Dalam konteks pernikahan di bawah umur, para pemuka agama, tetangga, orang tua, dan keluarga semuanya berkontribusi dalam praktik ini.30Seringkali, pernikahan di bawah umur dirasionalisasikan sebagai alternatif yang lebih baik daripada membiarkan anak perempuan tetap melajang, sehingga membuat mereka rentan terhadap percabulan dan kehamilan di luar nikah.31Misalnya, sebuah asātidh(pemimpin agama) dapat melegitimasi pernikahan dini dengan memerintahkan pengikut perempuan untuk melakukannyaal-zawāj almubakkir(pernikahan dini) ketika 'pantas

dan Faktor Penentu Pernikahan Dini pada Wanita Menikah di Ethiopia: Analisis Spasial dan Multilevel.”

23Eric W. Schoon, Alexandra Pocek Joosse, dan H. Brinton Milward, “Jaringan, Kekuasaan, dan Dampak Legitimasi dalam Politik Kontroversial,”Perspektif Sosiologis, (2020).

24Jared Rubin,Penguasa, Agama, dan Kekayaan: Mengapa Barat Menjadi Kaya dan Timur Tengah Tidak,Penguasa, Agama, dan Kekayaan: Mengapa Barat Menjadi Kaya dan Timur Tengah Tidak, (2017).

25Christopher Houston, “Pergulatan Islam yang Tidak Memadai dengan Isu Kurdi,” di Buku Pegangan Routledge tentang Kurdi, (2018)

26Andy Yuille, “Melakukan Legitimasi dalam Perencanaan Lingkungan: Bertentangan Identitas dan Tata Kelola Hibrid,”Lingkungan dan Perencanaan C: Politik dan Ruang, (2020).

27Yulianti, “Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Perkawinan Usia Dini.”

28Ali Akbar, “Argumen Ulama Reformis Muslim untuk Demokrasi yang Independen Pembenaran Agama,”Penelitian Kritis tentang Agama, (2020).

29Keith Bradley, “Kebebasan dan Perbudakan,” diBuku Pegangan Studi Romawi Oxford, (2012).

30Nub Raj Bhandari, “Pernikahan Dini di Nepal: Prospek bagi Siswi,”

Jurnal dari Studi Wanita Internasional, (2019).

31Jimoh Amzat, “Efek Iman dan Suara pada Pernikahan Dini di Negara Bagian Nigeria,”BIJAKSANA Terbuka, (2020).

(8)

laki-laki 'meminang mereka untuk dinikahkan.32Pernikahan seperti ini seringkali dibenarkan dengan merujuk pada pernikahan Muhammad dengan Aiysha ra, yang terjadi saat ia masih berusia enam tahun.33Karena umat Islam menganggap pernikahan di bawah umur adalah hal yang wajar, mereka lebih cenderung

mempraktekkannya dibandingkan non-Muslim.34

Pernikahan Di Bawah Umur dalam Wacana Publik

Wacana publik, yang disampaikan melalui televisi, film, musik, permainan, dan media sosial35, secara signifikan membentuk keyakinan.36Sebagaimana wacana publik tidak dapat dipisahkan dari etika masyarakat,37hal ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap legitimasi keyakinan tertentu.38Namun, pada saat yang sama, wacana publik bisa bersifat reduktif dan manipulatif,39sehingga membentuk preferensi individu40

dan menginformasikan prasangka mereka.41Apabila kegiatan-kegiatan tersebut dianggap bertentangan dengan etika masyarakat dan preferensi serta prasangka individu, maka kegiatan-kegiatan tersebut mungkin akan mendapat tentangan atau bahkan menyebabkan perpecahan.42Akibatnya, Grubbs dkk. menulis bahwa wacana publik sering kali bersifat pedas dan penuh konflik, sebagaimana dibuktikan dalam wacana moralitas yang tersebar di media sosial.43Seringkali wacana semacam ini dipolitisasi dan diideologikan, sehingga mendorong konflik lebih lanjut dan bahkan konfrontasi frontal.44Selama konfrontasi seperti itu, peserta sering kali mencoba melakukan hal tersebut

32Eva F. Nisa, “Perkawinan dan Perceraian Demi Agama: Kehidupan Pernikahan

Cadari di Indonesia 1,”Jurnal Ilmu Sosial Asia, (2011).

33al-Bukhari di Nisa.

34Mughal Abdul Ghaffar, “Muslim di Kosovo: Suatu Sosial Ekonomi dan Demografi Profil: Apakah Populasi Muslim Meledak?,”

Tinjauan Ilmu Sosial Balkan

, (2015).

35

Janae Teal dan Meredith Conover-Williams, “Homofobia tanpa Homofobia:

Mendekonstruksi Wacana Publik tentang Seksualitas Queer Abad 21 di Amerika Serikat,”

Jurnal Hubungan Sosial Humboldt

, (2016).

36Anna Cegieła, “O Retoryce Pogardy dan Wykluczenia dengan Polskim Dyskursie Nama Publik,”Poradnik Jezykowy, (2013).

37

Xiao Hu dan Xiaoyu Dong, “Animasi Tiongkok Kembali ke Wacana Publik,”

Ilmu Sosial Asia, (2014).

38Sikke R. Jansma dkk., “Legitimasi Teknologi dalam Wacana Publik: Menerapkan

Pilar Legitimasi Pangan GM,”Analisis Teknologi dan Manajemen Strategis, (2020).

39

Mario Radovan, “Kekuatan dan Daya Tarik Manipulasi,”Jurnal Internasional Teknoetika, (2015).

40

Elizabeth Korver-Glenn dkk., “Konsumsi Media dan Perumahan Rasial

Preferensi,”

Triwulanan Ilmu Sosial

, (2020).

