KAJIAN RISIKO BENCANA TSUNAMI DI PANTAI BARAT KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN
El Ashar Hakim, Fadly Usman, Aris Subagiyo
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jalan Mayjen Haryono 167 Malang 65145 -Telp (0341)567886
Email: [email protected]
ABSTRAK
Bencana tsunami merupakan bencana yang tak mungkin terelakkan, namun sebagai umat manusia mampu untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap bencana. Pada tahun 2018 di Provinsi Banten yang diawali oleh adanya erupsi Gunung Anak Krakatau. Badan Geologi pada Kementerian ESDM bersama dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mendapatkan adanya ancaman erupsi Gunung Berapi Anak Krakatau dengan status “Waspada” pada level II dan erupsi tersebut akan menciptakan kolom abu yang diperkirakan akan mencapai tinggi sekitar 400 meter di atas puncak serta 738 mdpl. Erupsi Gunung Api Anak Krakatau menjadi pemicu terjadinya longsor pada lereng gunung seluas 64 ha dan selanjutnya menyebabkan adanya longsor di bawah permukaan laut dan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya gelombang raksasa yaitu tsunami di Provinsi Banten dan Lampung. Untuk mengurangi kerusakan maupun kerugian yang diakibatkan oleh bencana, maka diperlukan kajian risiko bencana yang kemudian sebagai acuan untuk melakukan mitigasi maupun adaptasi terhadap bencana yang akan datang. Tingkat risiko bencana dipengaruhi oleh tingkat kerentanan kawasan dan tingkat ancaman bencana terhadap suatu kawasan. Untuk mendapatkan tingkat kerentanan dan tingkat ancaman, maka telah ditetapkan beberapa indicator dan dilakukan perhitungan untuk mendapat tingkat risiko.
Kata Kunci: Tsunami; Kerentanan; Ancaman; Risiko; Kebencanaan.
ABSTRACT
The tsunami disaster is an unavoidable disaster, but as human beings we are able to mitigate and adapt to disasters. In 2018 in the province of Banten, which was preceded by the eruption of Mount Anak Krakatau. The Geological Agency at the Ministry of Energy and Mineral Resources together with the Center for Volcanology and Geological Hazard Mitigation has received a threat of an eruption of the Anak Krakatau Volcano with an "Alert"
status at level II and the eruption will create an ash column which is estimated to reach a height of about 400 meters above the peak and 738 meters above sea level. The eruption of the Anak Krakatau Volcano triggers landslides on the slopes of the 64 hectares acres mountain and subsequently causes a landslide below sea level and will eventually cause a giant wave, namely a tsunami in the provinces of Banten and Lampung. To reduce damage and losses caused by disasters, it is necessary to study disaster risk which will then be used as a reference for mitigating and adapting to future disasters. The level of disaster risk is influenced by the level of vulnerability of the area and the level of disaster threat to an area. To obtain the level of vulnerability and the level of threat, several indicators have been set and calculations are carried out to obtain the level of risk.
Keywords: Tsunami; Vulnerability; Hazard; Risk; Disaster.
PENDAHULUAN
Bencana merupakan kejadian maupun rangkaian peristiwa yang memberikan ancaman dan memberikan potensi gangguan terhadap kehidupan atau penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia hingga menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan pengaruh psikologis (UU RI No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana). Tsunami dijelaskan sebagai gelombang air laut dengan skala besar
dimana gelombang tersebut bergerak dari laut menuju ke pantai. Bencana ini pada umumnya terjadi akibat adanya aktivitas gunung berapi di bawah permukaan laut, atau gempa bumi yang memiliki letak episentrum di bawah permukaan laut, ataupun terjadinya pergeseran lempeng yang berada di dalam samudera. Di Indonesia, proses geologi serta tatanan pergerakan lempeng menjadi penyebab utama dari adanya potensi bencana tsunami. Badan Geologi Kementerian ESDM mengatakan bahwa longsoran yang disebabkan oleh Gunung Anak Krakatau tersebut
mencapai 80 juta meter kubik atau seberat 80 juta ton longsoran diakibatkan oleh letusan yang kemudian menyebabkan terjadinya gelombang raksasa yaitu tsunami di Provinsi Banten dan Lampung dengan total pantai yang terkena bencana tsunami hingga mencapai 312,78 Km.
BNPB (2018) mengatakan panjang landaan tsunami yang melanda Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang mencapai hingga 171,5 km. Gunung Anak Krakatau merupakan gunung api dengan aktivitas tinggi sejak lama sehingga kemungkinan longsor itu terjadi tak hanya pada malam nahas tersebut.
Lokasi studi yang dipilih adalah Kawasan Pantai Barat Kabupaten Pandeglang. Lokasi penelitian ini secara geografis berada pada koordinat 060 13’ – 060 24’ LS dan 1050 49’ – 1050 54’ BT. Wilayah Pantai Barat yang akan diteliti terdiri atas 11 desa yaitu Desa Sukamaju, Desa Cigondang, Desa Labuan, Desa Teluk, Desa Pejamben, Desa Caringin, Desa Banjarmasin, Desa Carita, Desa Sukanegara, Desa Sukajadi, dan Desa Sukarame. Untuk Desa Cigondang, Desa Sukamaju, Desa Labuan, Desa Teluk, Desa Caringin, dan Desa Pejamben terletak di Kecamatan Labuan, sedangkan Desa Banjarmasin, Desa Carita, Desa Sukajadi, Desa Sukarame, dan Desa Sukanegara terletak di Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang (Kabupaten Pandeglang Dalam Angka, 2021).
Wilayah Kabupaten Pandeglang termasuk dalam jalur perbukitan dengan tatanan tektonik yang sangat kompleks, yaitu terletak diantara berbagai lempeng samudera dan lempeng benua yang aktif bergerak sepanjang waktu. Terdapat jalur pertemuan tiga lempeng dunia yaitu Lempeng Indo, Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Dengan terdapatnya pertemuan lempeng tersebut maka rentan terjadi tumbukan antara lempeng benua Eurasia dengan lempeng samudera Indo-Australia dan lempeng samudra pasifik. Di sepanjang zona tumbukan tersebut pada lempeng benua terbentuk gugusan kepulauan gunung berapi atau sabuk gunung berapi (Magmatic Belt) yang berderet di sepanjang Sumatera, Jawa bagian selatan menerus ke Nusa Tenggara hingga Banda.
