PROPOSAL
PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA RISET SOSIAL HUMANIORA
Pengembangan Model Spiritual Religious Coping Berbasis Crisis Mental Health Emergency Terhadap Loss Griefing Trauma dan
Resiliensi Penyintas COVID-19
Tim Penyusun
Aslikhah Ramadhani NIM 20211660070 Rheta Maudy Mardiana NIM 20211660073 Nadya Tharisa NIM 20211660074
Dosen Pembimbing
Diah Priyantini, S.Kep., Ns., M.Kep
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA 2022
DAFTAR ISI
COVER ... 1
DAFTAR ISI ... 2
BAB 1 PENDAHULUAN... 3
1.1 Latar Belakang ... 3
1.2Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan ... 5
1.4 Manfaat... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Coronavirus Disease-2019... 7
2.2 Spiritual Religious Coping ... 8
2.3 Crisis Mental Health Emergency ... 9
2.4 Loss Griefing Trauma ... 9
2.5 Resiliensi ...10
2.6 Penyintas COVID-19 ...12
2.7 State of The Art dan Roadmap Penelitian ...13
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS... 15
3.1 Kerangka Konseptual ...15
3.2 Hipotesis ...15
BAB 4 METODE... 17
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 17
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17
4.3 Populasi, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 18
4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ... 19
4.5 Definisi Operasional ... 20
4.6 Instrumen Penelitian ... 24
4.7 Prosedur Pengumpulan Data ... 25
4.8 Analisis Data ...25
4.9 Tugas Peneliti ...28
4.10 Etik Penelitian ...28
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dengan tingginya angka kasus dan kematian memberikan efek trauma yang mendalam terutama penyintas yang kehilangan keluarga terdekat akibat COVID-19 (Wang et al., 2020; Ying et al., 2020). Akibat dari kehilangan orang yang berarti bagi penyintas membuat mereka mengalami loss griefing trauma dan kesedihan yang berkepanjangan sampai berujung pada kondisi depresi.
Selama ini intervensi yang dikhususkan untuk penanganan dampak psikologis akibat efek trauma COVID-19 masih belum banyak, sebagian besar hanya berfokus pada edukasi, konseling dan terapi kejiwaan dengan psikiatri (Li et al., 2020). Efek trauma akibat pandemi COVID-19 yang merupakan darurat kesehatan internasional yang memunculkan distress psikologis yang tinggi (Kang et al., 2020). Penelitian yang dilakukan di Cina menunjukkan 53,8% mengalami dampak psikologis berat, 16,5% gejala depresi berat, 28,8% gejala kecemasan berat, dan 8,1% tingkat stres berat (Qiu et al., 2020a). Efek trauma penyintas COVID-19 di Indonesia dipicu oleh adanya penolakan pasien dan jenazah pasien COVID-19, stigma sosial yang muncul, peningkatan jumlah kasus yang sangat pesat, sulitnya menemukan pertolongana pengobatan saat darurat pandemi dan kematian orang tercinta dengan mendadak (Susilo et al., 2020).
Dampak buruk yang dirasakan akibat efek trauma COVID-19 membuat penyintas mengalami kekhawatiran dan ketakutan yang tinggi akan kondisi mereka, berakibat pada kondisi distress psikologis berkepanjangan (Susilo et al., 2020). Kondidi psikologis yang kurang baik akan membuat penyintas mengalami kemampuan koping yang kurang baik, akibatnya resiliensi juga semakin menurun, jika tidak segera diberikan intervensi, maka kondisi akan semakin memburuk. Sesuai dengan crisis mental health theory menunjukkan bahwa vulnerability faktor yang memicu permasalahan kesehatan mental dapat memicu munculnya kondisi krisis. Diketahui hingga Desember 2021 58,9%
penyintas COVID-19 masih merasakan gejala long haul dan 60,1% masih merasakan efek trauma terutama pada tenaga kesehatan dan penyintas yang mengalami duka mendalam akibat masa pandemi (Priyantini, et.al, 2021). Efek Trauma COVID-19 dan gejala long haul COVID-19 tidak bisa langsung disembuhkan dari penyintas, dibutuhkan
kolaborasi dari semua sektor untuk saling mendukung dan memberikan dukungan positif untuk memperbaiki kondisi psikologis pasien (Dieltjens et al., 2014a). Sehingga diharapkan dukungan psikologis yang positif dapat meningkatkan resiliensi penyintas terhadap keadaan pandemi COVID-19.
Penanganan dan pencegahan secara dini pada psikologis penting untuk diperhatikan dalam penanganan COVID-19, terutama pada efek trauma dan resiliensi COVID-19 (WHO, 2020). Kemampuan koping yang dibangun oleh penyintas perlu untuk dikuatkan agar resiliensi penyintas bisa terbentuk, salah satunya dengan melalui spiritual religious coping yaitu membentuk koping konstruktif dengan pendekatan spiritual. Upaya pengendalian psikologis melalui strategi koping sangat penting dilakukan untuk menurunkan loss griefing trauma dan meningkatkan resiliensi penyintas COVID-19.
Pendekatan spiritual digunakan sebagai intervensi yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual, harga diri dan efikasi diri pada penyintas. Pendekatan spiritual membantu penyintas memiliki koping yang positif dan belajar menggunakan keyakinan untuk menerima kenyataan, mengelola kondisi sakit dengan sabar dan tenang. Hasil penelitian menunjukan bahwa spiritual menjadi prediktor utama yang mempengaruhi pengontrolan diri individu. Dimensi spiritual secara positif meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan meningkatkan status kesehatan pasien (Pilger et al, 2016). Oleh karena ini peneliti tertarik untuk meneliti pengembangan model spiritual religious coping berbasis crisis mental health emergency terhadap loss griefing trauma dan resiliensi penyintas COVID-19
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh faktor internal individu (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetauan, sikap) terhadap crisis mental health emergency?
2. Apakah ada pengaruh faktor psikologis (tingkat stress, kecemasan, mekanisme koping dan masalah yang dihadapi) terhadap crisis mental health emergency?
3. Apakah ada pengaruh faktor spiritual (keyakinan, kepuasan spiritual dan praktik religious) terhadap crisis mental health emergency?
4. Apakah ada pengaruh faktor lingkungan (jaminan kesehatan, dukungan sosial, keterjangkauan faskes dan fasilitas) terhadap crisis mental health emergency?
5. Apakah ada pengaruh terhadap crisis mental health emergency terhadap spiritual coping mechanism?
6. Apakah ada pengaruh spiritual coping mechanism terhadap loss griefing trauma penyintas COVID-19?
7. Apakah ada pengaruh spiritual coping mechanism terhadap resiliensi penyintas COVID-19?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan pengaruh faktor internal individu (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetauan, sikap) terhadap crisis mental health emergency
2. Menjelaskan pengaruh faktor psikologis (tingkat stress, kecemasan, mekanisme koping dan masalah yang dihadapi) terhadap crisis mental health emergency 3. Menjelaskan pengaruh faktor spiritual (keyakinan, kepuasan spiritual dan praktik
religious) terhadap crisis mental health emergency
4. Menjelaskan pengaruh faktor lingkungan (jaminan kesehatan, dukungan sosial, keterjangkauan faskes dan fasilitas) terhadap crisis mental health emergency 5. Menjelaskan pengaruh terhadap crisis mental health emergency terhadap spiritual
coping mechanism
6. Menjelaskan pengaruh spiritual coping mechanism terhadap loss griefing trauma penyintas COVID-19
7. Menjelaskan pengaruh spiritual coping mechanism terhadap resiliensi penyintas COVID-19
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoritis
Pengembangan model spiritual religious coping berbasis crisis mental health emergency terhadap loss griefing trauma dan resiliensi penyintas COVID-19 dapat digunakan sebagai salah satu referensi pengembangan teori keperawatan. Pengembangan metode pembelajaran dalam memberikan intervensi untuk menghadapi loss griefing trauma dan meningkatkan resiliensi penyintas COVID-19.
