• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI NAGARI PADANGLAWEH KECAMATAN KOTO VII KABUPATEN SIJUNJUNG SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI NAGARI PADANGLAWEH KECAMATAN KOTO VII KABUPATEN SIJUNJUNG SKRIPSI"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi

OLEH:

SISI PUTRI YANTI NIM: 1112.006

JURUSAN AL-AHWAL AL- SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

2016 M/1437 H

(2)

PembimbingskripsiatasnamaSISI PUTRI YANTI, NIM. 1112.006, dengan judul “PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR DI NAGARI PADANG

LAWEH KECAMATAN KOTO VII KABUPATEN

SIJUNJUNG”.Memandang bahwa skripsi yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan ilmiah dan dapat disetujui untuk diajukan ke Sidang Munaqasah.

Demikianlahpersetujuaninidiberikanuntukdapatdipergunakanseperlunya.

Bukittinggi,4 Agustus2016

Pembimbing I Pembimbing II

Fajrul Wadi, S.Ag, M.Hum.

NIP.197405251998031006

Nofiardi, M.Ag.

NIP.197606062006041004

(3)

Laweh Kecamatan Koto VII Kabupaten Sijunjung” yang disusun oleh Sisi Putri Yanti, NIM. 1112.006, telah diuji dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, pada hari Selasa tanggal 19 Agustus 2016 dan dinyatakan dapat diterima sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Fakultas Syariah Jurusan Hukum Keluarga Islam (HKI).

Bukittinggi, 19 Agustus 2016 Tim Penguji,

Ketua

Dra. Hj. Nuraisyah, M.Ag NIP. 19570102 198403 2 001

Sekretaris

Nofiardi, M.Ag.

NIP.19760606 200604 1 004 Anggota,

Dra. Hj. Nuraisyah, M.Ag NIP. 19570102 198403 2 001

M. Taufik, M.Ag NIP. 19760224 200710 1 001

Fajrul Wadi, S.Ag, M.Hum.

NIP.19740525 199803 1 006

Nofiardi, M.Ag.

NIP.19760606 200604 1 004

Mengetahui,

Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Dr. Arsal, M.Ag NIP. 19681212 199303 1 002

(4)

i

adalah pernikahan yang dilakukan oleh mempelai yang tidak memenuhi batas umur sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal (7), yaitu calon suami berumur 19 tahun dan calon istri berumur 16 tahun.

Motivasi penulis memilih judul ini berdasarkan pada kenyataan yang terjadi di Nagari Padang Laweh Kecamatan Koto VII Kabupaten Sijunjung:

karena terjadi pernikahan di bawah umur, berdasarkan data yang penulis dapat dari Kantor Wali Nagari Padang Laweh pernikahan di bawah umur terjadi sebanyak 14 pernikahan pada tahun 2013 sampai tahun 2015.

Undang-undang telah mengaturnya, oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti tentang, faktor apa saja yang melatarbelakangi pernikahan di bawah umur dan dampaknya terhadap keutuhan rumah tangga.

Dalam penelitian skripsi ini yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research) dengan mengunakan metode deskriptif yaitu penelitian yang tidak untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel dan gejala keadaan yaitu mengenai Pernikahan di Bawah Umur di Nagari Padang Laweh Kecamatan Koto VII Kabupaten Sijunjung. Dalam pengumpulan data penulis mengunakan data langsung dari orang yang melakukan pernikahan di bawah umur, dan bantuan dari orang lain. Dalam menganalisis pokok pembahasan menggunakan teknik deskriptif kualitatif dengan langkah-langkah yang ditempuh adalah mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah ini, melakukan wawancara dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan orang yang terlibat dalam pernikahan di bawah umur.

Dari hasil penelitian ini penulis menemukan bahwa faktor yang melatarbelakangi terjadi pernikahan di bawah umur di Nagari Padang Laweh Kecamatan Koto VII Kabupaten Sijunjung adalah banyaknya orang luar masuk sehingga terpengaruh karna rendahnya pendidikan dan karna pergaulan bebas.

Dampak dari pernikahan di bawah umur ini ada dampak positif dan dampak negatifnya. Dampak positif dari pernikahan di bawah umur ini adalah menjaga diri dari perbuatan zina dan kemaksiatan.

Adapun dampak negatifnya adalah mereka belum matang untuk berumah tangga sehingga akan membuat kesusahan bagi orang tuanya dan akan bergantung kepada orang tuanya, karna mereka ini belum siap untuk hal-hal seperti itu, dan bagi kelahiran ibu dan anaknya akan berdampak yang sangat buruk sekali bagi kesehatan mereka, bagi ibunya bisa menyebabkan pendarahan dan bisa sampai kematian, dan bagi anaknya kesehatannya kurang atau anaknya lemah, karna kesehatan kurang ini bisa menyebabkan kematian juga.

(5)

ii

Segalapujidansyukurpenulisucapkankehadirat Allah SWT, yang telahmelimpahkanrahmatdanhidayah-Nyakepadapenulis,

sehinggapenulisdapatmenyelesaikanskripsi yang berjudul “PERNIKAHAN Di BAWAH UMUR Di NAGARI PADANG LAWEH KECAMATAN KOTO VII KABUPATEN

SIJUNJUNG”sebagaisalahsatupersyaratanmemperolehgelarsarjana (S1) di Institut Agama Islam Negeri(IAIN) Bukittinggi.

Kemudianshalawatdansalampenulis kirimkankepadaNabi Muhammad SAW yang telahmeninggalkanduapedomanhidupmenujujalan yang diridhaioleh Allah SWT yaitu al-Qur'an danSunnah.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan karya ilmiah ini tidak terlepas dari rahmat dan hidayah Allah SWT dan juga rasa terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda Sapardidan Ibunda Syamsijartercinta, yang telah memberikan segenap cinta dan kasih sayang serta pengorbanan yang tiada tara, baik moril maupun materil dalam mewujudkan cita-cita penulis dan adik- adik penulis Ayu Sundari, Lara Susila Putri yang menjadi motivator penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Selanjutnyapenulisjugamengucapkanterimakasihkepada yang terhormat:

1. Rektor, Wakil Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, serta

(6)

iii

memberikan fasilitas kepada penulis dalam membina ilmu pengetahuan di IAIN Bukittinggi ini.

2. Bapak Fajrul Wadi,S.Ag,M.HumdanBapakNofiardi, M.Agselakupembimbing I dan II, yang telahmemberikanarahandanbimbingannya, sehinggapenulisdapatmenyelesaikanskripsiini.

3. Bapak Ali Rahman, SH.MH selakudosenpenasehatakademik yang telahmemberikanarahandanmotivasinya kepada penulis selama menempuh perkuliahan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

4. Bapak-bapakdanIbu-ibuDosensertaKaryawan-karyawati Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Bukittinggi yang

telahmembekalipenulisdenganberbagaiilmupengetahuan.

5. Bapak pimpinan dan Karyawan-karyawatiperpustakaanInstitut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang telahmenyediakanfasilitaskepadapenulisdalam penelitian skripsi ini.

6. Serta yang tidak terlupakan kawan-kawan seperjuangan dan sahabat sekeluarga yang telah membantu penulis dengan segenap motivasi serta sumbangan pemikiran selama dalam menyelesaikan tugas perkuliahan.

Atassegalabantuan yang telahdiberikan, penulisucapkanterimakasih,

(7)

iv

semogadicatatsebagaiibadah di sisi-Nya. Selanjutnyapenulisberharapkepada-Nya agar skripsiinibermanfaatdanterhitungsebagaiamalibadah, Amin yarabbalalamin.

Bukittinggi, 25 Juli 2016 Penulis

Sisi Putri Yanti NIM. 1112.006

(8)

v HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Penjelasan Judul ... 6

E. Manfaat Penelitian... 7

F. Objek Penelitian ... 8

G. Metodologi Penelitian ... 8

H. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI... 12

A. Pengertian Pernikahan dan Dasar Hukumnya... 12

B. Rukun dan Syarat Pernikahan ... 18

C. Tujuan dan Hikmah Pernikahan... 31

D. Batas Umur Yang Ideal Untuk Melakukan Pernikahan... 33 E. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Melangsungkan

(9)

vi

BAB III HASIL PENELITIAN ... 53

A. Monografi Nagari Padang Laweh ... 54

B. Faktor-faktor Maraknya terjadi Pernikahan di Bawah Umur... .. 65

C. Dampak Pernikahan di Bawah Umur... 71

BAB IV PENUTUP... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran-saran ... 78 DAFTAR KEPUSTAKAAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN

(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan hubungan manusia, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal diatur bagaimana hubungan antara manusia dengan Tuhan, sedangkan secara horizontal diatur bagaimana manusia agar mampu berinteraksi dengan sesama makhluk. Salah satu bentuk aplikasi dari hubungan horizontal tersebut adalah perkawinan.