Hamilton (1976) menyebutnya sebagai Sunda- Banda magmatic arc atau busur gunungapi Sunda-Banda. Jajaran pegunungan tersebut membentuk cincin pegunungan berapi yang mengelilingi wilayah Indonesia sehingga disebut sebagai “Ring of Fire” (BNPB, 2012).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian “Kajian Risiko Bencana Tsunami di Pantai Barat Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten” adalah untuk mengetahui untuk mengetahui tingkat ancaman dan tingkat kerentanan untuk menjadi acuan pembuatan peta tingkat risiko yang terjadi pada wilayah penelitian sehingga peneliti maupun stakeholder terkait mampu memprediksi langkah apa yang dapat diambil untuk meminimalisir kerugian materiil fisik maupun non fisik terhadap bencana tsunami. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
• Menyusun kajian tingkat kerentanan dan ancaman untuk mendapatkan tingkat risiko yang dapat menimbulkan potensi bencana tsunami.
• Menyusun peta tingkat risiko bencana yang terdapat di kawasan Pantai Barat Kabupaten Pandeglang, sehingga dapat dirumuskan penanganan atau pencegahan terhadap bencana tsunami
METODE PENELITIAN
Kajian Risiko Bencana Tsunami di Pantai Barat Kabupaten Pandeglang bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui tingkat ancaman dan tingkat kerentanan untuk menjadi acuan pembuatan peta tingkat risiko yang terjadi pada wilayah penelitian sehingga peneliti mampu memprediksi langkah apa yang dapat diambil untuk meminimalisir kerugian materiil serta fisik maupun non fisik terhadap bencana tsunami.
Penelitian ini akan mengambil materi yang memiliki ruang lingkup sebatas Kajian Risiko Bencana Tsunami. Kajian Risiko Bencana Tsunami di lokasi penelitian memiliki kandungan materi diantaranya
Tabel 1. Variabel Penelitian
Variabel Sub-
Variabel Indikator Parameter
Kerentanan
Kerentanan Fisik
Kepadatan Bangunan
Rasio Kepadatan
Bangunan Fasilitas
Umum
Jumlah Fasilitas Umum Lahan
Terbangun
Luas Lahan Terbangun
Kerentanan Sosial
Kepadatan Penduduk
Rasio Kepadatan
Penduduk Jenis Kelamin Rasio Jenis Kelamin Kelompok
Umur Rentan
Rasio Kelompok Umur Rentan
Variabel Sub-
Variabel Indikator Parameter Penyandang
Disabilitas
Rasio Penyandang
Disabilitas
Kerentanan Ekonomi
Lahan Produktif
Luas Lahan Produktif Penduduk
Miskin
Rasio Penduduk
Miskin
Kerentanan Lingkungan
Hutan Alam Luas Hutan Alam Hutan
Lindung
Luas Hutan Lindung Hutan
Mangrove
Luas Hutan Mangrove
Ancaman Tingkat Ancaman
Jarak dari Garis Pantai
Kelas Jarak dari Garis
Pantai Elevasi Kelas Elevasi Risiko Tingkat
Risiko
Kawasan Rawan Bencana I,II,III
Overlay Ancaman dan
Tingkat Kerentanan Sumber : Prasetya, 2021 dimodifikasi dengan Perka BNPB No.2 Tahun 2012
Kajian ini akan dilaksanakan melalui pendekatan geografi secara spasial, lingkungan, dan kewilayahan. Pendekatan secara spasial dapat ditunjukan dengan sudut pandang terhadap lokasi penelitian yang memiliki berbagai variasi terkait kondisi lahan yang akan dilihat dalam satu kesatuan ruang dan berpola, berinteraksi, dan berasosiasi. Pendekatan lingkungan dapat ditunjukan dari adanya keterkaitan tingkat bahaya dengan tingkat kerentanan diaman manusia dan unsur sosial buadaya terlibat didalamnya. Sedangkan dari sisi pendekatan secara kewilayahan dapat ditunjukan pada hasil analisis kerentanan setiap desa penentuan ancaman bencana yang menetapkan zona risiko bencana tsunami.
Kerentanan
Tingkat kerentanan didapatkan dengan melakukan analisis skoring yang didapatkan dari faktor-faktor penyebab kerentanan sosial, fisik, ekonomi dan lingkungan. Pengolahan data dilakukan dengan memberikan skor dan bobot setiap variabel, penentuan bobot mengacu pada Perka BNPB No 2 Tahun 2012 yang dimana masing masing kelompok kerentanan memiliki bobot yang berbeda beda. Berikut ini merupakan rumus untuk mendapatkan skor total kerentanan.
Tabel 2. Rumus Kerentanan Kawasan
Kerentanan Kawasan = (0,4 x Skor Kerentanan Sosial) + (0,25 x Skor Kerentanan Ekonomi) + (0,25 x Skor Kerentanan Fisik) + (0,1 x Skor Kerentanan Lingkungan
Sumber: Perka BNPB No. 2 Tahun 2012
Kerentanan Fisik
Indikator yang digunakan untuk kerentanan fisik adalah kepadatan bangunan, ketersediaan bangunan/fasilitas umum dan rasio luas lahan terbangun. Kepadatan bangunan diperoleh dengan membagi bangunan dengan luas desa (dalam ha) dan dikalikan dengan harga satuan dari masing- masing parameter Indeks.
Tabel 3. Rumus Kerentanan Fisik
Kerentanan Fisik = (0,4 x Skor Kepadatan Bangunan) + (0,3 x Skor Jumlah Fasilitas Umum) + (0,3 x Skor Luas Lahan Terbangun)
Sumber: Peraturan Kepala BNPB No.2 Tahun 2012 dimodifikasi dengan Hasil International Symposium on Solid Oxide Fuel Cell (SOFC-XVII)
Kerentanan Sosial
Analisis Sosial dilakukan dengan menggunakan indicator untuk menghitung kerentanan sosial. Indikasi yang diamati meliputi kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio kelompok umur. Oleh karena itu Social Vulnerability Index didapatkan dengan merata-ratakan bobot dan kriteria yang telah ditentukan.