1.4.1 Manfaat praktis
Petugas kesehatan, khususnya perawat dapat mengaplikasikan pengembangan model spiritual religious coping berbasis crisis emergency theory dalam memberikan intervensi keperawatan secara langsung untuk kesiapsiagaan dalam kesiapan psikologis penyintas terhadap kondisi loss griefing trauma dan resiliensi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Coronavirus Disease-2019
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat empat genus yaitu alpha coronavirus, betacoronavirus, deltacoronavirus dan gamma coronavirus (Kannan et al., 2020). Karakteristik Coronavirus memiliki kapsul, partikel berbentuk bulat atau elips, sering pleimorfik dengan diameter sekitar 50-200m. Semua virus ordo Nidovirales memiliki kapsul, tidak bersegmen, dan virus positif RNA serta memiliki genom RNA sangat panjang (Kannan et al., 2020). Struktur coronavirus membentuk struktur seperti kubus dengan protein S berlokasi di permukaan virus. Protein S atau spike protein merupakan salah satu protein antigen utama virus dan merupakan struktur utama untuk penulisan gen.
Protein S ini berperan dalam penempelan dan masuknya virus kedalam sel host (interaksi protein S dengan reseptornya di sel inang) (Rodriguez-Morales et al., 2020).
Berdasarkan investigasi epidemologis saat ini, masa inkubasi COVID-19 berlangsung antara 1 hingga 14 hari, dan umumnya dalam waktu 3 hingga 7 hari.
Demam, kelelahan, dan batuk kering dianggap sebagai manifestasi klinis utama, sedangkan gejala seperti hidung tersumbat, hidung berair, pharyngalgia, myalgia, dan diare relatif lebih jarang. Dalam kasus yang parah, umumnya terjadi sesak nafas dan/atau hipoksemia setelah onset satu minggu. Pada kasus terburuk, bisa secara cepat berkembang menjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS), asidosis metabolik, syok sepsis akibat demam yang tinggi yang sulit dikoreksi, kelainan koagulasi dan perdarahan, multiple organ failure, dan sebagainya. Penting dicatat bahwa pasien dengan sakit parah atau kritis hanya menunjukkan demam sedang, atau bahkan tanpa demam sama sekali (Zhang et al., 2020).
Pada kasus ringan hanya menunjukkan demam ringan, kelelahan ringan, dan seterusnya tanpa manifestasi pneumonia. Berdasarkan kasus-kasus yang ditangani baru-baru ini, kebanyakan pasien memiliki prognosis yang baik. Sedangkan untuk kaum lanjut usia dan orang dengan penyakit kronis, umumnya memiliki prognosis buruk. Sementara kasus pada anak-anak umumnya memiliki gejala yang relatif ringan (LU et al., 2020).
2.2 Spiritual Religious Coping
Teori koping religius dikemukakan oleh Pargament (1997). Banyak orang yang menyebutkan agama sebagai salah satu cara mereka mengatasi sebagian besar situasi yang membuat stress. Di antara beberapa kelompok, terutama orang tua (lanjut usia), kelompok minoritas, dan individu yang menghadapi krisis yang mengancam jiwa, agama lebih banyak dijadikan rujukan daripada sumber daya lainnya untuk mengatasi permasalahan (Pargament, Koenig and Perez, 2000).
Pargament (1997) mendefinisikan agama sebagai proses pencarian dengan cara yang berhubungan dengan “sacred” (yang disucikan). Pargament juga menegaskan bahwa fungsi paling penting dari agama adalah spiritualitas. Lebih lanjut, Pargament menekankan bahwa spiritualitas sebagai dimensi kritis kehidupan
“tidak dapat dan tidak boleh dijelaskan” dan dapat dipahami sebagai dimensi potensi manusia yang lebih tinggi. Pargament (1997) mendefinisikan koping sebagai mencari signifikansi pada saat situasi tertekan, metode koping agama adalah cara memahami dan menangani peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan dengan berhubungan atau mendekatkan diri dengan “yang disucikan” (Pargament, Koenig and Perez, 2000; Xu, 2016).
Agama memberikan banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam keadaan krisis. Beberapa fungsi agama menurut Pargament antara lain: (1) Makna: Agama memainkan peran penting dalam pencarian makna hidup. Dalam menghadapi penderitaan dan pengalaman hidup yang membingungkan, agama menawarkan kerangka kerja untuk pemahaman dan interpretasi. (2). Kontrol: Peran lain dari agama adalah memberikan kontrol terhadap berbagai perilaku individu.
Ketika individu dihadapkan dengan berbagai peristiwa yang melampuai sumber dayanya sendiri, agama menawarkan banyak jalan untuk mencapai penguasaan dan kontrol diri, e.g. kontrol terhadap emosi. (3). Kenyamanan: Agama dirancang untuk mengurangi ketakutan individu tentang hidup di dunia, dimana bencana dapat menyerang kapan saja. (4). Kedekatan: Agama memfasilitasi kekompakan sosial karena menjadi mekanisme pembinaan solidaritas sosial dan identitas sosial. (5).
Transformasi hidup: Agama secara konservatif membantu orang mempertahankan makna, kendali, kenyamanan, keintiman, dan kedekatan dengan Tuhan. Namun, agama juga dapat membantu orang dalam melakukan transformasi besar dalam
kehidupan, yaitu meninggalkan hal buruk di masa lalu dan menemukan sumber signifikasi yang baru (Pargament, Koenig and Perez, 2000)
2.3 Crisis Mental Health Emergency
Teori ini menjelaskan kondisi krisis harus segera diberikan intervensi untuk mencegah kondisi yang semakin memburuk, crisis emergency theory mencakup tujuh konsep utama: 1) kerentanan yang mendasarinya; 2) krisis; 3) darurat kesehatan mental; 4) intervensi krisis; 5) intervensi darurat; 6) tanggapan langsung; dan 7) resolusi (Brennaman, 2012). Ketujuh domain ini, empat di antaranya identik dengan model Ball, sedangkan tiga lainnya berasal dari penelitian Callahan (2009) dan Bonynge et al. (2005), yang membedakan keadaan darurat kesehatan mental dari krisis kesehatan mental. Penggabungan konsep-konsep tambahan ini ke dalam teori baru dapat menjadikan teori lebih baik untuk menyempurnakan teori yang sudah ada sebelumnya.
