Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 222Pemingsanan Dua Jenis Udang menggunakan Pendingin Berbasis Thermoelectric Cooler
Firdaus Kurnia Putra*, Musthofa Lutfi, Yusuf Hendrawan
Jurusan Keteknikan Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145
*Penulis Korespondensi, Email: [email protected]
ABSTRAK
Diperlukan pengkondisian khusus pada udang dalam keadaan segar dan hidup terutama dalam transportasi jarak jauh. Penanganan udang dalam kondisi segar dan hidup dapat melalui beberapa cara, salah satunya dengan imotilisasi (pemingsanan) dengan suhu rendah secara langsung. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan waktu pemingsanan, sifat fisiologis, dan berat akhir dari udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan menggunakan variasi suhu yang berbeda menggunakan mesin pendingin berbasis thermoelectric cooler. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan 3 kali pengulangan dan 2 faktorial. Faktor pertama adalah suhu 12°C, 14°C, dan 16°C. Faktor kedua adalah varietas udang yaitu udang galah dan udang vannamei.
Parameter penelitian yang diamati adalah waktu pemingsanan, waktu penyadaran, berat awal dan akhir, kondisi fisiologis saat penurunan suhu, dan kondisi fisiologis saat pingsan. Hasil penelitian didapatkan bahwa variasi suhu rendah berpengaruh sangat nyata terhadap waktu pemingsanan udang galah dan udang vannamei dengan suhu terbaik pada suhu 12°C yaitu selama 62,83 detik. Selanjutnya variasi suhu rendah berpengaruh nyata terhadap susut bobot udang galah dan udang vannamei dengan suhu terbaik pada suhu 16°C dengan rata-rata susut bobot sebesar 0,493 gram. Selain itu perbedaan varietas yaitu udang galah dan udang vannamei terhadap susut bobot berpengaruh sangat nyata. Varietas terbaik dalam peneltian ini adalah dengan jenis udang vannamei dengan susut bobot terkecil yaitu 0,5023 gram.
Kata kunci: Pemingsanan, Suhu, Udang Galah, Udang Vannamei
Stunning Two Types of Shrimp using Thermoelectric Cooler- Based Coolers Machine
ABSTRACT
Required special conditioning on shrimp in a fresh condition and live, especially in long distance transportation. Handling shrimp in fresh and living conditions can be through several ways, one of which is by immotilization (stunning) with low temperature directly. This study aims to obtain stunning time, physiological properties, and final weight of giant prawns (Macrobrachium rosenbergii) and Vannamei shrimp (Litopenaeus vannamei) by using different temperature variations using a thermoelectric cooler based engine. This research used factorial randomized block design (RBD) with 3 repetitions and 2 factorial. The first factor is the temperature of 12°C, 14°C and 16°C. The second factor is the shrimp varieties namely Galah Shrimp and Vannamei Shrimp. The research parameters observed were stunning time, conscious time, initial and final weight, physiological conditions when the temperature dropped, and physiological conditions when fainting. The results showed that the variation of low temperature had a very significant effect on the stunning time of Galah Shrimp and Vannamei Shrimp with the best temperature at 12°C for 62.83 seconds. Furthermore, low temperature variations significantly affect the weight loss of Galah Shrimp and Vannamei Shrimp with the best temperature at 16°C with an average weight loss of 0.493 gram. In addition, differences in variety, namely Galah Shrimp and Shrimp Vannamei on weight loss have a very significant effect. The best varieties in this research are the Vannamei Shrimp with the lowest weight loss, 0.5023 gram.
Key words: Stunning, Temperature, Giant Shrimp, Vannamei Shrimp
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 223 PENDAHULUANPermintaan konsumen terhadap komoditas perikanan hidup termasuk udang meingkat pada pasar domestik maupun internasional. Ttren nilai ekspor hasil perikanan pada periode Januari- November 2017 dengan tujuan beberapa negara besar mengalami kenaikan dengan rincian Amerika Serikat naik 12.82%, Jepang naik 8.31%, ASEAN naik 3.42%, China naik 11.28%, dan Uni Eropa naik 9.38%. Hal tersebut menjadikan peluang ekspor untuk komoditi hasil perikanan dalam keadaan hidup salah satunya adalah udang. Untuk meningkatkan daya saing ekspor udang diperlukan pengkondisian khusus pada udang dalam keadaan segar dan hidup.
Pengeksporan udang dalam keadaan segar dan hidup memiliki harga jual yang tinggi yaitu mencapai 3 hingga 4 kali harga udang yang dalam keadaan mati (Suparno et al., 1994).