Tabel 4. Rumus Kerentanan Sosial
𝑲𝒆𝒓𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒂𝒏 𝑺𝒐𝒔𝒊𝒂𝒍
= (𝟎, 𝟔 𝒙
𝐥𝐨𝐠 (𝑲𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂𝒕𝒂𝒏 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒖𝒅𝒖𝒌
𝟎,𝟎𝟏 )
𝐥𝐨𝐠 (𝟏𝟎𝟎
𝟎,𝟎𝟏) )
+ (𝟎, 𝟏 𝒙 𝑺𝒌𝒐𝒓 𝑹𝒂𝒔𝒊𝒐 𝑱𝒆𝒏𝒊𝒔 𝑲𝒆𝒍𝒂𝒎𝒊𝒏) + (𝟎, 𝟏 𝒙 𝑺𝒌𝒐𝒓 𝑹𝒂𝒔𝒊𝒐 𝑲𝒆𝒍𝒐𝒎𝒑𝒐𝒌 𝑼𝒎𝒖𝒓)
+ (𝟎, 𝟐 𝒙 𝑺𝒌𝒐𝒓 𝑹𝒂𝒔𝒊𝒐 𝑷𝒆𝒏𝒚𝒂𝒏𝒅𝒂𝒏𝒈 𝑫𝒊𝒔𝒂𝒃𝒊𝒍𝒊𝒕𝒂𝒔) Sumber: Peraturan Kepala BNPB No.2 Tahun 2012
Kerentanan Ekonomi
Indikator yang digunakan untuk kerentanan ekonomi adalah luas lahan produktif (sawah, perkebunan, lahan pertanian dan tambak) dan rasio kemiskinan. Luas lahan produktif dapat diperoleh dari peta guna lahan dan buku kabupaten atau kecamatan dalam angka dan dikonversi kedalam rupiah, sedangkan rasio penduduk miskin dapat diperoleh dari laporan kependudukan atau kabupaten dalam angka.
Tabel 5. Rumus Kerentanan Ekonomi
Kerentanan Ekonomi = (0,6 x Skor Lahan Produktif) + (0,4 x Skor Rasio Kemiskinan)
Sumber: Peraturan Kepala BNPB No.2 Tahun 2012 dimodifikasi dengan Hasil International Symposium on Solid Oxide Fuel Cell (SOFC-XVII)
Kerentanan Lingkungan
Analisis Kerentanan lingkungan dilakukan menggunakan indikator dalam perhitungan
tingkat kerentanan lingkungan pada wilayah penelitian. Indikator yang diperlukan meliputi tutupan lahan seperti hutan bakau/mangrove, area rawah atau semak belukar, dan lain sebagainya. Nilai Environmental Vulnerability Index dapat dihitung menggunakan rumus yang telah ditentukan.
Tabel 6. Rumus Kerentanan Lingkungan
Kerentanan Lingkungan = (0,3 x Skor Hutan Lindung) + (0,3 x Skor Hutan Alam) + (0,4 x Skor Hutan Bakau)
Sumber: Peraturan Kepala BNPB No.2 Tahun 2012 dimodifikasi dengan Hasil International Symposium on Solid Oxide Fuel Cell (SOFC-XVII)
Ancaman
Penentuan ancaman didapatkan berdasarkan 2 indikator yang telah ditetapkan. 2 indikator tersebut adalah Elevasi/Ketinggian dan Jarak dari Garis Pantai. Data dari masing-masing variabel dilakukan perhitungan skor dan dilakukan pengkelasan. Penyusunan variabel ancaman dilakukan berdasarkan kajian tsunami yang sudah ada.
Tabel 7. Pembobotan Tingkat Ancaman
Indikator Klasifikasi Bobot Skor Jarak dari
Garis Pantai
> 3,5 km
50%
1
1-3,5 km 2
0-1,5 km 3
Elevasi
>20 mdpl
50%
1
13-20 mdpl 2
0-13 mdpl 3
Sumber: Naryanto, 2019 dimodifikasi dengan Prasetya, 2021
Risiko
Risiko bencana merupakan kemungkinan adanya terjadi kerusakan akibat bahaya gempa maupun bahaya lainnya yang mampu menyebabkan bencana yang kemungkinan terjadi akibat dari ancaman dan didukung oleh kerentanan wilayah yang bersangkutan.
Ancaman merupakan suatu peristiwa yang memiliki potensi untuk menyebabkan adanya kecelakaan atau kerugian fisik maupun non fisik, sedangkan kerentanan adalah kondisi yang mempengaruhi apakah ancaman yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan pada suatu wilayah atau tidak sama sekali.
Risiko (R) = Kerentanan (V) x Ancaman (H)
(R): Risk (V): Vulnerability (H): Hazard
Tabel 8. Matriks Risiko Bencana
Kerentanan Ancaman
Rendah Sedang Tinggi
Rendah Rendah Rendah Sedang
Sedang Rendah Sedang Tinggi
Tinggi Sedang Tinggi Tinggi
Sumber: Winaryo, 2007; Sudibyaktono & Pramono (2016)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Indonesia adalah sebuah negeri yang rawan bencana, salah satu penyebab terjadinya banyak bencana di Indonesia adalah lokasi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian Utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur. Hal ini semakin diperburuk dengan banyaknya gunungapi aktif yang ada Indonesia tercatat ada sekitar 129 gunungapi aktif dengan 80 diantaranya berbahaya.
Berdasarkan data yang telah dihimpun dari instansi terkait seperti BAPPEDA Kabupaten Pandeglang, BPBD Kabupaten Pandeglang, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengenai bencana tsunami yang ada di Kabupaten Pandeglang, didapatkan hasil yakni tsunami terjadi di Selat Sunda dengan wilayah terdampak bencana 2 (dua) Provinsi yakni Provinsi Banten (Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang) dan Provinsi Lampung (Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran dan Kabupaten Tanggamus).
Kerentanan Fisik
Kondisi fisik eksisting yang terdapat di wilayah penelitian Kabupaten Pandeglang tentunya mempengaruhi skor akhir kerentanan kawasan. Kepadatan bangunan eksisting mencapai angka yang tidak terlalu besar.
Terkecuali pada 2 desa yang memiliki angka paling besar dimiliki oleh Kecamatan Labuan yang terletak pada 2 desa yakni Desa Labuan dengan besar 30 Unit/ Ha dan Desa Teluk dengan besar 32 Unit/Ha. Kemudian desa yang paling kecil angka kepadatan bangunannya adalah Desa Sukarame di Kecamatan Carita dengan angka 1 Unit/HaJumlah fasilitas umum dengan akumulasi terbanyak terdapat pada Desa Labuan yaitu sebanyak 174 fasilitas umum dengan rincian 29 Sekolah, 20 Tempat Peribadatan, 20 Fasilitas Kesehatan, 1 Hotel, dan 104 Sarana Perdagangan.
