FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELAINAN REFRAKSI YANG TIDAK TERKOREKSI
Rangga Adhitia Hermawan [email protected]
M. Wahyu Budiana [email protected]
Andi Saputra [email protected]
Guntur Wijaya [email protected]
Akademi Refraksi Optisi dan Optometry Gapopin Pondok Aren, Tangerang Selatan.
Abstract
The purpose of this study was to find out what factors influence uncorrected refractive errors. This type of research is qualitative research with a literature study method by collecting seven related journals both nationally and internationally. The results of this study indicate that the factors that influence uncorrected refractive errors include socioeconomic status, access to health care, children, gender, and refractive errors.
Keywords : Uncorrected Refractive Error
PENDAHULUAN
Kelainan refraksi (refractive error/ RE) merupakan kondisi cacat optik dimana gambar objek yang dilihat tidak sesuai dengan bidang retinal sehingga menyebabkan penglihatan kabur. Secara umum diketahui bahwa distribusi kelainan refraksi pada populasi manusia ditentukan oleh interaksi kompleks faktor biologis, lingkungan dan perilaku (Wojciechowski, 2011).
Indonesia menempati urutan pertama pada prevalensi kelainan refraksi penyakit mata dengan ditemukan jumlah penduduk yang menderita kelainan refraksi hampir 25%
populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa.
Angka kelainan refraksi di Indonesia mencapai 22,1% yang diantaranya dialami oleh anak usia sekolah sebanyak 10%. (Efendi et al, 2021).
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), di seluruh dunia pada tahun terdapat sebanyak 285 juta orang (4,24%) populasi dengan gangguan penglihatan; 39 juta (0,58%) dengan kebutaan dan 246 juta (3,65%) dengan low vision. Penyebab gangguan
penglihatan terbanyak di seluruh dunia ialah kelainan refraksi (43%), diikuti dengan katarak (33%) dan glaukoma (2%). (WHO, 2022)
Penyebab utama gangguan penglihatan dan penyebab kebutaan kedua di seluruh dunia adalah URE (uncorrected refractive error/
URE) karena disebabkan oleh kelainan refraksi yang menjadi salah satu kondisi pada mata yang paling umum, dan kelainan refraksi yang tidak dikoreksi yang menjadi tantangan kesehatan masyarakat (Naidoo et al., 2016).
Kesalahan bias yang tidak dikoreksi mengacu pada kasus yang memiliki kesalahan bias tetapi tidak memiliki kacamata, atau kacamatanya tidak mendukung koreksi penuh (Ostadimoghaddam et al, 2013).
RE (Refractive Error) dapat diidentifikasi secara langsung dan diobati dengan meresepkan kacamata untuk mencapai penglihatan normal. Namun, RES tidak dikoreksi pada sebagian besar anak-anak karena mereka tidak memakai kacamata (Dandona & Dandona,2001; Morjaria et al.,2019; Resnikoff et al.,2008). Berbagai faktor dapat menyebabkan URE pada anak:
kurangnya pengetahuan untuk mendeteksi masalah pada tingkat individu, keluarga, dan komunitas/sekolah; rendahnya akses ke layanan penilaian visual; persediaan lensa korektif yang terjangkau tidak memadai; dan hambatan budaya (Mahayana et al.,2017;
Resnikoff et al.,2008).
Kelainan refraksi adalah keadaan tegas bayangan tidak terbentuk pada retina, dimana terjadi ketidakseimbangan system penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Kelainan refraksi merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi oleh mereka yang aktif menggunakan matanya ketika melihat jauh dan dekat. Salah satu penyebab terjadinya kebutaan adalah akibat adanya kelainan refraksi yang tidak terkoreksi atau dikoreksi tetapi tidak mencapai tajam penglihatan yang maksimal sehingga mengakibatkan adanya gangguan pada organ penglihatannya. (Linawaty et al, 2022)
Perumusan masalah dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Penulis merencanakan pembuatan artikel ini dengan menyajikan materi yang telah diterbitkan sebelumnya dan menganalisis suatu fakta baru dari beberapa jurnal nasional maupun internasional dan artikel ahli yang diakses online.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah studi literatur yang diambil dari beberapa jurnal nasional maupun internasional dan artikel ahli yang diakses online. Metode ini berupaya meringkas pemahaman kondisi terkini mengenai suatu topik. Studi literatur ini menyajikan materi yang telah diterbitkan sebelumnya dan menganalisis suatu fakta baru.
Penelusuran sumber pustaka dalam artikel ini melalui database PubMed dan Google Scholar.