Permintaan konsumen terhadap udang konsumsi saat ini sudah mulai mengalami pergeseran dari udang mati (beku) menjadi udang segar dalam kondisi hidup. Ketersediaan udang yang masih hidup dan segar juga dapat mempertahankan kualitas udang tersebut. Udang merupakan salah satu komoditas utama dalam industri budidaya perikanan karena memiliki nilai ekonomis tinggi (high economic value) serta permintaan pasar tinggi (high demand product) (Lastriyanto, 2019). Adapun jenis udang yang paling populer adalah jenis udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Udang galah merupakan salah satu komoditas yang sangat potensial dari hasil perikanan air tawar. Udang galah memiliki rasa daging yang lezat sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi baik untuk konsumsi domestik maupun mancanegara. Apabila terus dikembangkan dengan intensif maka dapat menjadi daftar prioritas ekspor yang patut diperhitungkan. Semantara itu udang vannamei saat ini sudah sangat populer di kalangan pembudidaya udang dikarenakan laju pertumbuhan yang baik, harga pakan murah, serta teknologi budidayanya yang relatif sederhana sama dengan budidaya udang jenis lain.
Penanganan hasil perikanan dalam kondisi segar dan hidup dapat melalui beberapa cara, salah satunya dengan imotilisasi (pemingsanan). Imotilisasi merupakan sebuah usaha pemingsanan yang memiliki prinsip sama dengan hibernasi yaitu penekanan metabolisme suatu organisme sampai kondisi minimum agar dapat bertahan hidup lebih lama. Dengan kondisi demikian maka tingkat respirasi dan metabolisme sangat rendah, sehingga udang dapat diangkut dalam waktu yang lama. Imotilisasi udang dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu penggunaan bahan anestesi, penggunaan gas CO2, sistem kejut listrik dan penurunan suhu (suhu rendah). Metode pemingsanan dengan penurunan suhu merupakan metode yang paling aman digunakan untuk imotilisasi udang karena lebih murah dan tidak meninggalkan residu bahan kimia yang berbahaya pada udang. Pemingsanan dengan suhu rendah dapat dilakukan dengan dua acara yaitu secara langsung dan bertahap. Pemingsanan dengan penurunan suhu secara bertahap dapat menimbulkan stress pada ikan dan memerlukan waktu yang panjang hingga ikan pingsan, sedangkan dengan penurunan suhu secara langsung dapat mengurangi stress selama proses pemingsanan dan mempercepat proses pemingsanan (Nitibaskara et al., 2006).
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain alat imotilisasi udang berbasis thermoelectric cooler, styrofoam, sensor termostat digital, pH meter, aerator, timbangan digital, dan stopwatch. Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain udang galah, udang vannamei, dan air. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah udang galah dan udang vannamei dewasa berumur 3 bulan dari telur. Kondisi sampel yang diambil dalam keadaan hidup, sehat, normal dan tidak sedang berganti kulit. Udang galah diperoleh dari perairan tambak udang di Kecamatan Pandaan Kabupaten Pasuruan dengan ukuran berat 15-20 gram.
Sementara udang vannamei diperoleh dari perairan tambak udang vannamei di Dusun
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 224 Panumbukan Desa Raci Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan dengan ukuran berat 5-10 gram.Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan 3 kali pengulangan dan 2 faktor. Faktor tersebut adalah suhu dan varietas. Kemudian dilanjutkan dengan uji beda nyata menggunakan metode ANOVA (Analysis of Variance) dan uji lanjut menggunakan uji BNT (Beda Nyata Terkecil). Parameter yang diamati meliputi waktu pemingsanan, waktu penyadaran, susut bobot udang, kondisi fisiologis udang, dan kualitas air.
Metode pelaksanaan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Metode Pelaksanaan Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Waktu Pemingsanan
Waktu pemingsanan merupakan lama waktu yang dibutuhkan oleh mesin pendingin untuk mengimotilisasi udang dari kondisi awal normal hingga udang pingsan (imotil). Grafik pengukuran waktu pemingsanan pada udang galah dan udang vannamei pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik waktu pemingsanan udang galah dan udang vannamei pada variasi suhu yang berbeda
