Menuju Pendekatan Kontemporer” dalam Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits (Yogyakarta: Penerbit Pers el-SAQ. Inilah proyek yang diperjuangkan Saeed dalam buku Menafsirkan Al-Qur’ân: Menuju Pendekatan Kontemporer Gerakan Pertama (dari keadaan sekarang hingga saat diturunkannya Al-Qur'an) harus melalui dua fase.
Tahap pertama adalah memahami pemahaman tekstual Al-Qur'an dan konteks sosio-historis ayat-ayatnya (tugas pemahaman). Hal ini mempunyai tiga implikasi mendasar, antara lain: 1) wacana lisan Al-Qur'an diubah menjadi teks; 2). Sifat kesakralan teks juga meliputi kemasan fisiknya, yakni kitab yang di dalamnya ditulis risalah Al-Qur'an; dan 3).
Dengan demikian, menurut Arkoun, tradisi keagamaan berasal dari penafsiran teks tertulis, bukan dari penafsiran wacana Al-Qur'an. Upaya tersebut kemudian mengantarkan Arkun pada sikap dekonstruktif terhadap pembacaan Al-Qur'an yang selama ini dianggap mapan. Menurut Esack, pandangan ini memunculkan “pandangan” baru terhadap proses turunnya Al-Qur’an, yang disebut dengan “wahyu progresif”40.
Ide El Fadl bertujuan untuk menghindari sikap otoriter dan menjaga kesadaran bahwa teks (al-Quran) mempunyai hak dan keutuhan tersendiri.
Konsep Pewahyuan Menurut Abdullah Saeed
Gagasan El Fadl tentang otoritas, komunitas penafsiran dan perannya dalam produksi makna, dan keseimbangan antara teks, penulis dan pembaca, serta pendekatannya yang kritis namun hati-hati terhadap hadis, merupakan kontribusi besar dalam perdebatan tentang penafsiran. . Alquran, hukum lain dalam konteks Islam saat ini.50. Pemikiran hermeneutika mulai dari sifat obyektif Rahman, Parvez, Arkoun dan sifat subyektif Esack hingga hermeneutika El Fadl yaitu negosiasi, mendukung konstruksi hermeneutika demokratis-kontekstual Saeed. Titik temu gagasan mereka terletak pada gagasan tentang hak teks (wahyu tertulis) dan hak pembaca teks yang selama ini terabaikan, dilupakan dan mendorong tindakan “mengunci” pesan wahyu ( Tuhan). dalam definisi makna tertentu yang bersifat mutlak, final dan final.
Untuk melindungi hak setiap teks dan pembaca, maka pemahaman al-Qur’an, menurut Saeed, harus mencakup seluruh metodologi penafsiran yang ada secara holistik, baik tradisi penafsiran tekstual klasik-modern maupun penafsiran kontekstualis klasik-modern. guna menemukan ruh dan pesan moral al-Qur'ana -Qur'an yang kemudian harus diwujudkan guna menjawab permasalahan kontemporer 51 Teori Hirarki Nilai Abdullah Saeed. Ada tiga cara Allah berkomunikasi dengan Nabi Muhammad SAW, yaitu dengan menurunkan wahyu, berhijab, dan mengutus rasul untuk menyampaikan risalahnya. Cara pertama: dalam bentuk wah}y, yaitu sejenis komunikasi langsung Tuhan dengan yang disapa, tanpa suara dan tanpa utusan.
Cara lain: menyampaikan risalah di balik hijab, dalam artian Allah berbicara kepada seseorang tanpa pendengarnya melihat Yang Esa (Allah) yang berbicara, karena pada hakikatnya Allah itu tidak kasat mata56, seperti jenis komunikasi antara Allah dan Nabi Musa dalam penafsirannya. dari Q.S. Para teolog Muslim percaya bahwa utusan (al-Qur'ân) adalah malaikat Jibril dalam bahasa Arab.58 Beberapa ayat menjelaskan hal itu ketika Muhammad. Wahyu pada kategori ketiga, menurut Izutsu, berarti mengekspresikan diri melalui bahasa.60 Oleh karena itu, pengalaman terpenting dari proses turunnya Nabi Muhammad adalah pengalaman tentang siapa beliau.
Pengalaman “melihat” perantara (malaikat) dan “mendengar” suara-suara pada suatu waktu dan memahami “apa yang diucapkan” (sebagaimana diberitakan dalam H}adîth) secara bersamaan. Pesannya masih pada tingkat misteri (ghayb) dan cara penyampaiannya belum diketahui secara luas karena berada di luar pengalaman manusia.65. Tingkatan kedua: wahyu dalam konteks “semangat eksternalisasi budi dan hati nabi”, dimana wahyu disampaikan melalui Rûh}. dikenal sebagai Jibril) ke dalam hati Nabi Muhammad dalam bahasa Arab, bahasa Nabi Muhammad dan umatnya.