Sumber pustaka yang digunakan dalam penyusunan melibatkan 7 pustaka yang terdiri dari 2 jurnal nasional dan 5 jurnal internasional.
Pemilihan artikel sumber pustaka dilakukan dengan melakukan peninjauan pada judul,
abstrak dan hasil yang membahas gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi yang tidak dikoreksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dana (2020), Kelainan refraksi yang tidak dikoreksi (URE) adalah penyebab utama gangguan penglihatan (VI), juga penyebab kebutaan kedua secara global namun dapat dicegah. Peningkatan URE menyebabkan kecacatan yang mengurangi produktivitas, pendapatan ekonomi, dan kualitas hidup individu. Berbagai hambatan telah dikaitkan dengan tingginya prevalensi URE pada orang dewasa berpenghasilan rendah. Hambatan paling mendasar untuk mengoreksi URE yaitu hambatan ekonomi, akses perawatan kesehatan, dan kendala sosial budaya. Penggunaan kacamata dan program operasi refraksi untuk memperbaiki kelainan refraksi dapat menurunkan angka URE.
Lou et al, (2016), Penelitian ini menunjukkan bahwa kesehatan global URE meningkat tetapi populasi yang meningkat dan menua membuat tingkat DALY mentah tetap stabil. Kemajuan kesehatan di URE tidak berarti permintaan layanan refraktif berkurang.
Orang tua dan wanita di seluruh dunia tHubungan antara beban URE dengan status sosial ekonomi menyoroti kebutuhan untuk menyediakan layanan refraktif yang hemat biaya untuk negara kurang berkembang.
Temuan dari penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap beban URE global dan penting untuk pembuatan kebijakan kesehatan.
Ostadimoghaddam et al, (2013), Prevalensi kesalahan bias yang tidak dikoreksi pada siswa tidak rendah dalam penelitian ini.
Anak perempuan, rabun jauh, dan kasus astigmatisme menunjukkan tingginya tingkat kesalahan refraksi yang tidak dikoreksi, dan penting bagi mereka untuk mendapat perhatian.
Memperbaiki kesalahan ini dapat membantu mencegah gangguan penglihatan pada usia muda. Mengidentifikasi kelainan refraksi yang tidak terkoreksi harus menjadi salah satu prioritas sistem kesehatan, khususnya bagi pelajar.
Holden et al, (2007). Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi: penyebab kehilangan penglihatan yang utama dan paling mudah
dihindari Kategorisasi dari kebutaan secara keseluruhan dan gangguan penglihatan yang berhubungan dengan penyakit mata ke dalam kehilangan penglihatan yang dapat diobati dan permanen adalah masalah penting, tetapi analisis dan data definitifnya belum tersedia.
Namun untuk sementara, untuk tujuan perencanaan, penting untuk dicoba memperkirakan apa yang mungkin menjadi situasi di setiap kategori. Sebagaimana perkiraannya adalah sebagai berikut:
• 7 juta orang buta total, tanpa persepsi cahaya
• 30 juta orang buta, dengan penglihatan mulai dari persepsi cahaya hingga <3/60 di mata yang lebih baik; setengah dari kasus ini dapat diobati (misalnya katarak)
• 124 juta mengalami gangguan penglihatan (penglihatan <6/18 di mata yang lebih baik) dari penyakit mata; kira-kira setengah dari kasus ini mungkin dapat diobati, sedangkan sisanya menderita permanen gangguan penglihatan (mis penglihatan rendah).
Dari 153 juta orang yang terkena kelainan refraksi jarak yang tidak terkoreksi:
• 8 juta buta
• 145 juta memiliki gangguan penglihatan jarak jauh yang signifikan.
Dunia harus melakukan segala upaya untuk memenuhi tujuan VISI 2020 dan menghilangkan kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dalam 13 tahun ke depan. ICEE telah memperkirakan (berdasarkan datanya sendiri dari Afrika, Timor-Leste, dan Sri Lanka, serta data dari LV Prasad Eye Institute di India) bahwa akan menelan biaya US $1.500 juta untuk memberikan akses ke mata kepada 300 juta orang. Pemeriksaan oleh petugas perawatan mata setempat yang terlatih dan sepasang kacamata. Optometry Giving Sight, inisiatif Bersama IAPB, WCO, dan ICEE, menggembleng para professional optometri dan pasien mereka di seluruh dunia untuk menyumbangkan sebagian besar dari total biaya 'pemberian penglihatan'. Inisiatif ini telah berhasil diluncurkan di lima negara sejauh ini.