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 225 Pada Gambar 2 terlihat perbedaan antara udang galah dan udang vannamei. Udang vannamei dapat pingsan pada suhu 18°C, namun untuk udang galah suhu perlu diturunkan hingga 16°C agar udang galah dapat pingsan. Hal ini dikarenakan suhu antara 14-16°C merupakan suhu pembiusan untuk udang galah (Tampubolon dan Handini, 2009). Pada Gambar 2. terlihat bahwa pada Udang galah waktu pemingsanan paling cepat ada pada suhu 12°C yaitu selama 61,67 detik dan paling lama ada pada suhu 16°C yaitu 207,53 detik. Selanjutnya pada udang vannamei waktu pemingsanan tercepat juga ada pada suhu 12°C yaitu selama 64,6 detik dan waktu pemingsanan paling lama pada suhu 18°C yaitu 249,2 detik. Sementara itu pada pada udang galah dengan suhu 18°C tidak tercatat waktu pemingsanan dikarenakan udang galah pada suhu 18°C tidak dapat pingsan. Berbeda dengan udang vannamei yang dapat pingsan pada suhu 18°C. Sehingga dapat diketahui bahwa hubungan antara penurunan suhu dengan kecepatan waktu pemingsanan adalah berbanding lurus. Semakin rendah suhu media air maka semakin cepat udang mengalami pingsan (imotil). Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi suhu media air maka semakin lama udang mengalami pingsan.Berdasarkan hasil perhitungan Analysis of Variance (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95% (ɑ=0,05) dan 99% (ɑ=0,01) dapat diketahui hasil dari adanya varietas udang yang berbeda yaitu udang galah dan udang vannamei terhadap waktu pemingsanan adalah tidak berpengaruh nyata. Hal tersebut diketahui dari nilai Fhitung<F0,05 (0,85<4,96) dan Fhitung<F0,01
(0,85>10,04). Namun untuk variasi suhu terhadap waktu pemingsanan adalah berpengaruh sangat nyata. Hal tersebut diketahui dari nilai Fhitung>F0,05 (11,62<4,1) dan Fhitung<F0,01
(11,62>7,56). Uji ANOVA telah menunjukkan adanya pengaruh sangat nyata secara statistik, maka dilakukan uji lanjut BNT untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar tiap individu perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji BNT pada Perlakuan Suhu Terhadap Waktu Pemingsanan
Suhu Rata-rata
12 °C 62,8333a
14 °C 97,033a
16 °C 175,1b
Nilai BNT = 106,959
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan suhu 12°C berbeda signifikan dengan perlakuan suhu 16°C. Hal ini dapat terjadi dikarenakan perlakuan 12°C dan 16°C memiliki simbol notasi yang berbeda. Begitu juga pada perlakuan suhu 14°C yang berbeda signifikan dengan perlakuan suhu 16°C karena memiliki simbol notasi yang berbeda. Sementara itu perlakuan suhu 12°C tidak berbeda signifikan dengan perlakuan suhu 14°C, karena masing- masing perlakuan tersebut memiliki notasi yang sama. Perlakuan dengan notasi yang berbeda menunjukkan bahwa pada perlakuan tersebut terdapat range (jarak) atau perbedaan waktu yang signifikan antara perlakuan satu dengan yang lainnya. Sehingga dapat diketahui perlakuan terbaik ada pada pemberian suhu terendah dengan waktu pemingsanan paling cepat yaitu pada perlakuan suhu 12°C yang disimbolkan dengan notasi a yaitu selama 62,8333 detik. Perlakuan terbaik didasarkan oleh kecepatan waktu pemingsanan udang. Semakin cepat udang mencapai kondisi pingsan maka dapat menekan tingkat kematian udang selama proses transportasi.
Menurut Utomo (2001), Ikan yang cepat pingsan akan mengurangi dari keadaan stress, kecepatan metabolisme dan penggunaan oksigen. Kondisi tersebut dapat merendahkan tingkat kematian sehingga memungkinkan dilakukan pengangkutan jarak jauh dan meningkatkan
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 226 kepadatan dalam kemasan. Udang yang mengalami fase panik dan gelisah ditandai dengan meningkatnya respon dan perilaku udang yang hiper responsif pada stimulasi sentuhan, kemudian memicu udang untuk bergerak mundur dengan cepat dan menabrak dinding box.Apabila udang mengalami fase panik dan gelisah dalam jangka waktu yang lama maka akan memiliki kondisi yang lebih lemah sehingga mempengaruhi keberhasilan hidup selama pengangkutan.
Menurut Kusumaningtyas et al. (2014), menyebutkan bahwa adanya perubahan suhu permukaan air dapat berpengaruh terhadap proses fisik, kimia dan biologi di perairan tersebut.
Salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di perairan adalah suhu. Suhu merupakan salah satu faktor eksternal yang paling mudah untuk diteliti dan ditentukan. Suhu berpengaruh terhadap kelarutan oksigen dalam air, proses metabolisme dan reaksi-reaksi kimia dalam perairan (Gazali, 2013). Sehingga apabila terjadi perubahan atau penurunan suhu air dapat mempengaruhi kondisi biota yang ada di dalamnya. Adanya perubahan suhu yang sangat besar juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup udang. Menurut Wijayanti et al. (2011), suhu media yang dingin secara langsung akan mempengaruhi suhu badan dan suhu darah, semakin dingin suhu darah maka tingkat viskositas darah akan mengental dan mengakibatkan aliran darah yang lebih lambat. Apabila aliran darah berjalan lebih lambat maka dapat mempengaruhi tingkat kesadaran udang. Suhu rendah menyebabkan stres pada pernapasan udang dengan ditandai menurunnya laju pernapasan dan denyut jantung sehingga memicu terjadinya kondisi pingsan (imotil) udang akibat kekurangan oksigen. Pada proses pemingsanan udang terlihat adanya interaksi pada respon udang yang menurun sehingga tingkat respirasi udang juga menurun. Penurunan laju respirasi akan mengganggu proses metabolisme udang.
Ketika tingkat metabolisme udang rendah dapat menyebabkan udang tidak mampu menanggapi respon dari luar dikarenakan penurunan mekanisme kerja otak yang menurun akibat kekurangan oksigen dan dapat melumpuhkan sitem saraf motorik udang (Hu, 2001).