41Ymke de Bruijn dkk., “Prasangka Antaretnis Terhadap Muslim di Kalangan Anak Kulit Putih Belanda,”Jurnal Psikologi Lintas Budaya, (2020), Caglar Koylu dkk., “CarSenToGram: Analisis Teks Geovisual untuk Menjelajahi Variasi Spatiotemporal dalam Wacana Publik di Twitter,” Ilmu Kartografi dan Informasi Geografis, (2019).

42Koylu dkk., “CarSenToGram: Analisis Teks Geovisual untuk Menjelajahi Variasi Spatiotemporal dalam Wacana Publik di Twitter.”

43Joshua B. Grubbs dkk., “Moral Standing in Public Discourse: Motif Pencarian Status sebagai Mekanisme Penjelasan Potensial dalam Memprediksi Konflik,”PLoS SATU, (2019).

44Cegieła, “O Retoryce Pogardy dan Wykluczenia dengan Polskim Dyskursie Publicznym.”

(9)

mengecualikan lawan-lawan mereka dari dialog (atau bahkan ruang publik) melalui aktivitas seperti kategorisasi, stereotipisasi, stigmatisasi, degradasi, dan marginalisasi.

45

Namun, pada saat yang sama, Gülzau menekankan bahwa wacana publik memiliki peran yang berpengaruh dalam pembuatan kebijakan dan legislasi.46Oleh karena itu, wacana publik yang terbuka dan rasional merupakan bagian mendasar dari demokrasi, yang juga mensyaratkan kebebasan pers/media, kebebasan berekspresi, dan hak untuk menerima informasi. Hanya dengan cara ini warga negara dapat berdiskusi secara bebas, membentuk opini, dan mengambil keputusan sendiri.47Menurut Mastianica-Stankevič, wacana publik juga berkontribusi terhadap pembentukan identitas, yang pada gilirannya mempengaruhi posisi dan peran tertentu individu dalam masyarakat.48Shreck dan Vedlitz mencatat bahwa, ketika preferensi kebijakan

diperdebatkan, opini publik mengenai preferensi tersebut pada akhirnya akan menentukan keputusan akhir.49Oleh karena itu, karena adanya kekuatan dan potensi perubahan, wacana publik dapat menciptakan polarisasi.50

Penggunaan Naskh yang Manipulatif untuk Melegitimasi Pernikahan di Bawah Umur

Pernikahan di bawah umur pada umumnya dibenarkan dengan menggunakan

naskh

untuk memahami teks Al-Qur'an dan Hadits, sehingga memberikan dasar agama dan hukum untuk mengamalkannya. QS An-Nur Ayat 32 misalnya, kerap digunakan untuk 'mendukung' dan melegitimasi praktik pernikahan dini. Ayat ini berbunyi:

“Dan nikahilah orang-orang yang belum menikah di antara kamu dan orang-orang shaleh di antara budak laki-laki dan budak perempuanmu…” (terjemahan Sahih Internasional)

Ayat ini tidak merekomendasikan usia tertentu untuk menikah, namun menetapkan pedoman umum. Hal ini menjadi benang merah dalam ayat-ayat Al-Qur'an dulu

45A. Cegieła, “Tentang Retorika Penghinaan dan Pengecualian dalam Wacana Publik Polandia | Wahai Retoryce Pogardy dan Wykluczenia w Polskim Dyskursie Publicznym,”Poradnik Jezykowy, (2013).

46Fabian Gülzau, “Pergeseran Paradigma dalam Kebijakan Keluarga Jerman: Menerapkan Model Topik untuk Memetakan Reformasi dan Wacana Publik, 1990–2016,”Analisis Kebijakan Eropa, (2020).

47Andriy Peleschyshyn, Tetiana Klynina, dan Sergiy Gnatyuk, “Mekanisme Hukum

Menangkal Agresi Informasi di Jejaring Sosial: Dari Teori ke Praktek,” inProsiding Lokakarya CEUR, (2019).

48

Olga Mastianica-Stankevič, “Viešojo Diskurso Galia: Lietuvių Inteligentijos

Savikūra Periodinėje Spaudoje (XIX a. Pabaiga–XX a. Pradžia),”

LOGO

98 (2019).

49Brian Shreck dan Arnold Vedlitz, “Masyarakat dan Iklimnya: Menjelajahi Hubungan Antara Wacana Publik dan Opini mengenai Pemanasan Global,”Masyarakat dan Sumber Daya Alam, (2016).

50Brian Shreck dan Arnold Vedlitz, “Masyarakat dan Iklimnya: Menjelajahi Hubungan Antara Wacana Publik dan Opini mengenai Pemanasan Global,”Masyarakat dan Sumber Daya Alam, (2016)..

(10)

membenarkan pernikahan dini; tidak ada usia yang ditentukan, padahal usia sangat erat kaitannya dengan kebutuhan fisik dan psikologis untuk memulai dan memelihara rumah tangga.

Selain Al-Qur'an,

naskh

Hadits-hadits tersebut juga digunakan untuk membenarkan praktik pernikahan di bawah umur. Salah satu hadits yang sering dirujuk berkaitan dengan Aiysha ra, yang menikah dengan Nabi Muhammad ketika dia berusia enam tahun, pindah ke rumahnya pada usia sembilan tahun, dan memulai hubungan badan dengannya pada usia yang sama (HR. Muttafaq'alaihi). Dalam hadis lain, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Jika salah seorang di antara kalian menikah, lalu Syaitan berseru, 'Wahai celaka! Anak Adam telah melindungi dua pertiga agamanya dariku.'

Barangsiapa menikah, maka ia telah sucikan separuh imannya, dan Allah telah menjaminnyatakwadi antara mereka” (HR Thabrani).

Hadits-hadits ini mengidentifikasi pernikahan, termasuk pernikahan dini, sebagaimana dianjurkan oleh agama. Memang, jika dilihat dari contoh Aiysha ra, banyak contoh perkawinan anak yang dibuktikan.

