• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKABIES KRUSTOSA PADA PENDERITA HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

N/A
N/A
Kania Claranisza

Academic year: 2023

Membagikan "SKABIES KRUSTOSA PADA PENDERITA HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PRESENTASI KASUS Kepada Yth:

Dipresentasikan pada :

Hari/Tanggal : Senin, 19 Desember 2016

Jam : 11.00 WITA

SKABIES KRUSTOSA PADA PENDERITA HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Oleh :

dr. Putu Ayu Elvina

Pembimbing:

dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

2016

(2)

1 PENDAHULUAN

Skabies merupakan penyakit kulit menular yang ditemukan di seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan yang cukup signifikan. Sekitar 300 juta penduduk dunia terinfeksi penyakit ini setiap tahunnya dengan angka yang lebih tinggi didapatkan pada daerah yang miskin dan berpenduduk padat.1 Prevalensi skabies diperkirakan sebesar 8,8% pada daerah kumuh di Brazil, 13,4% di komunitas penduduk asli Australia, 17% di Timor Leste, 18,5% pada anak sekolah di Fiji, 31% pada panti asuhan di Malaysia serta angka yang jauh lebih rendah (0,4-0,6%) di Inggris.2

Infestasi skabies pada manusia disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. hominis yang merupakan parasit obligat.3 Manifestasi kulit akibat penyakit ini dimediasi melalui reaksi inflamasi dan hipersensitivitas terhadap tungau dan produk tungau, yang ditandai dengan adanya gatal yang berat, ruam papuler dan lesi vesikuler.4 Skabies dapat timbul dalam bentuk yang berbeda dari bentuk klasik, salah satu jenis variannya adalah skabies krustosa yang disebut juga skabies berkrusta atau skabies Norwegia.2,5

Skabies krustosa merupakan bentuk skabies yang jarang dan berat, yang terjadi akibat proliferasi tungau di kulit secara tidak terkontrol. Penamaan skabies berkrusta didasarkan atas gejala klinisnya yang tampak sebagai lesi hiperkeratotik dengan krusta yang luas menyerupai dermatitis psoriasiformis.5,6 Data epidemiologi skabies krustosa belum tersedia dan publikasi ilmiah mengenai penyakit ini paling sering berupa laporan kasus. Binic, dkk. menyatakan hingga tahun 2010 telah dilaporkan lebih dari 200 kasus skabies krustosa.7

Skabies krustosa umumnya terjadi pada pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV), human T-lymphotropic virus (HTLV)-1, keadaan imunosupresi setelah kemoterapi atau transplantasi organ, serta pada pasien dengan sindroma Down.5 Data Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar mencatat adanya 2 kasus skabies krustosa dalam kurun waktu 2012-2016 yang keduanya didapatkan pada pasien dengan infeksi HIV.8

Penatalaksanaan skabies krustosa cukup sulit karena faktor status imunosupresi pasien, lesi kulit yang luas, jumlah tungau yang banyak, serta adanya lesi hiperkeratotik dan krusta yang membatasi penetrasi agen topikal.

(3)

2 Terapi tidak hanya meliputi skabisidal, namun juga agen keratolitik dan terapi simptomatis berupa antihistamin serta antibiotik apabila didapatkan infeksi sekunder.6 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan pemberian agen skabisidal oral dan topikal secara bersamaan untuk skabies krustosa. Skabisidal oral yang efektif terbatas pada ivermektin, sedangkan terapi topikal yang tersedia cukup beragam, meliputi sulfur presipitatum 2-10%, benzil benzoat 10-25%, krotamiton 10%, lindan 1%, serta permetrin 5% yang saat ini paling sering dipakai.1,3,9

Agen skabisidal oral ivermektin tidak tersedia di Indonesia sehingga membatasi pilihan terapi pada pasien skabies krustosa. Berikut akan dilaporkan suatu kasus skabies krustosa pada seorang penderita HIV yang mengalami perbaikan setelah terapi dengan agen skabisidal topikal. Kasus ini dilaporkan dengan tujuan untuk menambah wawasan tentang skabies krustosa, khususnya mengenai modalitas terapi alternatif pada keadaan tidak tersedianya ivermektin.

KASUS

Seorang laki-laki, 42 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, dengan nomor rekam medis 16.02.88.76, datang ke bagian Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada tanggal 7 Juli 2016 dengan keluhan gatal di seluruh tubuh.

Keluhan gatal pada seluruh tubuh timbul sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya muncul bintik-bintik yang gatal pada sela jari tangan, selanjutnya gatal meluas disertai kulit yang menebal hingga menyebar ke seluruh tubuh. Gatal dirasakan terus menerus terutama pada malam hari sehingga pasien sulit tidur. Pasien sering menggaruk dengan kuat hingga timbul luka di beberapa tempat.

Luka paling berat terjadi pada tangan kiri dan kelamin pasien. Luka timbul bersamaan dengan munculnya gatal, yaitu 6 bulan yang lalu akibat garukan terus menerus. Luka disertai nyeri dan timbulnya keropeng. Pasien buang air kecil seperti biasa, hanya terasa perih saat terkena bagian kulit yang luka.

Pasien juga mengeluhkan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu namun saat pemeriksaan keluhan demam sudah tidak ada. Berat badan pasien dikatakan menurun sekitar 10 kilogram dalam 3 bulan terakhir. Tidak ada keluhan diare lama maupun batuk berdarah. Pasien makan dan minum seperti biasa.

(4)

3 Pasien pernah berobat ke dokter umum di Karangasem 6 bulan yang lalu untuk keluhan gatal dan lukanya. Pasien mendapat azitromisin dan parasetamol dan mengalami perbaikan. Selanjutnya pasien sering membeli sendiri obat tersebut dan tidak kontrol ke dokter lagi. Riwayat mengoleskan minyak atau ramuan tradisional sebelum maupun setelah keluhan muncul tidak ada.

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Satu tahun yang lalu pasien memeriksakan diri ke klinik di Denpasar dengan keluhan lemas badan yang tidak kunjung membaik. Dilakukan pemeriksaan dan didapatkan pasien positif terinfeksi HIV dengan koinfeksi tuberkulosis (TB) paru. Pasien mendapat obat antiretroviral (ARV) berupa tenofovir, lamivudin dan efavirens, serta obat anti tuberkulosis (OAT) yang diminum sampai tuntas pengobatan selama 6 bulan.

Riwayat munculnya bercak tebal warna merah yang bersisik pada siku, lutut dan punggung bawah disangkal. Riwayat asma, sering bersin pagi hari dan keganasan disangkal. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat luka pada kelamin maupun keluar duh tubuh dari kelamin sebelumnya disangkal.

Riwayat munculnya bintik berair yang terasa nyeri sebelum luka di kelamin muncul disangkal.

Riwayat keluhan serupa di keluarga maupun orang sekitar tidak ada. Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit kulit jangka panjang, asma, alergi obat maupun keganasan.

Pasien adalah seorang buruh bangunan yang saat ini sudah tidak bekerja karena sakitnya. Pasien sudah menikah dan memiliki 2 anak yang berusia remaja.

Riwayat hubungan seksual berganti pasangan dengan pekerja seks komersial (PSK) diakui pasien dilakukan sejak sekitar 4 tahun sebelumnya dan tidak pernah menggunakan kondom. Sejak diketahui menderita HIV 1 tahun lalu pasien sudah tidak berhubungan seksual lagi, istri dan anak pasien pindah dan tidak tinggal serumah dengan pasien. Istri pasien ikut memeriksakan status HIV-nya di klinik yang sama dan didapatkan hasil yang negatif.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sedang, kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 18 kali/menit, suhu aksiler 37⁰C, berat badan 50 kg, tinggi badan 168 cm, indeks

(5)

4 massa tubuh 17,7 (underweight). Status generalis pasien didapatkan kepala normosefali, mata tidak didapatkan tanda anemia dan ikterus. Pemeriksaan telinga hidung dan tenggorokan tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan jantung didapatkan suara jantung S1 dan S2 tunggal, reguler, tidak didapatkan murmur. Pemeriksaan paru didapatkan suara nafas vesikuler, tidak didapatkan ronkhi ataupun wheezing. Pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus dalam batas normal, tidak terdapat distensi, hepar dan lien tidak teraba. Ekstremitas teraba hangat dan tidak didapatkan edema. Pembesaran kelenjar limfe tidak ditemukan. Rambut dan kelenjar keringat tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan kuku tidak didapatkan hiperkeratotik maupun distrofi kuku. Pemeriksaan saraf tidak ditemukan penebalan saraf perifer, parestesi maupun makula anestesi.