Allah SWT menciptakan manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, sehingga mereka menjadi berpasang-pasangan atau berjodoh-jodohan, yang disebut perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu Sunnah Allah SWT yang umum dan berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan,1sebagaimana dalam firman Allah SWT :

َﺷ ﱢﻞُﻛ ْﻦِﻣَو َنوُﺮﱠﻛَﺬَﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ ِْﲔَﺟْوَز ﺎَﻨْﻘَﻠَﺧ ٍءْﻲ

) ﺖﻳراﺬﻟا :

٤٩ (

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. Adz-Dzariyat: 49)

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh bahwa pernikahan adalah akad yang telah ditetapkan oleh syara’ agar seorang

1Sayyid Sabiq, Fikih al-Sunnah,(Bandung : al-Ma’arif, 1980), Cet. Ke -15, h. 7

2Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU. No. 1/1974 sampai KHI ).(Jakarta : Kencana, 2004 ), h. 43

(11)

laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan Istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita atau sebaliknya.3

Perkawinan merupakan momentum yang sangat penting bagi perjalanan hidup manusia. Di samping membawa kedua mempelai ke alam lain yang berbeda, perkawinan juga secara otomatis akan mengubah status keduanya, setelah perkawinan kedua belah pihak akan menerima beban yang berat dan tanggung jawab masing-masing. Tanggung jawab dan beban itu bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan, sehingga mereka harus sanggup memikul dan melaksanakan.4

Suami maupun istri perlu memiliki kesiapan matang, baik fisik maupun psikis.Hal ini karena pekerjaan berat tersebut tidak mungkin terlaksana dengan persiapan yang asal-asalan dan kondisi fisik maupun psikis yang buruk. Bagi wanita misalnya, rutinitas kerja dalam rumah tangga memerlukan tenaga yang sangat besar, dari mengurus diri, mengurus rumah, dan melayani kebutuhan suami, baik lahir maupun batin, belum lagi kalau dikaruniai Tuhan keturunan, hal ini akan menambah beban istri. Semua itu memerlukan ketahanan fisik yang prima.

Bagi laki-laki, ketahanan fisik dan mental lebih dituntut lagi seperti disebutkan al-Qur’an, laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Sebagaimana Firman Allah SWT:

3Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU. No. 1/1974 sampai KHI )...., h 39

4Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU. No. 1/1974 sampai KHI )..., h 39

(12)

ْﻢِِﳍاَﻮْﻣَأ ْﻦِﻣ اﻮُﻘَﻔْـﻧَأ ﺎَِﲟَو ٍﺾْﻌَـﺑ ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻬَﻀْﻌَـﺑ ُﻪﱠﻠﻟا َﻞﱠﻀَﻓ ﺎَِﲟ ِءﺎَﺴﱢﻨﻟا ﻰَﻠَﻋ َنﻮُﻣاﱠﻮَـﻗ ُلﺎَﺟﱢﺮﻟا ﱠﻦُﻫﻮُﻈِﻌَﻓ ﱠﻦُﻫَزﻮُﺸُﻧ َنﻮُﻓﺎََﲣ ِﰐ ﱠﻼﻟاَو ُﻪﱠﻠﻟا َﻆِﻔَﺣ ﺎَِﲟ ِﺐْﻴَﻐْﻠِﻟ ٌتﺎَﻈِﻓﺎَﺣ ٌتﺎَﺘِﻧﺎَﻗ ُتﺎَِﳊﺎﱠﺼﻟﺎَﻓ َﻪﱠﻠﻟا ﱠنِإ ًﻼﻴِﺒَﺳ ﱠﻦِﻬْﻴَﻠَﻋ اﻮُﻐْـﺒَـﺗ َﻼَﻓ ْﻢُﻜَﻨْﻌَﻃَأ ْنِﺈَﻓ ﱠﻦُﻫﻮُﺑِﺮْﺿاَو ِﻊ ِﺟﺎَﻀَﻤْﻟا ِﰲ ﱠﻦُﻫوُﺮُﺠْﻫاَو ﺎﻴِﻠَﻋ َنﺎَﻛ

اًﲑِﺒَﻛ ) ءﺎﺴﻨﻟا : ٣٤ (

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An-Nisa’: 34)

Logikanya, laki-laki harus lebih siap dibanding wanita.Melalui ayat di atas, jika dilihat melalui pendekatan Dhahir al-ayah dapat dipahami, bahwa laki- laki dituntut untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya dari kebutuhan sandang, pangan, papan, serta perlindungan dari segala ancaman.5Ia harus mendedikasikan segala potensi untuk memberikan kenyamanan terhadap keluarganya. Kewajiban ini diperintahkan Allah SWT dalam Firman-Nya:

ِت َﻻوُأ ﱠﻦُﻛ ْنِإَو ﱠﻦِﻬْﻴَﻠَﻋ اﻮُﻘﱢـﻴَﻀُﺘِﻟ ﱠﻦُﻫوﱡرﺎَﻀُﺗ َﻻَو ْﻢُﻛِﺪْﺟُو ْﻦِﻣ ْﻢُﺘْﻨَﻜَﺳ ُﺚْﻴَﺣ ْﻦِﻣ ﱠﻦُﻫﻮُﻨِﻜْﺳَأ ﱠﱴَﺣ ﱠﻦِﻬْﻴَﻠَﻋ اﻮُﻘِﻔْﻧَﺄَﻓ ٍﻞَْﲪ ْﻢُﻜَﻨْـﻴَـﺑ اوُﺮَِﲤْأَو ﱠﻦُﻫَرﻮُﺟُأ ﱠﻦُﻫﻮُﺗﺂَﻓ ْﻢُﻜَﻟ َﻦْﻌَﺿْرَأ ْنِﺈَﻓ ﱠﻦُﻬَﻠَْﲪ َﻦْﻌَﻀَﻳ

َﺴَﻓ ُْﰎْﺮَﺳﺎَﻌَـﺗ ْنِإَو ٍفوُﺮْﻌَِﲟ ىَﺮْﺧُأ ُﻪَﻟ ُﻊِﺿْﺮُـﺘ

) قﻼﻄﻟا : ٦ (

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan

5https://www.digilib.Uin-suka.ac.id/5663/1/bab i,v,daftar pustaka.Pdf, di akses tanggal tanggal 26 juni 2016, jam 11.24 wib

(13)

(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik;

dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (QS. At-Thalak :6)

Mereka yang telah dewasa saja yang secara umum dapat melewati, sedangkan mereka yang belum dewasa, belum siap menerima beban seberat ini.

Dalam keseharian peristiwa perkawinan usia di bawah umur sering kali ditemukan, terutama di dalam masyarakat pedesaan atau masyarakat berpendidikan rendah. Alasan yang klise dalam perkawinan ini adalah kesulitan ekonomi, serta kebiasaan adat yang terjadi pada keluarga yang merasa malu mempunyai anak gadis yang belum menikah di usia dua belas sampai lima belas tahun bahkan lebih rendah lagi. Biasanya perkawinan seperti ini berusia pendek karena mereka yang terlibat perkawinan tersebut memang belum siap lahir batin untuk menghadapinya.

Undang-undang perkawinan dengan prinsip kematangan calon mempelai menetapkan batas usia 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita sebagai batas minimal melangsungkan pernikahan.6

Dalam Pasal 7 ayat (1), pada usia tersebut baik pria maupun wanita diasumsikan telah cukup matang untuk memasuki gerbang perkawinan dengan segala permasalahannya. Di samping itu, juga dimaksudkan menekan laju reproduksi manusia, menekan laju pertumbuhan penduduk.7Dalam keadaan yang sangat memaksa, perkawinan di bawah umur tersebut dapat dimungkinkan, tetapi

6Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam Untuk IAIN,(Bandung : Pustaka Setia, 2000), h.85

7Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam Untuk IAIN,...., h. 86

(14)

setelah memperoleh dispensasi dari pengadilan atas permintaan kedua orang tua yang bersangkutan.Hal ini diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 ayat (2).