Gambar 2.8 Emergencies Theory Model Sumber: (Brennaman, 2012)
2.4 Loss Griefing Trauma
Trauma terjadi ketika seseorang memiliki pengalaman yang menyedihkan atau luar biasa, dengan rasa sakit yang hebat, stres, ketakutan, atau ketidakberdayaan. Ini dapat dihasilkan dari satu peristiwa atau pengalaman berulang, mis. cedera, prosedur medis, pelecehan anak, kekerasan, pemerkosaan, penyiksaan, perang, terorisme, bencana alam.
Peristiwa traumatis adalah peristiwa di mana kehidupan atau keselamatan seseorang terancam atau ada risiko bahaya atau cedera serius. Ancaman mungkin langsung ke orang, atau orang yang dicintai. Trauma juga dapat terjadi jika orang tersebut percaya ada tingkat
risiko ini, mis. seorang anak dapat terpengaruh oleh hal-hal yang mereka lihat atau dengar, tetapi yang mungkin bukan merupakan risiko nyata di waktu dan tempat ini.
Orang juga bisa mengalami trauma secara tidak langsung dengan melihat peristiwa traumatis, atau melalui isu sejarah seperti kekerasan terhadap generasi sebelumnya.
Trauma dapat mempengaruhi individu, kelompok dan masyarakat. Kehilangan mengacu pada situasi di mana seseorang tidak dapat mempertahankan, memiliki, atau mendapatkan sesuatu yang sangat mereka hargai atau yang memiliki arti penting bagi mereka. Ini mungkin objek atau hubungan penting, atau mungkin berhubungan dengan keamanan dan rasa diri mereka. Pengalaman kehilangan seseorang mungkin bergantung pada apa yang hilang, kepentingan atau nilainya bagi orang tersebut, dan apakah kehilangan itu disebabkan oleh sebab-sebab alami atau terjadi melalui tindakan orang lain, atau melalui peristiwa traumatis. Trauma dan kehilangan adalah jenis pengalaman yang berbeda. Trauma adalah reaksi terhadap peristiwa yang mengancam kehidupan atau luar biasa.
Kehilangan adalah respons karena tidak dapat mengakses seseorang atau sesuatu yang penting. Dalam beberapa situasi, kehilangan juga dapat melibatkan trauma, tetapi tidak selalu demikian. Dukacita adalah pengalaman kesedihan, penderitaan atau kesusahan yang dialami seseorang setelah kehilangan atau pengalaman traumatis.
Kesedihan dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku, kepercayaan dan hubungan seseorang dengan orang lain. Reaksinya mungkin langsung dan jangka pendek atau mungkin perlu beberapa saat untuk keluar dan berlangsung lebih lama. Waktu yang dibutuhkan untuk pulih dari efek kesedihan bervariasi dari orang ke orang dan akan dipengaruhi oleh pengalaman dan situasi pribadi mereka.
2.5 Resiliensi
Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik.
Kemampuan ini terdiri dari: Regulasi, Emosi, Pengendalian Impuls, Optimisme, Empati, Analisis Penyebab Masalah, Efikasi Diri, Peningkatan Aspek Positif, Regulasi Emosi.
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan.
Individu yang memiliki kemampuan meregulasi emosi dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga
mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress.
1) Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu sering kali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial.
2) Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan pada masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih banyak menang dalam olahraga.
Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul pada masa yang akan datang.
3) Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. Individu yang berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.
4) Analisis Penyebab Masalah
Sebuah konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyebab masalah yaitu gaya berpikir. Gaya berpikir adalah cara yang biasa digunakan individu untuk menjelaskan sesuatu hal yang baik dan buruk yang terjadi pada dirinya.
5) Efikasi Diri
Efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil.
6) Peningkatan aspek positif
Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup, mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.
2.6 Penyintas COVID-19
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penyintas Covid adalah orang yang mampu bertahan hidup melawan Covid-19. Atau dalam arti lain, penyintas Covid bisa disebut juga orang yang sudah sembuh dari infeksi virus Covid- 19. Mengenai hal ini berarti penyintas Covid adalah pasien Covid-19 yang sudah dinyatakan sembuh. Tercatat dalam data penyebaran Corona yang disampaikan Humas BNPB bahwa sebanyak 1.584 pasien dinyatakan sembuh dari Covid-19 pada hari Minggu (10/10/2021) kemarin. Hal ini berarti total penyintas Covid sejak bulan Maret 2020 hingga hari Minggu kemarin berjumlah 4.060.851 orang.
Setelah mengetahui penyintas Covid artinya apa, berikut informasi mengenai aturan vaksinasi untuk para penyintas Covid. Dilansir dari laman resmi Kemenkes, Penyintas Covid-19 kini bisa disuntikkan vaksin setelah 1 bulan dinyatakan sembuh dan hasil swab negatif. Aturan tersebut tertulis dalam Surat Edaran Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan nomor HK.02.01/I/2524/2021 tentang Vaksinasi COVID-19 Bagi Penyintas.
Dalam SE tersebut, dituliskan bahwa penyintas Covid-19 boleh divaksin setelah 1 bulan dan 3 bulan dinyatakan sembuh, tergantung derajat keparahan penyakit. Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Maxi Rein Rondonuwu juga mengatakan bahwa vaksinasi Covid-19, dalam aspek ilmiah dan medis, bersifat dinamis dan terus mengalami perkembangan.
2.7 State of The Art dan Roadmap Penelitian
Dampak psikologis yang dirasakan oleh masyarakat selama pandemic COVID-19 masih sangat tinggi, terutama pada penyintas yang mengalami Loss Griefing Trauma akibat COVID-19 (Jiang et.al, 2020). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penyintas COVID-19 di Wuhan 50,4% membutuhkan bantuan psikologis dan 17,5%
sudah melakukan konseling psikologis karena rasa ketakutan yang mereka miliki sangat berlebihan (Kang, et.al, 2020). Penelitian di Tiongkok sudah sangat banyak yang mengkaji mengenai dampak psikologis yang diakibatkan oleh COVID-19, sebanyak 22,8% sudah menunjukkan tingkat tekanan psikologis yang tinggi (Li, 2020). Hasil studi pendahuluan pada 1218 penyintas COVID-19 menunjukkan bahwa 67,9% mengalami efek trauma akibat COVID-19, hal yang memicu adalah kehilangan pekerjaan, kehilangan keluarga tercinta dan kekhawatiran jika pandemi tidak segera selesai (Priyantini, et.al., 2021). Kondisi psikologis yang memang menjadi permasalahan bagi masyarakat akan terus bertahan di lingkungan masyarakat sampai masa new normal, penanganan psikologis menjadi sangat penting dalam meningkatkan penguatan psikologis dan resiliensi efek trauma COVID-19. Selama ini intervensi yang sudah diberikan kepada masyarakat adalah konseling individu secara online, dukungan sosial dan penggunaan aplikasi.