Status dermatologi pada regio aurikularis dekstra et sinistra, colli, aksila, areola, umbilikus, ekstremitas superior et inferior dekstra et sinistra didapatkan plak hiperpigmentasi dan hiperkeratotik multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran 1x2 cm – 5x8 cm, tertutup skuama putih tebal, pada beberapa tempat tampak erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x0,5 cm – 0,5x1 cm (Gambar 1a-1m). Regio manus sinistra tampak ulkus multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 1x0,5x0,2 cm – 1x1,5x0,3 cm tertutup krusta coklat kekuningan sampai kehitaman (Gambar 1i). Regio suprapubik, batang penis dan skrotum didapatkan ulkus multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x0,5x0,2 cm – 3x4x0,3 cm, tepi tidak teratur, dinding menggaung, dasar kotor tertutup pus (Gambar 1n).

1b

1a 1c

(6)

5

Gambar 1. Lesi pada saat masuk rumah sakit. Plak hiperpigmentasi dan hiperkeratotik multipel tertutup skuama putih tebal pada regio aurikularis, colli, aksila, areola, umbilikus, manus dan pedis dengan erosi pada beberapa bagian (1a-1m). Tampak ulkus tertutup krusta pada manus sinistra (1h-1i) dan ulkus multipel pada regio suprapubis dan genitalia (1n).

1d 1e 1f

1l

1h 1i

u

1j 1k

1m 1n

(7)

6 Diagnosis banding pasien adalah skabies krustosa diferensial diagnosis dengan psoriasis vulgaris, disertai ulkus genital et causa skabies krustosa diferensial diagnosis ulkus mole, herpes genitalis dan ulkus durum, dengan infeksi HIV stadium IV. Direncanakan pemeriksaan penunjang berupa scraping kulit dan dermoskopi, pulasan Gram, kultur dan uji sensitivitas dari dasar luka di tangan dan kelamin, VDRL dan TPHA, IgG dan IgM anti-HSV1 dan HSV2, darah lengkap, kimia darah (SGOT, SGPT, BUN, kreatinin, glukosa) dan foto thoraks.

Hasil pemeriksaan scraping kulit didapatkan Sarcoptes scabiei (Gambar 2a dan 2b), dermoskopi didapatkan gambaran segitiga yang menandakan bagian kepala tungau skabies (Gambar 2c). Pemeriksaan pulasan Gram dari dasar luka di tangan didapatkan leukosit 30-40/lapang pandang dan kokus Gram positif.

Pemeriksaan pulasan Gram dari dasar luka di kelamin didapatkan leukosit 5- 10/lapang pandang dengan kokus Gram positif, tanpa adanya batang Gram negatif maupun gambaran school of fish. Spesimen untuk kultur dan uji sensitivitas telah diambil dan menunggu hasil. Pemeriksaan VDRL dan TPHA didapatkan keduanya nonreaktif. Pemeriksaan IgG dan IgM anti-HSV tidak tersedia di Sanglah dan tidak ditanggung oleh BPJS sehingga pasien menolak untuk dilakukan.

Gambar 2. Pemeriksaan scraping kulit didapatkan Sarcoptes scabiei (2a-2b). Pemeriksaan dermoskopi didapatkan gambaran segitiga yang merupakan kepala tungau skabies (2c).

Pemeriksaan darah lengkap tanggal 18 September 2014 didapatkan leukosit 13,23x103/μL (4,1-11), neutrofil 4,21x103/μL (2,5-7,5), limfosit 0,78x103/μL (1,0-4,0), monosit 0,49x103/μL (0,1-1,25), eosinofil 7,69x103/μL (0,0-0,55), basofil 0,06x103/μL (0,0-0,1), eritrosit 3,93x106/μL (4,0-5,2),

2a 2b 2c

(8)

7 hemoglobin 10,42 g/dL (12-16), hematokrit 34,48% (36-46), trombosit 577,6x103/μL (140-440). Pemeriksaan fungsi hati didapatkan SGOT 33,4 U/L (11-33) dan SGPT 20,4 U/L (11-50). Pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan BUN 13 mg/dL (8-23) dan kreatinin 0,76 mg/dL (0,7-1,2). Pemeriksaan gula darah sewaktu didapatkan 132 mg/dL (70-140). Pemeriksaan radiologis foto thoraks posteroanterior didapatkan jantung dan paru tidak tampak kelainan.

Diagnosis kerja pasien adalah skabies krustosa disertai infeksi sekunder, ulkus genital et causa skabies krustosa disertai infeksi sekunder, dan infeksi HIV stadium IV. Penatalaksanaan yang diberikan adalah rawat inap di ruang isolasi (ruang Nusa Indah penuh, pasien dirawat di bangsal biasa dengan kewaspadaan), sefadroksil kapsul 500 mg setiap 12 jam (intraoral), klortrimeton tablet 4 mg setiap 8 jam (intraoral), krim permetrin 5% setiap 24 jam dioleskan ke seluruh tubuh setiap malam dan didiamkan selama 8 jam sebelum dibilas (topikal), asam salisilat 2% dan sulfur presipitatum 4% setiap 24 jam dioleskan ke seluruh tubuh pada pagi hari setelah permetrin dibilas (topikal, rencana selama 3 hari), kompres terbuka natrium klorida 0,9% setiap 8 jam selama 15 menit pada lesi ulkus di tangan dan kelamin, natrium fusidat krim 2% setiap 12 jam dioles pada lesi ulkus setelah kompres (topikal). Pasien dikonsulkan ke bagian Penyakit Dalam.

Pasien dan keluarga diberi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) mengenai skabies dan penyebabnya, penularan penyakit, pengobatan keluarga dan orang sekitar secara bersamaan, cara aplikasi obat, cara membasmi tungau pada bahan kain yang bersentuhan dengan pasien, pemeriksaan yang diperlukan dan hasilnya, serta komplikasi yang mungkin terjadi.

Diagnosis bagian Penyakit Dalam adalah infeksi HIV stadium IV (WHO) on ARV dengan wasting syndrome dan TB paru complete treatment, serta skabies krustosa dan ulkus genital dengan infeksi sekunder. Penatalaksanaan yang diberikan adalah rawat bersama, diet 2000 kkal dan ARV (tenofovir 300 mg setiap 24 jam, lamivudin tablet 150 mg setiap 12 jam dan efavirenz 600 mg setiap 24 jam) intraoral dilanjutkan. Planning dilakukan hitung CD4, pemeriksaan HbsAg dan anti-HCV.

(9)

8 PENGAMATAN LANJUTAN I (HARI IV, 10 JULI 2016)

Keluhan gatal di seluruh tubuh berkurang, lesi lama menipis dan tidak ada lesi baru. Luka di tangan masih ada dengan nyeri yang berkurang. Luka di kemaluan sedikit mengering namun masih nyeri. Tidak ada demam. Makan dan minum baik.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sedang, kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu aksiler 36,7⁰C. Status generalis pasien dalam batas normal.

Status dermatologi pada regio aurikularis dekstra et sinistra, colli, aksila, areola, umbilikus, ekstremitas superior et inferior dekstra et sinistra didapatkan plak hiperpigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran 1x1,5 cm – 3x4 cm, tertutup skuama putih tipis, pada beberapa tempat tampak erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x0,5 cm – 0,5x1 cm (Gambar 3a-3f).