Komitmen yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir VISI 2020: Hak untuk Melihat bagi mereka yang memiliki kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, sebagaimana diuraikan dalam Deklarasi Durban, meliputi: menghitung kehilangan penglihatan akibat presbyopia yang tidak dikoreksi; melakukan advokasi yang diperlukan, pengembangan basis pengetahuan, dan penelitian yang diperlukan untuk memberikan layanan praktik terbaik sesuai
dengan kebutuhan budaya; koordinasi dan Kerjasama untuk mengembangkan penyediaan kacamata yang terjangkau serta sumber daya manusia dan infrastruktur yang diperlukan.
Halim et al, (2020), Kami menemukan bahwa jarak yang lebih jauh ke layanan kesehatan primer dikaitkan dengan prevalensi URE yang lebih rendah. sebagian besar layanan kesehatan primer di daerah pinggiran kota, seperti Kabupaten Bandung, terletak jauh dari pusat, sedangkan sebagian besar penduduknya berdomisili di pusat distrik. Dengan demikian, masyarakat cenderung mengunjungi pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, seperti rumah sakit daerah, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata. Aksesibilitas layanan asesmen visual di tingkat primer layanan kesehatan perlu ditingkatkan. kami mengamati bahwa anak- anak yang memiliki ketajaman visual yang lebih buruk memiliki risiko URE yang lebih rendah. Anak-anak tunanetra yang lebih buruk memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk memakai kacamata karena mereka lebih kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari tanpa kacamata. Empat anak (0,38%) mengalami kebutaan karena kurangnya koreksi refraksi yang memadai. Meski jumlahnya sangat sedikit, temuan ini menunjukkan kegagalan penerapan kesehatan masyarakat;
anak-anak mengalami kebutaan karena mereka tidak menerima kacamata yang sesuai.
Pendekatan perawatan mata yang luas harus menjadi bagian dari sistem kesehatan yang ada dan masuk lebih dalam ke masyarakat untuk mencegah kehilangan penglihatan yang tidak perlu pada anak-anak (Dandona &
Dandona,2001). Pendidikan tinggi mempengaruhi kemampuan mengolah dan mengeksekusi informasi. Oleh karena itu, tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkontribusi pada pemanfaatan layanan kesehatan yang lebih baik, termasuk layanan kesehatan mata (Lindeboom et al., 2009;
Ntsoane &Oduntan,2010; Palagyi et al.,2008).
Namun penelitian ini tidak menunjukkan hal yang sama. Yaitu tidak berpengaruh atau gagal mengamati hubungan antara pendidikan orang tua dan URE. Pendapatan ayah lebih berpengaruh dibandingkan pendidikan orang tua di Kabupaten Bandung, Indonesia. Pada penelitian ini, pendapatan ayah yang lebih rendah merupakan faktor risiko UREs, sedangkan pendapatan ibu tidak mempengaruhi kepatuhan pemakaian kacamata.
Yang et al, (2021), Kesimpulannya, beban gangguan penglihatan global URE dikalangan remaja tetap stabil tanpa pengentasan yang signifikandari tahun 1990 hingga 2019. Usia yang lebih tua dan jenis kelamin perempuan dikaitkan dengan beban URE yang lebih tinggi. Tingkat DALY meningkat pesat pada kelompok usia 5-9 tahun dan mencapai puncaknya pada remaja berusia 15-19 tahun. Status pembangunan sosial ekonomi yang tinggi (ditunjukkan oleh HDI dan SDI), tingkat putus sekolah yang rendah dan tingkat urbanisasi yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan tingkat DALY.
Berdasarkan hasil tersebut, kami merekomendasikan program skrining universal untuk remaja berusia 15–19 tahun dan sistem peringatan dini (EWS) untuk kelompok usia 5–
9 adalah juga diperlukan untuk deteksi tepat waktu dan control kesalahan bias. Selain itu, kita harus menyadari meningkatnya beban penyakit URE di kalangan remaja seiring dengan proses urbanisasi dan pendidikan universal. Temuan ini dapat memberikan informasi bagi pembuat kebijakan untuk menyusun strategi yang lebih terarah untuk mencegah, menyaring, dan mengendalikan gangguan penglihatan remaja akibat URE.