Selanjutnya, jumlah fasilitas umum dengan akumulasi yang paling sedikit terdapat pada Desa Banjarmasin dengan total sebanyak 36 fasilitas umum dengan rincian 9 Sekolah, 9 Tempat Peribadatan, 8 Fasilitas Kesehatan, 1 Hotel, dan 9 Sarana Perdagangan. Rata-rata dari masing masing fasilitas umum dengan jumlah terbanyak diduduki oleh sarana perdagangan yang meliputi restoran atau rumah makan, kedai, dan warung makan. Kemudian, mengenai rasio perbandingan
antara luas lahan terbangun dengan luas wilayah keseluruhan yang terdapat di wilayah penelitian dapat terlihat dengan jelas bahwa rasio luas lahan terbangun yang paling besar terdapat di Desa Labuan, yang memiliki luas wilayah sebesar 78,2 Hektar Are dengan besaran rasio sebesar 88%
dari luas wilayah keseluruhan. Kemudian, desa dengan luas lahan terbangun yangpaling sedikit adalah Desa Sukanagara yaiut 14,5 Hektar Are dengan besaran rasio sebesar 2%.
Berdasarkan kondisi eksisting diatas, maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas kepadatan bangunan dapat diklasifikasikan rendah, karena didominasi dengan skor berjumlah 1 dan skor berjumlah 2 hanya terdapat di Desa Labuan dan Desa Teluk. Jumlah bangunan terbanyak dimiliki oleh Desa Teluk dengan jumlah total 3105 bangunan dan yang paling sedikit adalah Desa Sukamaju dengan 458 bangunan.
Terdapat berbagai macam fasilitas umum yang terdapat di wilayah penelitian, seperti sekolah, rumah sakit dan sejenisnya, toko, warung dan yang lain-lain. Jumlah fasilitas umum tergolong banyak, menimbang lokasi penelitian merupakan lokasi yang rentan akan bencana tsunami.
Berdasarkan perhitungan skor yang dilakukan, skor yang mendominasi adalah 2 dengan tingkat kerentanan sedang dan 3 dengan tingkat kerentanan tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa fasilitas umum di wilayah penelitian tergolong cukup rentan akan bahaya tsunami.
Luas lahan terbangun di wilayah penelitian mayoritas tergolong dengan tingkat kerentanan rendah, namun beberapa desa memiliki tingkat kerentanan sedang dan tinggi. Ini membuktikan bahwa masih ada desa yang rentan terhadap bencana tsunami dan kemudian dapat berakibat kepada kerugian harta benda yang diakibatkan bencana tsunami khususnya dengan tingkat kerentanan tinggi yang berada di Desa Labuan dan Desa Teluk tersebut dengan golongan tinggi.
Untuk mendapatkan total skor atau total nilai dari kerentanan fisik, maka dibutuhkan perhitungan menggunakan rumus yang telah ditentukan.
Tabel 9. Skoring Kerentanan Fisik
Desa Kepadatan Bangunan
Fasilitas umum
Lahan Terbang
un
Skor Total
Kela s Cigond
ang 1 3 2 1,9 Rend
ah Sukam
aju 1 2 2 1,6 Rend
ah
Labuan 2 3 3 2,6 Seda
ng
Teluk 2 2 3 2,3 Seda
ng
Desa Kepadatan Bangunan
Fasilitas umum
Lahan Terbang un
Skor Total
Kela s Caringi
n 1 3 1 1,6 Rend
ah Pejamb
en 1 2 1 1,3 Rend
ah Banjar
masin 1 2 1 1,3 Rend
ah
Carita 1 2 1 1,3 Rend
ah Sukaja
di 1 2 2 1,6 Rend
ah Sukara
me 1 3 1 1,6 Rend
ah Sukana
gara 1 2 1 1,3 Rend
ah Sumber: Hasil Analisis, 2021
Gambar 1. Peta Kerentanan Fisik Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan Kerentanan Sosial
Kondisi eksisting sosial yang berhubungan dengan penelitian kerentanan di wilayah penelitian meliputi kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, penyandang disabilitas, rasio kelompok umur rentan Data yang dihimpun dari kegiatan survei primer didapati jumlah dari keseluruhan penduduk dari wilayah penelitian di Kabupaten Pandeglang. Desa yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yaitu 12003 jiwa yang terletak di Desa Teluk, dengan kepadatan penduduk desa tersebut sebesar 126 jiwa per Hektar Are. Selanjutnya, jumlah penduduk paling sedikit terletak di Desa Banjarmasin sejumlah 3623 jiwa, namun untuk kepadatan penduduk paling rendah terletak di Desa Sukarame dengan kepadatan penduduk sebesar 2 Jiwa per Hektar Are. Kemudian mengenai rasio jenis kelamin.
rasio dengan jumlah persen tertinggi terdapat pada Desa Teluk dengan rasio sebesar 28%.
Kemudian desa dengan rasio terendah didapati pada Desa Sukamaju, yaitu 9%.
Selanjutnya, berdasarkan klasifikasi yang diberikan oleh World Health Organization (WHO), penduduk dengan umur rentan terhitung mulai
sejak umur 45 tahun hingga 75 tahun keatas. 45 tahun merupakan tahun awal memasuki fase dewasa menuju tua atau lanjut usia (lansia).
Berdasarkan hal tersebut, desa dengan jumlah penduduk umur rentan terbanyak terdapat di Desa Caringin yaitu sebanyak 3148 jiwa.
Selanjutnya, desa dengan jumlah paling sedikit adalah Desa Carita dengan jumlah sebesar 611 Jiwa. Namun, untuk rasio dari perbandingan jumlah penduduk keseluruhan dengan jumlah penduduk rentan didapatkan rasio tertinggi yaitu pada Desa Sukanagara yaitu 48%, dan diikuti dengan yang rasio terendah yang terdapat pada Desa Carita sebesar 16%.
Jumlah penduduk yang menyandang disabilitas pada wilayah penelitian pada tabel diatas menunjukkan bahwa Desa Caringin menduduki peringkat tertinggi yang memiliki penduduk penyandang disabilitas dengan jmlah sebanyak 25 Jiwa yang kemudian diikuti oleh Desa Banjarmasin menduduki peringkat terendah yaitu sebanyak 7 Jiwa. Rasio perbandingan antara jumlah penduduk yang menyandang disabilitas dengan jumlah penduduk keseluruhan tertinggi diduduki oleh 2 desa, uakni Desa Sukamaju dan Desa Caringin dengan besaran rasio sebesar 0,4%.
Kemudin untuk Desa dengan rasio terendah adalah Desa Teluk dengan rasio 0,09%.