Praktik pernikahan di bawah umur dirasakan oleh para cendekiawan Muslim di Sumsel sebagai sebuah bentuk pencerahan. H. AM (68), Ketua Majelis Ulama Indonesia Cabang Sumsel, menjelaskan, tidak ada ayat Alquran atau Hadits yang menetapkan usia tertentu untuk menikah. Namun pada saat yang sama, tidak ada teks yang secara khusus melarang pernikahan di bawah umur. Selama

baligh

(kedewasaan, sering diidentikkan dengan pubertas) kriteria terpenuhi, seseorang boleh menikah. Dia menjelaskan:

“… Saya belum pernah menemukan ayat Alquran atau Hadits yang secara eksplisit menentukan usia menikah. Kata 'baligh' yang digunakan, dan telah ditafsirkan secara beragam oleh para penafsir sesuai dengan konteksnya masing-masing.”51

Minimnya kriteria pernikahan secara rinci juga dikemukakan oleh H. SM (62), Ketua Majelis Ulama Indonesia Cabang Palembang. Saat dia

menjelaskan:

“Selain Alquran dan Hadits yang tidak secara tegas menyebutkan usia yang baik untuk menikah, praktik Nabi Muhammad dan para sahabat juga menunjukkan bahwa pernikahan dini diperbolehkan. Oleh karena itu, pelarangan tersebut melanggar doktrin agama.”52

51

Wawancara H.AM, Ketua Majelis Ulama Indonesia Cabang Sumatera Selatan di Palembang, 2020.

52

Wawancara dengan H. SM, Ketua Majelis Ulama Indonesia Cabang

Palembang di Palembang, 2020.

(11)

Pemimpin agama lain berfokus pada aspek fungsional pernikahan di bawah umur. H. RSA (63), salah satu tokoh masyarakat Muhammadiyah Sumsel menjelaskan:

“….Pemahaman pernikahan dalam Al-Qur’an dan Hadits memiliki tujuan yang sama.

Pernikahan merupakan tindakan preventif. Dikhawatirkan, jika pasangan tidak menikah, bahkan ketika masih muda, mereka akan melakukan zina.”53

Pernyataan tersebut didukung oleh pejabat tingkat desa dan pejabat

pemerintah. M. AS (55), Camat Sematang Borang, Palembang, mengakui pernikahan di bawah umur merupakan hal yang lumrah di desanya. Ia menyatakan bahwa sulit untuk mencegah pernikahan semacam itu, dengan menjelaskan:

“Sulitnya mencegah perkawinan di bawah umur terletak pada tidak adanya larangan tegas dalam hukum agama, padahal sudah jelas-jelas diatur oleh negara. Pemerintah melalui UU Perkawinan telah menetapkan batasan usia minimal yang tegas untuk menikah. Namun, banyak perkawinan di bawah umur yang disahkan ketika pasangan tersebut mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama atau menikah di luar nikah (pernikahan siri). Akibatnya, aturan yang diberikan undang-undang seringkali diabaikan” (wawancara di Palembang, 2020).

54

Referensi tulisan suci ini, bersamaan dengan pernyataan dari

informan, menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur dalam masyarakat Muslim

mempunyai landasan yang kuat, karena praktik tersebut tidak secara tegas dilarang. Pernikahan dianjurkan oleh ajaran Islam, dan memang seringkali dianggap wajib. Pernikahan di bawah umur dipahami sebagai hal yang dibenarkan oleh agama, meskipun hal-hal spesifiknya masih bisa diperdebatkan dan penafsirannya berbeda-beda. Menurut Mastianica-Stankevič, konteks ini terjadi karena wacana publik juga berkontribusi terhadap pembentukan identitas, yang pada gilirannya mempengaruhi posisi dan peran tertentu individu dalam masyarakat.55Oleh karena itu, karena adanya kekuatan dan potensi perubahan, wacana publik dapat menciptakan polarisasi.56

53Wawancara dengan H. RSA, Salah Satu Pimpinan PP Muhammadiyah Sumsel, di palembang, 2020.

54Wawancara dengan M.AS,Aparat Desa dan Aparat PemerintahKecamatan Ketua Sematang Borang, di Palembang, 2020.

55Mastianica-Stankevič, “Viešojo Diskurso Galia: Lietuvių Inteligentijos Savikūra Periodinėje Spaudoje (XIX a. Pabaiga–XX a. Pradžia).”

56Shreck dan Vedlitz, “Masyarakat dan Iklimnya: Menjelajahi Hubungan Antara Wacana Publik dan Opini tentang Pemanasan Global.”

(12)

Pernikahan sebagai Kewajiban Agama dan Sarana Menghindari Perilaku Berdosa Umat Islam mempunyai pandangan serupa mengenai pernikahan (di bawah umur) dan fungsinya. Pernikahan dipahami sebagai hal yang direkomendasikan dan diharapkan oleh ajaran agama, dan karenanya wajib bagi semua umat Islam yang saleh. Banyak informan memahami Islam yang menganjurkan umat Islam untuk segera menikah. Salah satu tokoh agama di Palembang, Hj. RF (56), secara terbuka menyatakan:

“…menurut ajaran agama, pernikahan dini (selama yang terlibat sudah mencapai baligh ) tidak dilarang, karena sejalan dengan kewajiban agama seseorang. Jika seseorang menikah, separuh agamanya terlindungi.”

57

Yang juga menjadi pertimbangan adalah harapan agar anak mematuhi orang tuanya. Hj. Marwiyah (49), seorang khatib, menjelaskan:

“…Jika orang tua menghendaki anak perempuannya dikawinkan, karena ia telah dijodohkan dengan seorang laki-laki yang mereka anggap baik, maka perkawinannya, walaupun dilakukan di bawah umur, merupakan bentuk pengabdian kepada orang tuanya.wajib(wajib) berdasarkan hukum (Islam). Menurut salah satu sekolah, seorang ayah mempunyai hak (ijbar) untuk memaksa kepatuhan".58

Pada saat yang sama, pernikahan di bawah umur dianggap sebagai cara untuk

mencegah anak-anak terjerumus ke dalam godaan dan berperilaku berdosa. Terkait hal tersebut, akademisi bernama H. RZ (60) menyatakan:

“Perkawinan dini merupakan solusi atas meningkatnya prevalensi perempuan hamil di luar nikah. Tanpa perhatian dan pengawasan yang cermat dari orang tua, paparan media yang tidak mendidik dapat menyebabkan anak tidak mampu menguatkan diri sehingga terjerumus ke dalam godaan dan perilaku berdosa. ."