Regio manus sinistra tampak ulkus multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x1x0,2 cm – 1x1,5x0,3 cm tertutup krusta coklat kehitaman (Gambar 3g-3h). Regio suprapubik, batang penis dan skrotum didapatkan ulkus multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x0,5x0,2 cm –2x3x0,3 cm, tepi tidak teratur, dinding menggaung, dasar kotor tertutup pus, sebagian tertutup krusta coklat kehitaman (Gambar 3i).

Hasil pemeriksaan scraping kulit masih didapatkan Sarcoptes scabiei (Gambar 4). Pemeriksaan pulasan Gram dari dasar luka di tangan didapatkan leukosit 10-15/lapang pandang dengan kokus Gram positif. Pemeriksaan pulasan Gram dari dasar luka di kelamin didapatkan leukosit 5-10/lapang pandang dengan kokus Gram positif, tanpa adanya batang Gram negatif maupun gambaran school of fish. Kultur dan uji sensitivitas masih menunggu hasil. Pemeriksaan imunoserologi didapatkan HBsAg 0,433 nonreaktif (nilai rujukan nonreaktif <

0,9) dan anti-HCV 0,033 nonreaktif (nilai rujukan nonreaktif < 0,9). Hasil hitung CD4 absolut didapatkan 16 sel/μL (410-1590).

(10)

9

Gambar 3. Lesi pada hari keempat di rumah sakit. Plak hiperpigmentasi multipel tertutup skuama putih yang menipis pada regio aurikularis, colli, aksila, areola, umbilikus dan ekstremitas (3a-3f) dengan ulkus tertutup krusta pada manus sinistra (3g-3h). Ulkus pada regio suprapubis dan genitalia mulai mengering dan tertutup krusta (3i).

3b

3a 3c

3d 3e 3f

3g 3h 3i

(11)

10

Gambar 4. Scraping kulit pada hari rawat keempat masih didapatkan Sarcoptes scabiei

Diagnosis pasien adalah follow up skabies krustosa disertai infeksi sekunder, ulkus genital et causa skabies krustosa disertai infeksi sekunder, dan infeksi HIV stadium IV hari rawat keempat. Penatalaksanaan yang diberikan adalah melanjutkan terapi sefadroksil kapsul 500 mg setiap 12 jam (intraoral, hari ke-4), klortrimeton tablet 4 mg setiap 8 jam (intraoral), krim permetrin 5% setiap 24 jam dioleskan ke seluruh tubuh setiap malam dan didiamkan selama 8 jam sebelum dibilas (topikal, hari ke-4), kompres terbuka natrium klorida 0,9% setiap 8 jam selama 15 menit pada lesi ulkus, natrium fusidat krim 2% setiap 12 jam dioles pada lesi ulkus setelah kompres (topikal). Pemberian asam salisilat 2% dan sulfur presipitatum 4% topikal telah dihentikan setelah pemakaian 3 hari. Pasien dan keluarga diberi KIE mengenai masih ditemukannya tungau pada lesi, pengulangan cara aplikasi obat serta cara pembersihan benda sekitar pasien.

Diagnosis bagian Penyakit Dalam adalah infeksi HIV stadium IV (WHO) on ARV dengan wasting syndrome dan TB paru complete treatment, serta skabies krustosa dan ulkus genital dengan infeksi sekunder. Penatalaksanaan yang diberikan masih tetap, yaitu diet 2000 kkal dan ARV (tenofovir 300 mg dan efavirenz 600 mg setiap 24 jam, lamivudin tablet 150 mg setiap 12 jam) intraoral.

PENGAMATAN LANJUTAN II (HARI VIII, 15 JULI 2016)

Pasien datang kontrol ke poliklinik. Pasien rawat poliklinis sejak tanggal 12 Juli 2016 (hari ke-5) setelah hasil scraping tidak ditemukan tungau lagi. Pengobatan topikal dengan permetrin 5% tetap dilanjutkan hingga hari ke-7.

4

(12)

11 Keluhan gatal di seluruh tubuh sudah tidak terlalu dirasakan, lesi lama menipis dan tidak ada lesi baru. Luka di tangan dan kelamin membaik dan mengering, masih sedikit nyeri. Tidak ada demam. Makan dan minum baik.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 80 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu aksiler 36,5⁰C. Status generalis pasien dalam batas normal.

Status dermatologi pada regio aurikularis dekstra et sinistra, colli, aksila, areola, umbilikus, ekstremitas superior et inferior dekstra et sinistra didapatkan makula hiperpigmentasi multipel, bentuk geografika, batas tegas, ukuran 1x1,5 cm – 3x4 cm, tertutup skuama putih tipis (Gambar 5a-5g). Regio manus sinistra tampak ulkus multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x1x0,2 cm – 1x1,5x0,3 cm tertutup krusta coklat kehitaman (Gambar 5h). Regio suprapubik, batang penis dan skrotum didapatkan ulkus multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x0,5x0,2 cm –2x3x0,3 cm, tepi tidak teratur, dinding menggaung, dasar bersih, tertutup krusta coklat kehitaman (Gambar 5i).

Hasil pemeriksaan scraping kulit sudah tidak didapatkan Sarcoptes scabiei. Pulasan Gram dari dasar luka di tangan didapatkan leukosit 3-5/lapang pandang dengan kokus Gram positif. Pulasan Gram dari dasar luka di kelamin didapatkan leukosit 1-3/lapang pandang tanpa ditemukan kokus Gram positif.

Hasil kultur dan uji sensitivitas tanggal 7 Juli 2016 terisolasi Klebsiella pneumoniae spp pneumoniae yang signifikan sebagai agen penyebab infeksi, antibiotik yang disarankan adalah siprofloksasin.

Diagnosis pasien adalah follow up skabies krustosa disertai infeksi sekunder, ulkus genital et causa skabies krustosa disertai infeksi sekunder, dan infeksi HIV stadium IV hari kedelapan (membaik). Penatalaksanaan yang diberikan adalah siprofloksasin tablet 500 mg setiap 12 jam (intraoral, selama 5 hari), klortrimeton tablet 4 mg setiap 8 jam (intraoral, bila gatal), kompres terbuka natrium klorida 0,9% setiap 8 jam selama 15 menit pada lesi ulkus, natrium fusidat krim 2% setiap 12 jam pada lesi ulkus setelah kompres (topikal) serta kontrol 7 hari lagi. Pasien diberi KIE mengenai perkembangan penyakit, rasa gatal yang masih dapat dirasakan dalam 1 bulan, kemungkinan reinfeksi dan cara pencegahannya, pengobatan saat ini serta waktu kontrol kembali.

(13)

12

Gambar 5. Lesi saat kontrol poliklinis. Lesi plak telah menjadi makula hiperpigmentasi dengan skuama putih tipis pada regio aurikularis, colli, aksila, thoraks, abdomen dan ekstremitas (5a-5g) Ulkus pada manus sinistra (5h), suprapubis dan genitalia (5i) telah mengering dan tertutup krusta.

