• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batas Umur Yang Ideal Untuk Melakukan Perkawinan

Agama Islam tidak ada menetapkan usia perkawinan, walaupun beberapa Negara Islam telah menjalankan undang-undang yang menetapkan usia minimum dalam perkawinan. Sementara di Indonesia masalah penetapan umur ini tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman bagi umat Islam, hal ini dapat dilihat dalam pasal 15 ayat (1) yaitu:

“Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.

Dari pasal ini dapat diketahui bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam sudah menetapkan batasan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan, dengan adanya pembatasan umur ini berarti ada kemaslahatan yang terkandung didalamnya. Tentunya bagi calon mempelai yang belum memenuhi ketentuan ini belum dibolehkan, untuk melangsungkan pernikahan karena akan dikhawatirkan terdapat mudharat terhadap dirinya.

Adapun rujukan umum dalam Al-Qur’an mengenai usia perkawinan dan usia penilaian sehat, tanpa mengkhususkan usia tertentu, diisyaratkan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 6 yang berbunyi:

ِﻤْﻤُﺘْﺴَﻧاَءْنِﺈَﻔَﺣﺎَﻜﱢﻨﻟااﻮُﻐَﻠَـﺑاَذِﺈﯩﱠﺘَﺤﯩَﻣﺎَﺘَﻴْﻟااﻮُﻠَـﺘْـﺑاَو

kemudian menurut pendapatmu bila mereka telah cerdas (pandai memelihara diri) maka serahkanlah kepada mereka harta bendanya.

Dan janganlah kamu makan harta anak-anak yatim lebih dari keperluannya (janganlah kamu) tergesa-gesa sebelum mereka dewasa…” (QS. An-Nisa’: 6)

Dari penjelasan ayat di atas dapat dipahami, bahwa seseorang baru bisa melakukan suatu perbuatan hukum (cakap hukum) apabila sudah mencapai tahap rasyid dan baligh.

Secara bahasa kata

اﺪﺷر

dalam ayat di atas, berasal dari kata

ﺪﺷﺮﻳ ﺪﺷر

yang

berarti dapat petunjuk, lurus baik dan cerdik.37

Dalam “kamus al-Qur’an”, kata

اﺪﺷر

secara bahasa berarti: petunjuk kebenaran dan kecerdikan.38 Sedangkan dalam tafsir Muhammad Ali

Ash-37Mahmud Yunus,Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1989), h. 141

38Abdul Qadir Hasan, Kamus al- Qur’an, (Jakarta: Tinta Mas Indonesia), h. 118

Shabuni kata

اﺪﺷر

diartikan dengan: petunjuk kepada arah yang baik, yang dimaksud disini adalah petunjuk kepada arah yang baik dalam memelihara harta.39 Sedangkan kategori lain seseorang baru bisa dikatakan cakap hukum (sebagaimana yang dipahami dari ayat di atas) adalah baligh. Dalam hal baligh ini para ulama berbeda pendapat:

Menurut Imamiyah, Maliki, Syafi’i, dan Hambali mengatakan: tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh-nya seseorang. Sedangkan Hanafi menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu yang lain yang ada pada tubuh.40

Syafi’i dan Hambali mengatakan: usiabaligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkannya 17 tahun.

Sementara Hanafi menetapkan usiabaligh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun sedangkan anak perempuan 17 tahun.

Adapun menurut Imamiyah, menetapkan usiabaligh anak laki-laki adalah 15 tahun, sedangkan anak perempuan 9 tahun. 41 Terhadap seorang anak perempuan yang sudah haid dan hamil, para Ulama sepakat bahwa dia sudah dapat dikatakan baligh.Hamil dapat terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki.

39Muhammad Ali Ash-shabuni, Tafsir Ayat Ahkam, (Mekkah: Dar al-Fikr [t.th]), Juz. I, h.

433 40

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lantera Basritama,1996), Cet. 2, h. 117

41Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab..., h. 117-118

Sementara itu, pengalaman membuktikan bahwa kehamilan bisa terjadi pada anak gadis usia 9 tahun, sedangkan kemampuan untuk hamil dipandang sepenuhnya sama dengan hamil itu sendiri.42

Tanda kebalighan terhadap seseorang juga bisa dilihat dari perubahan biologis yang terjadi pada dirinya.Perubahan biologis pada anak perempuan ditandai dengan haid (menarche, menstruasi pertama) dan pada lelaki ditandai dengan ejakulasi (mimpi basah) tidaklah berarti anak itu sudah dewasa dan siap untuk kawin, ini hanya merupakan proses pematangan organ reproduksi mulai berfungsi, namun belum siap untuk berproduksi (hamil dan melahirkan).

