• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengawetan Menggunakan Metode Penggaraman 0%, 5%, dan 10% (w/w) Terhadap Kualitas dan Umur Simpan Udang Kaki Putih (Litopenaeus vannamei) Dengan Variasi Suhu Penyimpanan

N/A
N/A
Amanda Korda

Academic year: 2023

Membagikan "Pengaruh Pengawetan Menggunakan Metode Penggaraman 0%, 5%, dan 10% (w/w) Terhadap Kualitas dan Umur Simpan Udang Kaki Putih (Litopenaeus vannamei) Dengan Variasi Suhu Penyimpanan"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 | Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Pengaruh Pengawetan Menggunakan Metode Penggaraman 0%, 5%, dan 10% (w/w) Terhadap Kualitas dan Umur Simpan Udang Kaki Putih (Litopenaeus vannamei) Dengan Variasi Suhu Penyimpanan

Amanda Alifia Devardiani Korda.*; Kamarisima; Noor Rahmawati

Program Studi Teknologi Pasca Panen, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB), Jalan Jl. Let. Jend. Purn. Dr. (HC) Mashudi No.1, Sayang, Kec. Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat 45363, Indonesia

*penulis korespondensi: 11920023@mahasiswa.itb.ac.id.

ABSTRAK

Udang vaname atau udang kaki putih (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu produk perikanan yang memiliki banyak kandungan manfaat bagi kesehatan tubuh manusia, namun sangat mudah mengalami pembusukan karena sifatnya yang perishable. Beberapa indikator seperti warna udang menjadi kusam dan memerah, timbul bau busuk, dan teksturnya yang lunak menunjukkan bahwa udang sudah tidak lagi dapat dikonsumsi. Diperlukan penanganan yang tepat supaya udang dapat dipertahankan kualitasnya dan memiliki umur simpan yang lebih panjang. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan adalah pengawetan menggunakan teknik penggaraman dan penyimpanan pada suhu dingin/beku. Teknik penggaraman merupakan suatu teknik pengawetan dengan pemberian garam pada produk dalam jumlah tertentu, sehingga produk yang dihasilkan dapat memiliki umur simpan yang lebih panjang. Sedangkan penyimpanan pada suhu dingin/beku dapat menyebabkan produk mengalami penghambatan reaksi enzimatis penyebab kerusakan dan kebusukan.

Pengawetan udang pada penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan garam pada udang lalu disimpan menggunakan suhu penyimpanan yang telah ditentukan. Adapun variasi jumlah garam yang digunakan pada penelitian ini adalah 0%, 5%, dan 10% (w/w) serta suhu yang digunakan untuk penyimpanan, antara lain suhu ruang (25±2°C), suhu dingin (6±2°C), dan suhu beku (-20±2°C). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengawetan dalam menentukan batas umur simpan udang dengan kualitas yang dapat diterima berdasarkan evaluasi sensori, perubahan susut bobot, nilai pH, jumlah mikroba yang tumbuh, dan konsentrasi protein. Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh bahwa pengawetan udang menggunakan teknik penggaraman rata-rata dapat mempertahankan mutunya 2 hingga 3 hari.

Kata Kunci: Udang, pengawetan, penggaraman, penyimpanan

ABSTRACT

Vaname shrimp or white-footed shrimp (Litopenaeus vannamei) is one of the fishery products that has many benefits for human health, but it is very easy to spoil because of its perishable nature. Some indicators such as the color of the shrimp becomes dull and reddened, there is a foul odor, and the texture is soft, indicating that the shrimp is no longer consumable.

Proper handling is needed so that shrimp can maintain its quality and have a longer shelf life. One of the treatments that can be done is preservation using salting techniques and storage at cold/frozen temperatures. Salting technique is a preservation technique by giving salt to the product in a certain amount, so that the resulting product can have a longer shelf life. While storage at cold/frozen temperatures can cause the product to experience inhibition of enzymatic reactions that cause damage and spoilage. Shrimp preservation in this study was carried out by giving salt to shrimp and then stored using a predetermined storage temperature. The variations in the amount of salt used in this study were 0%, 5%, and 10% (w/w) and the temperature used for storage, including room temperature (25 ± 2°C), cold temperature (6 ± 2°C), and freezing temperature (-20 ± 2°C). This study aims to analyze the effect of preservation in determining the shelf life of shrimp with acceptable quality based on sensory evaluation, weight loss changes, pH value, number of microbes growing, and protein concentration. Based on the test results, it was found that preservation of shrimp using salting techniques can maintain its quality for 2 to 3 days on average.