Penanganan dan pencegahan secara dini pada psikologis penting untuk diperhatikan dalam penanganan COVID-19 (WHO, 2020). Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan di beberapa negara, penanganan psikologis yang dilakukan adalah melalui bentuk konseling baik secara langsung, secara online atau melalui aplikasi (Jung and Jun, 2020b; Li et al., 2020; Sun et al., 2020; Zhou et al., 2020). Penelitian di Indonesia masih belum banyak yang melakukan riset mengenai dampak psikologis pada COVID-19, penanganan psikologis yang sudah diberikan adalah pendampingan pasien berupa edukasi dan konseling selama di rumah sakit menggunakan media leaflet, vidio dan simulasi (Kartono, 2020; Zahrotunnimah, 2020). Belum banyaknya penanganan
psikologis yang diberikan untuk mencegah krisis kesehatan akibat efek trauma dan gejala long haul COVID-19 membutuhkan studi penelitian lebih lanjut.
Roadmap penelitian dapat dilihat dari gambar berikut:
Gambar Roadmap Penelitian
1. Menganalisis faktor yang mempengaruhi loss griefing trauma dan resiliensi penyintas
2. Menganalisis Spiritual religious coping berbasis crisis mental health emergency
1. Luaran Model Spiritual religious coping 2. Pembuatan aplikasi memudahkan dalam
penanganan loss griefing trauma COVID-19 3. Penelitian dan Sosialisasi
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konseptual
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian 3.2 Hipotesis
1. Ada pengaruh faktor internal individu (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetauan, sikap) terhadap crisis mental health emergency
2. Ada pengaruh faktor psikologis (tingkat stress, kecemasan, mekanisme koping dan masalah yang dihadapi) terhadap crisis mental health emergency
3. Ada pengaruh faktor spiritual (keyakinan, kepuasan spiritual dan praktik religious) terhadap crisis mental health emergency
4. Ada pengaruh faktor lingkungan (jaminan kesehatan, dukungan sosial, keterjangkauan faskes dan fasilitas) terhadap crisis mental health emergency 5. Ada pengaruh terhadap crisis mental health emergency terhadap spiritual coping
mechanism
Faktor spiritual:
1. Keyakinan personal 2. Kepuasan spiritual 3. Praktik religius Faktor lingkungan:
1. Jaminan kesehatan 2. Dukungan sosial 3. Keterjangkauan
pelayanan kesehatan 4. Fasilitas pelayanan
kesehatan
1.
Spiritual coping mechanism:
1. Inward: makna dan tujuan hidup 2. Outward:
hubungan sosial 3. Temporal:
introspeksi terhadap kesalahan masa lalu, taubat 4. Transpersonal:
ikhlas, ridho, sabar, syukur, ikhtiyar, tawakal The Crisis
Mental Health Emergencies:
1. Ketakutan 2. Kepanikan 3. Denial 4. Depresi
Loss Griefing Trauma
Resiliensi Penyintas Faktor internal individu:
1. Usia
2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Pengetahuan 5. Sikap
Faktor Psikologis:
1. Tingkat stres 2. Tingkat Cemas 3. Mekanisme koping 4. Masalah dihadapi
6. Ada pengaruh spiritual coping mechanism terhadap loss griefing trauma penyintas COVID-19
7. Ada pengaruh spiritual coping mechanism terhadap resiliensi penyintas COVID- 19
17
BAB 4
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, tahap pertama adalah eksplanasi deskriptif dengan pendekatan cross sectional dan tahap kedua adalah uji coba, akan tetapi peneliti hanya mengukur penelitian pada tahap satu saja.
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tahap satu merupakan penelitian hubungan antara faktor-faktor dengan spiritual coping mechanism berbasis crisis emergencies theory menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu suatu rancangan penelitian dimana variabel independen dan dependen diteliti dan diukur dalam waktu yang bersamaan.
Ekspalanasi deskriptif untuk mengetahui hubungan antara faktor individu (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap dan motivasi), faktor psikologis (tingkat stres, kecemasan, mekanisme koping, masalah yang dihadapi), faktor spiritual (keyakinan, kepuasan spiritual, praktik religious), faktor lingkungan (jaminan kesehatan, dukungan sosial, keterjangkauan faskes, fasilitas) dengan spiritual coping mechanism berbasis crisis emergencies theory.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Juli 2022 – Januari 2023 yaitu pada penyintas COVID-19 di Pulau Jawa, terutama pada wilayah dengan kasus yang tinggi penyintas COVID-19.
No Nama Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 Persiapan Material untuk Penelitian 2 Uji Etik dan Perijinan Penelitian 3 Melaksanakan Penelitian Cross sectional
Analisis faktor-faktor 4 Analisis Data dan Tabulasi
5 Penyajian Hasil Penelitian Tahap 1 6 Merumuskan Isu Strategis
7 Pelaksanaan Focus Group Discussion dengan Perawat dan Pakar yang Terlibat 8 Diskusi Pakar Pengembangan Model
18
9 Penyajian Hasil Penelitian Tahap 2 10 Penyusunan Modul Penelitian dan
Konsultasi Pakar
11 Proses Pengurusan HAKI
12 Pembuatan Manuskrip dan Publikasi Ilmiah 13 Monev Penelitian: Laporan Kemajuan
15 Sosialisasi Penggunaan Modul
4.3 Populasi, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 4.3.1 Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah penyintas COVID-19 di Indonesia terutama pada wilayah dengan jumlah tertinggi. Sampel penelitian ditentukan dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut:
1) Kriteria inklusi:
a. Responden merupakan penyintas COVID-19 b. Usia 20 – 64 tahun
c. Sehat jasmani dan rohani dan bisa mengikuti penelitian d. Bersedia menjadi responden
e. Bisa membaca dan menulis 2) Kriteria eksklusi:
a. Pasien yang mengalami gangguan jiwa
b. Warga negara asing yang tinggal sementara di Indonesia
4.3.2 Besar sampel dan teknik pengambilan sampel
Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dipilih dengan metode pengambilan sampel tertentu agar dapat mewakili populasi (Nursalam, 2020).
Penggunaan besar sampel menggunakan aplikasi G*Power 3.1.9.2 karena peneliti tidak dapat memperkirakan jumlah populasi (Faul et.al 2009). Pada kolom input parameter, peneliti menggunakan two tails dengan effect size sebesar 0,15 dan α error probability sebesar 0.05. Pada penelitian ini peneliti menggunakan power atau kekuatan sebesar 95%, sehingga diperoleh sampel sebanyak 567 individu.
4.3.3 Sampling
19
Teknik pengambilan sampling dalam penelitian ini menggunakan probability sampling yaitu conviniennce sampling. Convinience sampling merupakan teknik penetapan sample yang paling sederhana, dimana sample akan diambil berdasarkan penyintas yang ditemui oleh peneliti, responden kemudian diberikan penjelasan dan diminta mengisi kuisioner penelitian.
4.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 4.4.1 Variabel independen
Variabel bebas terdiri dari faktor individu (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap dan motivasi), faktor psikologis (tingkat stres, kecemasan, mekanisme koping, masalah yang dihadapi), faktor spiritual (keyakinan, kepuasan spiritual, praktik religious), faktor lingkungan (jaminan kesehatan, dukungan sosial, keterjangkauan faskes, fasilitas).
4.4.2 Variabel dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah spiritual coping mechanism berbasis crisis emergencies theory.