Kepadatan penduduk yang terdapat pada wilayah studi penelitian di Kabupaten Pandeglang tersebut pada satuan Hektar Are tidak terlihat terlalu padat. Kepadatan penduduk tertinggi dimiliki oleh Desa Teluk dengan 126 Jiwa per Hektar Are, dan terendah terdapat pada Desa Sukarame yakni 2 Jiwa per Hektar Are. Jumlah penduduk per Hektar Are yang relative sedikit ini diakibatkan oleh wilayah yang sangat luas, namun jumlah penduduk tidak sebanyak atau tidak sebanding dengan luas wilayahnya. Maka dari itu, jumlah penduduk per Hektar Are terhitung relatif sedikit. Kepadatan penduduk yang dinilai rendah mampu dapat meminimalisir potensi korban jiwa akibat bencana. Kemudian berdasarkan hasil skoring rasio jenis kelamin di Kabupaten Pandeglang diatas menunjukkan bahwa skor kerentanan untuk kategori rasio jenis kelamin didominasi oleh tingkat kerentanan rendah yaitu dengan skor 1. Tidak terdapat potensi yang tinggi namun terdapat potensi kerentanan dengan kategori sedang. Dapat dikatakan bahwa bagi jenis kelamin laki-laki maupun perempuan tidak memiliki kerentanan yang serius/tinggi.
Jumlah penduduk dengan kategori umur rentan terbanyak terdapat di Desa Caringin
dengan jumlah sebanyak 3148 jiwa. Kemudian desa dengan jumlah paling sedikit adalah Desa Carita dengan jumlah 611 jiwa. Selanjutnya, rasio dari masing-masing desa didapatkan dengan persenan yang paling tinggi yaitu Desa Caringin sebesar 46% dari jumlah penduduk keseluruhan.
Hal ini membuktikan bahwa hamper 50% dari keseluruhan jumlah penduduk di Desa Caringin memiliki umur dengan kategori umur yang rentan, dan desa dengan persenan paling rendah terdapat di Desa Carita yaitu sebesar 16%.
Berdasarkan hasil skoring, terdapat 3 desa dengan kategori kerentanan yang tinggi, yaitu Desa Sukamaju, Desa Caringin, dan Desa Sukarame. Ketiga desa yang memiliki skor tinggi ini merupakan potensi atau dapat dikatakan sangat rentan akan bahaya bencana. Hal ini tentunya jelas terlihat bahwasanya semakin tinggi umur, maka kondisi kesehatan akan semakin menurun, maka dari itu, diperlukan tindakan khusus atau Langkah untuk meminimalisir penduduk dengan umur rentan tersebut menghindari bahaya bencana.
Selanjutnya, jumlah penyandang disabilitas terendah terdapat di Desa Banjarmasin sejumlah 7 jiwa dan kemudian jumlah tertinggi terdapat di Desa Caringin sejumlah 25 Jiwa. Rasio yang didapat dari keseluruhan desa tidak mencapai angka hingga 1%. Hal ini membuktikan bahwa penyandang disabilitas di dua kecamatan wilayah penelitian tergolong rendah apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk dari masing-masing desa. Dengan rasio penyandang disabilitas yang rendah, maka potensi korban jiwa penyandang disabilitas akan bahaya tsunami dapat dikatakan rendah. Skor yang didapat berdasarkan skoring mendapatkan hasil bahwa semua desa berada di skor 1 yaitu dengan kategori rendah.
Tabel 10. Skoring Kerentanan Sosial
Desa
Kepad atan Pendu duk
Jenis Kela
min Umu
r Rent
an Disab
ilitas Skor Total Kelas Cigondan
g 1 2 2 1 0,78 Rend
ah
Sukamaju 1 1 3 1 0,78 Rend
ah
Labuan 1 2 1 1 0,68 Rend
ah
Teluk 1 2 1 1 0,68 Rend
ah
Caringin 1 1 3 1 0,78 Rend
ah Pejambe
n 1 1 2 1 0,68 Rend
ah Banjarma
sin 1 1 2 1 0,68 Rend
ah
Desa
Kepad atan Pendu duk
Jenis Kela min
Umu r Rent
an Disab
ilitas Skor Total Kelas
Carita 1 1 1 1 0,58 Rend
ah
Sukajadi 1 1 2 1 0,68 Rend
ah Sukaram
e 1 2 3 1 0,88 Rend
ah Sukanaga
ra 1 1 3 1 0,78 Rend
ah Sumber: Hasil Analisis, 2021
Gambar 2. Peta Kerentanan Sosial Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan
Kerentanan Ekonomi
Kondisi eksisting perekonomian yang berhubungan dengan penelitian kerentanan di wilayah penelitian meliputi luas lahan produktif dan rasio penduduk miskin. Lahan produktif merupakan salah satu faktor penting dalam mata pencaharian masyarakat lokal. Lahan produktif tersebut meliputi pertanian lahan kering, sawah, dan perkebunan. Pada tabel diatas, lahan produktif yang mendominasi luasan total di wilayah penelitian adalah pertanian lahan kering.
Kemudian, desa yang memiliki luas lahan produktif paling luas terletak di Desa Sukarame, dengan luasan total seluas 1062,5 Hektar Are, dengan rincian 739,6 Hektar Are Pertanian Lahan Kering, 291,3 Hektar Are Sawah, dan 31,6 Hektar Are Perkebunan. Untuk desa dengan luas lahan produktif yang terkecil terletak pada Desa Labuan dengan hanya 10,6 Hektar Are, dengan rincian 10,1 Hektar Are Pertanian Lahan Kering, 0 Hektar Are Sawah, dan 0,5 Hektar Are perkebunan.
Angka ini merupakan angka terkecil dari seluruh desa di wilayah penelitian.
Kemudian untuk kondisi ekonomi dengan kategori jumlah penduduk miskin pada wilayah penelitian diatas tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di 2 kecamatan adalah 1962 jiwa di Kecamatan Labuan, dan 717
jiwa di Kecamatan Carita. Desa dengan penduduk miskin terbanyak terdapat pada Desa Labuan yaitu sebanyak 512 Jiwa, yang diikuti oleh desa dengan jumlah terendah yaitu Desa Banjarmasin sebanyak 94 Jiwa. Rasio penduduk miskin terbesar dimiliki oleh Desa Sukamaju dengan rasio mencapai 8% dari keseluruhan penduduk.
Desa dengan rasio terendah dadalah Desa Sukarame dengan rasio sebesar 2%
Didapatkan dari kondisi eksisting lahan produktif tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa lahan produktif terluas terdapat di Desa Sukarame dengan luas lahan total seluas 1062,5 Hektar Are, kemudian desa dengan luas terkecil adalah Desa Labuan, dengan luas lahan 10,6 Hektar Are. Pada kedua kecamatan, luas lahan yang dominan dimiliki oleh Kecamatan Carita.