Keywords: Shrimp, preservation, salting, storage

PENDAHULUAN

Udang merupakan salah satu jenis komoditas perikanan di Indonesia yang mendapatkan peluang besar dalam pengembangannya. Saat ini Indonesia telah menempati posisi ketiga sebagai negara dengan tingkat ekspor terbesar di dunia setelah Thailand dan India. Terdapat beragam jenis udang yang dibudidayakan, seperti udang windu, udang vaname, dan jenis udang lainnya. Jenis udang vaname atau udang kaki putih (Litopenaeus vannamei) menjadi jenis udang unggulan ekspor di Indonesia karena mempunyai kandungan gizi yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. Banyaknya

penambak udang yang memilih jenis vaname dikarenakan oleh udang vaname yang dapat hidup pada salinitas yang luas, mudah beradaptasi di suhu rendah, dan tingkat kelangsungan hidupnya yang tinggi (Jayanti, 2022).

Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKP, 2020), andalan sektor perikanan budidaya dan prioritas pengembangan akuakultur di Indonesia pada perekonomian sosial adalah budidaya udang vaname.

Pada periode tahun 2012 hingga 2018, Indonesia telah melakukan kontribusi ekspor dengan rata-rata nilai yang

(2)

2 | Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati mencapai 36,27%. Lalu pada tahun 2020, produksi

budidaya udang vaname di Indonesia mencapai angka 911,2 ribu ton dengan kontribusi terhadap total volume ekspor hasil perikanan sebesar 18,95% (Badan Pusat Statistik, 2019). Hal tersebut menunjukkan bahwa komoditas udang di Indonesia mempunyai peran yang signifikan terhadap kinerja ekspor perikanan (Jayanti, 2022).

Udang vaname atau biasa disebut udang kaki putih (Litopenaeus vannamei) merupakan jenis hewan yang hidup di perairan, seperti laut dan danau. Udang vaname memiliki karakteristik tubuh yang dibungkus kulit tipis keras dari bahan chitin yang berwarna putih kekuningan dengan kaki berwarna putih. Udang ini juga memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan udang jenis lain, seperti udang windu ataupun udang jrebug. Banyak masyarakat yang mengonsumsi udang jenis ini. Selain karena banyaknya masyarakat yang menggemari seafood, udang juga diketahui memiliki banyak kandungan yang baik bagi kesehatan. Bagian daging udang mengandung kalsium, potassium, dan fosfor yang merupakan sumber vitamin A dan E. Selain itu, udang juga merupakan sumber makanan laut dengan kandungan asam lemak omega 3 yang dapat membantu mengurangi peradangan dan risiko penyakit jantung (Ramadhan, 2021; Megumi, 2019). Akan tetapi, meskipun udang mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan tubuh manusia, udang merupakan salah satu komoditas perikanan yang sangat mudah mengalami pembusukan. Sehingga diperlukan proses produksi yang tepat supaya mutu dan keamanan udang tetap baik dan segar ketika dikonsumsi. Mengingat banyaknya jumlah peminat udang vaname, diperlukan upaya penanganan untuk menghambat proses pembusukan, salah satunya dengan melakukan pengawetan (Novitasari dan Rizki, 2016).

Terdapat beragam jenis pengawetan yang dapat dilakukan terhadap produk perikanan khususnya udang, seperti teknik penggaraman dan penyimpanan menggunakan teknik pendinginan/pembekuan. Teknik penggaraman merupakan salah satu metode pengawetan yang dilakukan dengan adanya penambahan garam pada produk dalam jumlah tertentu. Penggaraman merupakan salah satu teknik sederhana dalam upaya mengawetkan produk perikanan, sehingga produk yang dihasilkan memiliki umur simpan yang lebih panjang. Selain itu, pengawetan produk perikanan menggunakan metode penyimpanan pada suhu dingin dan suhu beku juga umum dilakukan dalam upaya menjaga kualitas produk.

Produk yang disimpan pada suhu beku dapat mengalami penghambatan reaksi enzimatis serta reaksi kimia penyebab kerusakan dan kebusukan. Sedangkan produk yang disimpan pada suhu dingin akan memiliki kondisi pertumbuhan bakteri pembusuk dan proses biokimia yang berkaitan dengan kemunduran mutu akan menjadi lebih lambat (Kresnasari, 2021).