5a 5b 5c

5d 5e 5f

5g 5h 5i

(14)

13 PEMBAHASAN

Skabies merupakan penyakit infestasi ektoparasit pada kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. hominis. Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Aristoteles (384-322 SM) namun organisme penyebabnya baru teridentifikasi pada tahun 1687 oleh Bonomo dan Cestoni menggunakan mikroskop cahaya.2,10

Skabies ditemukan di seluruh dunia, terutama pada kondisi kemiskinan dan kepadatan penduduk yang tinggi, walaupun dapat pula mengenai semua orang tanpa mengenal jenis kelamin, usia dan status ekonomi. Merebaknya wabah skabies umumnya terjadi pada institusi seperti rumah sakit, panti asuhan, panti jompo dan penjara yang mendukung terjadinya kontak kulit erat sebagai transmisi utama skabies.3-5

Skabies dapat menimbulkan manifestasi klinis berupa skabies klasik, skabies noduler dan skabies krustosa. Skabies klasik atau tipikal merupakan bentuk tersering yang menimbulkan lesi patognomis berupa terowongan (burrow) dengan papul atau vesikel pada ujungnya disertai gatal hebat yang memberat di malam hari. Predileksi lesi adalah pada sela jari tangan, bagian fleksor pergelangan tangan, siku, genitalia, aksila, umbilikus, lingkar perut, puting susu, bokong dan batang penis. Ditemukan tungau dalam jumlah sedikit pada skabies jenis ini, yaitu antara 10-12 tungau betina.2,5

Skabies noduler terjadi pada sekitar 7% kasus, ditandai dengan adanya nodul yang sangat gatal berukuran 2-20 mm pada genitalia, bokong, sela paha dan aksila. Nodul berwarna kemerahan atau coklat dan tidak didapatkan tungau di dalamnya.5

Skabies krustosa merupakan bentuk skabies yang parah dan sangat menular ditandai dengan lesi berkrusta generalisata yang menyerupai psoriasis.6 Skabies krustosa disebabkan oleh tungau yang sama dengan skabies klasik, namun dengan jumlah yang sangat banyak, mulai ribuan hingga jutaan.4 Bentuk ini ditemukan pada pasien imunokompromais, pasien dengan terapi imunosupresif jangka panjang (resipien transplantasi organ, terapi kortikosteroid jangka panjang), pasien dengan gangguan respon sel T (HIV atau infeksi virus HTLV-1), pasien dengan penurunan sensasi (kusta atau neuropati sensoris), serta pasien yang mengalami kecacatan fisik maupun mental (seperti debilitas akibat sakit

(15)

14 kritis, demensia, retardasi mental dan sindrom Down). Pasien dengan skabies krustosa dipercaya tidak merasakan gatal, namun sekitar 50% pasien melaporkan adanya gatal dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda.4,6

Skabies krustosa awalnya disebut skabies Norwegia karena pertama kali ditemukan di Norwegia oleh Danielson dan Bock pada tahun 1848 di antara penderita kusta. Penamaan ini lambat laun ditinggalkan dan saat ini skabies Norwegia lebih dikenal dengan sebutan skabies krustosa yang menggambarkan gejala klinis berupa lesi hiperkeratotik dengan krusta luas menyerupai dermatitis psoriasiformis.5,6,10 Krusta pada skabies krustosa tersebut terjadi akibat penggalian terowongan intraepidermal oleh ribuan hingga jutaan tungau dan selanjutnya bergabung membentuk lesi hiperkeratotik.11

Penentu timbulnya manifestasi klinis menjadi skabies klasik atau krustosa adalah kekuatan respon imun alamiah, seluler dan humoral terhadap antigen tungau. Sistem imun pada pejamu yang sehat, dipadukan dengan garukan yang merupakan perlindungan mekanis, akan menurunkan jumlah tungau namun jarang mengeliminasi tungau secara total. Kegagalan respon imun dalam menekan proliferasi tungau menyebabkan berkembangnya skabies krustosa, hal ini terkait dengan didapatkannya skabies krustosa pada pasien dengan kegagalan respon imun sel T maupun penurunan sensasi kulit dan berkurangnya kemampuan untuk mengeliminasi tungau secara mekanis.6

Beberapa literatur menyebutkan adanya hubungan dengan paradigma dominansi Th1/Th2. Skabies klasik didominasi oleh respon sitokin Th1 yang berkaitan dengan limfosit T CD4+ dan akan memicu berkembangnya imunitas dimediasi sel (cell-mediated immunity) yang bersifat protektif. Skabies krustosa didominasi oleh sel Th2 yang berkaitan dengan limfosit CD8+ pemicu reaksi alergi dan respon imun terhadap infeksi parasit namun bersifat nonprotektif.

Didapatkan eosinofilia dan kadar IgE yang sangat tinggi pada pasien skabies krustosa yang menunjukkan adanya peningkatan respon alergi Th2 terhadap antigen tungau.2,5

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa dominansi sel T CD8+ yang berdiam di kulit dengan jumlah sel T CD4+ minimal dan ketiadaan sel B akan berkontribusi terhadap respon inflamasi yang tidak seimbang pada lesi kulit

(16)

15 skabies krustosa. Manifestasi dapat bervariasi antarsatu pasien dengan pasien yang lain, tergantung dari derajat imunosupresi dan penyakit yang mendasari.6,10

Lesi awal skabies krustosa adalah patch eritema berbatas tidak tegas yang dengan cepat berkembang menjadi plak hiperkeratotik difus terutama pada regio palmoplantar.12 Gejala ini juga dapat disertai dengan eritema dan skuama pada wajah, leher, kulit kepala dan badan secara generalisata sehingga tampak sebagai eritroderma.10 Kelainan pada kuku berupa hiperkeratotik atau distrofi kuku dengan akumulasi skuama tebal serupa psoriasis di bawah kuku merupakan gambaran karakteristik penyakit ini. Tungau seringkali bertahan hidup pada material subungual tersebut dan meningkatkan risiko reinfestasi.13

Pasien pada kasus ini adalah seorang penderita HIV yang merupakan faktor predisposisi skabies krustosa. Didapatkannya keluhan gatal seluruh tubuh terutama pada malam hari mengarahkan ke kecurigaan adanya skabies, walaupun umumnya keluhan gatal jarang didapatkan pada skabies krustosa. Lesi kulit yang didapatkan pada pasien adalah plak hiperkeratotik tertutup skuama putih tebal terutama pada regio aurikuler, colli, aksila, areola, umbilikus, manus dan pedis, tanpa adanya kuku yang hiperkeratotik maupun distrofi. Tampak pula ulkus tertutup krusta pada regio manus dan batang penis. Didapatkannya lesi pada daerah predileksi skabies dengan gambaran hiperkeratotik dan berkrusta menunjang diagnosis skabies krustosa.

Diagnosis banding skabies krustosa meliputi psoriasis, dermatitis seboroik dan histiositosis sel Langerhans terutama pada anak. Psoriasis vulgaris merupakan penyakit kulit autoimun kronis residif berupa plak eritema berbatas tegas dengan skuama putih tebal keperakan pada daerah predileksi (siku, lutut, kulit kepala dan lumbosakral), ditandai dengan tanda Auspitz, fenomena Koebner dan bercak lilin yang positif. Kelainan kuku yang didapatkan berupa pitting nail dan tanda tetesan minyak. Dermatitis seboroik menunjukkan gambaran dermatitis eritematosa dengan skuama kuning berminyak pada daerah predileksi kulit kepala, wajah, retroaurikuler, aksila dan selangkangan. Histiositosis sel Langerhans merupakan kelainan yang jarang dan bersifat sistemik. Manifestasi kulit dapat berupa papul pada daerah predileksi kepala, badan dan daerah lipatan, yang seringkali berskuama dan dapat menjadi krusta atau berulserasi. Kelainan sistemik

(17)

16 berkaitan dengan pembesaran kelenjar getah bening, hepatosplenomegali, sekret telinga kronis, infiltrat paru dan lesi pada tulang.4,12,14

Lesi pada kasus berupa plak hiperkeratotik tertutup skuama putih tebal didiagnosis banding dengan psoriasis vulgaris. Pasien menyangkal adanya riwayat bercak tebal warna merah yang bersisik padadaerah predileksi psoriasis. Tidak pula didapatkan tanda Auspitz, fenomena Koebner dan bercak lilin, serta kelainan kuku psoriasis sehingga diagnosis banding psoriasis vulgaris dapat disingkirkan.