59

Tradisi adalah faktor lain yang membenarkan pernikahan di bawah umur.

Praktik tersebut dianggap wajar, karena diizinkan oleh adat dan tradisi (adat) masyarakat. Hal itu ditegaskan HB (65), salah seorang tokoh adat di Palembang. Dia menjelaskan:

“…Alasan lain mengapa pernikahan di bawah umur sulit dicegah adalah budaya lokal, yang seringkali diturunkan dari generasi ke generasi. Ketika orang tua menikah di usia muda, mereka sering merasa seolah-olah, jika anak perempuan mereka tidak segera menikah, mereka tidak akan bisa menikah dan tidak akan pernah mendapatkan suami. ."60

57Wawancara dengan Hj. RF, Salah Satu Tokoh Agama Palembang, di Palembang, 2020.

58Wawancara dengan Hj. Marwiyah, Seorang Khatib, di Palembang, 2020.

59Wawancara dengan H. RZ, Akademisi, di Palembang, 2020.

60Wawancara dengan HB, Tokoh Adat, di Palembang, 2020.

(13)

Pernikahan di bawah umur diperbolehkan dan diterima oleh umat Islam karena tidak diatur secara jelas dalam kitab agama. Pada saat yang sama, Indonesia telah melakukan banyak upaya untuk meminimalkan atau bahkan mencegah praktik tersebut, namun dampaknya tidak bertahan lama.

Misalnya, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 (perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) mewajibkan masyarakat Indonesia untuk berusia sembilan belas tahun sebelum menikah, dan dikeluarkan untuk melindungi anak-anak dari praktik-praktik yang dianggap merugikan kesejahteraan mereka. Namun, undang-undang ini belum memberikan dampak yang diinginkan, dan hakim telah menawarkan solusi alternatif bagi pasangan yang ingin menikah. Misalnya, AM (30)—

hakim Pengadilan Agama Martapura—menyatakan:

“…dalam beberapa kasus, hakim menolak permohonan, meminta pasangan membatalkan permohonan mereka sebelum sidang resmi diadakan. Ketika terjadi kehamilan di luar nikah, solusinya adalah dengan menikahkan mereka berdasarkan hukum agama [dalam pernikahan siri] yang disebut dengan

nikah siri

".61

Dalam kasus seperti ini, perkawinan didaftarkan dan dilegalkan setelah pasangan tersebut mencapai usia yang disyaratkan. Namun solusi-solusi tersebut juga menimbulkan permasalahan, karena berdampak buruk terhadap status dan situasi hukum anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan tidak dicatatkan seperti ini memberikan ruang bagi terus berlanjutnya praktik perkawinan di bawah umur. Selanjutnya legitimasi dan legalisasi hakiki

nikah siri

oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, bahkan hakim dapat semakin meningkatkan prevalensi pernikahan di bawah umur. Dengan kata lain, Legitimasi dipahami sebagai proses di mana perilaku tertentu diperkuat dan dibenarkan, tidak peduli kontroversi atau dampak merugikannya.62

Ketika perilaku bermasalah dibenarkan melalui legitimasi agama, bukan agamanya yang salah, melainkan penggunaannya sebagai dasar legitimasi.

63

Lembaga Keagamaan: Melegalkan Pernikahan Tidak Dicatat

Studi ini menunjukkan bahwa prevalensi pernikahan di bawah umur di kalangan umat Islam sangat erat kaitannya dengan pembenaran melalui referensi agama. Namun pada akhirnya, penerimaan ini berakar pada salah tafsir dan pemahaman yang salah terhadap referensi keagamaan tersebut. Pada saat yang sama, tokoh masyarakat terkemuka—pemimpin agama, tokoh masyarakat, praktisi hukum, dan akademisi—memandang dan menerima praktik tersebut sebagai hal yang wajar. Sikap seperti ini memungkinkan pernikahan di bawah umur terus berlanjut meskipun Undang-Undang Perkawinan di Indonesia telah dengan jelas dan tegas menetapkan usia minimum untuk menikah. Ruang untuk pernikahan di bawah umur terus diberikan, baik melalui dispensasi yang dikeluarkan oleh

61Wawancara AM, Hakim Pengadilan Agama Martapura, Martapura, 2020.

62Schoon, Joosse, dan Milward, “Jaringan, Kekuasaan, dan Dampak Legitimasi dalam Politik Kontroversial.”

63Rubin,Penguasa, Agama, dan Kekayaan: Mengapa Barat Menjadi Kaya dan Timur Tengah Menjadi Kaya

Bukan.

(14)

pengadilan agama dan melalui perkawinan tidak dicatatkan yang dilakukan menurut hukum agama. Namun praktik-praktik seperti ini pada akhirnya merugikan pasangan yang terlibat (khususnya perempuan) dan anak-anak yang dihasilkan melalui perkawinan mereka.64