Oleh karena itu, penelitian dengan judul “Pengaruh Pengawetan Menggunakan Metode Penggaraman 0%, 5%, dan 10% (w/w) Terhadap Kualitas dan Umur Simpan Udang Kaki Putih (Litopenaeus vannamei) Dengan Variasi Suhu Penyimpanan” ini penting untuk

dilakukan. Adapun tujuan dilakukkannya penelitian ini adalah untuk menentukan mutu udang kaki putih (L.

vannamei) yang diberikan perlakuan penggaraman pada konsentrasi dan suhu penyimpanan yang berbeda. Selain itu, ditentukan pula masa simpan terbaik untuk udang vaname dengan perlakuan tertentu. Penelitian ini dilakukan dengan harapan umur simpan udang vaname dapat diperpanjang melalui pengawetan menggunakan metode penggaraman dan penyimpanan pada suhu dingin/beku, sehingga permasalahan-permasalahan pascapanen udang dapat teratasi.

METODE PENELITIAN Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini, antara lain alu dan mortar, autoklaf, batang L, batang pengaduk, beaker glass 100 mL, beaker glass 50 mL, bunsen, cawan petri, erlenmeyer 500 mL, gelas kimia 1000 mL, gelas kimia 500 mL, gelas ukur 10 mL, gelas ukur 100 mL, hot plate stirrer, inkubator, larutan Biuret, magnetic stirrer, mikropipet, mikrotip, pipet tetes, pisau dan talenan, rak tabung reaksi, stopwatch, tabung reaksi, timbangan digital, vorteks, dan wadah kedap udara. Selain itu, digunakan pula instrumentasi, seperti centrifuge, pH meter, dan spektrofotometer UV-vis.

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini, antara lain air deionisasi, alkohol 70%, aluminium foil, aquades, Bovin Serum Albumin (BSA), cling wrap (seal tape), garam, kapas lemak, kemasan ziplock, medium EMB (37,5 g/L), medium TCBS (89,08 g/L), NaCl (8,5 g/L), NaOH 0,1 M, plastik tahan panas, reagen Folin- Ciocalteu, supernatan, tisu kering, dan udang segar yang didapatkan dari Pasar Resik Jatinangor.

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 21 Maret 2023 hingga 30 Maret 2023 di Laboratorium Instruksional 1 dan 2, serta Laboratorium Instruksional Bersama yang berlokasi di Labtek 1A SITH, Kampus ITB Jatinangor.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model rancangan penelitian yang terdiri dari dua jenis perlakuan pengawetan, yaitu penggaraman dan penyimpanan. Adapun variasi kombinasi perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini adalah, sebagi berikut :

Tabel 1. Kode dan Deskripsi Perlakuan Udang Kode

Sampel Perlakuan

G0T0 Tanpa Penggaraman, Suhu Penyimpanan Beku (-20±2°C) G0T5 Tanpa Penggaraman, Suhu

Penyimpanan Dingin (6±2°C) G5T5 Penggaraman 5% (w/w), Suhu

Penyimpanan Dingin (6±2°C) G5T25 Penggaraman 5% (w/w), Suhu

Penyimpanan Ruang (25±2°C)

(3)

3 | Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati G10T5 Penggaraman 10% (w/w), Suhu

Penyimpanan Dingin (6±2°C) G10T25 Penggaraman 10% (w/w), Suhu

Penyimpanan Ruang (25±2°C) Persiapan Sampel

Udang yang akan diberikan perlakuan, sebelumnya harus dicuci terlebih dahulu menggunakan air mengalir hingga bersih supaya kotoran menghilang. Selanjutnya udang dikeringkan dan disortasi terlebih dahulu berdasarkan ukuran dan tingkat kerusakan. Udang yang digunakan harus dalam kondisi segar, tidak berbau, memiliki tubuh yang kenyal, cangkang masih keras dan utuh, kepala udang masih utuh dan menjadi satu kesatuan dengan tubuh udang.

Teknik Pengambilan Sampel

Udang yang sudah dibersihkan dan disortasi selanjutnya diawetkan menggunakan metode penggaraman serta penyimpanan pada suhu yang berbeda dengan variasi perlakuan sebanyak 6 kombinasi perlakuan untuk pengawetan menggunakan variasi jumlah penggaraman dan suhu penyimpanan.