Susut Bobot
Susut bobot merupakan selisih antara massa awal dikurangi dengan massa akhir, dimana massa awal udang ditimbang pada kondisi sadar (normal) dan ditimbang kembali setelah diberi proses penyadaran. Grafik pengukuran susut bobot pada udang galah dan udang vannamei pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Grafik susut bobot udang galah dan udang vannamei pada variasi suhu yang berbeda
Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa tidak ada pengambilan data udang galah pada suhu 18°C dikarenakan udang galah tidak pingsan dalam suhu tersebut, namun dapat diamati mulai pada suhu 16°C. Berdasarkan grafik terlihat bahwa dengan adanya perlakuan suhu rendah yang berbeda pada proses pemingsanan udang berpengaruh pada perbedaan besar susut bobot udang
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 227 galah dan udang vannamei. Semakin rendah suhu pemingsanan maka susut bobot udang akan semakin besar. Susut bobot tertinggi pada udang galah terjadi pada suhu 12°C yaitu sebesar 1,518 gram dan susut bobot terendah pada suhu 16°C sebesar 0,699 gram. Hal yang sama terjadi pada udang vannamei, dimana susut bobot tertinggi ada pada suhu 12°C sebesar 0,816 gram, namun yang terendah pada suhu 18°C sebesar 0,261 gram. Sehingga dapat diketahui bahwa hubungan antara penurunan suhu dengan susut bobot adalah berbanding terbalik. Semakin rendah suhu media air maka semakin tinggi atau besar susut bobot udang. Begitu pula sebaliknya, Semakin tinggi suhu media air maka semakin rendah susut bobot pada udang.Berdasarkan hasil perhitungan Analysis of Variance (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95% (ɑ=0,05) dan 99% (ɑ=0,01) dapat diketahui bahwa dengan adanya perbedaan varietas udang yaitu udang galah dan udang vannamei terhadap susut bobot adalah berpengaruh sangat nyata. Hal tersebut diketahui dari nilai Fhitung>F0,05 (13,07<4,96) dan Fhitung>F0,01
(13,07>10,04). Sementara itu pada perlakuan variasi suhu terhadap susut bobot adalah berpengaruh nyata. Hal tersebut diketahui dari nilai Fhitung>F0,05 (4,91<4,1) dan Fhitung<F0,01
(4,91<7,56). Uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh yang nyata secara statistik, maka dilakukan uji lanjut BNT untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar tiap individu perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini.
Tabel 2. Hasil Uji BNT pada Perlakuan Suhu Terhadap Susut Bobot
Suhu Rata-rata
16 °C 0,493333a
14 °C 0,799333a
12 °C 1,167333a
Nilai BNT = 2,145
Tabel 3. Hasil Uji BNT pada Perbedaan Varietas Udang Terhadap Susut Bobot
Varietas Rata-rata
vannamei 0,502222a
galah 1,137778a
Nilai BNT = 3,051
Pada Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan tiap suhu yang berbeda yaitu 12°C, 14°C, dan 16°C tidak berbeda siginifikan terhadap susut bobot udang karena memiliki notasi yang sama yaitu a. Perlakuan dengan notasi yang sama menunjukkan bahwa tidak ada range (jarak) atau perbedaan yang signifikan terhadap susut bobot antara perlakuan tiap suhu satu dengan yang lainnya. Perlakuan terbaik ada pada pemberian suhu tertinggi dan waktu pemingsanan paling lama yaitu pada perlakuan suhu 16°C dengan rata-rata susut bobot sebesar 0,493 gram.
Perlakuan terbaik didasarkan oleh besar kecilnya susut bobot setelah proses pemingsanan udang. Suhu terbaik pada parameter susut bobot adalah pada suhu 16°C dengan rata-rata susut bobot sebesar 0,493 gram. Semakin kecil susut bobot udang maka semakin kecil pula penurunan kualitas udang, hali ini terjadi karena udang tidak membutuhkan banyak energi dalam menghadapi stress yang diakibatkan oleh perubahan suhu yang ekstrim. Bobot udang merupakan salah satu parameter penting yang menjadi pusat perhatian konsumen selain keberhasilan hidup. Transportasi biota hidup dapat dikatakan berhasil apabila selama transportasi hanya sedikit mengalami kehilangan bobot karena menandakan udang dalam
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 228 kondisi yang baik. Keberhasilan pengangkutan udang hidup dipengaruhi sifat fisiologi, ukuran, mutu udang menjelang pengangkutan, kepadatan udang, dan lama pengangkutan (Suryaningrum et al., 2000).Selanjutnya pada Tabel 3 menunjukkan bahwa varietas udang yang digunakan tidak berbeda secara signifikan terhadap susut bobot karena memiliki notasi yang sama. Perlakuan dengan notasi yang sama menunjukkan bahwa pada perlakuan dengan varietas yang berbeda tidak terdapat jarak atau perbedaan susut bobot yang signifikan antara udang galah dan udang vannamei. Varietas terbaik dalam peneltian ini adalah dengan jenis udang vannamei. Varietas terbaik udang ditentukan oleh susut bobot terkecil. Susut bobot terkecil pada penelitian ini ada pada udang vannamei yaitu dengan rata-rata 0,5023 gram. Susut bobot udang vannamei lebih kecil jika dibandingkan dengan udang galah dengan rata-rata penyusutan sebesar 1,137 gram.