Prevalensi pernikahan di bawah umur di Palembang mencerminkan penggunaan agama untuk melegitimasi praktik yang berpotensi membahayakan, bahkan di kalangan lembaga agama dan peradilan. Penafsiran manipulatif dengan menggunakan naskh ini dianggap memberikan solusi terhadap perilaku menyimpang yang bisa terjadi pada remaja jika tidak segera dinikahi. Terdapat tiga elemen yang berkontribusi terhadap penggunaan agama untuk melegitimasi dan membenarkan pernikahan di bawah umur.Pertama, karena rendahnya tingkat literasi hukum, masyarakat rentan terhadap wacana dan praktik yang melanggar hukum. Dengan kata lain, karena kuatnya wacana publik yang mendukung pernikahan di bawah umur, maka ilegalitas praktik tersebut tidak diakui. Kedua, dualisme hukum menjadi permasalahan, baik penafsirannya maupun implementasinya. Meskipun usia minimum yang sah untuk menikah mungkin membuat hakim cenderung enggan memberikan dispensasi bagi pasangan muda, hal ini juga mempengaruhi keputusan mereka untuk menyarankan pernikahan tidak dicatatkan sebagai solusi. Dengan kata lain, undang-undang perkawinan belum mampu menghapuskan perkawinan di bawah umur, karena perkawinan tidak dicatatkan masih ada dan secara luas dianggap melegitimasi perkawinan di bawah umur. Ketiga, penggunaan agama untuk melegitimasi pernikahan di bawah umur juga dapat dikaitkan dengan kelemahan sosial dan intelektual masyarakat, yang berkontribusi terhadap keterlibatan mereka dalam kegiatan ilegal.

Bagi banyak orang, agama dianggap sebagai satu-satunya solusi yang mungkin untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Akibatnya, mereka sangat rentan terhadap manipulasi agama untuk menyelesaikan (bukan menghindari) permasalahan.

Studi ini memperkuat temuan sebelumnya mengenai pernikahan di bawah umur, prevalensinya, dan penyebabnya.65Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa pernikahan di bawah umur dikaitkan dengan kekerasan dalam rumah tangga,66dan bahwa praktik tersebut membatasi pendidikan dan pemberdayaan yang tersedia bagi perempuan.67Menambah pembahasan, penelitian ini menunjukkan bahwa manipulasi agama berdampak luas terhadap legitimasi dan legalisasi pernikahan di bawah umur. Penelitian ini juga telah menyediakan

64Wantu dkk., “Perkawinan Anak Dini: Hukum Adat, Sistem Pendukung, dan Kehamilan Di Luar Pernikahan di Gorontalo.”

65Hamed dan Yousef, “Prevalensi, Bahaya Kesehatan dan Sosial, dan Sikap terhadap Pernikahan Dini pada Wanita Pernah Menikah, Sohag, Mesir Hulu,” 2017; Salenda, “Penyalahgunaan Hukum Islam dan Pernikahan Anak di Sulawesi Selatan”; Nisa, “Perempuan Muslim di Indonesia Kontemporer: Narasi yang Bertentangan Secara Online di Balik Kongres Wanita Ulama.”

66

Dorit Segal-Engelchin, dkk., “Pengalaman Pernikahan Dini,”Jurnal dari

Penelitian Remaja31, tidak. 6 (November 2016), hal. 725–49.

67Shamnaz Arifin Mim, “Pengaruh Pernikahan Anak terhadap Pendidikan dan Pemberdayaan Anak Perempuan,”Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran (EduLearn), 2017.

(15)

eksplorasi komprehensif tentang bagaimana agama digunakan untuk melegitimasi praktik pernikahan di bawah umur, menciptakan dukungan publik yang meningkatkan prevalensinya.

Eksplorasi ini menunjukkan bahwa praktik perkawinan di bawah umur harus ditangani melalui pendekatan multilevel, yang mengakomodasi kebutuhan masyarakat dari berbagai usia dan kedudukan sosial. Bagi remaja, diperlukan program pendidikan yang mengembangkan literasi hukum sekaligus memberikan bimbingan moral.

Program tersebut dapat diwujudkan dengan bekerja sama dengan berbagai

pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, melalui kegiatan bakti sosial.

Pada tataran hukum/kelembagaan, perlu ditekankan pentingnya perlindungan anak sekaligus menyoroti peraturan yang ada mengenai perkawinan di bawah umur.

68

Secara khusus, penelitian ini merekomendasikan agar perkawinan di bawah umur diposisikan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu tidak hanya mengakui status hukumnya dalam hukum agama, namun juga posisinya dalam masyarakat Muslim.

Hanya dengan cara inilah pendekatan yang lebih harmonis dan kemanusiaan dapat diwujudkan dan dikembangkan.

Kesimpulan

Pernikahan di bawah umur, sebuah praktik yang umum di masyarakat Muslim, sering kali dibenarkan melalui penggunaannaskhuntuk menafsirkan referensi agama. Pemahaman parsial dan tekstual yang dihasilkan menyebabkan pernikahan di bawah umur diterima agama, meski bahayanya diabaikan. Karena acuan agama yang membenarkan perkawinan di bawah umur tidak menyebutkan batas minimal usia menikah, maka para pemuka agama dan masyarakat dapat dengan leluasa menafsirkan perintah-perintah tersebut. Hal ini mempunyai implikasi penting terhadap pandangan masyarakat terhadap pernikahan di bawah umur. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pernikahan di bawah umur dipandang sebagai praktik Islam, sebagai bagian dari sunnah. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pernikahan di bawah umur mempunyai dampak buruk terhadap kesehatan pasangan, keharmonisan keluarga, dan kesejahteraan anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka. Namun, penelitian-penelitian sebelumnya belum mengeksplorasi penggunaan naskh untuk membenarkan pernikahan di bawah umur melalui penafsiran parsial dan tekstual yang gagal mengenali konteks sosial yang lebih luas. Pernikahan di bawah umur terus dianggap sebagai praktik yang sah dan dapat diterimanaskh. Melihat banyaknya contoh perkawinan di bawah umur, masyarakat justru menerimanya, bukan menganggapnya sebagai pelanggaran yang tidak dapat diterima dan memerlukan sanksi. Pada saat yang sama, prevalensi perkawinan di bawah umur tidak lepas dari tradisi dan adat istiadat masyarakat yang menerima dan bahkan mendukung praktik tersebut, namun mengabaikan dampak yang mungkin timbul terhadap kesehatan dan masa depan pasangan. Artikel ini telah memberikan landasan penting untuk mengeksplorasi caranyanaskhdapat digunakan untuk memanipulasi keyakinan dan praktik keagamaan. Namun masih terbatas pada

68Umi Supraptiningsih, “Kontestasi Pro dan Kontra Peningkatan Usia Pernikahan di Indonesia,"Samarah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum Islam5, tidak. 1 (2021), hal. 232.