Untuk sampel udang segar tanpa penggaraman, disiapkan sebanyak 5 sampel dan dimasukkan ke dalam ziplock untuk setiap titik pengujian. Sampel udang dan ziplock kemudian ditimbang untuk masing-masing sampel dan diberi tanda hari ke-0 (H0) hingga hari ke- 5 (H5). Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam wadah kedap udara dan disimpan sesuai penyimpanan dengan perlakuan suhu beku (-20±2°C) dan suhu dingin (6±2°C).

Selanjutnya untuk sampel udang dengan perlakuan penggaraman, disiapkan sebanyak 5 sampel untuk setiap titik pengujian. Lalu garam ditimbang sebanyak 5% dan 10% (w/w) dari berat sampel udang. Sampel udang dan garam yang telah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam ziplock. Garam dicampurkan dengan udang hingga merata dan pastikan bahwa garam yang dimasukkan telah sesuai dengan perlakuan masing-masing. Sampel udang yang sudah dicampur garam selanjutnya ditimbang dan diberi tanda hari ke-0 (H0) hingga hari ke-5 (H5). Setelah itu, sampel udang dimasukkan ke dalam wadah kedap udara dan simpan sesuai penyimpanan dengan perlakuan suhu dingin (6±2°C) dan suhu ruang (25±2°C).

Masing-masing sampel dengan perlakuan diamati dan dilakukan pengujian setiap harinya selama 6 hari (H0, H1, H2, H3, H4, H5). Adapun pengujian yang dilakukan terhadap sampel udang hasil pengawetan, antara lain uji organoleptik, susut bobot, pH, mikrobiologi, dan konsentrasi protein.

Pengujian Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan terhadap 3 atribut pengujian, yaitu kenampakan, bau, dan tekstur.

Pengujian organoleptik dilakukan dengan mengambil sampel yang berbeda untuk masing-masing perlakuan setiap harinya, mulai dari hari ke-0 hingga hari ke-5.

Penilaian atau scoring organoleptik dievaluasi oleh lima orang panelis untuk setiap perlakuan

menggunakan skala 1 hingga 9 dengan rincian, sebagai berikut :

Tabel 2. Skala analisis sensori udang segar (SNI 01- 2728.1-2006)

Skala Kenampakan Bau Tekstur

9

Utuh, bening bercahaya asli menurut jenis, antar ruas kokoh

Bau sangat segar spesifik jenis

Sangat elastis, kompak, dan padat

8

Utuh, kurang bening, cahaya mulai pudar, berwarna asli, antar ruas kokoh

Bau segar spesifik jenis

Elastis, kompak, dan padat

7

Utuh, kebeningan agak hilang, sedikit kusam, antar ruas kurang kokoh

Bau spesifik jenis netral

Kurang elastis, kompak, dan padat

5

Utuh, kebeningan hilang, kusam, warna agak merah muda, sedikit noda hitam, antar ruas kurang kokoh

Mulai timbul bau amoniak

Tidak elastis, tidak kompak, dan tidak padat

3

Warna merah, noda hitam banyak, kulit mudah lepas dari daging

Bau asam sulfit (H2S)

Agak lunak

1

Warna merah sangat kusam, banyak sekali noda hitam

Bau amoniak kuat dan bau busuk

Lunak

Tabel 3. Skala analisis sensori udang beku (sesudah dilelehkan) (SNI 2705:2014)

Skala Kenampakan Bau Tekstur

9

Sangat cemerlang spesifik jenis, antar ruas kokoh

Sangat segar, spesifik jenis

Sangat kompak

7

Cemerlang, antar ruas sedikit kurang kokoh

Segar, spesifik jenis

Kompak

6

Kurang cemerlang, antar ruas renggang

Netral -

5

Agak kusam, antar ruas renggang

Mulai tercium

Agak kompak

(4)

4 | Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati bau

amonia 3 Kusam, antar

ruas renggang

Agak busuk dan amonia

Lembek

1

Sangat kusam, antar ruas sangat renggang

Busuk dan amonia kuat

Sangat lembek

Pengujian Susut Bobot

Pengujian susut bobot dilakukan dengan cara ditimbangnya bobot awal udang setelah perlakuan pengawetan pada hari pertama pengamatan (b0) dan bobot udang pada waktu tertentu setelah perlakuan pengawetan dan penyimpanan selama 5 hari (bt1/bt2/bt3/bt4/bt5). Perhitungan persentase susut bobot dilakukan menggunakan rumus, sebagai berikut :