Oleh karena itu wahyu pada masa ini sangat dipengaruhi oleh permasalahan masyarakat Arab pada saat itu, sehingga menjadi risalah khusus bagi Nabi dan masyarakatnya. Tingkat keempat: wahyu berada pada tahap penafsiran teks tertutup yang memungkinkan terjadinya komunikasi inspiratif yang kontekstual. Masing-masing komunitas pada gilirannya menambah perbendaharaan pemahaman; yang senantiasa memperluas pemahaman; dan yang semakin menjauh dari Nabi dan umatnya.69.
Sistem Hirarki Nilai dalam Penafsiran Ayat Waris
Keunikan hukum waris Indonesia terletak pada fenomena pewarisan yang tidak harus melalui kematian seseorang yang meninggalkan harta, yang mana para ahli waris kemudian dapat dengan leluasa membagi dan memiliki harta warisan tersebut, namun sering kali pewarisan terjadi dalam arti penunjukan. atau penyerahan harta warisan ahli waris sejak masih hidup. Hukum waris adat di Indonesia pada masyarakat orang tua atau bilateral tidak mengenal cara pembagian warisan dengan menggunakan perhitungan matematis (angka), namun selalu didasarkan pada pertimbangan bentuk banda dan kebutuhan ahli waris. Jadi meskipun hukum adat mengenal asas persamaan hak, namun tidak berarti setiap ahli waris akan menerima warisan dengan jumlah yang sama, harga yang sama, atau sesuai dengan jumlah saham yang telah ditentukan.
Sebagai bagian dari hukum adat, ciri-ciri dan pola tersebut dapat dilihat dalam hukum adat. Asas ijbârî lazim terlihat pada ketentuan-ketentuan umum mengenai rumusan pengertian waris, ahli waris dan ahli waris. Secara khusus asas ijbârî mengenai cara pemindahan harta warisan juga disebutkan dalam ketentuan umum dan pasal 187 ayat 2 yang berbunyi “sisa pengeluaran yang dimaksud di atas merupakan warisan yang akan dibagikan kepada ahli waris yang berhak”.
Prinsip bilateral tersebut dapat dibaca pada pengelompokan ahli waris sebagaimana dimaksud dalam pasal 174 ayat (1), yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek (laki-laki); serta ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (kelompok perempuan) menurut hubungan darah. Penyebutan secara tegas laki-laki dan perempuan yang menjadi ahli waris sekaligus dalam pasal ini menjelaskan prinsip bilateral. Duda atau janda yang menjadi ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan juga menjadi ciri waris bilateral dalam KHI.86.
Asas individual juga tercermin dalam pasal-pasal tentang besarnya bagian ahli waris dalam KHI, Bab III pasal 176 hingga pasal 180. Khusus bagi ahli waris yang memperoleh harta warisan sebelum mencapai usia dewasa atau tidak mampu bertindak dalam melaksanakan haknya. dan kewajiban mengenai harta yang diperolehnya dari warisan. Penyesuaian terhadap perolehan tersebut juga diharapkan dilakukan pada saat pembagian harta warisan selesai, melalui (1) pembagian awal dengan memperhitungkan kekurangan harta yang akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak berdasarkan bagiannya masing-masing. tingkat.
Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa yang berhak menerima pelunasan sisa harta hanyalah ahli waris karena hubungan darah, bukan ahli waris karena perkawinan. Cerminan asas bilateral dalam KHI adalah Pasal 174 ayat 2 yang berbunyi: Kalau ahli waris semuanya, maka hanya anak, ayah, ibu, janda, atau duda yang berhak mewaris.88 Kalimat singkat dalam pasal ini mengakhiri kontroversi panjang apakah anak perempuan dapat menghalangi saudara kandungnya untuk mewarisi atau tidak. Pasal 185 KHI juga mengakomodir hak waris pengganti yang dikenal dalam pewarisan adat dengan menyebutkan hak ahli waris pengganti apabila ahli waris asal meninggal dunia sebelum pewaris.
Ahli waris yang meninggal dunia sebelum pewaris, dapat digantikan kedudukannya oleh anak-anaknya, kecuali mereka yang disebutkan dalam Pasal 173. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris sama dengan yang digantikan.