Tabel 4.1 Variabel Penelitian Tahap 1
Nama Variabel Indikator
(X1) Faktor internal individu X1.1 Usia
X1.2 Jenis Kelamin X1.3 Tingkat Pendidikan X1.4 Pengetahuan X1.5 Sikap
(X2) Faktor Psikologis X2.1 Tingkat stres X2.2 Kecemasan
X2.3 Mekanisme Koping X2.4 Masalah yang dihadapi (X3) Faktor Spiritual
X3.1 Keyakinan
X3.2 Kepuasan spiritual X3.3 Praktik religious (X4) Faktor Lingkungan X4.1 Jaminan kesehatan
X4.2 Dukungan sosial X4.3 Keterjangkauan faskes X4.4 Fasilitas
(X5) Crisis mental health emergency X5.1 Ketakutan X5.2 Kepanikan
20
X5.3 Denial X5.4 Depresi (Y1) spiritual coping mechanism
berbasis crisis mental health emergency
Y1.1 Inward Y1.2 Outward Y1.3 Temporal Y1.4 Transpersonal
(Y2) Loss Trauma Griefing (Y2) Loss Trauma Griefing
(Y3) Resiliensi (Y3) Resiliensi
4.5 Definisi Operasional
Tabel 4.1 Definisi operasional penelitian
Variabel Definisi operasional dan
Parameter Alat ukur Skala
data Skor
Independen
Usia Usia responden dari awal kelahiran sampai pada saat penelitian ini dilakukan. Umur diukur dalam satuan tahun.
Parameternya adalah usia responden pada saat penelitian ini dilakukan
Kuisioner Data Demografi
Nominal Umur
diklasifikasikan menjadi tiga kelas sesuai dengan Angkatan Kerja Nasional yaitu:
Usia belum produktif (<15 tahun)
Usia Produktif (15- 64 tahun) Usia tidak produktig (>64 tahun) Jenis Kelamin Tanda fisik yang teridentifikasi pada
pasien dan dibawa sejak dilahirkan.
Jenis kelamin dikategorikan menjadi laki- laki dan perempuan
Kuisioner Data Demografi
Nominal Pengkategorian jenis kelamin adalah:
Laki-laki = 1 Perempuan = 2 Tingkat
Pendidikan
Tingkat kemampuan seseorang dan pengembangan kepribadian pada lembaga formal atau didalam sekolah yang didasarkan pada ijazah terakhir yang dimilikinya.
Tingkat pendidikan dibagi berdasarkan tingkatan:
1. Tingkat pendidikan sangat tinggi, yaitu minimal pernah menempuh pendidikan tinggi
2. Tingkat pendidikan tinggi, yaitu pendidikan SLTA/sederajat.
3. Tingkatan pendidikan sedang, yaitu pendidikan SMP/sederajat.
4. Tingkat pendidikan rendah, yaitu pendidikan SD/sederajat.
Kuisioner Data Demografi
Ordinal Dengan
penggolongan kode Diploma = 1 Sarjana/ D4/
Sederajat = 2 Magister: 3
Pengetahuan Pendapat seseorang mengenai dampak psikologis infeksi COVID-19. Parameter pengetahuan adalah apabila seseorang dapat memahami:
1. Pengertian, penyebab, proses, terjadinya, tanda dan gejala dan penatalaksanaan skizofrenia
Kuisioner yang dimodi fikasi dari Mohammed Dauda Goni (2018)
Ordinal Skor nilai pengetahuan:
<17=Kurang 18- 24= Cukup > 24 = Baik
21
2. Dampak penyakit skizofrenia bagi keluarga
3. Pengobatan dan kesembuhan Sikap Pernyataan evaluatif terhadap objek,
orang atau peristiwa dan mencerminkan perasaan seseorang terhadap COVID-19, dengan indikator:
1. Melaksanakan tugas individu dengan baik
2. Menerima risiko tindakan yang dilakukan
3. Pelaksanaan intervensi psikologis 4. Manajemen pelayanan pasien
COVID-19
5. Kesadaran dalam memberikan pelayanan pasien COVID-19
Kuisioner yang dimodi fikasi dari Mohammed Dauda Goni (2018)
Ordinal Skor nilai sikap:
≥29 = positif
< 29= negatif
Tingkat Stres Tingkatan kondisi perasaan yang dialami seseorang ketika menganggap bahwa tuntutan melebihi sumber daya sosial dan personal yang mampu dilakukan
Stres dapat dibagi menjadi tingkatan:
1. Stres ringan (lupa, kebanyakan tidur, sulit konsetrasi, penurunan produktivitas)
2. Stres sedang (mudah bosan, suka ganti pekerjaan, permasalahan keluarga, merasa tidak tenang) 2. Stres berat (terjadi hingga tahunan,
muncul tanda-tanda fisiologis)
Depression Anxiety Stress Score
Ordinal Tingkat stres berat (
≥ 75 %)
Tingkat stres sedang (60% - 75%) Tingkat stres ringan (< 60%)
Kecemasan Ketakutan atau rasa takut yang timbul pada situasi yang belum terjadi yaitu saat individu akan menghadapi masa pensiun.
Kecemasan tersebut dapat diukur melalui skala kecemasan dengan melibatkan dimensi yaitu kognitif, afektif, motorik, dan somatic
Kecemasan dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
1. Ringan (mulai waspada dan meningkatkan lapang persepsi, respon fisiologis napas pendek, nadi dan tekanan darah naik)
2. Sedang (fokus pada hal yang membuat cemas, mengesampingkan hal lain, muncul respon fisiologis) 2. Berat (konsentrasi hilang, bergetar,
nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, tegang, sakit kepala, tidak mampu menyelesaikan masalah)
Depression Anxiety Stress Score
Ordinal Tingkat kecemasan berat ( ≥75%) Tingkat kecemasan sedang (60% - 75%) Tingkat kecemasan ringan (<60%)
Mekanisme Koping
Kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah
Mekanisme koping dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Mekanisme koping adaptif 2. Mekanisme Koping maladaptif
The Brief 28- item COPE Inventory
Ordinal Skor untuk jawaban pada kuesioner Koping maladaptif (T<mean skor T) Koping adaptif (T≥
mean skor T) Masalah yang
hihadapi
Sesuatu hal yang harus dihadapi oleh seorang individu yang bersangkutan dengan kehidupan individu tersebut.