(16)

mendiskusikan caranyanaskhdigunakan untuk membenarkan suatu praktik yang, meskipun diterima oleh agama, dapat menimbulkan dampak yang signifikan dan merugikan. Demikian pula, wawancara hanya dilakukan terhadap individu yang tidak terlibat langsung dalam praktik; oleh karena itu,

penelitian di masa depan harus melibatkan pasangan di bawah umur untuk mendapatkan pemahaman bilateral mengenai praktik tersebut dan konsekuensinya. Terakhir, penelitian ini juga

merekomendasikan penggunaan pendekatan komparatif untuk lebih memahami praktik pernikahan di bawah umur di wilayah yang banyak terjadi pernikahan di bawah umur.

Referensi

Jurnal dan Buku

Abdul Ghaffar, Mughal. “Muslim di Kosovo: Situasi Sosial-Ekonomi dan Profil Demografis: Apakah Populasi Muslim Meledak?” Tinjauan Ilmu Sosial Balkan , (2015).

Afriani, Riska, dan Mufdlilah. “Analisis Dampak Pernikana Dini Pada Remaja Putri Di Desa Sidoluhur Kecamatan Godean Yogyakarta.” Rakernas Aipkema , (2016).

Akbar, Ali. “Argumen Ulama Reformis Muslim untuk Demokrasi Independen Pembenaran Agama.” Penelitian Kritis tentang Agama , (2020).

https://doi.org/10.1177/2050303220952849.

Alem, Adugnaw Zeleke, dkk., “Distribusi Spasial dan Penentu Awal

Pernikahan di antara Wanita Menikah di Ethiopia: Analisis Spasial dan Multilevel.” Kesehatan Wanita BMC ,(2020).

https://doi.org/10.1186/s12905-020-01070-x.

Ali, Zainuddin,Metode Penelitian Hukum,Jakarta: Sinar Grafika, 2016. Amzat, Jimoh.

“Efek Iman dan Suara pada Pernikahan Dini di Negara Bagian Nigeria.”

BIJAKSANA Terbuka, (2020). https://doi.org/10.1177/2158244020919513.

Astutik, Nurma Fuji, dan Ira Nurmala. “Hubungan Faktor Individu, dan

Faktor Sosial Dengan Niat Ibu Melanjutkan Tradisi Pernikahan Dini di Indonesia.” Jurnal Kedokteran Forensik dan Toksikologi India , (2020).

Badan Pusat Statistik. “Perkawinan Usia Anak Di Indonesia.” Jurnal Inggris dari Psikiatri , (2017).

Bezie, Minale, dan Dagne Addisu. “Penentu Pernikahan Dini Dikalangan Wanita Menikah di Kota Injibara, Ethiopia Barat Laut: Studi Cross- Sectional Berbasis Komunitas.” Kesehatan Wanita BMC , (2019).

https://doi.org/10.1186/s12905-019-0832-0.

Bhandari, Nub Raj. “Pernikahan Dini di Nepal: Prospek bagi Siswi Sekolah.”Jurnal

Studi Wanita Internasional , (2019).

Bradley, Keith. “Kebebasan dan Perbudakan.” Di dalamBuku Pegangan Oxford dari Romawi

Studi ,(2012).

(17)

https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199211524.013.0040.

Bruijn, Ymke de, dkk., “Prasangka Antaretnis Terhadap Muslim di Kalangan Kulit Putih

Anak-anak Belanda.” Jurnal Psikologi Lintas Budaya , (2020). https://

doi.org/10.1177/0022022120908346.

Cegieła, A. “Tentang Retorika Penghinaan dan Pengecualian di Publik Polandia Wacana | Wahai Retoryce Pogardy dan Wykluczenia dengan Polskim Dyskursie Publicznym.”Poradnik Jezykowy, (2013).

Cegieła, Anna. “Wahai Retoryce Pogardy dan Wykluczenia dengan Polskim Dyskursie Nama Publik.”Poradnik Jezykowy, (2013).

Fernando, Henky, dkk., “Diseminasi Simbolik: Makna Korupsi Dalam Media Sosial Instagram.”Bricolage : Jurnal Magister Ilmu Komunikasi8, tidak. 1 (27 Maret 2022). https://doi.org/10.30813/bricolage.v8i1.3052.

Grubbs, Joshua B., Brandon Warmke, Justin Tosi, A. Shanti James, dan W. Keith Campbell. “Kelebihan Moral dalam Wacana Publik: Motif Pencarian Status sebagai Mekanisme Penjelasan Potensial dalam Memprediksi Konflik.” PLoS SATU, (2019). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0223749. Gulzau, Fabian.

“Pergeseran Paradigma dalam Kebijakan Keluarga Jerman: Menerapkan Topik Model untuk Memetakan Reformasi dan Wacana Publik, 1990–2016.”Analisis Kebijakan Eropa, (2020). https://doi.org/10.1002/epa2.1072.

Hamed, Ahmed F., dan Fouad MA Yousef. “Prevalensi, Kesehatan dan Sosial Bahaya, dan Sikap terhadap Pernikahan Dini pada Wanita Pernah Menikah, Sohag, Mesir Hulu.”Jurnal Asosiasi Kesehatan Masyarakat Mesir, (2017).

https://doi.org/10.21608/EPX.2018.22044.

Hamed, Ahmed, dan Fouad Yousef. “Prevalensi, Bahaya Kesehatan dan Sosial, dan Sikap terhadap Pernikahan Dini pada Wanita Pernah Menikah, Sohag, Mesir Hulu.” Jurnal Asosiasi Kesehatan Masyarakat Mesir 92, tidak. 4 (Desember 2017). https://doi.org/10.21608/EPX.2018.22044.