Dalam perkawinan di satu sisi calon mempelai harus menunggu sampai waktu-waktu tertentu, sampai sekiranya calon mempelai dianggap mampu memikul tugas sebagai istri atau sebagai suami, sedang di lain sisi, rangsangan dan godaan begitu sporadis tersebar di mana-mana.Oleh karena itu, haruskah yang mesti dibatasi atau harus membiarkan pernikahan tanpa “rencana” yang matang sebagai solusi.

Fakta di lapangan, maraknya pernikahan di bawah umur terjadi pada tahun 2013 sampai 2015.Sekitar 14 pasang, oleh beberapa faktor penyebab: ekonomi, pendidikan, pola asuh orang tua, dan banyaknya orang yang masuk dari luar untuk bekerja sehingga orang Padang Laweh terpengaruh seperti yang terjadi di Nagari Padang Laweh, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjung menunjukkan bahwa ditemukan pernikahan yang dilakukan oleh calon mempelai dengan usia di bawah batas minimal standar usia yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.8

Apakah masyarakat tidak mengerti kalau sudah ada Undang-Undang Perkawinan yang mengatur usia calon mempelai, bukankah Undang-Undang tersebut telah mengaturtentang usia ideal menikah. Berangkat dari fenomena tersebut, penyusun merasa penting untuk melakukan penelitian lebih serius terhadap skripsi dengan judul :‘’PERNIKAHAN DIBAWAH UMUR DI NAGARI PADANG LAWEH KECAMATAN KOTO VII KABUPATEN

8Azmi Farmen, Wawancara Pribadi, tanggal 23 September 2015.

(15)

SIJUNJUNG’’

B. RumusanMasalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan diatas maka rumusan masalahnya adalah:

a. Kenapa maraknya terjadi pernikahan di bawah umur di Nagari Padang Laweh Kecamatan Koto VII Kabupaten Sijunjung?

b. Apadampak pernikahan di bawah umur terhadap keutuhan rumah tangga?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak penulis capai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi maraknya pernikahan di bawah umur.

b. Untuk mengetahui dampak dari pernikahan di bawah umur di Nagari Padang Laweh.

2. Kegunaan Penelitian

a. Sebagai salah satu syarat menyelesaikan Studi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

b. Untuk dijadikan sebagai salah satu landasan kepustakaan bagi peneliti-peneliti yang berkaitan dengan masalah ini.

c. Untuk memberikan jawaban atas masalah yang dijadikan bahan penelitian.

D. Penjelasan Judul

Untuk memudahkan pembaca dalam memahami uraian pada lembaran

(16)

berikutnya, sekaligus penyeragaman pemahaman antara penulis dan pembaca, maka penulis jelaskan kata-kata dalam judul skripsi ini sebagai berikut :

Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki- laki dan seorang perempuan karena ikatan suami istri, dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.9

Pernikahan di bawah umur adalah sebuah pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia dibawah 19 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah SMP, SMA atau sederajat dengan itu. Jadi, sebuah pernikahan disebut pernikahan di bawah umur, jika kedua atau salah satu pasangan masih berusia dibawah 18 tahun (masih berusia remaja).

Padang Laweh adalah suatu nama tempat yang berada di Sijunjung, maksud dari Padang Laweh yaitu ladang (parak) yang tidak bisa dipagar.

Adapun maksud dari judul ini adalah perkawinan yang dilakukan oleh mempelai yang tidak memenuhi batas umur minimal sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal (7), di Nagari Padang Laweh.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum keluarga Islam.

b. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

9Boedi Abdullah, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung : CV. Pustaka Setia,2011),h.9

(17)

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai tambahan ilmu bagi penulis dalam menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang terjadi dalam perkawinan dan keluarga.

b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran ataupun bahan masukan bagi pihak- pihak yang terkait dengan kehidupan perkawinan, khususnya dalam perkara Pernikahan di bawah umur.

c. Guna memberikan jawaban atas masalah yang dijadikan bahan penelitian.

F. Objek Penelitian

Adapun objek dalam penelitian ini adalah : 1. Pihak yang melakukan pernikahan dini.

2. Wali Nagari Padang Laweh Sijunjung dan masyarakat setempat.

G. Metode Penelitian

Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. 10Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, menganalisis, merumuskan sampai menyusun laporannya.11Metodologi penelitian adalah mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam suatu kegiatan penelitian.12

Supaya penelitian ini bisa dikatakan ilmiah maka penulis harus menggunakan metode yang memenuhi kriteria ilmiah pula, sehingga untuk membahas permasalahan yang dikemukakan di atas penulis menggunakan metode sebagai berikut:

10Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial,(Jakarta : Bumi Aksara, 2008),h. 41

11Cholid Narbuko, Metodologi Penelitian,(Jakarta : Bumi Aksara, 2013), h. 1

12Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Adelina Press, 2010), h. 98

(18)

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian lapangan (field research) yang difokuskan pada penelitian kualitatif, yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan apa adanya tentang suatu variable, gejala, keadaan.13Penelitian ini dilakukan di Nagari Padang Laweh.

2. Sumber Data

Sumber data untuk penelitian ini adalah:

a. Data primer yaitu data yang diperoleh dari objek yang diteliti.14

Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah orang melakukan pernikahan di bawah umur.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh diluar dari objek yang diteliti yaitu diperoleh dari perpustakaan dengan cara memperhatikan dan melengkapi buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan ini.

Adapun yang menjadi sumber data Sekunder dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat dan masyarakat umum.

Tokoh Masyarakat yang penulis maksud adalah:

1) Tokoh Adat yaitu Niniak Mamak dan Bundo Kanduang

2) Tokoh Agama yaitu orang yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai guru agama.

13Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian,(Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000), h. 234

14Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum,(Jakarta:Granit,2005), cet.ke-2 h. 57

(19)

Sementara itu masyarakat umum yang penulis maksud adalah masyarakat Nagari Padang Laweh selain dari tokoh masyarakat dan pelaku, yang mengetahui masalah yang akan penulis teliti.

Karena dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka teknik yang digunakan adalah teknik snowball sampling yaitu metode penarikan sampel secara berantai, dari satu sampel informan yang diketahui diteruskan kepada informan berikutnya sesuai dengan informan yang pertama, begitu seterusnya sehingga jumlah informan yang dihubungkan semakin lama semakin besar.15

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan, maka digunakan teknik pengumpulan data, yaitu dengan wawancara.Wawancara yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan secara lisan kepada responden. 16 Jenis wawancara yang digunakan adalahtanya jawab yang terarah untuk mengumpulkan data-data yang relevan.17

Dalam menentukan narasumber yang akan diwawancarai peneliti akan menggunakan metode snowball sampling yaitu sampel atau responden yang dipilih berdasarkan penunjukkan atau rekomendasi pertama. 18 Metode ini diterapkan dengan menentukan satu orang interview lalu darinya akan diminta

15Muhammad Teguh, Metode Penelitian Teori dan Aplikasi,(Jakarta: PT. Raja Granpindo Persada,1999), cet.ke-1, h.159

16Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori danPraktek,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997),h. 39

17Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial,....,h. 56

18Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori danPraktek,....,h. 73

(20)

rekomendasi tentang siapa lagi yang bisa diwawancarai sampai mendapatkan data penuh.

H. Sistematika Penelitian

BAB I Pendahuluan, berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan kegunaan peneltian, penjelasan judul, manfaat penelitian, metodepenelitian,sistematika penulisan.

BAB II landasan teori. Pengertian pernikahan dan dasar hukumnya, rukun dan syarat perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, batas umur yang ideal untuk melakukan perkawinan, hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melangsungkan suatu akad perkawinan, dan pernikahan di bawah umur.

BAB III Hasil Penelitian yaitu tentang kenapa terjadinya pernikahan di bawah umur di Nagari Padang Laweh kecamatan koto VII kabupaten Sijunjung dan dampak atau akibat pernikahan di bawah umur terhadap keutuhan rumah tangga.