𝑆𝑢𝑠𝑢𝑡 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 (%) =𝑏0−𝑏𝑡

𝑏0 × 100%...(1)

Pengujian pH

Nilai pH diuji pada sampel udang yang dihancurkan sebanyak 5 gram dengan penambahan aquades sebanyak 10 mL hingga halus menggunakan alu dan mortar. Setelah itu, udang yang telah hancur dimasukkan ke dalam beaker glass dengan ukuran 50 mL atau 100 mL. Lalu siapkan pH meter yang dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan buffer standar pH 4 dan pH 7. Pengukuran nilai pH dilakukan pada dua sampel udang sebagai pengulangan (duplo) di setiap titik pengujian.

Pengujian Mikrobiologi

Pengujian mikroba pada udang hasil pengawetan dilakukan terhadap perhitungan jumlah bakteri coliform dan total vibrio menggunakan media tumbuh EMB dan TCBS. Pengujian mikrobiologi dilakukan dengan cara ditimbangnya sampel udang hasil pengawetan sebanyak 1 gram dari dua sampel udang yang berbeda pada tiap perlakuan sebagai ulangan (duplo). Kemudian udang dihancurkan menggunakan alu dan mortar dan dipindahkan secara aseptis ke dalam tabung reaksi yang sudah diisi dengan 9 mL larutan fisiologis (NaCl 0,85%), lalu tabung reaksi diberi label pengenceran 10-1. Larutan fisiologis pada pengenceran 10-1 kemudian dipindahkan sebanyak 1 mL menggunakan mikropipet ke dalam tabung reaksi yang baru berisi 9 mL larutan fisiologis dan ditandai sebagai pengenceran 10-2. Langkah ini diulangi hingga terbentuk larutan fisiologis pengenceran 10-4. Sebanyak tiga pengenceran terakhir (10-2, 10-3, 10-4) digunakan untuk pengujian mikrobiologi dengan cara melakukan perhitungan mikroba menggunakan metode sebar (spread) pada medium EMB dan TCBS yang telah dibuat di cawan petri. Setelah itu, sampel tiap pengnceran diinokulasikan pada media sebanyak 100 uL dan dilakukan penyebaran menggunakan batang L.

Media EMB dan TCBS kemudian diinkubasi pada suhu ruang (untuk pengujian coliform) dan pada suhu 35- 37°C (untuk pengujian vibrio) selama 24 dan 48 jam.

Setelah sampai waktu pegujian, dilakukan perhitungan terhadap jumlah dan jenis koloni yang tumbuh.

Pengujian Konsentrasi Protein

Pengukuran konsentrasi protein dilakukan menggunakan metode Lowry. Sebelumnya udang diekstraksi terlebih dahulu dengan ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dihaluskan menggunakan alu dan mortar.

Udang yang sudah hancur dimasukkan ke dalam gelas kimia 100 mL dan ditambah dengan 30 mL NaOH 0,1 M serta NaCl 1,05 gram, lalu dihomogenisasi menggunakan vorteks. Larutan kemudian diinkubasi selama 90 menit pada suhu 60°C dan disentrifugasi 5000 g selama 30 menit pada suhu 40°C. Hasil larutan supernatan disimpan untuk diukur konsentrasinya menggunakan spektrofotometer.

Selanjutnya dilakukan pengukuran konsentrasi protein dengan dicampurkannya sampel ekstraksi protein sebanyak 0,5 mL dan larutan Biuret sebanyak 2 mL.

Campuran diinkubasi pada suhu ruang dan hitung selama 10 menit menggunakan stopwatch (selang waktu sangat kritis). Setelah 10 menit, larutan ditambahkan reagen fenol (Folin-Ciocalteu) sebanyak 0,2 mL yang telah dihomogenisasi dengan deion (1:1) lalu dihomogenisasi menggunakan vorteks. Kemudian larutan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit di tempat gelap yang tidak terkena cahaya secara langsung.