Houston, Christopher. “Pergulatan Islam yang Tidak Memadai dengan Kurdi Masalah." Di dalamBuku Pegangan Routledge tentang Kurdi, (2018).

https://doi.org/10.4324/9781315627427-14.

Hu, Xiao, dan Xiaoyu Dong. “Animasi Tiongkok Kembali ke Publik Ceramah." Ilmu Sosial Asia ,(2014).

https://doi.org/10.5539/ass.v10n18p25.

Jansma, Sikke R., dkk., “Legitimasi Teknologi dalam Wacana Publik:

Menerapkan Pilar Legitimasi pada Pangan GM.” Analisis Teknologi dan Manajemen Strategis ,(2020). https://doi.org/

10.1080/09537325.2019.1648788.

Jawas, Al-Ustadz Yazid bin 'Abdul Qadir. “Anjuran Untuk Menikah.” Almanhaj – Media Salafiyyah Ahlus Sunnah, (2013). https://almanhaj.or.id/12977- anjuran-untuk-menikah-2.html.

Kartikawati, Reni. “Dampak Perkawinan Anak Di Indonesia.” Jurnal Studi

(18)

Pemuda, (2015).

Korver-Glenn, Elizabeth, dkk., “Konsumsi Media dan Perumahan Rasial Preferensi.” Ilmu Sosial Triwulanan ,(2020).

https://doi.org/10.1111/ssqu.12861.

Koylu, Caglar, Ryan Larson, Bryce J. Dietrich, dan Kang Pyo Lee.

“CarSenToGram: Analisis Teks Geovisual untuk Menjelajahi Variasi Spatiotemporal dalam Wacana Publik di Twitter.” Kartografi dan

Informasi Geografis Sains , (2019).

https://doi.org/10.1080/15230406.2018.1510343.

Laily, Nur, Nia Kania, dkk., “Perbedaan Pengaruh Terhadap Kualitas Hidup terhadap Kepuasan Pernikahan pada Wanita Pernikahan Dini dan Bukan Pernikahan Dini.”Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat India, (2018). https://doi.org/10.5958/0976-5506.2018.00532.6.

Manandhar, Naresh, dan Sunil Kumar Joshi. “Kesehatan Co-Morbiditas dan Dini Pernikahan pada Wanita di Daerah Pedesaan Nepal: Sebuah Studi Deskriptif Cross-Sectional.” Jurnal Asosiasi Medis Nepal , (2020).

https://doi.org/10.31729/jnma.5205.

Masruroh, Masruroh, dkk.,“Pemberdayaan Siswa SMP di

Pencegahan Pernikahan Usia Dini di Kabupaten Gunung Kidul.”Tinjauan Sistematis di Farmasi, (2020). https://doi.org/10.31838/srp.2020.9.13.

Mastianica-Stankevič, Olga. “Viešojo Diskurso Galia: Lietuvių Inteligentijos Savikūra Periodinėje Spaudoje (XIX a. Pabaiga–XX a. Pradžia).”LOGO 98 (2019). https://doi.org/10.24101/logos.2019.18.

Mawardi Sufyan, Akhmad Farid. “Analisis Kritis Makna 'Al-Syabab' dan 'Istitha'ah' pada Hadits Anjuran Menikah.” Al-Ulum : Jurnal Penelitian DanPemikiranKeIslaman ,(2017). https://doi.org/

10.31102/alulum.4.2.2017.304-317.

Mikhail, Susanne Louis B. “Pernikahan Anak dan Prostitusi Anak: Dua Bentuk Eksploitasi Seksual.” Gender dan Pembangunan , (2002). https://

doi.org/10.1080/13552070215896.

Mim, Syamnaz Arifin. “Pengaruh Pernikahan Anak terhadap Pendidikan Anak Perempuan dan

Pemberdayaan."Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran (EduLearn), (2017).

https://doi.org/10.11591/edulearn.v11i1.5130.

Nisa, Eva F. “Perkawinan dan Perceraian Demi Agama: Kehidupan Pernikahan Cadari di Indonesia 1.” Jurnal Ilmu Sosial Asia , (2011). https://

doi.org/10.1163/156853111X619238.

Nisa, Eva F. “Wanita Muslim di Indonesia Kontemporer: Konflik Online Narasi dibalik Kongres Wanita Ulama.” Tinjauan Studi Asia 43, tidak. 3 (Juli 2019). https://doi.org/10.1080/10357823.2019.1632796.

Nur, Rosmala, dkk., “Perkawinan Usia Dini dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Reproduksi

Wanita." Jurnal Teknik dan Ilmu Terapan , (2019).

(19)

https://doi.org/10.3923/jeasci.2019.981.986.

Palupi, Restu Anandya, dkk.,“Praktik Kebijakan Kesehatan Masyarakat untuk Usia Dini

Pernikahan di Gunung Kidul, Indonesia: Evaluasi Praktik Peraturan Bupati Tentang Kesehatan Anak.” Di dalam Web Konferensi E3S , (2019).https://doi.org/10.1051/e3sconf/201912517002.

Peleschyshyn, Andriy, dkk., “Mekanisme Hukum Penanggulangan Informasi Agresi di Jejaring Sosial: Dari Teori ke Praktek.” Di dalam Prosiding Lokakarya CEUR , (2019).

Putri, Trivanie Erlim, dan Dwini Handayani. “Investasi Kesehatan Anak Sejak Dini Usia Pernikahan Ibu di Pedesaan Indonesia.” Di dalam Prosiding Konferensi Asosiasi Manajemen Informasi Bisnis Internasional ke-33, IBIMA 2019: Keunggulan Pendidikan dan Manajemen Inovasi melalui Visi 2020 , (2019).

Radovan, Mario. “Kekuatan dan Daya Tarik Manipulasi.” Internasional

Jurnal Teknoetika

, 2015. https://doi.org/10.4018/ijt.2015010106. Rubin, Jared.