BAB IV Penutup. Bab ini merupakan akhir dari pembahasan yang memuat kesimpulan dan saran.

(21)

13

A. Pengertian Pernikahan dan Dasar Hukumnya 1. Pengertian Pernikahan

Fiqih menggunakan dua istilah untuk menyebut perkawinan yaitu nikahdan zawaj. Yang lazim digunakan adalah kata nikah. Secara umum makna nikah dapat dikembalikan kepada pengertian bahasa (etimologi) yaitu berhimpun, dan gaul menggauli. Pengertian nikah secara literal ini sesuai dengan makna nikah secara majazi yang diartikan dengan hubungan seks. Term nikah yang menunjuk kepada makna hubungan seks tersebut dijumpai dalam surat Al-Baqarah ayat 230:





























































) ةﺮﻘﺒﻟا : ٢٣٠ (

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”(QS. Al- Baqarah:230)

Makna ﺢﻜﻨﺗ dalam ayat diatas diperjelas oleh hadist berikut:1

ﻋﺎﻓر نا ﺎﻬﻨﻋ ﷲا ﻰﺿر ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ ﺰﺘﻓ ﺎﻬﻘﻠﻃ ﰒ ةاﺮﻣإ جوﺰﺗ ﻰﻇﺮﻘﻟا ﺔ

ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟا ﺖﺗﺄﻓ ج

ﻌﻣ ﺲﻴﻟ ﻪﻧاو ﺎﻬﻴﺗﺄﻳ ﻻ نا ﻪﻟ تﺮﻛﺬﻓ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻞﻘﻓ ﺔﺑﺪﻫ ﻞﺜﻣ ﺎ

: ﻰﻗوﺬﺗ ﱴﺣﻻ

ﻚﺘﻠﻴﺴﻋ قوﺬﻳ و ﻪﺘﻠﻴﺴﻋ )

ىرﺎﺨﺒﻟا ﻩاور (

1Shafra, Fikih Munakahat 1, (Bukittinggi: STAIN Press, 2006 ), h. 2

(22)

Artinya: “Dari Aisyah r.a bahwa Rifa’ah al-Qurzhi mengawini seorang perempuan lalu perempuan itu ia talak. Kemudian perempuan itu menikah dengan lelaki lain. Selanjutnya ia datang kepada Nabi SAW dan menuturkan kepada beliau bahwa suaminya tidak pernah mengaulinya dan bahwa suami barunya itu tidak lain kecuali seperti ujung kain. Nabi lalu bersabda: “tidak, sehingga kamu merasai madunya dan dia juga merasai madumu”.

Term lain yang sepadan dengan kata nikah adalah zawaj yang berarti pasangan. Dalam berbagai bentuknya, kata ini ditemukan sebanyak 81 kali di dalam al-qur’an. Lafal zawaj itu menunjukkan bahwa pernikahan bertujuan menjadikan seseorang memiliki pasangan dari lawan jenisnya secara sah.

Dalam terminologi fikih, zawaj digunakan untuk menyebut perkawinan dalam konteks hukumnya. Nikah dipandang sebagai perjanjian bilateral atau akad antara dua pihak. Secara jelas pengertiannya adalah

“Nikah adalah akad yang mengandung pembolehan melakukan istimta’

(bersenang-senang) dengan perempuan, melakukan watak, mempergaulinya, mencium, memeluk dan lain-lain dengan lafal nikah, tazwij atau yang sama maknanya”.2

Dengan demikian nikah dapat diartikan sebagai lembaga perkawinan untuk membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, melakukan hubungan kelamin yang sudah terikat dalam suatu akad.Secara umum makna nikah ada dua pengertian yaitu secara etimologi dan terminologi:

a. Pengertian Pernikahan Secara Etimologi

Pengertian nikah menurut etimologi dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama, antara lain:

2Shafra, Fikih Munakahat 1...., h. 4

(23)

1) Menurut Abdurahman al-Jaziri:

ﻢﻀﻟاو ءطﻮﻟا ﻮﻫ ح ﺎﻜﻨﻟا

3

Artinya: “Nikah adalah bersenggama atau bercampur”.

2) Menurut Muhammad bin Ismail al-Kahlani:

ﺔﻐﻟ حﺎﻜﻨﻟا :

ﻞﺧاﺪﺘﻟاو ﻢﻀﻟا

4

Artinya: “Nikah menurut bahasa adalah bercampur dan bergaul”.

3) Menurut Wahbah al-Zuhaili:

ﻢﻀﻟاو ءطﻮﻟاﻮﻫ حﺎﻜﻨﻟا

5

Artinya: “Nikah menurut bahasa adalah bercampur dan berkumpul”.

4) Menurut Syech Syihabuddin al-Qalyubi dan Syech Umairah menyatakan bahwa pernikahan adalah:

ﺔﻐﻟ ح ﺎﻜﻨﻟا :

ءطﻮﻟاو ﻢﻀﻟا

6

Artinya: “Nikah menurut bahasa adalah bercampur dan bersetubuh”.

Dari beberapa pengertian nikah di atas yang telah dikemukakan oleh para ulama, jelas bahwa satu pendapat dengan pendapat yang lain berbeda namun perbedaan tersebut hanya dari pengungkapannya saja, namun substansinya sama, yang mana intinya menitikberatkan pada bercampur atau melakukan hubungan suami istri.

b. Pengertian Pernikahan Menurut Terminologi

3Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz. IV, h.1

4Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam, (Jakarta: Darus Sunnah, 2012), h. 602

5Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz. VII, h. 29

6Syech Shihabuddin al-Qalyubi dan Syech Amira, Qalyubi wa Amira, (Semarang, Toha Putra, [t.th]), Juz. III, h. 206

(24)

Pernikahan menurut istilah ada beberapa pendapat ulama tentang nikah tersebut antara lain:

1) Menurut Wahbah al-Zuhaily pengertian perkawinan menurut istilah adalah:

ﺎﻋ ﺮﺷ ح ﺎﻜﻨﻟا :

اﺔﺣﺎﺑا ﻦﻤﻀﺘﻳﺪﻘﻋ ﻻ

ﻢﻀﻟاو ﻞﻴﺒﻘﺘﻟاو ةﺮﺷ ﺎﺒﳌاو ءطﻮﻟ ﺎﺑ ةءاﺮﳌ ﺎﺑ عﺎﺘﻤﺘﺳ

ﻚﻟذﲑﻏو

7

Artinya: “Nikah adalah akad yang mengandung kebolehan bersenang-senang dengan perempuan, bersenggama, bergaul, berciuman, bercampur dan sebagainya”.

2) Menurut Muhammad Abu Zahrah nikah menurut istilah adalah:

ﺎﻋ ﺮﺷ ح ﺎﻜﻨﻟا :

ﻦﻣ ﺎﻤﻴﻜﻟ ﺎﻣ ﺪﺣو ﺎ و ﺎﻌﺗو ةءاﺮﳌا و ﻞﺟﺮﻟا ﲔﺑ ةﺮﺸﻌﻟا ﻞﺣ ﺪﻴﻔﻳ ﺪﻘﻋ

تﺎﺒﺟاو ﻦﻣ ﻪﻴﻠﻋ ﺎﻣو قﻮﻘﺣ

8

Artinya: “Nikah adalah akad yang membolehkan mengadakan hubungan seksual (suami istri) dan mengadakan tolong-menolong dan memberikan batas hak pemiliknya memenuhi kewajiban bagi masing-masing”.