Absorbansi larutan dibaca pada 600 nm dengan menggunakan spektrofotometer. Setelah itu, konsentrasi protein dihitung menggunakan kurva stadar Bovin Serum Albumin (BSA) yang sudah dibuat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Respon Pengujian Organoleptik

(5)

5 | Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Gambar 1. Grafik Organoleptik Udang Kaki Putih

(Litopenaeus vannamei) Hasil Pengawetan

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh bahwa udang dengan perlakuan pengawetan menggunakan teknik penggaraman dan variasi suhu penyimpanan umumnya mengalami penurunan mutu setiap harinya. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. bahwa untuk masing-masing atribut pengujian organoleptik, skor yang dihasilkan semakin rendah dengan nilai yang cukup stabil. Namun ada pula skor yang tetap bertahan selama beberapa hari tanpa mengalami penurunan.

Pada udang dengan penggaraman 0% pada suhu dingin,

terlihat bahwa udang dapat bertahan selama 2 hari dengan skor kenampakan 8,5. Sedangkan pada udang dengan penggaraman 0% pada suhu beku dapat bertahan hingga hari terakhir (hari ke-5) dengan skor kenampakan 8,0. Tetapi apabila dilihat dari atribut bau dan tekstur, masing-masing perlakuan mendapatkan skor 7,0 untuk kedua atribut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kresnasari (2021), produk perikanan yang disimpan pada suhu beku dapat diperpanjang umur simpannya karena suhu yang digunakan dapat membantu menghambat reaksi enzimatis serta reaksi kimia penyebab kerusakan dan kebusukan. Lalu udang yang disimpan pada suhu dingin dapat bertahan hingga 3 hari karena suhu dapat membantu memperlambat kemunduran dengan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan proses biokimia yang berlangsung di dalam tubuh udang (Kresnasari, 2021). Selanjutnya udang dengan penggaraman 5% yang disimpan pada suhu dingin memiliki ketahanan simpan hingga hari ke- 2 dengan skor kenampakan 8,33. Ketahanan udang hingga hari ke-2 dikarenakan teknik penggraman berfungsi untuk menghambat atau menghentikan reaksi autolisis dan dapat membunuh bakteri yang terdapat di dalam udang (Yusra dan Efendi, 2011). Sedangkan udang dengan penggaraman 5% pada penyimpanan suhu ruang hanya tahan pada hari ke-0 (H0) dengan skor kenampakan 8,5; dimana skor pada hari selanjutnya (H1), udang dengan penggaraman 5% pada penyimpanan suhu ruang memperoleh skor sebesar 6,0 yang artinya udang telah mengalami perubahan, seperti warna yang mulai kusam, mulai timbul bau amoniak, dan tekstur yang sudah lunak. Selanjutnya udang dengan penggaraman 10% yang disimpan pada suhu dingin memiliki ketahanan simpan hanya hingga hari pertama (H1) dengan skor kenampakan sebesar 8,33.

Sedangkan udang dengan penggaraman 10% pada penyimpanan suhu ruang hanya tahan pada hari ke-0 (H0) dengan skor kenampakan 7,33; dimana pada hari selanjutnya skor mengalami penurunan menjadi 5,0.

Analisis Respon Pengujian Susut Bobot

Gambar 2. Grafik Susut Bobot Udang Kaki Putih (Litopenaeus vannamei) Hasil Pengawetan

Perubahan susut bobot udang berdasarkan grafik hasil pengamatan pada Gambar 2 terlihat mengalami mengalami kenaikan seiring dengan waktu penyimpanan, kecuali untuk udang dengan perlakuan penggaraman 0% pada penyimpanan suhu beku. Bobot udang dengan penggaraman 0% dan penyimpanan suhu beku pada hari ke-0 hingga hari ke-5 terus mengalami

(6)

6 | Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati penurunan setiap harinya dengan selisih susut bobot

pada hari ke-0 dan hari ke-5 sebesar 0,37%. Penurunan susut bobot ini disebabkan oleh proses pembekuan yang dapat merubah fase kandungan air pada udang menjadi bentuk padat (es). Secara keseluruhan, udang dengan perlakuan penggaraman 10% pada penyimpanan suhu dingin mengalami susut bobot tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal tersebut disebabkan akibat drip loss yang sebenarnya dapat menekan susut bobot dengan penyimpanan suhu dingin, namun terjadi ketidakstabilan suhu pada penyimpanan sehingga menyebabkan peningkatan susut bobot (Wanniatie, 2014). Selain itu, peningkatan susut bobot juga dapat disebabkan oleh perlakuan penggaraman yang mengakibatkan osmosis antara air di dalam udang dengan garam. Sedangkan susut bobot terendah adalah udang dengan perlakuan penggaraman 0% pada penyimpanan suhu dingin.