Susut bobot yang kecil menandakan udang tersebut hanya sedikit mengalami stres sehingga dapat memperbesar peluang keberhasilan hidup selama proses transportasi. Apabila udang mengalami tingkat stres yang tinggi maka persentase keberhasilan hidup akan menurun.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Wijayanti et al. (2011) yang menyebutkan bahwa penurunan berat badan tersebut disebabkan oleh terjadinya stress akibat penurunan suhu lingkungan (thermal stress) yang disebabkan suhu air di luar rentang suhu optimal. Sehingga apabila terjadi penurunan suhu dapat memicu terjadinya stres yang berpotensi menurunkan daya tahan tubuh udang karena membutuhkan energi yang besar. Stres dapat menyebabkan penyusutan bobot pada udang karena terjadi penggunaan cadangan energi dalam bentuk karbohidrat (glikogen), lemak dan protein saat stress. Penyebab stres diantaranya adalah terjadinya perubahan baik dari eksternal maupun internal. Perubahan eksternal yang dapat menimbulkan respon stres diantaranya adalah fluktuasi suhu, kekurangan oksigen, dan pada waktu transportasi (Masjudi et al., 2016). Bobot udang mengalami penurunan kemungkinan juga terjadi karena aktivitas udang yang semakin meningkat. Ketika suhu dinaikkan, maka metabolisme tubuh udang meningkat pula. Selain itu semakin tinggi suhu air maka semakin sedikit oksigen dapat larut. Akhirnya udang yang berada dalam box sterofoam kekurangan oksigen, metabolisme terhambat dan bobot tubuh berkurang (Lesmana, 2001).
Waktu Penyadaran
Waktu penyadaran adalah lama waktu yang dibutuhkan udang kembali sadar (normal) dari awal keadaan pingsan (imotil). Pengukuran waktu penyadaran pada udang galah dan udang vannamei pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik waktu penyadaran udang galah dan udang vannamei pada variasi suhu yang berbeda
Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa tidak ada pengambilan data udang galah pada suhu 18°C dikarenakan udang galah tidak pingsan dalam suhu tersebut, namun dapat diamati
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 229 mulai pada suhu 16°C. Waktu penyadaran udang galah paling lama terjadi pada perlakuan suhu 16°C yaitu selama 419,93 detik dan paling lama pada perlakuan suhu 14°C selama 62,46 detik.Sementara itu pada udang vannamei waktu penyadaran paling cepat terjadi pada perlakuan suhu 18°C yaitu selama 28,86 detik dan paling lama pada perlakuan suhu 12°C yaitu 111,4 detik.
Berdasarkan grafik juga terlihat bahwa hubungan antara penurunan suhu pemingsanan terhadap waktu penyadaran udang galah dan udang vannamei adalah berbanding terbalik. Semakin rendah suhu pemingsanan maka semakin lama waktu penyadaran udang. Rata-rata waktu penyadaran tercepat adalah pada udang vannamei dan paling lama adalah udang galah.
Menurut Munandar (2014), lama waktu penyadaran biota perikanan setelah proses pemingsanan membutuhkan waktu rata-rata kurang lebih selama 5 menit. Pada penelitian yang telah dilakukan menggunakan 2 varietas udang yang berbeda yaitu udang galah sebagai udang air tawar dan udang vannamei sebagai udang air payau didapatkan hasil waktu penyadaran kurang dari 5 menit. Namun pada perlakuan suhu 14°C waktu penyadaran udang didapat waktu yang cukup lama yaitu 239,43 detik. Waktu penyadaran yang lama ini tidak lepas dari beberapa faktor seperti suhu, suplai oksigen, dan kondisi udang.
Faktor pertama yang mempengaruhi penyadaran udang adalah suhu dan suplai oksigen.
Semakin tinggi suhu media air maka waktu penyadaran udang semakin cepat. Menurut Karnila et al. (1999), dengan suhu yang tinggi udang akan cepat sadar dan aktivitasnya tinggi. Makin tinggi aktivitas udang, baik aktivitas fisik maupun metabolisme menuntut ketersediaan oksigen yang tinggi sehingga dibutuhkan suplai oksigen yang mencukupi, salah satunya dengan menggunakan aerator. Dengan adanya aerator selama proses penyadaran maka udang akan mendapat pasokan oksigen yang cukup. Jika saat proses penyadaran udang tidak mendapat suplai oksigen yang cukup maka akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk udang kembali sadar setelah pingsan. Menurut Susanto et a.l (2014), apabila saat udang pingsan dan ikan tidak mengalami kekurangan oksigen yang terlalu banyak, maka proses penyadaran membutuhkan waktu yang singkat.
Faktor kedua adalah kondisi udang. Kondisi udang sehat dan normal (tidak sedang berganti kulit) akan memiliki kekebalan tubuh yang baik daripada udang dengan kondisi yang lemah terutama sedang berganti kulit. Udang dengan kondisi yang sehat dan normal hanya akan sedikit mengalami stress daripada udang dengan keadaan lemah (berganti kulit). Pada penelitian ini terdapat proses pengkondisian udang setelah panen di tambak. Pengkondisian tersebut adalah dengan pemuasaan udang selama 24 jam dan udang ditempatkan pada beberapa box plastik.