Penguasa, Agama, dan Kekayaan: Mengapa Barat Menjadi Kaya dan Dunia Menengah Timur Tidak.Penguasa, Agama, dan Kekayaan: Mengapa Barat Menjadi Kaya dan Timur Tengah Tidak, (2017). https://doi.org/10.1017/9781139568272.

Rumble, Lauren, dkk., “Eksplorasi Empiris Pernikahan Anak Perempuan

Penentu di Indonesia.”Kesehatan Masyarakat BMC18, tidak. 1 (Desember 2018): 407. https://doi.org/10.1186/s12889-018-5313-0.

Saday Duman, Nagihan, dkk., “Kesadaran dan Sikap Dokter Terhadap Pernikahan dini." Jurnal Psikiatri Klinis , (2017). https://doi.org/

10.5505/kpd.2017.84803.

Salenda, Kasjim. “Penyalahgunaan Hukum Islam dan Pernikahan Anak di Sulawesi Selatan

Indonesia." Al-Jami'ah: Jurnal Kajian Islam , (2016). https://doi.org/

10.14421/ajis.2016.541.95-121.

Schoon, Eric W., dkk. al., “Jaringan, Kekuasaan, dan Pengaruh Legitimasi di Politik yang Kontroversial.” Perspektif Sosiologis , (2020).

https://doi.org/10.1177/0731121419896808.

Segal-Engelchin, Dorit, dkk., “Pengalaman Pernikahan Dini.” Jurnal dari Penelitian Remaja 31, tidak. 6 (November 2016): 725–49. https://

doi.org/10.1177/0743558415605167.

Shreck, Brian, dan Arnold Vedlitz. “Masyarakat dan Iklimnya: Menjelajahi Hubungan Antara Wacana Publik dan Opini tentang Pemanasan Global.” Masyarakat dan Sumber Daya Alam , (2016).

https://doi.org/10.1080/08941920.2015.1095380.

Supraptiningsih, Umi. “Kontestasi Pro dan Kontra Peningkatan Pernikahan Agein Indonesia.” Samarah ,(2021).

https://doi.org/10.22373/sjhk.v5i1.9136.

Teal, Janae, dan Meredith Conover-Williams. “Homofobia tanpa

(20)

Homofobia: Mendekonstruksi Wacana Publik tentang Seksualitas Queer Abad 21 di Amerika Serikat.” Jurnal Hubungan Sosial

Humboldt , (2016).

Wantu, Sastro Mustapa, dkk., “Perkawinan Anak Dini: Hukum Adat, Dukungan Sistem, dan Kehamilan di Luar Pernikahan di Gorontalo.”Samarah, (2021).

https://doi.org/10.22373/sjhk.v5i2.9573.

Warsito, Warsito. “Hadist Perintah Memperbanyak Keturunan Tinjuan Tekstual Dan Kontekstual Dalam Prespektif Ekonomi.” Riwayah : Jurnal Studi Hadis , (2018). https://doi.org/10.21043/riwayah.v4i1.3118.

Yuille, Andy. “Melakukan Legitimasi dalam Perencanaan Lingkungan: Bertentangan Identitas dan Tata Kelola Hibrid.” Lingkungan dan Perencanaan C: Politik dan Ruang , (2020). https://doi.org/10.1177/2399654420925823. Yulianti, Rina. “Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Perkawinan Usia Dini.”

Jurnal Pamator 3, no.1 (2010).

https://doi.org/https://doi.org/10.21107/pamator.v3i1.2394.

Wawancara

Wawancara AM, Hakim Pengadilan Agama Martapura, Martapura, 2020.

Wawancara H. AM, Ketua Pengadilan Agama Cabang Sumsel Majelis Ulama Indonesia, di Palembang, 2020.

Wawancara dengan H. RSA, Salah Satu Pimpinan PP Muhammadiyah Sumsel,

di palembang tahun 2020.

Wawancara dengan H. RZ, Akademisi, di Palembang, 2020.

Wawancara dengan H. SM, Ketua Indonesia Cabang Palembang Majelis Ulama, di Palembang, 2020.

Wawancara HB, Tokoh Adat, di Palembang Tahun 2020.

Wawancara Hj. Marwiyah, Seorang Khatib, di Palembang, 2020.

Wawancara dengan Hj. RF, Salah Satu Tokoh Agama Palembang, di Palembang, 2020.

Wawancara dengan M.AS,Aparat Desa dan Aparat PemerintahKecamatan

Ketua Sematang Borang, di Palembang, 2020.

Referensi

Dokumen terkait

Internasional dapat menjadi aktor mandiri berdasarkan haknya.Misalnya saja dapat kita lihat dari kasus pernikahan anak di bawah umur yang ada di India dimana UNICEF

Pernikahan di bawah umur menurut Khoiruddin Nasution hanya berlaku untuk Rasulullah SAW adalah karena itu merupakan keistimewaan atau kekhususan yang diberikan oleh Allah kepada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa imajinasi pernikahan di bawah umur dalam cerpen “Si Minem Beranak Bayi” karya Ahmad Tohari dan cerpen Pramoedya Ananta Toer

Pernikahan di bawah umur juga menjadi bahan pembicaraan bagi masyarakat sekitar, hal ini berdasarkan yang penulis amati dari masyarakat Nagari Padang Laweh bahwa

Tujuan penelitian ini adalah : 1) Mengetahui upaya yang dilakukan oleh penyuluh agama Islam dalam meminimalisasi pernikahan bawah tangan di Kantor Urusan Agama Pakusari

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kesadaran hukum masyarakat Kampung Muncang mengenai larangan pernikahan di bawah umur terhadap hak pendidikan anak dapat dikatakan belum

Hal lain yang perlu dicermati dalam implementasi larangan perkawinan di bawah umur adalah bahwa langkah mengkriminalisasi pernikahan di bawah umur akan berhadapan dengan beberapa hal :

Dokumen ini membahas tentang sejarah dan agama Hindu di