Masalah yang dihadapi memiliki kriteria:
1. Merupakan suatu kesulitan yang memang harus diatasi.
2. Bisa dijadikan sebagai tantangan dan atau rintangan yang harus dilalui.
Question- naire on problem face
Ordinal Masalah yang dihadapi dapat dikategorikan menjadi:
Berat ( ≥ 75 %) Sedang (60% - 75%)
Ringan (<60%)
22
3. Memiliki sifat yang penting dan realistis.
4. Bisa menggerakkan seseorang dalam mengatasi atau memecahkan nya.
5. Menjadi berguna jika dipecahkan.
Keyakinan Personal
Keyakinan diri pasien GGK dengan hemodialisis terhadap kekuasaan Tuhan, meliputi:
1.Kepercayaan pada Tuhan
2.Kedamaian dalam kepercayaan spiritual dan agama
3.Percaya diri pada kekuatan Tuhan 4. Percaya pada pemeliharaan Tuhan
Kuesioner C1 pertanyaan tertutup dengan skala Likert:
0= tidak pernah 1= kadang 2= sering 3= selalu
Rasio Berat ( ≥ 75 %) Sedang (60% - 75%)
Ringan (<60%)
Kepuasan Spiritual
Perasaan subjektif yang diperoleh pasien GGK dengan hemodialisis karena kedekatan dengan Tuhan, meliputi:
1.Kepuasan dengan iman 2.Perasaan dekat dengan Tuhan 3.Kurangnya ketakutan 3.Rekonsiliasi
4.Keamanan dalam cinta Tuhan
Kuesioner C2 pertanyaan tertutup dengan skala Likert:
0= tidak pernah 1= kadang 2= sering 3= selalu
Rasio Tingkat kecemasan berat ( ≥75%) Tingkat kecemasan sedang (60% - 75%) Tingkat kecemasan ringan (<60%)
Praktik Religius
Kegiatan peribadatan yang dilakukan pasien GGK dengan hemodialisisuntuk mencapai kedekatan dengan Tuhan:
1.Dukungan dari komunitas keagamaan 2.Afirmasi dalam peribadatan
3.Penghiburan melalui ibadah 4.Komunikasi dengan Tuhan melalui praktik ibadah
Kuesioner C3 pertanyaan tertutup dengan skala Likert:
0= tidak pernah 1= kadang 2= sering 3= selalu
Rasio Sangat Baik( ≥75%) Sedang (60% - 75%)
Kurang (<60%)
Dukungan Sosial
Bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orang-orang tertentu sehingga memunculkan motivasi dalam diri individu
Dukungan sosial dapat terdiri dari:
1. Dukungan emosional 2. Dukungan instrumental 3. Dukungan Informasi 4. Dukungan Penghargaan
The Social Support Question naire
Ordinal Skor untuk jawaban pada kuesioner Dukungan sosial baik (T<mean skor T)
Dukungan sosial buruk (T≥ mean skor T) Kolaborasi
antar Tenaga Kesehatan
Hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien atau klien melalui kerjasama tim Kolaborasi antar tenaga kesehatan memiliki kriteria:
1. Terdiri dari minimal 2 profesional kesehatan
2. Menyelesaikan permasalahan dengan kerjasama tim
3. Melakukan diskusi dalam pemecahan masalah
2. Bekerjasama sesuai dengan fungsi profesi masing-masing
PINCOM -Q:
(Perception of Inter
professional Colla boration Model Question aire)
Ordinal Kolaborasi rendah (T<mean skor T)
Kolaborasi tinggi (T≥ mean skor T)
Situasi Lingkungan
Kondisi yang sedang dihadapi yang ada di wilayah seorang individu
Situasi lingkungan memiliki kriteria:
1. Situasi lingkungan yang kondusif (memiliki suasana yang positif, banyak hubungan sosial, tercipta interaksi sosial yang membangun)
Environ- mental questionaire
Ordinal 1. Situasi lingkungan yang kondusif (T≥ mean skor T)
2. Situasi lingkungan yang
23
2. Situasi lingkungan yang tidak kondusif (banyak memunculkan konflik sosial, menghambat interaksi sosial)
tidak kondusif (T<mean skor T)
Ketersediaan Informasi
Terdapatnya berita-berita yang disampaikan kepada individu untuk meningkatkan pengetahuan yang dimilikinya
Ketersediaan informasi harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Bersifat umum dan doleh diketahui oleh siapa saja
2. Tersampaikan dari individu ke individu melalui berbagai media 3. Mampu menambah pengetahuan 4. Dapat bersifat mengubah sikap dan
tindakan seseorang
Question- naires can provide valuable information
Ordinal Ketersediaan informasi rendah (T<mean skor T)
Ketersediaan informasi tinggi (T≥ mean skor T)
Sarana Prasarana
Segala sesuatu yang merupakan
penunjang utama terselenggara nya suatu proses yang dilakukan individu.
Sarana prasarana terdiri dari sarana prasarana fisik dan non fisik yang mampu menunjang kegiatan yang dilakukan oleh seorang individu
Health-care resource use question-naire
Ordinal Sarana prasarana tidak memadai (T<mean skor T)
Sarana prasarana memadai (T≥ mean skor T)
Inward Kemampuan pasien GGK dengan hemodialisis untuk menilik ke dalam diri dalam mencapai kesejahteraan spiritual, meliputi:
1.Makna hidup 2.Tujuan hidup
Kuesioner G1 pertanyaan tertutup dengan skala Likert:
0= tidak pernah 1= kadang 2= sering 3= selalu
Rasio Sangat Baik( ≥75%) Sedang (60% - 75%)
Kurang (<60%)
Outward Kemampuan pasien GGK dengan hemodialisis dalam berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan-nas) dan lingkungan yang dilandasi sifat
ketakwaan sebagai manifestasi kesejahteraan spiritual, meliputi:
1.Hubungan sosial
2.Hubungan dengan lingkungan
Kuesioner G2 pertanyaan tertutup dengan skala Likert:
0= tidak pernah 1= kadang 2= sering 3= selalu
Rasio Sangat Baik( ≥75%) Sedang (60% - 75%)
Kurang (<60%)
Temporal Kemampuan pasien GGK dengan hemodialisismengintegrasikan masa lalu dan masa depan untuk mencapai kesejahteraan spiritual, meliputi:
1.Introspeksi terhadap kesalahan masa lalu 2. Pertaubatan
Kuesioner G3 pertanyaan tertutup dengan skala Likert:
0= tidak pernah 1= kadang 2= sering 3= selalu
Rasio Sangat Baik( ≥75%) Sedang (60% - 75%)
Kurang (<60%)
Transperso-
nal Kemampuan pasien GGK dengan hemodialisisdalam berhubungan dengan Tuhan (transenden) (hablum minallah) sebagai manifestasi kesejahteraan spiritual, meliputi:
1.Ikhlas 2.Ridho 3.Sabar 4.Syukur 5.Ikhtiyar
Kuesioner G4 pertanyaan tertutup dengan skala Likert:
0= tidak pernah 1= kadang 2= sering 3= selalu
Rasio Sangat Baik( ≥75%) Sedang (60% - 75%)
Kurang (<60%)
24
6.Tawakal Loss Griefing
Trauma Proses yang terjadi antara individu dengan petugas professional yang telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk membantu agar klien mampu memecahkan masalahnya.
1. Komitmen untuk mengamalkan nilai- nilai keimanan dan ketakwaan 2. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif.
3. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif 4. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri
5. Memiliki sikap optimis dalam menghadapi masa depan 6. Memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah dengan tepat 7. Memiliki rasa tanggung jawab dan komitmen
Counselling Assessment Self-Healing Question- naire
Ordinal Konseling yang didapatkan:
Baik ( ≥ 75 %) Cukup (60% - 75%) Kurang (<60%)
Resiliensi Suatu proses yang menghasilkan suatu intensitas, arah dan ketekunan individual dalam usaha untuk mencapai satu tujuan.