Dari penjelasan mengenai luas lahan produktif di kedua kecamatan dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi luas lahan produktif, menunjukkan bahwa semakin tinggi potensi kerugian ekonomi masyarakat. Karena lahan produktif yang dimiliki oleh masyarakat meliputi pertanian, persawahan, dan perkebunan. Hasil skoring yang didapatkan juga menjelaskan bahwa terdapat 3 Desa yang memiliki hasil skoring tertinggi untuk kategori lahan produktif, yaitu Desa Caringin, Desa Pejamben, dan Desa Sukanagara.
Dapat disimpulkan dari data penduduk miskin, seluruh desa di 2 kecamatan dalam wilayah penelitian memiliki hasil skoring yang sama dan rata, yaitu sebesar 1. Hal ini membuktikan bahwa penduduk miskin dapat dikategorikan sebagai kategori rendah. Namun, mengenai rasio penduduk miskin berdasarkan data yang terdapat di lapangan, rasio penduduk miskin terbanyak terdapat di Desa Sukamaju dengan besaran 8% dari keseluruhan penduduk adalah penduduk miskin. Kemudian yang terendah terdapat di Desa Sukarame. Ini merupakan salah satu hal yang baik, dikarenakan untuk kerentanan ekonomi dengan kategori penduduk miskin dapat dikatakan rendah.
Tabel 11. Skoring Kerentanan Ekonomi
Desa Lahan Produktif
Penduduk Miskin
Skor
Total Kelas Cigonda
ng 1 1 1 Rendah
Sukamaj
u 1 1 1 Rendah
Labuan 1 1 1 Rendah
Teluk 1 1 1 Rendah
Caringin 3 1 2,2 Sedang
Pejambe
n 3 1 2,2 Sedang
Banjarm
asin 2 1 1,6 Rendah
Desa Lahan Produktif
Penduduk Miskin
Skor
Total Kelas
Carita 2 1 1,6 Rendah
Sukajadi 2 1 1,6 Rendah
Sukaram
e 2 1 1,6 Rendah
Sukanag
ara 3 1 2,2 Sedang
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Gambar 3. Peta Kerentanan Ekonomi Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan
Kerentanan Lingkungan
Kondisi eksisting lingkungan yang berhubungan dengan penelitian kerentanan di wilayah penelitian meliputi luas hutan alam, hutan lindung dan hutan mangrove. Luas hutan alam yang terdapat di wilayah penelitian hanya berjumlah seluas 1643,5 Hektar Are untuk kedua kecamatan yang tersebar hanya di 3 desa saja. Hal ini menjelaskan bahwa kondisi wilayah penelitian tidak memiliki banyak hutan alam. Luas hutan paling besar dimiliki oleh Desa Sukarame yakni sebesar 1267,1 Hektar Are dan yang terkecil adalah Hutan Alam di Cigondang yakni sebesar 29,4 Hektar Are.
Kondisi luas hutan lindung di wilayah penelitian sangat memprihatinkan, melihat kondisi hutan lindung yang luasnya lebih sedikit daripada luas lahan terbangun yang terdapat di wilayah penelitian. Hal ini mampu menyebabkan bencana yang lain bermunculan seperti bencana banjir dan lainnya. Hutan lindung juga dinilai mampu untuk menahan hantaman dari bencana tsunami dan menyerap air dan mengembalikan fungsi hutan sebagai penyerapan air. Desa Sukanagara menduduki luas tertinggi untuk hutan lindung yaitu seluas 397,6 Hektar Are dan yang terendah adalah Desa Carita seluas 95 Hektar Are saja. Untuk kasus hutan lindung di wilayah penelitian, Kecamatan Labuan tidak memiliki hutan lindung.
Luas hutan alam yang terdapat di wilayah penelitian hanya berjumlah seluas 1643,5 Hektar Are untuk kedua kecamatan yang tersebar hanya di 3 desa saja. Hal ini menjelaskan bahwa kondisi wilayah penelitian tidak memiliki banyak hutan alam. Luas hutan paling besar dimiliki oleh Desa Sukarame yakni sebesar 1267,1 Hektar Are dan yang terkecil adalah Hutan Alam di Cigondang yakni sebesar 29,4 Hektar Are. Kemudian untuk skoring dari kategori hutan alam ini, didapatkan 2 desa dengan tingkat kerentanan tinggi yakni dengan skor 3 yang terdapat pada Desa Sukarame dan Desa Sukanagara. Tingkat kerentanan tinggi ini mempengaruhi hutan alam dikarenakan hutan alam digunakan sebagai resapan air untuk bencana seperti banjir, dan sebagai tempat tinggal flora dan fauna endemic.
Hutan mangrove atau hutan bakau seharusnya mampu untuk mencegah abrasi atau gelombang dan limpasan laut, sehingga bakau dapat menjadi peran penting dalam mencegah bahaya tsunami. Namun, di Kabupaten Pandeglang wilayah pantai barat tidak semua desa memiliki hutan bakau karena terjadinya bencana tsunami pada 2018 silam merusak seluruh hutan bakau dan hanya tersisa sedikit dari beberapa desa saja. Hanya Desa Labuan dan Desa Pejamben saja yang memiliki dan itu menjadikan seluruh desa selain 2 desa tersebut rentan akan bahaya tsunami. Maka dari itu, desa selain Desa Labuan dan Pejamben memiliki skor 3 yang tergolong tinggi dikarenakan tidak tersedianya hutan bakau untuk melindungi kawasan tersebut.
Tabel 12. Skoring Kerentanan Lingkungan
Desa Hutan Alam
Hutan Lindung
Hutan Mangrove
Skor Total
Kela s Cigond
ang 2 1 3 2,1 Seda
ng sukama
ju 1 1 3 1,8 Ren
dah
Labuan 1 1 1 1 Ren
dah
Teluk 1 1 3 1,8 Ren
dah Caringi
n 1 1 3 1,8 Ren
dah Pejamb
en 1 1 1 1 Ren
dah Banjar
masin 1 1 3 1,8 Ren
dah
Carita 1 3 3 2,4 Seda
ng Sukajad
i 1 1 3 1,8 Seda
ng Sukara
me 3 3 3 3 Ting
gi Sukana
gara 3 3 3 3 Ting
gi Sumber: Hasil Analisis, 2021
Gambar 4. Peta Kerentanan Lingkungan Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan Kerentanan Kawasan
Berdasarkan perhitungan dan skoring menurut data kerentanan dari masing-masing indicator dari kerentanan fisik, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentana lingkungan data yang ada, maka selanjutnya adalah menghitung mengenai kerentanan kawasan terhadap bencana tsunami. Setelah didapatkan seluruh hasil dari skoring masing-masing indikator tingkat kerentanan seperti kerentanan fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan, maka dapat dilakukan skoring akhir untuk tingkat kerentanan yaitu menghitung skor dari kerentanan kawasan penelitian. Bobot dari masing masing kerentanan pun bervariasi, seperti kerentanan fisik sejumlah 25%, kerentanan sosial sejumlah 40%, kerentanan ekonomi sejumlah 25%, dan kerentanan lingkungan sejumlah 10%. Hal ini membuktikan bahwa keseluruhan factor dari kerentanansangat mempengaruhi keseluruhan tingkat kerentanan kawasan pada hasil akhir nanti.