Diagnosis skabies masih menjadi masalah, terutama pada keadaan yang miskin sumber daya. Diagnosis presumtif skabies dapat dibuat dari anamnesis adanya kontak dengan penderita skabies, infeksi pada anggota keluarga atau orang sekitar, gatal yang memberat pada malam hari, serta dari pemeriksaan fisik lesi khas terowongan pada daerah predileksi.1,5 Diagnosis secara klinis ini memiliki kelebihan karena sederhana, berbiaya murah serta sensitif, namun memiliki kekurangan berupa rendahnya spesifisitas.2

Diagnosis definitif ditegakkan dengan ditemukannya tungau skabies, telur maupun kotoran tungau. Identifikasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan scraping (kerokan) kulit menggunakan skalpel maupun selotip atau dengan pemeriksaan kulit secara langsung menggunakan dermoskopi.5,15 Kerokan kulit dapat diambil dari lesi karakteristik, yaitu terowongan, papul atau vesikel pada ujung terowongan, maupun dari kerokan bawah kuku. Kerokan diambil menggunakan selotip atau skalpel, idealnya ditambahkan minyak yang membantu kerokan tetap melekat pada skalpel. Spesimen kemudian diletakkan pada kaca objek dan dilihat pada mikroskop cahaya dengan pembesaran rendah.

Penambahan potasium hidroksida (KOH) 10% dapat melisiskan keratin dan memperjelas visualisasi tungau, namun dapat menghancurkan kotoran tungau, sehingga pemeriksaan dengan minyak mineral lebih dipilih. Kegagalan dalam menemukan tungau tidak menyingkirkan diagnosis skabies, terutama pada skabies klasik yang mengandung hanya sedikit tungau.1,5,13 Keunggulan pemeriksaan scraping kulit adalah spesifitas yang tinggi, murah dan sederhana, namun memiliki kekurangan rendahnya sensitivitas serta bergantung pada keahlian operator.2

(18)

17 Akurasi diagnosis tehnik scraping dapat ditingkatkan dengan bantuan dermoskopi. Dermoskopi merupakan mikroskop epiluminesens dengan pembesaran 10 kali yang utamanya digunakan untuk mengevaluasi lesi berpigmen. Saat ini penggunaan dermoskopi telah berkembang dan dapat dipakai untuk mendiagnosis penyakit lain, salah satunya skabies.16 Argenziano, dkk.

pertama kali melaporkan adanya “tanda segitiga” (triangle sign) atau struktur berbentuk V yang menandakan bagian kepala tungau, serta tanda”jet bersayap segitiga dengan jejak asap” (the delta wing jet with contrail) yang melambangkan kepala tungau dengan terowongan di belakangnya. Konfirmasi lokasi skabies dengan dermoskopi sebelum dilakukan scraping akan dapat menentukan target pengambilan spesimen dengan tepat.16,17 Keunggulan pemeriksaan menggunakan dermoskopi adalah alat yang portabel, biaya pemeriksaan murah dan sensitivitas yang tinggi (91%). Keterbatasan dermoskopi meliputi kurangnya spesifisitas (86%), tergantung pada keahlian operator, pembesaran yang kurang untuk membedakan “tanda segitiga” dengan artefak akibat garukan, serta sulitnya melihat “tanda segitiga” pada kulit gelap dan pada bagian tubuh yang berambut.2,18

Metode pemeriksaan canggih noninvasif lainnya meliputi videodermatoskopi, mikroskop konfokal reflektan (reflectance confocal microscopy) dan tomografi koheren optikal (optical coherence tomography).

Videodermatoskopi memiliki cara kerja serupa dermoskopi namun menggunakan kamera video dengan lensa yang menghasilkan pembesaran hingga 1000 kali.

Mikroskop konfokal reflektan in vivo menggunakan pantulan sinar laser dengan prinsip perbedaan indeks refraksi pada struktur berbeda sehingga menghasilkan pemindaian kulit yang dapat dilihat mata. Tomografi koheren optikal dapat mengevaluasi morfologi jaringan menggunakan deteksi sinar dekat inframerah yang dipantulkan oleh struktur biologis pada tingkat seluler. Alat diagnostik tersebut dapat meningkatkan efikasi diagnosis skabies terutama untuk skrining massal walaupun ketersediaannya masih sangat terbatas.18

Prosedur diagnostik lain adalah pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA S. scabiei dari kerokan kulit, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) yang memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas

(19)

18 93,5%, serta pemeriksaan serologis antibody IgE spesifik terhadap antigen skabies rekombinan dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 93,75%. Metode pemeriksaan molekuler dan serologis tersebut menunjukkan hasil yang menjanjikan namun belum tersedia secara luas.5,18

Metode alternatif dalam keadaan tidak ada tidak tersedianya alat penunjang diagnosis adalah dengan menemukan terowongan menggunakan uji tinta terowongan (burrow ink test). Tinta digoreskan pada lesi yang dicurigai, ditunggu hingga meresap dan setelahnya dihapus dengan kapas alkohol. Tinta yang telah terserap oleh terowongan tidak dapat terhapus oleh alkohol dan akan meninggalkan bekas berwarna gelap berkelok yang tampak oleh mata.3,4

Pemeriksaan histopatologi mungkin diperlukan dalam penegakan diagnosis lesi atipikal. Diagnosis ditegakkan apabila didapatkan tungau dalam stadium apapun atau produknya. Lesi skabies akan menampakkan hiperkeratosis, orto dan parakeratosis, infiltrat sel inflamasi pada dermis yang terdiri dari neutrofil, sel Langerhans, limfosit dan sel mast, namun hanya sedikit sel B dan makrofag. Terdapat dominasi infiltrat sel T CD8+ pada lesi skabies krustosa dengan sel T CD4+ yang minimal.2,6

Pasien pada kasus telah dilakukan pemeriksaan scraping kulit dan didapatkan tungau Sarcoptes scabiei. Pemeriksaan dermoskopi didapatkan tanda segitiga yang menandakan bagian kepala tungau skabies. Pulasan Gram dari dasar luka di tangan didapatkan leukosit 30-40/lapang pandang dan kokus Gram positif, sedangkan pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis, neutrofilia dan eosinofilia. Keseluruhan temuan ini mendukung diagnosis skabies krustosa yang disertai infeksi sekunder.

Skabies juga dapat ditularkan saat hubungan seksual sehingga termasuk dalam infeksi menular seksual.19 Salah satu predileksi lesi skabies pada pria adalah pada penis seperti yang didapatkan di kasus ini. Lesi ulkus pada kelamin pasien perlu didiagnosis banding dengan infeksi menular seksual lainnya yang meliputi ulkus mole, herpes genitalis dan ulkus durum. Ulkus mole atau chancroid ditandai dengan adanya lesi ulkus multipel dengan tepi tidak teratur dan dinding menggaung, dasar ulkus kotor, tertutup materi purulen dan mudah berdarah, lunak pada perabaan, tanpa indurasi dan terasa sangat nyeri. Herpes genitalis ditandai

(20)

19 dengan lesi awal berupa vesikel multipel berkelompok yang pecah membentuk ulkus dangkal dengan tepi eritematosa, dasar bersih dan tidak mudah berdarah, umumnya terasa nyeri. Ulkus durum atau sifilis primer menunjukkan lesi ulkus soliter dengan tepi rata, dinding landai, dasar bersih dan tidak mudah berdarah, teraba keras dengan indurasi, dan tidak disertai nyeri.20

Gambaran klinis lesi pada kelamin pasien serupa dengan diagnosis banding ulkus mole, yaitu didapatkan ulkus multipel dengan tepi tidak teratur, dinding menggaung, dasar kotor tertutup pus dan dirasakan nyeri. Anamnesis didapatkan bahwa luka di kelamin muncul sejak 6 bulan yang lalu, bersamaan dengan gatal di seluruh tubuh akibat garukan terus menerus. Tidak didapatkan lesi awal berupa vesikel sebelum luka muncul dan tidak ada riwayat luka di kelamin sebelumnya. Berdasarkan anamnesis dan gejala klinis, ulkus pada kelamin pasien diperkirakan terjadi sekunder akibat garukan pada lesi primer skabies karena rasa gatal yang hebat.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding ulkus mole adalah pulasan Gram dari dasar ulkus di kelamin.