Analisis Respon Pengujian pH

Gambar 3. Grafik pH Udang Kaki Putih (Litopenaeus vannamei) Hasil Pengawetan

Pada pengujian pH udang, terlihat pada Gambar 3 bahwa umumnya udang pada setiap perlakuan mengalami peningkatan nilai pH seiring dengan waktu penyimpanan. Pada hari terakhir pengujian, udang dengan perlakuan G5T25 memperoleh nilai pH tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya, yaitu sebesar 9,91. Sedangkan nilai pH terendah diperoleh oleh udang dengan perlakuan G0T0 sebesar 8,55. Adapun batas penerimaan udang segar untuk dikonsumsi adalah udang dengan pH sekitar 7,7 (Balti et al., 2020). Tren nilai pH yang semakin meningkat ini dapat disebabkan oleh terjadinya akumulasi amonia dan nitrogen dari aktivitas mikroba yang terjadi pada udang (Lin et al., 2022). Selain itu, peningkatan terjadi karena adanya produksi metabolit bakteri Vibrio spp. yang memiliki sifat basa pada daging udang yang telah rusak. Produksi metabolit ini terjadi akibat beberapa reaksi, seperti deaminasi dan dekarbolasi oleh enzim yang dihasilkan bakteri (Benner et al., 2004).

Analisis Respon Pengujian Mikrobiologi

Gambar 4. Grafik Total Coliform (Log CFU/g) Pada Udang Kaki Putih (Litopenaeus vannamei) Hasil Pengawetan

Gambar 5. Grafik Total Vibrio (Log CFU/g) Pada Udang Kaki Putih (Litopenaeus vannamei) Hasil Pengawetan

Pengujian mikrobiologi pada penelitian ini sangat penting dilakukan karena berkaitan dengan keamanan sebuah produk untuk dikonsumsi dan tingkat kerusakan yang terjadi pada produk (Waryat dan Handayani, 2020). Hasil pengamatan pada Gambar 4 dan 5 menunjukkan bahwa jumlah mikroba yang tumbuh pada hari ke-0 hingga hari ke-5 umumnya mengalami peningkatan. Namun perubahan pada hari ke-0 hingga hari ke-1 tidak mengalami perubahan jumlah mikroba yang terlalu tinggi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kresnasari (2021), bahwa perlakuan penyimpanan pada suhu beku dan dingin mampu menghambat pertumbuhan bakteri selama 24 jam. Sedangkan pada suhu ruang, bakteri tumbuh dalam jumlah yang lebih banyak karena bakteri dapat tumbuh secara optimal pada suhu ruang (30°C).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, udang dengan perlakuan G10T25 memiliki jumlah pertumbuhan mikroba paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, yaitu sebesar 8,21-8,37 Log CFU/g.

Tingginya jumlah tersebut disebabkan oleh kandungan air yang semakin tinggi sehingga memicu pertumbuhan mikroba yang semakin meningkat pula. Sedangkan jumlah mikroba terendah diperoleh oleh udang dengan perlakuan G0T0. Jumlah coliform ataupun vibrio yang rendah ini diakibatkan oleh terbentuknya kristal es yang dapat merusak dinding sel baktri patogen serta

(7)

7 | Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati melakukan penghambatan metabolisme pada udang

(Cahyani et al., 2015; Zhang et al., 2014).

Analisis Respon Pengujian Konsentrasi Protein

Gambar 6. Kurva Baku Bovin Serum Albumin (BSA)

Gambar 7. Konsentrasi Protein Udang Kaki Putih (Litopenaeus vannamei) Hasil Pengawetan

Berdasarkan grafik pada Gambar 7, terlihat bahwa konsentrasi protein pada seluruh perlakuan secara umum mengalami penurunan meskipun banyak terlihat mengalami fluktuasi untuk masing-masing perlakuan.