Parameter dalam motivasi adalah:
1. Mempunyai tujuan yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai 2. Selalu berpikir positif dan bersyukur 3. Menyukai kegiatan dan aktivitas yang
dilakukan
4. Tidak mudah mengalami keraguan dan ketakutan
5. Selalu bertanggung jawab dan menjalankan kewajiban dengan baik
Self-Report Measures of Intrinsic Motivation
Ordinal Sangat Sering (SS)
= 5
Sering (S) = 4 Kadang (K) = 3 Jarang (J) = 2 Tidak pernah = 1 76-100 % = tinggi 56-75% = sedang
>56 % = rendah
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian ini menggunakan kuisioner yang diadopsi dan dimodifikasi berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Instrumen dibuat sendiri oleh peneliti yang disesuaikan dengan tujuan pengumpulan data. Instrumen data demografi responden adalah untuk menentukan faktor individu (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap dan motivasi), faktor psikologis (tingkat stres, kecemasan, mekanisme koping, masalah yang dihadapi), faktor spiritual (keyakinan, kepuasan spiritual, praktik religious), faktor lingkungan (jaminan kesehatan, dukungan sosial, keterjangkauan faskes, fasilitas) dengan spiritual coping mechanism berbasis crisis emergencies theory.
Alat ukur yang berupa kuesioner dan digunakan dalam penelitian ini diujicobakan terlebih dahulu dengan menyebarkan kuesioner kepada pasien kanker payudara yang bukan merupakan subjek penelitian tetapi memiliki karakteristik yang sama.
25
Langkah selanjutnya yaitu melakukan uji validitas dan ui reliabilitas kuesioner untuk memperoleh data yang valid serta memiliki konsistensi yang tinggi (reliable)
4.7 Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan satu kali pada setiap responden. Langkah- langkah proses pengumpulan data adalah:
1) Mengurus kelaikan etik dari Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surabaya
2) Mengurus izin penelitian dari Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surabaya untuk keperluan:
a) Melakukan koordinasi tujuan penelitian
b) Pemilihan respnden penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi dengan bantuan perawat dan kepala ruangan tempat pengambilan data penelitian c) Penjelasan informasi penelitian dan penandatanganan informed consent
untuk menjadi responden penelitian
d) Penelitian data demografi responden responden e) Pengisian kuesioner penelitian oleh responden
f) Data kuesioner yang telah didapatkan kemudian dilakukan rekapitulasi dan dianalisis menggunakan uji model SEM-PLS untuk mendapatkan pengaruh antar variabel penelitian dan mengidentifikasi isu strategis g) Hasil uji model yang telah terbentuk dan isu strategis yang telah
diidentifikasi digunakan sebgai bahan diskusi dalam Focus Group Discussion (FGD)
h) Hasil kegiatan FGD pertama dan kedua dijadikan sebagai dasar untuk menyusun rekomendasi dan pengembangan model psychological first aid dalam bentuk modul dan booklet yang akan disimulasikan pada penelitian tahap II.
4.8 Analisis Data
Analisa deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi faktor internal individu, faktor psikologis dan faktor eksternal. Analisa deskriptif dilakukan dengan membuat tabel distribusi frekuensi, standar deviasi, dan persentase.
26
Deskripsi indicator yang dinyatakan dalam nilai tinggi, sedang, dan rendah.
Perhitungan nilai dengan teknik menghitung mean dan SD dengan rincian sebagai berikut: (mean + (1*SD) ≤ X, sedangkan (mean – (1*SD) ≤ X < Mean + (1*SD)), dan rendah X < Mean – (1*SD) (Widhiarso, 2017). Analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan PLS (Partial Least Square).
Dengan menggunakan pendekatan PLS dimungkinkan melakukan permodelan persamaan structural dengan ukuran sampel relative kecil dan tidak membutuhkan asumsi normal multivariate. PLS merupakan metode dengan analisis yang kuat karena dapat diterapkan pada semua skala data, tidak membutuhkan banyak asumsi dan ukuran sampel tidak harus besar. PLS selain dapat digunakan sebagai konfirmai teori juga dapat digunakan untuk membangung hubungan yang belumada landasan teorinya atau untuk pengujian proposisi.
27
Gambar Kerangka Kerja Penelitian Sampel memenuhi kriteria inklusi
Mengidentifikasi factor melalui kuisioner yang diberikan secara online 1. Faktor individu (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap) 2. Faktor psikologis (tingkat stres, kecemasan, mekanisme koping, masalah yang dihadapi) 3. Faktor spiritual (keyakinan, kepuasan spiritual, praktik religious)
4. Faktor eksternal (jaminan kesehatan, dukungan sosial, keterjangkauan pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan)
Menganalisis hubungan faktor-faktor dengan spiritual coping mechanis berbasis
crisis emergency theory
Merumuskan isu strategis
Focus group discussion dengan penyintas dan tenaga kesehatan
Konsultasi pakar
Menyusun pengembangan model
spiritual coping mechanis berbasis crisis emergency theory
Menyusun modul Discharge Terbentuknya modul spiritual coping mechanis berbasis crisis emergency theory
28
4.9 Tugas Peneliti
No Nama Peran Tugas
1 Aslikah Ramadhani Ketua Memimpin tim dan
mengkoordinasikan anggota dalam melaksanakan penelitian, melaksanakan penelitian dan pakar konsultasi luaran penelitian
2 Nadya Tharisa Anggota 1 Pembuat proposal penelitian, tenaga administrasi, ahli statistik, penyusun manuskrip penelitian, publikasi ilmiah 3 Rheta Maudy Mardiana Anggota 2 Pelaksana pengumpulan data,
penyusun proposal dan laporan, pembuat manuskrip penelitian dan publikasi ilmiah
4 Diah Priyantini, S.Kep., Ns., M.Kep
Dosen Pembimbing
Reviewer draft proposal internal Menyusun konsep dan
memberikan perbaikan pada penelitian
4.10 Etik Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa prinsip etik berdasarkan BelmontReport (1978, dalam Polit & Hungler, 1997), yaitu meliputi beneficence, anonimity, dan confidentiality serta menghargai martabat manusia.
4.10.1 Beneficence
Prinsip Beneficence, terutama dimensi freedom from harm diterapkan selama proses pengambilan data. Peneliti meminta responden selama menyampaikan apa yang telah terjadi dan dilakukan selam merawat pasien skizofrenia yang berpotensi menimbulkan konsekuensi psikologis tertentu. Prinsip ini diterapkan dengan menumbuhkan kenyamanan hubungan melalui membina hubungan saling percaya sejak pertemuan pertama dan senantiasa memfasilitasi penyaluran emosi dan perasaan responden. Selam aproses pengambilan data, responden yang terbawa suasana sehingga tidak daapat mengendalikan perasaan dan emosinya, maka peneliti menghentikan sejenak proses pengisiankuesioner dan mendengarkan serta menenangkan responden. Setelah responden mampu menguasai perasaannya, merasa tenang dan menyatakan kesanggupan untuk melanjutkan, maka peneliti melanjutkan pengambilan data.
29
4.10.2 Anonimity dan Confidentiality
Anonimity dilakukan dengan menjaga kerahasiaan identitas responden. Peneliti tidak mencantumkan nama maupun inisial tetapi memberi kode yang hanya dimengerti oleh peneliti. Confidentiality dilakukan oleh peneliti dengan mengatur pengendalian kapan dan bagaimana informasi yang diperoleh dari responden boleh disampaikan kepada orang lain hanya untuk kepentingan penelitian. Data penelitian disimpan oleh peneliti dalam bentuk data elektronik, dipergunakan untuk kepentingan peneliti dan dimusnahkan setelah penyimpanan selama lima tahun.