Dari pendapat para ulama di atas menjelaskan bahwa pernikahan menurut istilah merupakan sebuah akad yang menjadi sebab halalnya “menggauli”

perempuan yang semula diharamkan.Akan tetapi jika dilihat batasan yang diberikan oleh Muhammad Abu Zahrah terdapat sebuah pemahaman yang lebih komprehensif bahwa perkawinan bukan hanya menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu bahwa perkawinan dititik beratkan pada sebuah akad yang diiringi dengan hak-hak dan kewajiban antara suami dan istri tersebut.Sehingga perkawinan itu bukan hanya sekedar menghalalkan

7Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, h. 39

8Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI),(Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2004), hal, 39

(25)

hubungan seksual saja.9

Sedangkan pengertian perkawinan menurut Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1 bahwa:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”.10

2. Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada orang yang sudah mempunyai kemampuan, karena dengan perkawinan, manusia akan cenderung dan merasa tentram dalam kehidupannya, sehingga akan menimbulkan rasa kasih dan sayang antara mereka, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ar-Rum ayat 21:

َﺬﻴِﻔﱠﻧِإًﺔَْﲪَرَوًةﱠدَﻮَﻤْﻤُﻜَﻨْـﻴَـﺒَﻠَﻌَﺟَوﺎَﻬْـﻴَﻟِإاﻮُﻨُﻜْﺴَﺘِﻟﺎًﺟاَوْزَﺄْﻤُﻜِﺴُﻔْـﻧَﺄْﻨِﻤْﻤُﻜَﻠَﻘَﻠَْﳔَﺄِِﺎَﻳاَءْﻦِﻣَو َﻔَـﺘَﻴٍﻣْﻮَﻘِﻠٍﺗﺎَﻳ َﻶَﻜِﻟ

َنوُﺮﱠﻛ ) موﺮﻟا : ٢١ (

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(QS. Ar-Ruum:21) Disamping itu perkawinan juga dapat mengurangi perbuatan maksiat, menundukkan pandangan dan memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh sebab itu Nabi sangat menganjurkan kepada umatnya (khusus pemuda) yang sudah mempunyai kemampuan untuk segera kawin, sedangkan yang belum ada

9 Hasbullah Bakri, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan PerkawinanIndonesia, (Jakarta: Djambatan, 1981), Cet. Ke II, h. 3

10Hasbullah Bakri, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan Indonesia..., h. 3

(26)

kemampuan, dianjurkan untuk berpuasa, karena puasa dapat menghalangi nafsu sebagaimana sabda Nabi SAW:

ﻦﻋ اﺑ ﻦ ﺿر دﻮﻌﺴﻣ ا ﻰ

لﺎﻗ ﻪﻨﻋ ﷲ :

لﺎﻗ ﺎﻨﻟ ا لﻮﺳر ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲ

: ﺎﻳ

ﺮﺸﻌﻣ ﻦﻣ بﺎﺒﺸﻟا ا

جو ﺰﺘﻴﻠﻓ ةءﺎﺒﻟا ﻢﻜﻨﻣ عﺎﻄﺘﺳ ,ﻓ

ﺈ ﻪﻧ أ و ﺮﺼﺒﻠﻟ ﺾﻏ أ

جﺮﻔﻠﻟ ﻦﺼﺣ ﻢﻠﻨﻣو

ﻓ مﻮﺼﻟﺎﺑ ﻪﻴﻠﻌﻓ ﻊﻄﺘﺴﻳ ﺈ

ءﺎﺟو ﻪﻟ ﻪﻧ )

ﻩاور ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ

11

(

Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata: Rasulullah Saw bersabda: Wahai generasi muda, siapa diantara kamu telah mampu untuk menikah hendaknya ia nikah, karena nikah itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan jika dia belum mampu hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu dapat menjadi kendali (obat).” (HR. Muttafaq Alaih)

Kata

ة ءﺎﺒﻟا

dalam kitab Subulus Salam diartikan dengan jima’, maksudnya orang yang mampu untuk memenuhi nafkah keluarga, hendaklah dia menikah, dan bagi yang belum mampu memenuhi kebutuhan keluarga, hendaklah dia berpuasa untuk mengekang syahwat dan menurunkan produksi air mani, sebagaimana halnya tameng yang bisa menghalangi badan dari sabetan senjata tajam sebagai bentuk pengendalian diri.12

Kata

ءﺎﺟو

“ artinya kebiri, yaitu dapat lagi berketurunan selama-lamanya.

Namun yang dimaksud dengan mengebiri disini adalah sebagai penghalang seseorang untuk berbuat kotor. Ada juga yang mengartikan, makna ءﺎﺟو adalah menghancurkan kedua buah dzakar. Dan arti sebenarnya adalah mengebiri, maksudnya puasa diibaratkan seperti kebiri karena sama-sama mengendalikan syahwat.

11Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam, (Jakarta: Darus Sunnah, 2012), h. 602

12Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam,…, h. 603

(27)

Dalam hadist lain Rasulullah melarang umatnya untuk hidup membujang atau tidak kawin sama sekali, sebagaimana hadist yang berbunyi:

ﻦﻋ أ ﺲﻧ ﺑﻦ ﺿﺮﻜﻠﻣ ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲ نأ

ﺻ ﱯﻨﻟا ﻪﻴﻠﻋ ﲎﺛأو ﷲا ﺪﲪ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠ

, لﺎﻗو :

مﺎﻧأو ﻲﻠﺻأ ﲏﻜﻟ ,

مﻮﺻأو , ﻓأو ﺮﻄ , ءﺎﺴﻨﻟا جوﺰﺗأ و ,

ﺴﻴﻠﻓ ﱵﻨﺳ ﻦﻋ ﺐﻏر ﻦﻤﻓ ﲏﻤ

) ﻖﻔﺘﻣ

ﻪﻴﻠﻋ

13

(

Artinya: “Dari Anas bin malik Radhiyallahu Anhu bahwa Nabi SAW setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, beliau bersabda, “Tetapi Aku shalat, tidur, berpuasa, berbuka, dan menikah. Barang siapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk umatku”. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Dari ayat dan hadist di atas dapat diketahui bahwa syari’at Islam tidak satupun yang menyuruh untuk hidup membujang (tidak kawin), akan tetapi malah menyuruh melakukan perkawinan. Sesuai dengan sabda Nabi SAW:

ا ﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ ﻦﻋ ﺎﻗو ﰊا ﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ ﺖﻌﲰ لﻮﻘﻳ ﺐﻴﺴﳌ

ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻲﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر در لﻮﻘﻴﺻ

ﺎﻨﻴﺼﺘﺣ ﻻ ﻪﻟ نذا ﻮﻟو ﻞﺘﺒﺘﻟا نﻮﻌﻈﻣ ﻦﺑ نﺎﻤﺜﻋ ﻰﻠﻋ ﻢﻠﺳ و )

ير ﺎﺨﺒﻟا ﻩاور

14

(

Artinya: “Dari Sa’id Ibn Musayyab ia berkata: Aku mendengar Sa’id bin Abi Waqas berkata: Rasulullah SAW menolak Ustman bin Ma’dzun untuk membujang “andaikan dia dibolehkan membujang, tentu kami (para sahabat) akan berkebiri saja”.(HR.Bukhari).

B. Rukun dan Syarat Perkawinan

Perkawinan mempunyai syarat dan rukun yang harus dipenuhi.Rukun dan syarat merupakan dasar yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Sebelum penulis menjelaskan rukun dan syarat perkawinan, sebaiknya dijelaskan lebih dahulu apa yang dimaksud dengan rukun dan syarat tersebut.

13Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam,...,h. 605

14Abu Adillah Muhammad Ibn Ismail, Shahih Bukhari, ([t.tp] Nur Asia, 1981), Juz. V, h.

118-119

(28)

Yang dimaksud rukun adalah:

ﻦﻛﺮﻟا : ﻪﻨﻣ ءﺰﺟ نﺎﻛو ءﻲﺸﻟا ﺔﺤﺻ ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻓﻮﺘﻳ ﺎﻣ

15

Artinya: “Rukun adalah sesuatu yang menentukan sahnya sesuatu dan dia merupakan bagian dari sesuatu tersebut”.

Sedangkan syarat adalah:

طﺮﺸﻟا : ﻪﻨﻣ ءﺰﺟ ﺲﻴﻟو ءﻲﺸﻟا ﺔﺤﺻ ﻪﻴﻠﻋ ﻒﻗ ﻮﺘﻳ ﺎﻣ

16

Artinya: “Syarat adalah sesuatu yang menentukan sahnya sesuatu dan dia tidak merupakan bagian dari sesuatu tersebut”.

Dari defenisi rukun dan syarat di atas, bahwa antara rukun dan syarat perkawinan tersebut ada persamaan dan perbedaannya.Persamaannya adalah antara rukun dan syarat sama-sama menentukan sah tidaknya perkawinan dan perbedaannya ialah rukun bagian dari perkawinan, sedangkan syarat adalah terdapat di luar perkawinan.