Dalam tiap box plastik memiliki tingkat kepadatan jumlah udang yang cukup tinggi sehingga ada kecenderungan tiap udang saling menyerang satu sama lain dikarenakan udang termasuk jenis hewan yang memiliki sifat kanibalisme. Menurut Setyono (2006), kondisi lobster atau udang menjadi sangat lemah pada saat berganti kulit dan perlu tempat berlindung untuk menghindari serangan (kanibalisme) dari teman-temannya. Udang dengan kondisi yang lemah lebih rentan stress sehingga dapat mempengaruhi pada proses penyadaran.
Sementara itu berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap parameter waktu pemingsanan dan waktu penyadaran udang didapatkan hubungan antara waktu pemingsanan dan waktu penyadaran udang. Hubungan antara waktu pemingsanan dan waktu penyadaran telah disajikan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 5.
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 230 Gambar 5. Hubungan antara Waktu Pemingsanan dan Waktu Penyadaran UdangBerdasarkan Gambar 5. dapat diketahui bahwa hubungan antara waktu pemingsanan dan waktu penyadaran udang yaitu berbanding terbalik. Semakin cepat udang pingsan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan udang untuk sadar, begitu pula sebaliknya. Semakin lama udang pingsan maka akan semakin cepat udang sadar kembali. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa apabila suhu media yang dingin secara langsung akan mempengaruhi suhu badan dan suhu darah, semakin dingin suhu darah maka tingkat viskositas darah akan mengental dan mengakibatkan aliran darah yang lebih lambat (Wijayanti et al., 2011). Apabila aliran darah berjalan lebih lambat maka dapat mempengaruhi tingkat kesadaran udang. Semakin dingin suhu air maka dapat menyebabkan aliran darah yang semakin melambat sehingga udang membutuhkan waktu yang semakin lama untuk sadar.
Kualitas Air
Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan data untuk parameter penunjang yaitu kualitas air selama proses pemingsanan dan penyadaran udang. Kualitas air selama proses pemingsanan dapat dilihat pada Tabel 4. Sementara kualitas air selama proses penyadaran dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Hasil pengukuran parameter kualitas air media uji pada proses pemingsanan
Perlakuan Varietas Suhu (°C) pH
Sebelum udang galah
12 14 16
7 7 7
Sesudah udang galah
12 14 16
6,8 6,8 6,9
Sebelum udang vannamei
12 14 16 18
7,9 7,9 7,9 7,9
Sesudah udang vannamei
12 14 16 18
7,7 7,7 7,8 7,8
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 231 Tabel 5. Hasil pengukuran parameter kualitas air media uji pada proses pemingsananPerlakuan Varietas Suhu (°C) pH
Sebelum udang galah 27 7
Sesudah udang galah 27 7
Sebelum udang vannamei 28 7,9
Sesudah udang vannamei 28 7,9
Terdapat 3 level suhu yang terukur pada saat pemingsanan udang galah yaitu 12, 14, dan 16 °C dan 4 level suhu yaitu 12, 14, 16, dan 18 °C untuk udang vannamei. Derajat keasaman (pH) dan suhu diukur pada waktu awal sebelum dan sesudah pemingsanan serta penyadaran.
Pada awal pemingsanan udang galah dengan suhu 12 dan 14 °C tercatat pH sebesar 7 lalu turun menjadi 6,8. Kemudian pada suhu 16 °C pH awal tercatat 7 lalu kemudian turun setelah proses pemingsanan menjadi 6,9. Sementara pada udang vannamei pada awal pemingsanan dengan suhu 16 dan 18 °C tercatat pH sebesar 7,9 dan turun menjadi 7,8 setelah proses pemingsanan.
Kemudian pada suhu 12 dan 14 °C tercatat pH awal yaitu 7,9 lalu turun menjadi 7,7 setelah proses pemingsanan. Terlihat bahwa terjadi penurunan pH setelah air digunakan dalam proses pemingsanan.
Penurunan nilai pH ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti buangan metabolisme udang dan peningkatan kadar CO2. Pada saat udang telah pingsan kondisi air pemingsanan tampak sedikit lebih keruh. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya zat keluaran (eksresi) hasil dari metabolisme dari udang selama proses pemingsanan. Menurut Jumaidi et al. (2017), Meningkatnya buangan metabolisme kemudian terjadi proses dekomposisi sehingga menyebabkan perairan menjadikan perairan memiliki kandungan asam. Buangan metabolisme tersebut dapat berupa kotoran (feses), urine, maupun cairan lain hasil ekskresi. Hasil eksresi dari udang tersebut selanjutnya memicu munculnya kandungan ammonia, dimana sumber utama ammonia berasal dari eksresi udang (Nasir dan Khalil, 2016). Selain itu faktor peningkatan kandungan CO2 dapat mempengaruhi pH suatu perairan. Menurut Abdullah (2012), Peningkatan CO2 dalam air dapat mempengaruhi derajat keasaman air. Peningkatan CO2 tersebut berasal dari proses metabolisme akan meningkat menjelang udang pingsan (Yanto 2012).