4.10.3 Menghargai
Menghargai martabat manusia digunakan dengan menerapkan hak self- determination. responden adalah pemilik hak cipta informasi sehingga peneliti perlu meminta kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian. Peneliti mempersilahkan responden untuk terlibat dalam penelitian secara sukarela tanpa tekanan dari pihak peneliti maupun tempat penelitian. Peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian sebelum responden memutuskan secara sadar untuk berpastisipasi dalam penelitian. Peneliti menyampaikan, responden berhak untuk menyatakan mundur dan berhenti bila dalam proses pengambilan data merasa tidak ingin melnjutkan sebagai responden. Hak ini diaplikasikan kepada responden dalam bentuk lembar penjelasan penelitian atau informed concent yang berisi tentang tujuan, manfaat, prosedur penelitian, batasan keterlibatan dan hak-hak responden. Responden diminta untuk mengisi dan menandatangani pernyataan setelah menyatakan kesediaan mengikuti penelitian.
30
DAFTAR PUSTAKA
Akoury-Dirani, L. et al. (2015) ‘Psychological first aid training for Lebanese field workers in the emergency context of the Syrian refugees in Lebanon’, Psychological Trauma: Theory, Research, Practice, and Policy, 7(6), pp. 533–
538. doi: 10.1037/tra0000028.
American Psychological Association (2016) Stress in America: The impact of discrimination, Stress in America Survey. Available at:
www.stressinamerica.org.
Brennaman, L. (2012) ‘Crisis Emergencies for Individuals With Severe, Persistent Mental Illnesses: A Situation-Specific Theory’, Archives of Psychiatric Nursing.
Elsevier Inc., 26(4), pp. 251–260. doi: 10.1016/j.apnu.2011.11.001.
Clement, S. et al. (2015) ‘What is the impact of mental health-related stigma on
help-seeking? A systematic review of quantitative and qualitative studies’, Psychological Medicine, pp. 11–27. doi: 10.1017/S0033291714000129.
Dieltjens, T. et al. (2014b) ‘A systematic literature search on psychological first aid: Lack of evidence to develop guidelines’, PLoS ONE. doi:
10.1371/journal.pone.0114714.
Everly, G. S., Barnett, D. J. and Links, J. M. (2012) ‘The johns hopkins model of psychological first aid (RAPID - PFA): Curriculum development and content validation’, International Journal of Emergency Mental Health.
Forbes, D. et al. (2011) ‘Psychological first aid following Trauma: Implementation and evaluation framework for high-risk organizations’, Psychiatry, 74(3), pp. 224–
239. doi: 10.1521/psyc.2011.74.3.224.
Fox, J. H. et al. (2012) ‘The effectiveness of psychological first aid as a disaster intervention tool: Research analysis of peer-reviewed literature from 1990- 2010’, Disaster Medicine and Public Health Preparedness, pp. 247–252. doi:
10.1001/dmp.2012.39.
Jiang, R. et al. (2020) ‘The Lancet Mental health status of doctors and nurses during COVID-19 epidemic in China Title page Mental health status of doctors and nurses during COVID-19 epidemic in China’, The Lancet.
Kang, L. et al. (2020) ‘Impact on mental health and perceptions of psychological care among medical and nursing sta ff in Wuhan during the 2019 novel coronavirus disease outbreak : A cross-sectional study’, Brain , Behavior , and Immunity, (March), pp. 1–7. doi: 10.1016/j.bbi.2020.03.028.
Kannan, S. et al. (2020) ‘COVID-19 (Novel Coronavirus 2019) - recent trends’, European Review for Medical and Pharmacological Sciences. doi:
10.26355/eurrev_202002_20378.
Kobayashi, T. et al. (2020) ‘Communicating the Risk of Death from Novel Coronavirus Disease (COVID-19)’, Journal of Clinical Medicine, 9(2), p. 580. doi:
10.3390/jcm9020580.
Lewis, V. et al. (2014b) ‘Organizational implementation of psychological first aid (PFA):
Training for managers and peers’, Psychological Trauma: Theory, Research, Practice, and Policy, 6(6), pp. 619–623. doi: 10.1037/a0032556.
Li, Z. (2020) ‘The Lancet Coping style , social support and psychological distress in the general Chinese population in the early stages of the COVID-2019 epidemic Click here to access / download Necessary additional data Title page-submit . docx’, The Lancet.
31
Mitzel, L. D. et al. (2015) ‘Depressive Symptoms Mediate the Effect of HIV-Related Stigmatization on Medication Adherence Among HIV-Infected Men Who Have Sex with Men’, AIDS and Behavior, 19(8), pp. 1454–1459. doi:
10.1007/s10461-015-1038-6.
Qiu, J. et al. (2020a) ‘A nationwide survey of psychological distress among Chinese people in the COVID-19 epidemic: Implications and policy recommendations’, General Psychiatry, 33(2), pp. 19–21. doi: 10.1136/gpsych-2020-100213.
Rodriguez-Morales, A. J. et al. (2020) ‘COVID-19 in Latin America: The implications of the first confirmed case in Brazil’, Travel Medicine and Infectious Disease. doi:
10.1016/j.tmaid.2020.101613.
Shultz, J. and Forbes, D. (2014) ‘Psychological First Aid: Rapid proliferation and the search for evidence’, Disaster Health. doi: 10.4161/dish.26006.
Sun, L. et al. (2020) ‘Prevalence and Risk Factors of Acute Posttraumatic Stress Symptoms during the COVID-19 Outbreak in Wuhan, China’, medRxiv. doi:
10.1101/2020.03.06.20032425.
Sun, N. et al. (2020) ‘A qualitative study on the psychological experience of caregivers of COVID-19 patients’, American Journal of Infection Control, 48(6), pp. 592–
598. doi: 10.1016/j.ajic.2020.03.018.
Susilo, A. et al. (2020) ‘Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan Literatur Terkini Coronavirus Disease 2019 : Review of Current Literatures’, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(1), pp. 45–67.
Wang, C., Pan, R., Wan, X., Tan, Y., Xu, L., McIntyre, R. S., et al. (2020) ‘A longitudinal study on the mental health of general population during the COVID-19 epidemic in China’, Brain, Behavior, and Immunity, 87, pp. 40–48. doi:
10.1016/j.bbi.2020.04.028.
WHO (2020) ‘Modes of transmission of virus causing COVID-19: implications for IPC precaution recommendations’, Geneva: World Health Organization;, Available.
Available at: https://www.who.int/publications-detail/modes-of-transmission- of-virus-causing-covid-19-implications-for-ipc-precaution-recommendations.
Xu, X. et al. (2017) ‘Factors Predicting Internalized Stigma Among Men Who Have Sex with Men Living with HIV in Beijing, China’, Journal of the Association of Nurses in AIDS Care, 28(1), pp. 142–153. doi: 10.1016/j.jana.2016.08.004 Ying, Y. et al. (2020) ‘Mental health status among family members of health care workers
in Ningbo, China during the Coronavirus