Niwele & Laras (2022), Range usia anak penderita kelainan refraksi yang tidak dikoreksi berada pada usia anak sekolah yaitu 5-15 tahun. jenis kelamin dikaitkan dengan kelainan refraksi tidak terkoreksi belum didapatkan hasil yang jelas antara prevalensi kelainan refraksi yang tidak dikoreksi antara laki-laki dan perempuan. Karena kelainan refraksi yang tidak terkoreksi bisa didapatkan pada laki-laki maupun perempuan. Dilihat dari pembagian jenis kelainan refraksinya, maka kelainan refraksi yang tidak dikoreksi prevalensi terbesarnya yaitu kelainan myopia.
Ini juga berhubungan dengan angka kejadian kelainan refraksi yang sering terjadi pada anak- anak yaitu myopia. Kelainan refraksi yang tidak dikoreksi dapat dilihat dari sosial-ekonomi dan jarak ke layanan fasilitas kesehatan. Anak-anak dengan penghasilan orang tua kecil maka prevalensi kelainan refraksi mereka juga tinggi.
Sedangkan untuk jarak ke layanan fasilitas kesehatan, mereka yang jaraknya. Dilihat bahwa dampak kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dapat menyebabkan amblyopia pada anak-anak yang akan membuat anak-anak terpapar kinerja sekolah yang buruk sehingga
mengakibatkan dampak dramatis pada proses pembelajaran dan kapasitas Pendidikan.
Dari ke 7 jurnal yang sudah dikaji, maka penelitian ini mendapatkan hasil bahwa yang mempengaruhi tingkat kelainan refraksi yang tidak terkoreksi adalah:
1. Sosisal ekonomi : yaitu anak dengan orang tua yang memiliki penghasilan rendah akan rentan membeli kacamata untuk dapat mengoreksi mata pada anak yang memiliki kelainan refraksi. Dilihat dari jurnal satu (dana, 2020), dua (Lou et al, 2016), lima (Halim et al, 2020), enam (Yang et al, 2019) dan tujuh (Niwele &
Laras, 2022) yang hasil penelitiannya adalah sosial ekonomi masayarakat akan mempengaruhi kelainan refraksi yang tidak terkoreksi.
2. Akses perawatan kesehatan: atau jarak yang jauh ke pusat kesehatan masyarakat untuk memeriksaan mata. Akses atau jarak yang jauh dari desa atau domisili ke pusat kesehatan masyarakat yang jauh, akan berpengaruh terhadap tingkat kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Dilihat dari jurnal satu (dana, 2020), empat (Holden, 2007), lima (Halim et al, 2020) dan tujuh (Niwele & Laras, 2022).
3. Anak-anak : yaitu anak-anak memiliki risiko lebih tinggi terhadap tingkat kelainan refraksi yang tidak terkoreksi, seperti anak-anak tunanetra yang tidak menerima kacamata yang sesuai, atau dengan orang tua yang memiliki sosial ekonomi rendah. Dilihat dari jurnal tiga (Ostadimoghaddam et al, 2013), lima (Halim et al, 2020), dan tujuh (Niwele &
Laras, 2022).
4. Jenis kelamin : yaitu masyarakat dengan jenis kelamin perempuan lebih tinggi memiliki risiko kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Dilihat dari jurnal dua (Lou et al, 2016), tiga (Ostadimoghaddam et al, 2013), enam (Yang et al, 2019) dan tujuh (Niwele & Laras, 2022).
5. Kelainan refraksi : kelainan refraksi sangat berpengaruh terhadap tingkat kelainan refraksi yang tidak terkoreksi, karena yang seharusnya sudah menggunakan kacamata, namun belum dilakukan pemeriksaan dan belum menggunakan
kacamata sebagai alat untuk mengoreksi penglihatan. Dilihat dari jurnal tiga (Ostadimoghaddam et al, 2013), empat (Holden, 2007) dan tujuh (Niwele & Laras, 2022).
KESIMPULAN
Dari tujuh jurnal yang dikaji, peneliti dapat menarik kesimpulan pada penelitian ini yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi yang tidak terkoreksi antara lain adalah Sosial ekonomi, Akses perawatan kesehatan, Anak-anak, jenis kelamin, dan kelainan refraksi.
DAFTAR PUSTAKA
Aldiana Halim, Ratika Suganda, Susanti Natalya Sirait, Feti Karfiati Memed, Syumarti, Mayang Rini & Nina Ratnaningsih | (2020) Prevalensi dan faktor terkait kelainan refraksi yang tidak dikoreksi pada anak sekolah di daerah pinggiran kota di Bandung, Indonesia, Cogent Medicine, 7:1, 1737354, DOI:10.1080/2331205X.2020.1737354.