Tabel 13. Skoring Kerentanan Kawasan
Desa Fis ik
Sosi al
Ekono mi
Lingkun gan
Skor Total
Kela s Cigonda
ng 1,9 0,7
8 1 2,1 2,3 Seda
ng Sukamaj
u 1,6 0,7
8 1 1,8 2,1 Seda
ng Labuan 2,6 0,6
8 1 1 2,3 Seda
ng Teluk 2,3 0,6
8 1 1,8 2,3 Seda
ng Caringin 1,6 0,7
8 2,2 1,8 3,3 Ting
gi Pejambe
n 1,3 0,6
8 2,2 1 3,2 Ting
gi Banjarm
asin 1,3 0,6
8 1,6 1,8 2,7 Seda
ng Carita 1,3 0,5
8 1,6 2,4 2,7 Seda
ng Sukajadi 1,6 0,6
8 1,6 1,8 2,7 Seda
ng
Desa Fis ik
Sosi al
Ekono mi
Lingkun gan
Skor Total
Kela s Sukaram
e 1,6 0,8
8 1,6 3 2,9 Seda
ng Sukanag
ara 1,3 0,7
8 2,2 3 3,4 Ting
gi Sumber: Hasil Analisis, 2021
Gambar 5. Peta Kerentanan Kawasan Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan
Elevasi
Elevasi merupakan suatu ukuran ketinggian lokasi yang berada diatas permukaan laut. Pada studi kebencanaan tsunami, tentunya elevasi sangat berpengaruh dalam menentukan tingkat ancaman. Semakin rendah suatu wilayah maka semakin tinggi ancaman terhadap bencana tsunami. Variabel elevasi diperlukan sebagai variabel dengan bobot tinggi dalam perhitungan ancaman bencana tsunami. Semakin tinggi elevasi suatu wilayah maka semakin kecil ancaman wilayah tersebut terhadap dampak destruktif yang ditimbulkan dari adanya peristiwa tsunami. Elevasi eksisting di beberapa desa di wilayah penelitian menunjukkan bahwa ketiga kategori elevasi yaitu tinggi, sedang, serta rendah tersebar merata di seluruh desa di dalam wilayah penelitian. Namun, khusus di desa Teluk, keseluruhan wilayahnya memiliki elevasi di bawah 20meter atau hanya memiliki wilayah yang masuk dalam kategori elevasi 2 dan 3.
Tabel 14. Elevasi
Desa 0-13 mdpl 13-20 mdpl >20 mdpl
Cigondang 147,5 8,6 3,4
Sukamaju 47,7 35,5 44,6
Labuan 48,8 28,2 11,5
Teluk 93,1 2,1 0
Caringin 302,9 40,9 11,9
Pejamben 209,5 90,1 94
Banjarmasin 148,8 36,8 27,3
Carita 58,4 15,8 84
Sukajadi 134,6 28,3 19,9
Sukarame 314,2 60,2 2050,8
Sukanagara 152,5 42,1 520
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Gambar 6. Peta Elevasi Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan
Jarak Garis Pantai
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014) menyebutkan bahwa Surono (2004) mengatakan bahwa wilayah dengan ancaman tinggi terhadap dampak destruktif bencana tsunami adalah wilayah yang radius 0 – 1,5kilometer diukur dari bibir pantai.
Sedangkan wilayah dengan ancaman sedang terhadap bencana tsunami berada pada radius 1,5- 3,5kilometer dari bibir pantai. Wilayah dengan jarak lebih dari 3,5kilometer dari bibir pantai dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan kategori ancaman bencana tsunami.
Tabel 15. Jarak Dari Garis Pantai
Desa 0-1,5 km 1,5 – 3,5 km >3,5 km
Cigondang 129,9 0 0
Sukamaju 136,3 0 0
Labuan 121,1 0 0
Teluk 105,2 0 0
Caringin 346,7 0 0
Pejamben 328,4 65,9 0
Banjarmasin 214,3 0 0
Carita 135,6 24,8 0,0005
Sukajadi 190,1 0 0
Sukarame 1126,8 853,3 456,3
Sukanagara 364,4 351,4 0
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Gambar 7. Peta Jarak Garis Pantai Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan
Tingkat Ancaman
Untuk mendapatkan peta ancaman, maka dilakukan teknik overlay dari elevasi dan jarak garis pantai. Kemudian, didapatkan skor ancaman yang otomatis tercatat di GIS. Kemudian, dibawah ini merupakan tabel hasil analisis dari overlay yang dilakukan berdasarkan data dari elevasi dan jarak dari garis pantai untuk mencari tingkat ancaman bencana tsunami di Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Kemudian, ini merupakan hasil analisis dari overlay yang dilakukan berdasarkan data dari elevasi dan jarak dari garis pantai untuk mencari tingkat ancaman bencana tsunami di Kabupaten Pandeglang.
Gambar 8. Peta Ancaman Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan
Skoring atau penilaian tingkat ancaman dilakukan menggunakan analisis overlay antara subvariabel elevasi dan subvariabel jarak dari bibir pantai, dengan pembobotan untuk masing- masing subvariabel adalah 50:50. Kelas-kelas berdasarkan hasil pembobotan yang muncul kemudian disederhanakan kembali menjadi 3 kelas ancaman, yaitu ancaman tinggi, ancaman sedang, dan ancaman rendah. Ketiga kategori ancaman tersebut tersebar merata di seluruh desa dalam wilayah studi di Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan kecuali Desa Teluk yang tidak memiliki wilayah berkategori ancaman bencana tsunami rendah. Hal ini terjadi karena pada subvariabel elevasi yang merupakan subvariabel yang memiliki bobot tinggi, dan didukung oleh data bahwa seluruh wilayah Desa Teluk berada pada elevasi kurang dari 20 meter.