Suhu dan pH yang tercatat pada penyadaran udang galah dan udang vannamei tidak mengalami perubahan pada awal penyadaran hingga akhir penyadaran. Suhu 12, 14, 16, dan 18°C aman digunakan untuk proses pemingsanan dikarenakan suhu tersebut masih dalam batas toleransi kehidupan udang galah dan udang vannamei. Begitu juga pada suhu saat proses penyadaran ada pada interval 27-28°C merupakan suhu yang cukup baik untuk digunakan penyadaran pada udang. Hal ini didukung dengan literatur yang menyebutkan bahwa proses penyadaran pada ikan dapat dilakukan dengan cara memasukkan ikan yang berada dalam keadaan pingsan ke dalam air yang bersuhu normal (± 27°C) (Sufianto, 2008). Sehingga dapat dikatakan bahwa suhu normal berkisar 27-28°C cukup menunjang keberhasilan dalam pengujian yang dilakukan.
Sementara itu untuk nilai kadar pH air yang terukur pada proses pemingsanan udang galah sebesar 7 dan untuk udang vannamei sebesar 7,5. Sementara itu kadar pH air yang terukur pada proses penyadaran yaitu sebesar 7 untuk udang galah dan 8 untuk udang vannamei. Nilai pH 7-8 termasuk dalam nilai pH netral dimana dengan pH netral sangat menunjang proses
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 232 keberhasilan pengujian. Nilai pH diantara 7-8,5 ideal untuk produktivitas makhluk hidup, salah satunya adalah jenis ikan dan udang. Menurut Saputra (2015), Nilai pH selama pemeliharaan udang galah dan ikan tambakan berkisar antara 6,60-8,07. Ikan dapat stres pada pH terlalu asam yaitu sebesar 4-6,5 ataupun terlalu basa yaitu 9-11 (Bhatnagar dan Devi, 2013). Ikan dapat mati pada pH kurang dari 4 atau lebih dari 11. Menurut Odum (1971), nilai pH antara 6,5 – 8,0 merupakan batas aman pH. PH dalam keadaan netral menunjukkan kualitas suatu perairan dalam kondisi yang baik. Kelangsungan hidup organisme akan berbahaya apabila kondisi perairan memiliki kandungan pH yang sangat basa maupun sangat asam karena akan mengganggu proses metabolisme dan respirasi (Hamuna et al, 2018).KESIMPULAN
Pemberian variasi suhu rendah yang berbeda yaitu 12°C, 14°C, dan 16°C berpengaruh sangat nyata terhadap waktu pemingsanan udang galah dan udang vannamei. Semakin rendah suhu media air maka semakin cepat udang mengalami pingsan (imotil), begitu pula sebaliknya.
Suhu terbaik pada parameter waktu pemingsanan adalah pada suhu 12°C dengan waktu pemingsanan selama 62,83 detik. Selanjutnya perbedaan varietas udang yaitu udang galah dan udang vannamei terhadap waktu pemingsanan tidak berpengaruh nyata. Sementara itu pada parameter susut bobot pemberian variasi suhu rendah yang berbeda adalah berpengaruh nyata.
Semakin rendah suhu media air maka semakin tinggi susut bobot udang, begitu pula sebaliknya.
Suhu terbaik pada parameter susut bobot adalah pada suhu 16°C dengan rata-rata susut bobot sebesar 0,493 gram. Selain itu perbedaan varietas udang yaitu udang galah dan udang vannamei terhadap susut bobot juga berpengaruh sangat nyata. Varietas terbaik dalam peneltian ini adalah dengan jenis udang vannamei dengan susut bobot terkecil yaitu 0,5023 gram.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada kedua orang tua yang selalu memberikan dorongan dan motivasi, serta kepada pembimbing yang telah memberikan masukan kritik dan saran selama proses penulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah R. R. 2012. Teknik imotilisasi menggunakan ekstrak hati batang pisang (Musa spp) dalam simulasi transportasi kering ikan bawal air tawar (Collosoma macropomum) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Bhatnagar, A., P. Devi. 2013. Water Quality Guidelines for The Management of Pond Fish Culture. International Journal of Environmental Sciences, vol. 3 no. 6 pp 1980-2009 Gazali, I., Widiatmono, B. R., dan Wirosoedarmo, R. 2013. Evaluasi Dampak Pembuangan
Limbah Cair Pabrik Kertas Terhadap Kualitas Air Sungai Klinter Kabupaten Nganjuk.
Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem vol. 1 no. 2 pp. 1-8
Hu H and Wu MX. 2001. Mechanism of Anestetic Action: Oxygen Pathway Perturbation Hypothesis. Med Hypotheses vol. 57 no. 5 pp. 619-627
Jumaidi, A., Yulianto, H., & Efendi, E. 2017. Pengaruh Debit Air terhadap Perbaikan Kualitas Air pada Sistem Resirkulasi dan Hubungannya dengan Sintasan dan Pertumbuhan Benih Ikan Gurame (Oshpronemus gouramy). e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan, vol. 5 no. 2 pp. 587-596
Karnila, R., Herodian, S., Astawan, M., dan Nitibaskara, R. R. 1999. Pengaruh Suhu Dan Waktu Pembiusan Bertahap Terhadap Kelulusan Hidup Udang Windu Tambak (Penaeus
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 233 Monodon Fab.) Selama Transport Asi Sistem Kering. Buletin Keteknikan Pertanian 13(1).Institut Pertanian Bogor
Kusumaningtyas, M.A., Bramawanto, R., Daulat, A., dan Pranowo, W.S. 2014. Kualitas Perairan Natuna Pada Musim Transisi. Depik.vol. 3 no. 1 pp. 10-20
Lastriyanto, A., Maharani, D. M., Hendrawan, Y., dan Firdaus, R. 2019. Pengaruh Suhu dan Ketebalan Irisan Bakso Udang Terhadap Sifat Kimia Keripik Bakso Udang Menggunakan Mesin Vacuum Frying. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. vol 7 no. 1 pp.
78-86
Lesmana, D.S. 2001. Kualitas Air untuk Ikan Hias Air Tawar. Jakarta: Penebar Swadaya
Masjudi, H., Tang, U.M. dan Syawal, H., 2016. Kajian Tingkat Stres Ikan Tapah (Wallago Leeri) yang Dipelihara Dengan Pemberian Pakan dan Suhu Yang Berbeda. Berkala Perikanan Terubuk, vol. 44 no. 3 pp. 69-83
Munandar, A., Indaryanto, F. R., Prestisia, H. N., dan Muhdani, N. 2017. Potensi Ekstrak Daun Picung (Pangium edule) sebagai Bahan Pemingsan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Transportasi Sistem Kering. Jurnal FishtecH, vol. 6 no. 2 pp. 107-114
Nitibaskara R, Wibowo S, Uju. 2006. Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup untuk Konsumsi. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor
Saputra, M. A. 2015. Perbaikan Kualitas Air Pada Pembesaran Udang galah Dengan Kepadatan Berbeda Berbasis Integrated Multi Trophic Aquaculture. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Setyono, D.E.D., 2006. Budidaya Pembesaran Udang Karang (Panulirus Spp.). Jurnal Oseana, vol. 31 no. 4 pp.39-48
Sufianto, B. 2008. Uji Transportasi Ikan Maskok (Carassius Auratus Linnaeus) Hidup Sistem Kering dengan Perlakuan Suhu dan Penurunan Konsentrasi Oksigen. [Tesis]. Program Studi Teknologi Pasca Panen. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Suparno, J. Basmal, I. Muljanah, dan S. Wibowo. 1994. Pengaruh Suhu Dan Waktu Pembiusan Dengan Pendinginan Bertahap Terhadap Ketahanan Hidup Windu Tambak (Penuetrs Monodon Fab.) Dalam Transportasi Sistim Kering. Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan, vol. 79 pp. 73-78.
Suryaningrum, T.D., A. Sari, dan N. Indiarti. 2000. Pengaruh Kapasitas Angkut Terhadap Sintasan dan Kondisi Ikan pada Transportasi Kerapu Hidup Sistim Basah. Proseding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan Jakarta. P: 259-268.
Susanto H, Taqwa FH, dan Yulisman. 2014. Pengaruh Lama Waktu Pingsan Saat Pengangkutan Dengan Sitem Kering Terhadap Kelulusan Hidup Benih Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. Vol. 2 no. 2 pp. 202-2014
Tampubolon, K., dan Handini, W. 2009. Teknik Pembiusan Menggunakan Suhu Rendah Pada Sistem Transportasi Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) Tanpa Media Air. Seminar Nasional Perikanan Indonesia. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta.
Wijayanti, I., Tapotabun, E. J., Salim, A., Nuer’aenaj, N., Litaay, C., Putri, R. M. S., dan Suwandi, R. 2011. Pengaruh Temperatur Terhadap Kondisi Anastesi Pada Bawal Tawar (Colossoma Macropomum) Dan Lobster Tawar (Cherax Quadricarinatus). Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Pulau-Pulau Kecil, 2(7), 67-76
Wijayanti, I., Tapotabun, E. J., Salim, A., Nuer’aenaj, N., Litaay, C., Putri, R. M. S., dan Suwandi, R. 2011. Pengaruh Temperatur Terhadap Kondisi Anastesi Pada Bawal Tawar
Pemingsanan Udang Thermoelectric Cooler
-
Putra dkk. 234 (Colossoma Macropomum) Dan Lobster Tawar (Cherax Quadricarinatus). Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Pulau-Pulau Kecil, 2(7), 67-76Yanto H. 2012. Kinerja MS-222 dan Kepadatan Ikan Botia (Botia Macracanthus) Yang Berbeda Selama Transportasi. Jurnal Penelitian Perikanan vol. 1 no. 1 pp. 43-51