Pada uraian berikut ini penulis memaparkan rukun dan syarat perkawinan, yaitu menurut hukum Islam, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

1. Menurut Hukum Islam

Perkawinan adalah sah menurut agama Islam ialah sesuatu yang telah dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan serta terhindar dari segala yang menghalang.

Mengenai rukun nikah terdapat perbedaan pendapat di kalangan para

15Abdul Hamid Hakim, Mubadi’ Awaliyah, (Bukittinggi: Nusantara, [t.th]), h. 9

16Abdul Hamid Hakim, Mubadi’ Awaliyah …, h. 9

(29)

ulama:

a. Menurut Hanafiah berpendapat bahwa rukun nikah adalah ijab dan kabul, karena ijab kabul yang menjadi penentu ada atau tidak adanya perkawinan.

b. Menurut Syafi’iyah yang menjadi rukun nikah adalah:

1) Suami 2) Istri 3) Wali

4) Dua orang saksi

5) Sighat (ijab dan kabul)17

c. Menurut Malikiyyah yang menjadi rukun perkawinan adalah:

1) Wali perempuan

2) Mahar tidak disyarat menyebutkan pada waktu akad 3) Calon suami

4) Calon istri 5) Siqhat18

Dari beberapa pendapat ulama di atas dapat diketahui dalam menetapkan rukun perkawinan para ulama berbeda pendapat.Menurut Malikiyyah saksi tidak wajib dalam perkawinan, cukup diumumkan saja kepada orang ramai untuk memperjelas keturunan, sedangkan menurut Syafi’iyyah bahwa saksi dalam perkawinan adalah wajib berarti apabila tidak ada saksi perkawinan tidak sah.19

17Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah …, h. 12

18Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah …, h. 12

19Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, h. 62

(30)

Jika ketika ijab dan kabul tidak ada saksi yang menyaksikan sekalipun diumumkan pada orang ramai tetap tidak sah. Hanafiyyah berpendapat bahwa wali tidak termasuk rukun nikah karena yang menjadi penentu dalam nikah hanya ada ijab dan kabul.20

Berdasarkan perbedaan pendapat di atas tentang rukun nikah maka penerapannya diserahkan kepada hukum yang berlaku dalam suatu daerah atau tempat, namun untuk lebih jelasnya M. Abu Zahrah dalam bukunya Al-Ahwal Al- syakhshiyah mengulas lebih lanjut syarat yang harus dipenuhi dalam setiap unsur

akad itu yang dikelompokkan dalam 4 bentuk yaitu:

a. Syarat yang berkaitan dengan akad

Syarat In’iqad ini terbagi dalam 2 macam yaitu:

1) Syarat bagi orang yang mengakadkan, bagi orang yang mengakadkan haruslah orang yang berakal dan tidak sah akad bagi orang gila dan anak kecil karena belum cakap dalam bertasarruf.

2) Syarat yang berhubungan dengan majelis akad yaitu:

a) Syarat yang bagi orang yang melaksanakan akad haruslah satu majelis dimana mereka berada dalam satu tempat.

b) Bahwa siqhat ijab kabul tersebut didengar oleh orang yang berakad dan dipahami oleh mereka.

c) Bahwa bersambung antara ijab dan kabul di mana antara ijab dan kabul

20Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, h. 63

(31)

mempunyai satu maksud.21 b. Syarat sah

Syarat sah yaitu syarat yang akad itu sendiri tidak akan ada tanpa adanya syarat tersebut. Perempuan tersebut adalah halal bagi laki-laki artinya bahwa perempuan itu bukanlah mahram bagi laki-laki tersebut baik mahrah yang bersifat selama-lamanya maupun sementara.

Termasuk syarat sah juga yaitu hadirnya dua orang saksi, karena saksilah yang nantinya yang mengetahui akibat dari perkawinan di kemudian hari seperti tentang keturunan dan memberitahukan kepada orang lain tentang pernikahan tersebut.

Tentang syarat sah perkawinan Wahbah Zuhaily telah menjelaskannya sebagai berikut:

1) Berkaitan dengan furu’, yaitu perempuan yang akan dikawini bukan mahramnya.

2) Penerimaan ijab dan kabul (akad).

3) Ada saksi.

4) Keredhaan kedua belah pihak.

5) Calon suami atau istri jelas.

6) Tidak dalam keadaan haji dan umrah.

7) Ada mahar.

21Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, h. 63

(32)

8) Bisa melakukan hubungan badan.

9) Suami istri tidak mempunyai penyakit berbahaya (menular).

10) Ada wali.22

c. Syarat kelangsungan

Syarat kelangsungan yaitu syarat yang hukum akad itu tidak berlaku terhadap pihak yang berakad bila syarat itu tidak ada dan akad tersebut dianggap tertangguh sampai ada syarat tersebut. Syarat itu ialah wilayah atau kekuasaan untuk melangsungkan akad, baik terhadap diri, terhadap orang lain yang berada dibawah wewenangnya atau sebagai wakil dari pihak lain.

Menurut Abu Hanifah syarat nafaz itu adalah:

1) Suami dan istri harus cakap hukum 2) Suami harus cerdas

3) Mendahulukan wali yang lebih dekat

4) Wakil harus berbuat sesuai dengan perintah orang yang memberi wakil 5) Orang yang mengakadkan mempunyai kewenangan23

d. Syarat kepastian

Syarat kepastian yaitu syarat yang harus ada untuk tidak dimungkinkan difasahkannya akad itu.Syarat luzum ini menurut ulama Hanafi adalah perkawinan harus dilakukan oleh calon suami dan istri yang sudah dewasa, wali yang mengakadkan cakap untuk melakukan akad dan jumlah minimal mahar adalah

22Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, h. 64-82

23Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, h. 84-86

(33)

sebanyak yang biasa berlaku dalam keluarga. Di dalam keterangan lain disebutkan, bahwa syarat luzum tersebut adalah:

1) Walinya bapak atau kakek 2) Suami sekufu dengan istri 3) Mahar

4) Istri tidak redha atas aib suami24

Bila diperhatikan syarat-syarat di atas menurut kelompoknya akan jelas bahwa syarat-syarat itu pada umumnya telah melengkapi semua unsur yang terdapat dalam akad dan itulah yang disebut rukun nikah.

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang mesti ada dalam suatu perkawinan yang merupakan hakikat dari perkawinan itu sendiri adalah: calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, siqhat (ijab qabul).

Syarat-syarat yang saling berhubungan dalam perkawinan itu dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Syarat calon suami yaitu jelas orangnya, tidak mahram, tidak sedang mempunyai 4 orang istri selain wanita yang dipinang.25

b. Syarat calon istri yaitu tidak sedang terikat dalam suatu perkawinan dan iddah, jelas orangnya, bukan mahram.26

c. Syarat wali yaitu:

24Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, h. 87-89

25Sayyid Abu Bakar Ibn Sayyid Muhammad Syatha’ al-Dimyaty, I’anah al-Thalibin …, h.297

26Sayyid Abu Bakar Ibn Sayyid Muhammad Syatha’ al-Dimyaty, I’anah al-Thalibin …, h.297

(34)

1) Laki-laki. Seorang wali disyaratkan laki-laki dipahami dari syarat nash pada ayat 221 al-Baqarah yang berbunyi:

ْﺸُﻤْﻟااﻮُﺤِﻜْﻨُـﺗ َﻻَﻮْﻤُﻜْﺘَﺒَﺠْﻋَأْﻮَﻟَوٍﺔَﻛِﺮْﺸُﻤْﻨِﻣٌﺮْـﻴَﺧٌﺔَﻨِﻣْﺆُﻣٌﺔَﻣََﻷَﻮﱠـﻨِﻣْﺆُـﻴﯩﱠﺘَِﲢﺎَﻛِﺮْﺸُﻤْﻟااﻮُﺤِﻜْﻨَـﺗ َﻻَو ﯩﱠﺘَﺤَﻨﻴِﻛِﺮ

اﻮُﻨِﻣْﺆُـﻴ

) ...

ةﺮﻘﺒﻟا : ٢٢١ (

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman”.(QS. Al-Baqarah: 221)

2) Baligh dan berakal 3) Merdeka

Wali disyaratkan merdeka sebab orang yang tidak merdeka (budak) berada dibawah tangan tuannya.