Diagnosis ulkus mole ditegakkan apabila didapatkan gambaran batang Gram negatif yang berderet seperti rel kereta api atau school of fish. Diagnosis banding herpes genitalis memerlukan konfirmasi dengan pemeriksaan serologis IgG dan IgM anti HSV1 dan HSV2, sedangkan untuk ulkus durum dapat dilakukan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap, VDRL dan TPHA.20

Telah dilakukan pemeriksaan Gram dari dasar ulkus di kelamin pasien dan didapatkan kokus Gram positif, tanpa adanya batang Gram negatif maupun gambaran school of fish sehingga diagnosis ulkus mole dapat disingkirkan. Hasil pemeriksaan VDRL dan TPHA didapatkan hasil nonreaktif yang menyingkirkan diagnosis ulkus durum. Pemeriksaan serologis HSV tidak ditanggung pembiayaannya oleh BPJS sehingga pasien menolak untuk dilakukan.

Berdasarkan anamnesis tidak didapatkan tanda yang mengarah ke diagnosis herpes genitalis. Diagnosis kerja untuk ulkus di kelamin pasien adalah ulkus genital et causa skabies krustosa dengan infeksi sekunder.

Prinsip terapi skabies adalah pemilihan dan aplikasi agen skabisidal secara tepat, pengobatan orang sekitar secara simultan, dekontamitasi lingkungan serta

(21)

20 pengobatan simptomatis. Pemilihan terapi skabies tergantung dari efektivitas, toksisitas, jenis skabies serta usia pasien. Agen yang dapat dipilih meliputi krim permetrin 5%, losio lindan 1%, krim krotamiton 10%, sulfur presipitatum 2-10%, emulsi benzil benzoat 10-25% serta ivermektin oral 200 μg/kg/dosis.1,3,4 Rekomendasi CDC untuk terapi skabies krustosa adalah terapi kombinasi ivermektin oral dan agen skabisidal topikal (permetrin atau benzil benzoat) disertai agen keratolitik topikal. Ivermektin oral diberikan sebanyak 5 dosis (pada hari ke-1, 2, 8, 9 dan 15) atau 7 dosis (ditambahkan hari ke-22 dan 29) untuk kasus yang berat.9,10

Ivermektin awalnya merupakan agen antihelmintik yang dipakai di bidang kedokteran hewan sejak 1981 dengan kemampuan antiparasit yang baik.3 Saat ini ivermektin merupakan satu-satunya agen oral yang efektif untuk terapi skabies.

Agen ini bekerja dengan mengikat secara selektif reseptor pada sinaps motorik perifer dan menghambat transmisi channel klorida γ-aminobutyric acid (GABA)- gated pada sistem saraf pusat tungau. Akibatnya terjadi stimulasi pelepasan GABA pada ujung saraf parasit, peningkatan afinitas GABA pada reseptor sinaps dan menyebabkan interupsi impuls saraf yang menghasilkan paralisis dan kematian.10 Ivermektin tidak efektif pada stadium telur sehingga perlu dilakukan pengulangan 3-9 hari kemudian. Didapatkan angka kesembuhan sebesar 70%

pada pemberian dosis tunggal dan meningkat menjadi 95% dengan pemberian dosis kedua.1,4 Kelebihan penggunaan ivermektin dibandingkan terapi topikal adalah efektivitas yang tinggi, aplikasi yang mudah dan cepat sehingga lebih nyaman digunakan untuk pasien dengan debilitas atau imunokompromais, serta tidak terjadi iritasi seperti yang dapat disebabkan oleh terapi topikal. Efek samping yang dapat terjadi dengan penggunaan ivermektin adalah demam, menggigil, anoreksia, atralgia, eosinofilia dan ruam kulit.10 Agen ini tidak direkomendasikan untuk anak usia <5 tahun atau <15 kg, wanita hamil dan menyusui.1,3

Ivermektin oral tidak tersedia secara luas di banyak negara, termasuk Indonesia. Terapi alternatif yang dapat dipakai untuk skabies krustosa adalah dengan penggunaan dua atau lebih agen topikal secara bertahap atau penggunaan berulang agen topikal hingga 3-4 siklus.4,6 Khusus untuk lindan, penggunaannya

(22)

21 tidak dapat diulang karena meningkatnya absorpsi kutaneus akan meningkatkan risiko neurotoksisitas. Terapi lain yang dapat dicoba adalah dengan pemberian metotreksat oral walaupun lebih merupakan pengalaman historis daripada modalitas terapi yang direkomendasikan.6 Tahun 1971, Ward meninjau 8 kasus skabies krustosa yang diterapi dengan metrotreksat oral 2,5 mg/hari selama 6 hari dengan interval istirahat 6 hari, siklus diulang selama 3-4 bulan dan didapatkan hasil yang baik.21 Penggunaan metotreksat untuk skabies krustosa belum diteliti lebih lanjut sejak ditemukannya obat yang lebih rendah toksisitasnya dan lebih spesifik, yaitu ivermektin.6

Pasien diterapi dengan 2 agen skabisida topikal yaitu krim permetrin 5%

dan campuran asam salisilat 2% dengan sulfur presipitatum 4%. Krim permetrin 5% diaplikasikan ke seluruh tubuh setiap 24 jam pada malam hari dan didiamkan selama 8 jam sebelum dibilas. Setelah hari keempat pemakaian permetrin, masih ditemukan tungau pada scraping kulit pasien, sehingga permetrin dilanjutkan sampai 7 hari. Campuran asam salisilat 2% dan sulfur presipitatum 4%

diaplikasikan ke seluruh tubuh setiap 24 jam pada pagi hari setelah permetrin dibilas, selama 3 hari berturutan.

Permetrin 5% merupakan terapi topikal skabies lini pertama dengan efektivitas mencapai 90% dan profil keamanan yang baik. Agen ini memiliki absorpsi perkutaneus yang rendah dan terdeteksi dalam konsentrasi rendah pada darah dan otak sehingga aman untuk dipakai pada bayi, anak-anak, wanita hamil (kategori kehamilan B) dan menyusui.3,4 Permetrin bekerja spesifik pada sel saraf artropod dengan mengganggu fungsi channel natrium voltage-gated yang mengakibatkan memanjangnya depolarisasi membran sel saraf, menghentikan neurotransmisi dan selanjutnya terjadi paralisis serta kematian tungau.5,6 Penggunaan permetrin yang direkomendasikan adalah aplikasi ke seluruh tubuh, didiamkan selama 8-12 jam dan dapat diulang 7 hari kemudian. Anak di bawah 2 tahun, wanita hamil dan menyusui dibatasi pemakaiannya yaitu hanya selama 2 jam.3 Efek samping yang mungkin terjadi meliputi rasa terbakar ringan, gatal menyengat, kemerahan, kesemutan, ekskoriasi persisten, distonia dan kejang (jarang).1

(23)

22 Metaanalisis Cochrane menyatakan bahwa permetrin merupakan agen topikal yang paling efektif saat ini dengan efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan lindan maupun krotamiton.5,22 Penelitian Saqib, et al. (2012) dan Manjhi, et al. (2014) yang membandingkan efektivitas ivermektin oral dengan permetrin topikal mendapatkan bahwa keduanya memiliki efektivitas yang sama.23,24 Penelitian Mustaq, et al. (2010) dan Ranjkesh, et al. (2013) mendapatkan bahwa ivermektin yang diberikan sebanyak 2 dosis dengan selang waktu 2 minggu memiliki efektivitas yang sama dengan permetrin topikal 5%

yang diaplikasikan 1 kali.25,26 Keseluruhan penelitian tersebut dilakukan pada skabies klasik dan hingga saat ini belum ada penelitian yang membandingkan efektivitas ivermektin oral dengan agen lainnya pada skabies krustosa.

Sulfur merupakan terapi antiskabies tertua dengan mekanisme aksi yang belum sepenuhnya diketahui. Diperkirakan sulfur direduksi oleh sel epidermis atau mikroorganisme pada kulit menjadi hidrogen sulfida dan asam parationik yang bersifat toksik terhadap tungau. Selain skabisida, sulfur juga memiliki efek antipruritik dan antibakteri.27 Sulfur presipitatum 2-10% dalam petrolatum diaplikasikan ke seluruh tubuh dan didiamkan selama 8 jam sebelum dibilas.