Bila ditinjau dari segi kejiwaan atau spikologi, anak remaja masih jauh dari mature (matang dan mantap) kondisi kejiwaannya masih labil dan belum dapat dipertanggung jawabkan sebagai suami istri, apalagi sebagai orang tua.

Untuk itu seseorang baru bisa melangsungkan perkawinan apabila mempunyai persiapan, terutama dalam hal kesehatan jiwa, yang meliputi berbagai aspek, aspek biologik/fisik dan mental, aspek spikososial, dan aspek spritual.

1. Persiapan perkawinan yang meliputi aspek biologik/fisik antara lain:

a. Usia yang ideal menurut kesehatan, yaitu antara usia 20-25 tahun bagi perempuan dan 25-30 tahun bagi pria.43

b. Dari segi fisik bagi mereka yang hendak berkeluarga dianjurkan untuk menjaga kesehatan, sehat jasmani dan rohani. Kesehatan fisik meliputi

42Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab..., h.118

43Dadang Hawari, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:

PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), Cet. IX, h. 250

kesehatan dalam arti orang itu tidak mengidap penyakit apalagi penyakit menular dan bebas dari penyakit keturunan.44Pada dasarnya seorang remaja sudah mampu untuk menikah dan berketurunan, namun pada usia itu terkadang belum mencapai kadar kematangan emosi dan sosial yang memadai untuk memikul beban tanggung jawab.

2. Persiapan perkawinan yang meliputi aspek mental spikologik antara lain:

a. Kepribadian

Aspek kepribadian ini sangat penting agar masing-masing pasangan mampu saling menyesuaikan diri.Kematangan kepribadian merupakan faktor utama dalam perkawinan untuk menjaga keharmonisan keluarga.

b. Pendidikan

Taraf kecerdasan dan pendidikan juga perlu diperhatikan dalam mencari pasangan, sebab pada hakikatnya perkawinan itu sendiri adalah merupakan perwujudan dari kehidupan beragama.

3. Persiapan perkawinan yang meliputi aspek spikososial dan spritual antara lain:

a. Agama. Faktor persamaan agama penting bagi stabilitas rumah tangga.

Perbedaan agama dalam suatu keluarga dapat menimbulkan dampak merugikan yang pada gilirannya dapat mengakibatkan disfungsi perkawinan.

b. Latar Belakang Sosial Keluarga. Hal ini perlu diperhatikan apakah satu pasangan berasal dari keluarga baik-baik atau tidak broken home. Sebab latar

44Dadang Hawari, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa …, h. 250

belakang keluarga ini berpengaruh kepada kepribadian anak yang dibesarkannya.

c. Latar Belakang Budaya. Aspek ini meskipun tidak sepenting faktor agama juga diperhatikan, perbedaan suku bangsa tidak merupakan halangan untuk saling berkenalan dan akhirnya menikah.

d. Pergaulan. Sebagai persiapan menuju perkawinan sudah tentu masing-masing calon pasangan saling kenal mengenal terlebih dahulu. Dalam pergaulan yang dilakukan pranikah, hendaknya tetap mengingat dan tetap mengindahkan nilai-nilai moral, etika, dan keadaan-keadaan agama.

e. Pekerjaan dan keadaan materi lainnya. Sebab faktor sandang, pangan, dan papan jangan sampai dilupakan dalam mempersiapkan perkawinan. Sebab suatu perkawinan tidak bisa bertahan hanya dengan ikatan cinta kasih sayang saja bila tidak ada materi yang mendukungnya.45

Selain dari faktor-faktor di atas, faktor yang tidak kalah penting untuk menjadi suatu tolak ukur dan pertimbangan adalah faktor usia. Usia paling ideal untuk melangsungkan pernikahan adalah usia di mana seseorang telah mencapai kematangan baik secara emosi maupun matang secara sosial. Untuk membentuk sebuah keluarga, umur kalender saja tidak dapat dijadikan sebagai standar untuk mengetahui kesiapan menikah, karena kematangan seseorang dalam pola pikir dan prilakunya jauh lebih penting dari semua.Begitu juga kemampuan ekonomi juga

45Dadang Hawari, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa …, h. 250-256

dijadikan para meter.46

Akhir-akhir ini banyak negara yang mempunyai Undang-Undang yang menetapkan usia perkawinan yang tidak jauh beda dari yang telah disebutkan di atas. Begitu juga dengan negara Indonesia yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 7.47

Tujuan ditetapkannya batasan umur ini oleh Undang-undang dalam sebuah

Dokumen terkait