4) Beragama Islam, jika yang diwalikannya itu orang yang beragama Islam.27 Firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 28:

َﲔِﻨِﻣْﺆُﻤْﻟﺎِﻧوُﺪْﻨِﻣَءﺎَﻴِﻟْوَﺄَﻨﻳِﺮِﻓﺎَﻜْﻟﺎَﻧﻮُﻨِﻣْﺆُﻤْﻟاِﺬِﺨﱠﺘَـﻳ َﻻ ) ...

ناﺮﻤﻌﻟا : ٢٨ (

Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin...” (QS. Ali Imran:

28) d. Syarat saksi

Untuk dapat menjadi saksi dalam suatu pernikahan harus memenuhi syarat-syarat yaitu laki-laki, Islam, baliqh berakal, harus bisa mendengar dan melihat.28

e. Syarat sighat (ijab qabul)

27Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawianan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 24

28Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. I, h. 51

(35)

1) Dilaksanakan dalam satu majelis

2) Harus tawafuq artinya ada persesuaian isi mengenai maksud ijab dengan maksud qabul.

3) Tidak diselangi dengan ungkapan yang lain29

2. Rukun dan syarat pernikahan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974

a. Persetujuan kedua calon mempelai

Dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Perkawinan harus di atas persetujuan calon mempelai.Persetujuan yang timbul secara murni dari kedua calon mempelai (suami istri) merupakan fundamen yang kuat untuk membina rumah tangga yang bahagia dan kekal.

b. Izin orang tua bagi calon suami istri yang belum mencapai umur 21 tahun.

Izin orang tua bagi anaknya yang berumur 21 tahun sangat diperlukan supaya terdapat kemaslahatan bagi anaknya itu.Tentang izin orang ini diatur dalam pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

c. Izin dari salah seorang orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

Bila salah seorang orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya atau izinnya, karena jauh atau gila maka yang memberi izin adalah yang masih hidup atau yang mampu. Bila yang meninggal atau tidak mampu adalah bapak maka yang memberi izin adalah ibu dan sebaliknya terdapat dalam pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No.1 Tahun 1974

29Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan …, h.56

(36)

d. Izin dari wali atau pengampu atau keluarga yang berhubungan darah.

Bila kedua orang tua dari calon suami atau istri sudah meninggal dunia atau tidak mampu maka itu diperbolehkan dari wali seperti kakak, saudara laki- laki atau pengampu atau keluarga yang dekat yang berhubungan darah terdapat dalam pasal 6 ayat (4) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

e. Ada izin dari pengadilan.

Bila ada perbedaan pendapat antara kedua orang tua atau salah seorang wali atau sebaliknya terdapat dalam pasal 6 ayat (5) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.30

f. Kedua mempelai telah mencapai umur yang telah ditentukan oleh Undang- Undang (pria 19 tahun dan wanita 16 tahun)

Bagi orang yang kurang umurnya dari ketentuan tersebut boleh dimintakan dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau wanita sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

Demikianlah rukun dan syarat perkawinan yang diatur dalam Undang- Undang No.1 Tahun 1974 yang dipedomani oleh pihak yang melangsungkan perkawinan atau bagi hakim Pengadilan Agama yang mengadili perkara pembatalan suatu perkawinan sesuai dengan pasal 22 Undang-Undang No.1 Tahun1974.

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang

30Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1999), h. 18

(37)

mesti ada dalam suatu perkawinan yang merupakan hakikat dari perkawinan itu sendiri adalah: calon suami, istri, wali, dua orang saksi, dan siqhat.

3. Rukun dan syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Terdapat dalam pasal 14 yang menentukan rukun nikah yaitu:

a. Calon suami.

b. Calon istri.

c. Wali nikah.

d. Dua orang saksi.

e. Siqhat (ijab kabul).31

Perkawinan yang telah memenuhi lima rukun di atas, belum dapat dikatakan sah, sebelum terpenuhi beberapa syarat yang berkaitan dengan rukun nikah, yaitu syarat calon suami, syarat calon istri, wali, dua orang saksi, dan syarat ijab kabul.Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku di Indonesia.

Adapun rukun tersebut di atas masing-masing mempunyai syarat-syarat tertentu yang akan penulis jelaskan sebagai berikut:

a. Calon suami

Di dalam bab IV Pasal 15 sampai Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam disebutkan syarat-syarat calon suami yaitu:

1) Calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan yang belum berumur 19 tahun harus mendapat izin wali.

31Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam..., h. 18

(38)

2) Adanya persetujuan dari calon suami.

3) Tidak terdapat halangan perkawinan.

b. Calon istri.

Syarat dari calon istri ini terdapat dalam Pasal 15 sampai 18 yaitu :

1) Calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun dan yang belum mencapai 16 tahun harus mendapat persetujuan dari wali.

2) Adanya persetujuan dari calon istri, pernyataan persetujuan ini bisa berbentuk lisan, tulisan atau isyarat. Selain itu pernyataan ini dapat juga dengan diamnya calon istri selama tidak adanya penolakan yang tegas.

3) Tidak terdapat halangan perkawinan.

c. Wali nikah

Adapun mengenai syarat-syarat wali nikah ini terdapat dalam Pasal 20 sampai 23 KHI yang dijelaskan sebagai berikut:

1) Muslim, aqil, baligh serta laki-laki.

2) Wali nikah itu adalah wali yang mempunyai wewenang yaitu wali nasab atau wali hakim.

Wali nasab terdiri dari 4 kelompok dalam urutan kedudukan:

1) Kedudukan pertama ini adalah kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, saudara ayah dan seterusnya ke atas.

2) Kelompok kerabat saudara kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

3) Kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara

(39)

seayah dan keturunan laki-laki mereka.

4) Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.32

a) Yang lebih berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan mempelai wanita, kerabat kandung lebih berhak dari pada kerabat yang hanya seayah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat untuk menjadi wali.

b) Jika wali nikah di atas tidak ada atau enggan (adhal), maka yang menjadi walinya adalah wali hakim setelah ada putusan.

d. Dua orang saksi

Adapun syarat dari saksi ini dijelaskan dalam Pasal 24 sampai 26 KHI yang dapat disimpulkan:

1) Kedua orang saksi tersebut adalah laki-laki, Islam, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatannya dan tidak tuli.

2) Hadir dan ikut menyaksikan langsung akad nikah yang dilaksanakan.

e. Ijab dan kabul

Tentang Ijab dankabulini diterangkan dalam Pasal 27 sampai 29 KHI di mana syarat-syaratnya yaitu:

1) Ijab dankabul antara wali dan mempelai pria haruslah berurutan dan tidak berselang waktu.

32A. Zuhdi Mudhlor, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk), (Bandung: al-Bayan, 1994), Cet. Ke-I, h. 17

(40)

2) Qabul diucapkan oleh calon mempelai pria secara pribadi akan tetapi dalam hal tertentu pengucapan qabul ini juga bisa digantikan atau diwakilkan kepada orang lain dengan syarat adanya persetujuan.

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan 1. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama Islam adalah untuk menghalalkan hubungan seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang dahulunya haram, kemudian menjadi halal karena adanya akad perkawinan.

Di samping itu perkawinan juga bertujuan untuk memenuhi petunjuk agama (mengikuti Sunnah rasul) dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Perkawinan menurut Islam juga bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan individu keluarga dan masyarakat yang lebih baik.

Dalam Undang-Undang perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) tujuan perkawinan disebutkan dalam Pasal 2 sebagai rangkaian dari pengertian perkawinan, yakni:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.33

Dari keterangan di atas bahwa tujuan dari perkawinan adalah bukan hanya menghalalkan hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang haram

33A. Zuhdi Mudhlor, Memahami Hukum Perkawinan..., h. 17

(41)

sebelumnya tapi lebih dari itu, bahwa perkawinan sebagai Sunnah Rasul dalam rangka mencari keturunan.