Konsentrasi protein terendah pada penelitian diperoleh oleh udang dengan perlakuan G10T5 pada hari ke-2 sebesar 1,6 mg/gram. Penurunan konsentrasi protein ini diakibatkan oleh terjadinya degradasi protein karena keberadaan bakteri pengurai (Enterobacter) yang dapat menguraikan Trimetilalamin Oksida/TMAO menjadi Trimetilalamin/TMA (Summers et al., 2017). Adapun perlakuan udang yang dapat menghasilkan konsentrasi protein dengan nilai stabil adalah perlakuan G0T0 yang berkisar antara 100-130 mg/gram.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pengaruh pengawetan menggunakan teknik penggaraman dengan penyimpanan suhu dingin/beku dapat mempengaruhi kualitas serta batas umur simpan. Perlakuan terbaik dari penelitian ini adalah G0T0 atau udang dengan penggaraman 0% pada penyimpanan suhu beku.

Perlakuan tersebut dapat mempertahankan udang hingga hari ke-5 dengan kenampakan yang masih baik, pertumbuhan mikroba yang minim, dan nilai pH serta konsnetrasi protein yang cukup stabil. Tetapi pada

perlakuan secara keseluruhan, udang dapat dipertahankan rata-rata selama 2 hingga 3 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Balti, R., Ben Mansour, M., Zayoud, N., Le Balc'h, R., Brodu, N., Arhaliass, A., & Masse, A.(2020).

Activeexopolysaccharides based edible coatings enriched with red seaweed (Gracilaria gracilis) extract to improve shrimp preservation during refrigerated storage. Food Bioscience, 34, Article 100522.

Benner, R. A., Staruszkiewicz, W. F., & Otwell, W. S.

(2004). Putrescine, Cadaverine, and Indole Production by bacteria isolated from wild and aquacultured penaeid shrimp stored at 0,12, 24, and 36°C. Journal of Food Protection, 67(1), 124–133. https://doi.org/10.4315/0362- 028x-67.1.124.

Cahyani, A. F. K., Wiguna, L. C., Putri, R. A., Masduki, V. V., Wardani, A. K., & Harsojo, H. (2015). Aplikasi teknologi hurdle menggunakan iradiasi gamma dan penyimpanan beku untuk mereduksi bakteri patogen pada bahan pangan. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3(1), 73-80.

Jayanti, A. S. (2022). Udang vaname, udang ekspor terbanyak di indonesia. Diakses 2 Mei 2023 dari https://nanobubble.id/blog/udang- vaname-jadi-udang-ekspor-terbanyak-di- Indonesia.

Kresnasari, D. (2021). Pengaruh pengawetan dengan metode penggaraman dan pembekuan terhadap kualitas ikan bandeng (Chanos chanos). Sci.Line, 1(1), 1-8.

Lin, D., Sun, L., Chen, Y., Liu, G., Miao, S., & Cao, M.

(2022). Shrimp spoilage mechanisms and functional films/coatings used to maintain and monitor its quality during storage. Trends in Food Science & Technology, 129(1), 25-37.

Megumi, S. R. (2019). Udang vaname, primadona budidaya perikanan. Diakses 2 Mei 2023 dari https://www.greeners.co/flora-fauna/udang- vaname-primadona-budidaya-perikanan/.

Novitasari, A. E., & Rizki. (2016). Pengaruh penambahan konsentrasi jeruk nipis (Citrus aurantifolia s.) terhadap penurunan kadar formalin pada udang vannami (Letapenaeus vannamei) dengan spektrofotometer visible.

Jurnal Sains, 6(11), 7-14.

Ramadhan, R. (2021). Strategi pengembangan budidaya udang vanname (Litopenaeus vannamei) di desa lapa taman dungkek kabupaten sumenep provinsi jawa timur.

[Thesis]. Malang : Fakultas Pertanian Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang.

Summers, G., Wibisono, R. D., Hedderley, D. I., &

Fletcher, G. C. (2017). Trimethylamine oxide content and spoilage potential of New Zealand commercial fish species. New Zealand journal

(8)

8 | Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati of marine and freshwater research, 51(3),

393-405.

Waryat., & Handayani, Y. (2020). Implementasi jenis kemasan untuk memperpanjang umur simpan sayuran pakcoy. Jurnal Ilmiah Respati, 11(1), 33-45.

Yusra., & Efendi, Y. (2015). Dasar-dasar teknologi hasil perikanan. Padang : Bung Hatta University Press.

Zhang, Y., Li, F., Yao, Y., He, J., Tang, J., & Jiao, Y.

(2021). Effects of freeze-thaw cycles of Pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei) subjected to radio frequency tempering on melanosis and quality. Innovative Food Science & Emerging Technologies, 74(1), 102860-102870.

Referensi

Dokumen terkait