Sulfur kurang efektif terhadap stadium telur sehingga perlu diberikan selama 3 hari berturutan. Agen ini aman diberikan pada neonatus dan wanita hamil serta harganya murah, namun memiliki kekurangan karena baunya yang menyengat, mengotori pakaian, serta bersifat iritatif.1,3

Salah satu sediaan sulfur yang tersedia di Indonesia dan sejak lama dipakai untuk terapi skabies adalah salep 2-4. Penelitian oleh Chandra (2004) yang membandingkan efektivitas permetrin 5% dengan salep 2-4 mendapatkan kesembuhan 100% pada kelompok permetrin dibandingkan 87,5% pada kelompok salep 2-4 dengan perbedaan yang tidak signifikan (p=0,484).27 Salep 2-4 terdiri dari campuran 2% asam salisilat dan 4% sulfur. Penambahan asam salisilat dalam salep 2-4 dimaksudkan sebagai bahan keratolitik, walaupun beberapa literatur menyatakan bahwa asam salisilat baru bersifat keratolitik pada konsentrasi ≥3%.28

Agen keratolitik perlu ditambahkan dalam terapi skabies krustosa karena krusta dapat menjadi nidus tempat berkumpulnya tungau. Agen keratolitik topikal seperti asam salisilat, urea 40% atau berendam dalam air panas akan mengurangi

(24)

23 hiperkeratosis kulit, menurunkan jumlah tungau serta membantu penetrasi agen skabisidal topikal.6,9,13 Asam salisilat 3-6% dapat menyebabkan terkelupasnya skuama dengan jalan melunakkan stratum korneum, melarutkan matriks intraseluler dan melonggarkan ikatan antara korneosit sehingga cocok dipadukan dalam terapi skabies. Aplikasi asam salisilat topikal secara luas perlu berhati-hati karena dapat terjadi efek samping salisilismus yang menunjukkan gejala sakit kepala, mengantuk dan tinitus. Dosis maksimum asam salisilat topikal pada orang dewasa adalah 2 g per 24 jam.28

Cara pengaplikasian agen skabisidal topikal pada skabies krustosa adalah mulai dari ujung kepala hingga ujung jari kaki, termasuk kulit kepala, wajah, telinga dan bagian lipatan. Teori klasik yang menyatakan bagian wajah dan kulit kepala tidak perlu diterapi awalnya berkembang dari label obat yang terdapat pada skabisidal topikal. Tidak ada dasar fisiologis untuk melewatkan bagian tersebut, sehingga semua skabies, baik yang klasik maupun krustosa, sebaiknya diterapi hingga ke wajah dan kulit kepala.4 Perhatian khusus perlu diberikan pada bagian kuku karena sering menjadi tempat berkumpulnya tungau serta menjadi sumber rekurensi dan kegagalan terapi. Kuku sebaiknya dipotong pendek, debris subungual dibersihkan, kemudian diaplikasikan agen skabisidal topikal pada ruang subungual dan lipatan kuku.10 Apabila tangan atau bagian tubuh lain tercuci sebelum 8 jam yang direkomendasikan, agen topikal harus diaplikasikan ulang pada daerah tersebut.4

Tungau skabies merupakan parasit obligat pada epidermis kulit manusia dengan transmisi utama melalui kontak kulit. Tungau tidak dapat terbang maupun meloncat dan hanya bisa merayap dengan kecepatan 2,5 cm permenit pada kulit sehingga diperlukan sekitar 15-20 menit kontak yang erat untuk terjadinya transmisi. Tanpa adanya pejamu, tungau dapat bertahan hidup selama 24-36 jam pada suhu kamar dengan kelembaban sedang (21°C dengan kelembaban relatif 40%–80%) hingga 19 hari pada lingkungan yang sejuk dan lembab.5,15 Didapatkan sejumlah 4.700 tungau dalam 1 gram kulit yang terkelupas dari pasien skabies krustosa. Hal ini memungkinkan fomit yang mengandung tungau sebagai sumber penularan, terutama pada skabies krustosa. Tungau dewasa menggunakan sensor bau dan thermotaksis untuk mengidentifikasi pejamu yang baru.4

(25)

24 Didapatkannya tungau pada fomit sebagai sumber penularan menjelaskan pentingnya terapi orang sekitar secara simultan dalam pengobatan skabies. Terapi ini juga berlaku pada pasangan seksual dan orang sekitar walaupun tanpa gejala karena banyaknya kejadian karier asimptomatis pada orang yang tinggal serumah.3,5 Kasus skabies yang terjadi di institusi harus dikontrol dengan mengisolasi pasien hingga terapi selesai, mengobati orang sekitar maupun tenaga kesehatan serta simultan, membatasi pengunjung dan perawat, serta meningkatkan kewaspadaan dengan menggunakan baju pelindung berlengan panjang dan sarung tangan.10,13

Dekontaminasi lingkungan sangat penting dalam terapi skabies, terutama pada kasus skabies krustosa yang fomitnya mengandung tungau dalam jumlah sangat banyak. Pakaian, handuk, sprei, kasur, sofa harus dicuci dengan mesin menggunakan air bersuhu >50oC atau dikeringkan pada mesin pengering dengan suhu 60o selama 10 menit. Alternatif lain adalah menyimpan benda yang mengandung fomit dalam kantung plastik selama 72 jam. Lantai ruangan dan furnitur harus dibersihkan dengan alat penyedot debu, dan untuk benda yang tidak dapat dicuci dapat digunakan insektisida.4,5,13

Terapi simptomatis meliputi pemberian antihistamin sedatif selama beberapa hari untuk mengontrol pruritus dan membantu tidur lebih nyenyak.

Infeksi sekunder oleh bakteri harus diterapi dengan antibiotik yang sesuai, dan apabila sampai terjadi septikemia diperlukan terapi agresif menggunakan antibiotik spektrum luas. Terapi antiskabisida topikal dapat mengakibatkan iritasi dan xerosis kulit sehingga perlu diikuti dengan pemberian emolien.6,10 Pasien diberi KIE bahwa akibat reaksi hipersensitivitas, pruritus dapat masih dirasakan hingga 4 minggu setelah terapi yang berhasil. Keadaan gatal pasca skabies ini dapat diterapi dengan antihistamin oral dan antiinflamasi berupa kortikosteroid topikal potensi sedang.4,5

Pasien direncanakan untuk rawat inap di ruang isolasi Nusa Indah untuk membatasi penularan, namun ruang isolasi sedang penuh sehingga pasien dirawat di bangsal biasa dengan kewaspadaan. Pasien diberi jarak 1 bed kosong dengan pasien yang lain, sprei dan bantal diganti setiap hari dan direndam dengan air panas. Tenaga kesehatan dan penunggu pasien wajib menggunakan baju

(26)

25 pelindung berlengan panjang dan sarung tangan. Pasien dan keluarga diberi KIE mengenai skabies yang sangat menular dan keluarga segera diobati bersamaan dengan pasien (dengan permetrin 5%, 1 kali pemakaian selama 8 jam) walaupun tidak menunjukkan gejala. Diperagakan cara aplikasi obat yang benar serta cara membasmi tungau pada bahan yang bersentuhan dengan pasien.

Didapatkan infeksi sekunder pada pasien sehingga selain terapi skabies, pasien juga mendapat terapi antibiotik sefadroksil oral dan natrium fusidat topikal.

Antihistamin klortrimeton diberikan untuk keluhan gatal dan kompres terbuka natrium klorida 0,9% untuk lesi ulkus di tangan dan kelamin.

Follow up pasien pada hari ke-8 setelah perawatan didapatkan perbaikan berupa keluhan gatal semakin berkurang, lesi lama menipis dan tidak ada lesi baru. Luka di tangan dan kemaluan mengering walaupun masih sedikit nyeri.