2. Hikmah Perkawinan

Kata hikmah digunakan oleh para fuqaha untuk menyatakan manfaat seperti hikmah shalat, hikmah puasa.Maka hikmah perkawinan adalah manfaat yang diperoleh dengan melakukan perkawinan.34

Hikmah ini dapat dilihat dalam ensiklopediHukum Islam yang disusun oleh Abdul Azis Dahlan yaitu:35

a. Perkawinan merupakan jalan yang paling baik untuk menyatukan naluri seks secara wajar, sebab perkawinan dapat menenangkan jiwa dan memelihara mata dari pandangan maksiat, memiliki perasaan senang dan menikmati hal- hal yang halal.

b. Perkawinan merupakan cara yang paling baik untuk mendapatkan dan mengembangkan keturunan secara sah dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

ﻦﻋ ﺲﻧأ ﻲﺿر ﷲا ﻪﻨﻋ لﺎﻗ : نﺎﻛ لﻮﺳر ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳو ﺮﻣﺄﻳ ةءﺎﺒﻟﺎﺑ ﻰﻬﻨﻳو ﻦﻋ

ﻞﺘﺒﺘﻟا ﻲ

ﺪﻳﺪﺷا لﻮﻘﻳو : اﻮﺟوﺰﺗ دودﻮﻟا دﻮﻟﻮﻟا ﱏﺈﻓ ﺮﺛﺎﻜﻣ ﻢﻜﺑ ءﺎﻴﺒﻧﻻا مﺰﻳ

ﺔﻣﺎﻴﻘﻟا ) ﻩاور

ﺪﲪأ

36

(

Artinya: “Dari Annas dia berkata, NabiSAW menyuruh kami untuk kawin dan melarang secara tegas melakukan tabattul (meninggalkan perkawinan), kemudian beliau bersabda: “kawinilah olehmu wanita yang penyayang dan peranak, maka sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kamu

34A. Zuhdi Mudhlor, Memahami Hukum Perkawinan..., h. 17

35Abdul Azis Dahlan, ensiklopediHukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeven, 1996), h. 1329-1330

36A.Qadir Hasan dan Muhamad Hamidy, Terjemahan Nailul Authar (Himpunan Hadis- Hadis Hukum), (Surabaya: PT Bina Ilmu Ofset, 1984), h. 2133

(42)

(umat) di hari kiamat”. (HR. Ahmad)

c. Perkawinan akan dapat menyalurkan naruni keibuan dan kebapakan.

d. Perkawinan dapat menimbulkan rasa tanggung jawab dan sikap rajin bekerja, untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

e. Perkawinan akan dapat menimbulkan adanya pembagian tugas antara suami dan istri.

f. Perkawinan dapat mempererat hubungan silaturrahmi antara sesama manusia.

Suatu kenyataan bahwa dalam struktur manusia tidak dapat hidup sendirian, akan tetapi hidup bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil, yakni keluarga, yang berbentuk rumah tangga melalui perkawinan. Maka struktur masyarakat yang tentram damai akan sangat tergantung pada struktur masyarakat yang terkecil yakni rumah tangga.

D. Batas Umur Yang Ideal Untuk Melakukan Perkawinan

Agama Islam tidak ada menetapkan usia perkawinan, walaupun beberapa Negara Islam telah menjalankan undang-undang yang menetapkan usia minimum dalam perkawinan. Sementara di Indonesia masalah penetapan umur ini tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman bagi umat Islam, hal ini dapat dilihat dalam pasal 15 ayat (1) yaitu:

“Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang- kurangnya berumur 16 tahun”.

(43)

Dari pasal ini dapat diketahui bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam sudah menetapkan batasan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan, dengan adanya pembatasan umur ini berarti ada kemaslahatan yang terkandung didalamnya. Tentunya bagi calon mempelai yang belum memenuhi ketentuan ini belum dibolehkan, untuk melangsungkan pernikahan karena akan dikhawatirkan terdapat mudharat terhadap dirinya.

Adapun rujukan umum dalam Al-Qur’an mengenai usia perkawinan dan usia penilaian sehat, tanpa mengkhususkan usia tertentu, diisyaratkan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 6 yang berbunyi:

ِﻤْﻤُﺘْﺴَﻧاَءْنِﺈَﻔَﺣﺎَﻜﱢﻨﻟااﻮُﻐَﻠَـﺑاَذِﺈﯩﱠﺘَﺤﯩَﻣﺎَﺘَﻴْﻟااﻮُﻠَـﺘْـﺑاَو ﺎًﻓاَﺮْﺳِإﺎَﻫﻮُﻠُﻛْﺄَﺗ َﻻَﻮْﻤَُﳍاَﻮْﻣَﺄْﻤِﻬْﻴَﻟِإاﻮُﻌَـﻓْدﺎَﻓاًﺪْﺷُﺮْﻤُﻬْـﻨ

) ...

ءﺎﺴﻨﻟا : ٦ (

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian menurut pendapatmu bila mereka telah cerdas (pandai memelihara diri) maka serahkanlah kepada mereka harta bendanya.

Dan janganlah kamu makan harta anak-anak yatim lebih dari keperluannya (janganlah kamu) tergesa-gesa sebelum mereka dewasa…” (QS. An-Nisa’: 6)

Dari penjelasan ayat di atas dapat dipahami, bahwa seseorang baru bisa melakukan suatu perbuatan hukum (cakap hukum) apabila sudah mencapai tahap rasyid dan baligh.

Secara bahasa kata

اﺪﺷر

dalam ayat di atas, berasal dari kata

ﺪﺷﺮﻳ ﺪﺷر

yang

berarti dapat petunjuk, lurus baik dan cerdik.37

Dalam “kamus al-Qur’an”, kata

اﺪﺷر

secara bahasa berarti: petunjuk kebenaran dan kecerdikan.38 Sedangkan dalam tafsir Muhammad Ali Ash-

37Mahmud Yunus,Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), h. 141

38Abdul Qadir Hasan, Kamus al- Qur’an, (Jakarta: Tinta Mas Indonesia), h. 118

(44)

Shabuni kata

اﺪﺷر

diartikan dengan: petunjuk kepada arah yang baik, yang dimaksud disini adalah petunjuk kepada arah yang baik dalam memelihara harta.39 Sedangkan kategori lain seseorang baru bisa dikatakan cakap hukum (sebagaimana yang dipahami dari ayat di atas) adalah baligh. Dalam hal baligh ini para ulama berbeda pendapat:

Menurut Imamiyah, Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh-nya seseorang. Sedangkan Hanafi menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu yang lain yang ada pada tubuh.40

Syafi’i dan Hambali mengatakan: usiabaligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkannya 17 tahun.

Sementara Hanafi menetapkan usiabaligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun sedangkan anak perempuan 17 tahun.

Adapun menurut Imamiyah, menetapkan usiabaligh anak laki-laki adalah 15 tahun, sedangkan anak perempuan 9 tahun. 41 Terhadap seorang anak perempuan yang sudah haid dan hamil, para Ulama sepakat bahwa dia sudah dapat dikatakan baligh.Hamil dapat terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki.

39Muhammad Ali Ash-shabuni, Tafsir Ayat Ahkam, (Mekkah: Dar al-Fikr [t.th]), Juz. I, h.

433 40

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lantera Basritama,1996), Cet. 2, h. 117

41Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab..., h. 117-118

Gambar

Tabel II
Tabel IV Jumlah Tenaga Medis
Tabel VI
Tabel VII
+2

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum program KMN di Nagari Koto Baru belum terlaksana dengan baik, hal tersebut terlihat dari adanya kredit macet dan beberapa bagian dari kegiatan yang

Rumusan masalah diambil dari latar belakang di atas adalah bagaimana tinjaun sosiologi hukum terhadap faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan di

Dalam 2 (dua) tahun terakhirini kandungan emas yang terdapat di Nagari Koto Tuo semakin sedikit, sementara lahan pertanian banyak yang telah berubah menjadi lahan

Dampak dari pemalsuan umur pernikahan bagi masyarakat Dusun Cungkingan, Desa Badean, Kecamatan Kabat, Kabupaten

kehidupan masyarakat transmingrasi di Nagari Koto Tinggi dengan judul “ Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Transmingran Minang Di Nagari Koto Tinggi Kecamatan

BUMNag didirikan untuk menunjang pendapatan masyarakat, mensejahterakan masyarakat bukan untuk menyaingi usaha masyarakat nagari, wilayah Nagari Padang tarok

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kesadaran hukum masyarakat Kampung Muncang mengenai larangan pernikahan di bawah umur terhadap hak pendidikan anak dapat dikatakan belum

Melangsungkan pernikahan dibawah umur di Jorong Galagah Nagari Alahan Panjang dilakukan dengan motif untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,