Tingkat Risiko
Pengkajian risiko bencana tsunami didapatkan dari hasil akhir tingkat kerentanan dan tingkat ancaman yang kemudian di-overlay
keduanya dan mendapatkan hasil yakni tingkat risiko bencana. Penilaian/skoring diperoleh melalui analisis overlay pada software berbasis GIS dengan bobot masing-masing variabel adalah 50:50 atau tidak dilakukan pembobotan sama sekali. Kelas-kelas berdasarkan hasil overlay yang muncul kemudian disederhanakan kembali menjadi 3 kelas yakni kawasan dengan risiko rendah, sedang dan tinggi. Dibawah ini merupakan lampiran gambar pemetaan dari hasil kajian analisis risiko yang telah dilakukan. Hasil pemetaan risiko bencana didapatkan dari overlay pemetaan ancaman dan pemetaan dari kerentanan.
Gambar 9. Peta Risiko Bencana Tsunami Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan
Berdasarkan peta di atas, terlihat bahwa dari 11 desa di 2 kecamatan, hanya terdapat 3 desa yang memiliki risiko tinggi atau sebagian wilayahnya berada dalam kategori risiko tinggi yaitu Desa Caringin, Desa Pejamben, serta Desa Sukanagara. Sehingga, total luasan wilayah daratan di Kecamatan Carita dan Kecamatan Labuan yang berada pada kategori risiko tinggi adalah seluas 666,9 hektar.
KESIMPULAN
Tingkat kerentanan kawasan didapatkan kesimpulan yakni tidak ada desa dengan kerentanan rendah, hanya ada kelas kerentanan sedang dan tinggi. Desa Sukamaju memiliki kelas kerentanan sedang dengan skor 2,1 yang dimana skor ini adalah desa dengan skor paling rendah.
Sedangkan untuk Desa Caringin, Desa Pejamben, dan Desa Sukanagara adalah 3 desa yang memiliki kerentanan kawasan paling tinggi. Kerentanan kawasan dapat dikatakan memprihatinkan karena bedasarkan perhitungan dari 4 kerentanan tersebut, yang paling mempengaruhi berdasarkan kondisi eksisting dan perhitungan
adalah kerentanan lingkungan karena kondisinya yang cukup memprihatinkan.
Selanjutnya, untuk mencari tingkat ancaman bencana tsunami terhadap wilayah penelitian. Studi kajian ancaman menggunakan 2 faktor utama yakni factor dari Elevasi/Ketinggian wilayah studi dan Jarak dari Garis Pantai terhadap pesisir wilayah penelitian. Berdasarkan data dan hasil kajian, didapatkan bahwa wilayah penelitian didominasi dengan ketinggian antara 0-13meter diatas permukaan laut (mdpl) dan jarak dari garis pantai antara 0-2 km. Dapat disimpulkan bahwa tingginya tingkat ancaman dikarenakan berdasarkan historis dari tsunami yang melanda Provinsi Banten dan Provinsi pada 2018 silam adalah setinggi 10-13 m sedangkan jangkauan hantaman tsunami mampu mencapai hingga 1-2 kilometer. Kemudian didapatkan tingkat ancaman dari bencana tsunami dengan luas yang memiliki kelas paling tinggi jika dibandingkan dengan luas wilayahnya adalah Desa Caringin dengan kelas ancaman tinggi seluas 302 Hektar Are dan Desa Pejamben dengan luas 209,5 Hektar Are.
Setelah peneliti mendapatkan skor total dan kelas kumulatif dari tingkat kerentanan dan tingkat ancaman, peneliti melanjutkan ke metode terakhir yakni kajian tingkat risiko bencana. Hasil yang didapatkan adalah terdapat 3 desa di wilayah penelitian yang tergolong Kawasan Rawan Bencana III yang merupakan kawasan paling rentan dan paling risiko dalam menuai kerugian. Desa yang tergolong dalam risiko tinggi adalah Desa Caringin dengan luas 302,9 tergolong risiko tinggi, Desa Pejamben dengan luas 209,5 tergolong risiko tinggi dan Desa Sukanagara dengan luas 125,3 tergolong risiko tinggi. Desa Sukarame paling mendominan untuk golongan risiko rendah dikarenakan kondisi fisik eksisting wilayahnya merupakan dataran tinggi dan meliputi pegunungan yang menjadikannya tergolong aman dari bencana tsunami.
Saran peneliti terhadap pemerintah daerah setempat adalah juga adanya sosialisasi yang terkoordinasi dengan BPBD untuk masyarakat sekitar tentang bahaya tsunami di seluruh kawasan yang tergolong risiko tinggi dan sedang sehingga masyarakat tidak bingung untuk mencari tempat evakuasi sementara yang tersedia. Kemudian perlu ada kajian teknis Rencana Kontijensi secara mendalam terhadap tingkat risiko bencana tsunami berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dikarenakan
Kabupaten Pandeglang khususnya wilayah pesisir karena masih memiliki wilayah yang tergolong Kawasan Rawan Bencana kelas III.
DAFTAR PUSTAKA
--- Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
--- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2010 Tentang Mitigasi Bencana Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.
--- Undang Undang RI No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
--- Dokumen Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Tahun 2018, BPBD Kabupaten Pandeglang.
Naryanto, Heru Sri. 2019. Kajian Bahaya Tsunami Di Pantai Utara Kabupaten Serang.
Jurnal Alami (ISSN: 2548-8635), Vol. 3 No. 2, Tahun 2019. Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Prasetya, Akhmad Rizki A., et al. 2021.
Assessment of landslide risk in the mountainous area. Case study:
Bumiaji Sub-District. IOP Conf. Ser.:
Earth Environ. Sci. 916 012009.
Naryanto, Heru Sri. 2019. Analisis Bahaya, Kerentanan, Dan Risiko Bencana Tsunami Di Provinsi Papua Barat.
Jurnal Alami (ISSN: 2548-8635), Vol. 3 No. 1, Tahun 2019. Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana (PTRRB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Diposaptono dan Budiman. 2006. Pemetaan Tingkat Risiko Tsunami di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 1, No. 1 Halaman 48-61, Juni 2009.
Subardjo, Petrus. Ario, Raden. 2015. Uji Kerawanan Terhadap Tsunami Dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Pesisir Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Jurnal Kelautan Tropis, September 2015 Vo.
18(2) : 82-97 ISSN 0853-7291. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Lestari, Triana Wiji. 2017. Penentuan Zonasi Risiko Bencana Tsunami Di Kabupaten Banyuwangi. Laporan Skripsi Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan ITN Malang.