Dana, M.M. 2020. Gangguan Penglihatan Akibat Kelainan Refraksi yang Tidak Dikoreksi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 9(2), 998-995.
Dandona, L., & Dandona, R. (2001). Kesalahan refraksi kebutaan.Buletin Organisasi Kesehatan Dunia, 79(3), 237–
243.www.who.int/bulletin/archives/79(3 ) 237.pdf.
Efendi, Z., Umami, N.Z., Rahayu, S. (2021).
Faktor_Faktor Aktivitas Kerja Jarak Dekat Dengan Kejadian Miopia Pada Anak Usia Sekolah. Jurnal Mata Optik, 2(3), 13-17.
Halim, et al, 2020. Prevalensi dan faktor terkait kelainan refraksi yang tidak dikoreksi pada anak sekolah di daerah pinggiran kota di Bandung, Indonesia. Cogent Medicine 7: 1737354.
Holden, B.A. 2007. Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi: penyebab kehilangan penglihatan yang utama dan paling mudah dihindari. Jurnal Kesehatan Mata Masyarakat, 20(63).
Lou L, Yao C, Jin Y, Perez V, Ye J. Pola global dalam beban kesehatan dari kesalahan bias yang tidak dikoreksi.Investasikan Ophthalmol Vis Sci.2016;57:6271–
6277. DOI:10.1167/iovs.16-20242.
Linawaty., Budiana, M, W., & Efendi, Z.
(2022). KARAKTERISTIK JENIS KELAINAN REFRAKSI DI OPTIK OCCULAR TAHUN 2020. Jurnal Mata Optik, 3(1), 29-35.
Morjaria, P., McCormick, I., & Gilbert, C.
(2019, 12 Juni). Kepatuhan dan prediktor pemakaian tontonan pada anak sekolah dan alasan tidak memakai: Tinjauan literatur.Epidemiologi Mata,1–11(6).
https://doi.org/
10.1080/9286586.2019.1628282 Morjaria, P., Murali, K.,
Mahayana, IT, Indrawati, SG, & Pawiroranu, S.
(2017, 29 Nopember). Prevalensi kelainan refraksi yang tidak terkoreksi pada anak sekolah dasar perkotaan, pinggiran kota, luar kota dan pedesaan pada penduduk Indonesia. Jurnal Internasional Oftalmologi, (10), 1771–
1776.https://doi.org/10.18240/ijo.2017.1 1.21 Messer,
Naidoo, K. S., Leasher, J., Bourne, R. R., Flaxman, S. R., Jonas, J. B., Keeffe, J., Limburg, H., Pesudovs, K., Price, H., White, R. A., Wong, T. Y., Taylor, H. R.,
& Resnikoff, S. (2016). Global vision impairment and blindness due to uncorrected refractive error, 1990Y2010.
Optometry and Vision Science, 93(3), 227–234.
https://doi.org/10.1097/OPX.000000000 0000796.
Niwele, T.O., & Laras, D.S. 2022. ANGKA KEJADIAN KELAINAN REFRAKSI YANG TIDAK TERKOREKSI PADA ANAK. JURNAL SEHAT MASADA
VOLUME XVI NOMOR 2. STIKes Dharma Husada Bandung.
Ostadimoghaddam, Hadi. Et al. 2013.
Prevalensi Kesalahan Bias yang Tidak Dikoreksi di Anak sekolah; Visi yang Penting. Jurnal Oftalmologi Iran 2013;25(1):59-65
Resnikoff, S., Pascolini, D., Mariotti, SP,&
Pokharel GP (2008). Besaran global gangguan penglihatan yang disebabkan oleh kesalahan bias yang tidak dikoreksi pada tahun 2004.Buletin Organisasi Kesehatan Dunia, 86(1), 63–
70.https://doi.org/10.
2471/BLT.7.41210.
World Health Organization. WHO _ Blindness and vision impairment [Internet]. World
Health Organization. 2022. Diunduh dari: https://www.who.int/en/news- room/fact-sheets/detail/blindness-and- visual-impairment
Wojciechowski, R. (2011). Nature and Nurture:
the complex genetics of myopia and refractive error. Clin Genet, 79(4), 301–
320. https://doi.org/10.1111/j.1399- 0004.2010.01592.x.
Yang et al. 2021. Beban penyakit global kesalahan bias yang tidak dikoreksi di kalangan remaja dari tahun 1990 hingga 2019 Kesehatan Masyarakat BMC 21:1975.
https://doi.org/10.1186/s12889-021- 12055-2.