Efloresensi yang sebelumnya berupa plak hiperkeratotik dengan skuama tebal telah menjadi makula hiperpigmentasi dengan skuama putih tipis. Hasil pemeriksaan scraping kulit sudah tidak didapatkan Sarcoptes scabiei. Hasil pemeriksaan pulasan Gram, leukosit sudah menurun walaupun masih ditemukan kokus Gram positif dari ulkus di tangan. Penatalaksanaan antiskabies sudah distop, selanjutnya pasien diberi antibiotik siprofloksasin oral sesuai hasil kultur dan melanjutkan perawatan luka. Antihistamin hanya perlu diminum apabila gatal. Pasien diberi KIE mengenai pengobatan skabies yang sudah tuntas walaupun rasa gatal masih dapat dirasakan dalam 1 bulan, adanya kemungkinan reinfeksi dan cara pencegahannya, serta agar kontrol kembali 1 minggu lagi.

Tidak didapatkan adanya gejala skabies pada tenaga kesehatan yang merawat, pasien lain di ruangan, maupun keluarga pasien.

Komplikasi yang sering terjadi pada skabies adalah infeksi sekunder oleh Staphylococcus aureus dan Streptokokus grup A. Staphylococcus aureus yang mengkolonisasi terowongan dapat memicu terjadinya eritroderma dan septikemia, sedangkan superinfeksi oleh Streptococcus pyogenes dapat mengakibatkan glomerulonefritis dan demam rematik. Pernah dilaporkan pula bakteremia Gram negatif pada pasien skabies krustosa dengan HIV. Skabies berkrusta memiliki angka mortalitas yang tinggi akibat sepsis sekunder dengan angka kematian dalam 5 tahun mencapai 50%.3,5,10

(27)

26 Didapatkan komplikasi infeksi sekunder tanpa adanya eritroderma, septikemia, glomerulonefritis maupun demam rematik pada pasien. Pasien menunjukkan perbaikan dalam pengamatan 8 hari, namun pasien berisiko mengalami reinfeksi akibat keadaan imunodefisiensi yang dideritanya. Prognosis pasien adalah dubius.

SIMPULAN

Telah dilaporkan suatu kasus skabies krustosa pada seorang penderita HIV yang mengalami perbaikan setelah terapi dengan kombinasi 2 agen topikal berupa permetrin 5% selama 7 hari dan campuran asam salisilat 2% dengan sulfur 4%

selama 3 hari. Skabies krustosa merupakan bentuk skabies yang berat dan menjadi tantangan klinis dalam penegakan diagnosis dini serta pemberian terapi yang efektif. Terapi yang direkomendasikan CDC adalah ivermektin oral dikombinasikan dengan agen topikal dan keratolitik. Terapi alternatif dalam keadaan tidak tersedianya ivermektin oral adalah pemakaian 2 atau lebih agen skabisida topikal secara bertahap atau aplikasi berulang agen topikal. Metotreksat oral mungkin dapat menjadi pilihan walaupun belum ada penelitian klinis mengenai penggunaan agen ini untuk terapi skabies.

(28)

27 DAFTAR PUSTAKA

1. Thomas, J., Peterson, G.M., Walton, S.F., Carson, C.F., Naunton, M., Baby, K.E. Scabies: an ancient global disease with a need for new therapies. BMC Infect Dis. 2015; 15(1): 250.

2. Mounsey, K.E., McCarthy, J.S., Walton, S.F. Scratching the itch: new tools to advance understanding of scabies. Trends Parasitol. 2013; 29(1): 35-42.

3. Burkhart, C.N., Burkhart, C.G. Scabies, other mites, and pediculosis. In:

Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K., editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. New York:

McGraw-Hill; 2012. p. 2569-72.

4. Golant, A.K., Levitt, J.O. Scabies: a review of diagnosis and management based on mite biology. Am Acad Pediatrics. 2012; 33(1): e1-12.

5. Shimose, L., Munoz-Price, S. Diagnosis, prevention, and treatment of scabies.

Curr Infect Dis Rep. 2013; 15(5): 426-31.

6. Karthikeyan K. Crusted scabies. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2009;

75: 340-7.

7. Binić, I., Janković, A., Jovanović, D., Ljubenović, M., Crusted (Norwegian) scabies following systemic and topical corticosteroid therapy. J Korean Med Sci. 2010; 25(1): 188-91.

8. Anonim. Register pasien kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar tahun 2012-2016. Tidak dipublikasikan.

9. Centers for Disease Control and Prevention. Scabies. Available at:

http://www.cdc.gov/parasites/scabies/index.html. Accessed on 25 Agustus 2016.

10. Apap, C., Piscopo, T., Boffa, M.J., Crusted (Norwegian) scabies treated with oral ivermectin: A case report and overview. Malta Med J. 2013; 25(4): 49-53 11. Towersey, L., Bucard, A., Cunha, M., Genn, T., Berger, T. How scabies

crusts: dermatoscopy aspects of Norwegian scabies. J Am Acad Dermatol.

2013; 68(4): AB119.

12. Rose, W., Rajendran, G., Peter, J. Crusted scabies. Indian Pediatrics. 2014;

51: 680.

13. Federico, M., Mellick, L. Norwegian scabies: a challenging dermatologic condition. Open Emergency Med J. 2010; 3: 25-6.

14. Gelmetti, C. Cutaneous langerhans cell histiocytosis. In: Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K., editors.

Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. New York: McGraw- Hill; 2012. p. 1782-94.

15. Jovandaric, M.Z. Scabies. Glob Dermatol. 2016; 3(1): 241-2.

16. Park, J.H., Kim, C.W., Kim, S.S. The diagnostic accuracy of dermoscopy for scabies. Ann Dermatol. 2012; 24(2): 194-9.

17. Fox, G. Diagnosis of scabies by dermoscopy. BMJ case reports. 2009; 1:

bcr0620080279.

18. Micali, G., Lacarrubba, F., Verzì, A.E., Chosidow, O., Schwartz, R.A.

Scabies: advances in noninvasive diagnosis. PLoS Negl Trop Dis. 2016; 10(6):

e0004691.

(29)

28 19. Leone, P.A. Pubic lice and scabies. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds.

Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p.

839-51.

20. Ballard, R.C. Genital ulcer adenopathy syndrome. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill;

2008. p. 1199-208.

21. Ward WH. Scabies norvegica. Treatment with methotrexate. Australas J Dermatol. 1971; 12:44-51.

22. Mounsey, K.E., McCarthy, J.S. Treatment and control of scabies. Cur Opinion Infect Dis. 2013; 26(2): 133-9.

23. Saqib, M., Malik, L.M., Jahangir, M. A comparison of efficacy of single topical permethrin and single oral ivermectin in the treatment of scabies. J Pakistan Assoc Dermatol. 2012; 22:45-9.

24. Manjhi, P.K., Sinha, R.I., Kumar, M., Sinha, K.I. Comparative study of efficacy of oral ivermectin versus some topical antiscabies drugs in the treatment of scabies. J Clin Diag Res. 2014; 8(9):HC01-4.

25. Mushtaq, A., Khurshid, K., Pal, S.S. Comparison of efficacy and safety of oral ivermectin with topical permethrin in the treatment of scabies. J Pakistan Assoc Dermatol. 2010; 20:227-31.

26. Ranjkesh, M.R., Naghili, B., Goldust, M., Rezaee, E., The efficacy of permethrin 5% vs. oral ivermectin for the treatment of scabies. Ann Parasitol.

2013; 59(4): 189-94.

27. Chandra, E.N. Uji banding efektivitas krim permetrin 5% dan salep 2-4 pada pengobatan skabies. Semarang: Universitas Diponegoro. 2004. p. 1-43

28. Burkhart, C.N., Katz, K.A. Other topical medications. In: Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K., editors.

Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. New York: McGraw- Hill; 2012. p. 2697-707.

Referensi

Dokumen terkait

Patofisiologi Impetigo krustosa atau non bulosa merupakan jenis impetigo yang paling sering dijumpai dan hampir 70% terjadi pada anak-anak dibawah usia 15 tahun dengan infeksi

Menjual barang dari luar negeri dengan harga yang lebih murah dari dalam negeri disebut .... Barang – barang yang didatangkan dari luar negri disebut