• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN UMUR SIMPAN SAWO SUKATALI ST1 PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN UMUR SIMPAN SAWO SUKATALI ST1 PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN UMUR SIMPAN SAWO SUKATALI ST1

PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN

Oleh :

EKO BUDI BOWO LEKSONO F14104080

2008

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)

Eko Budi Bowo Leksono. F14104080. KAJIAN UMUR SIMPAN SAWO SUKATALI ST1 PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr. 131 564 497.

RINGKASAN

Salah satu varietas sawo unggulan di Indonesia adalah Sukatali ST1. Sawo asli Desa Sukatali, Kabupaten Sumedang ini memiliki sejumlah keistimewaan seperti rasanya sangat manis, tidak mudah busuk dan bergizi tinggi. Produk segar seperti sawo membutuhkan perlakuan khusus untuk memperlambat laju kerusakan dan meminimalkan kerugian. Salah satu teknik pascapanen hortikultura adalah penyimpanan dingin. Penyimpanan dingin memperpanjang umur simpan hasil panen dengan menurunkan suhu produk sehingga menghambat laju respirasi. Respirasi menjadi salah satu dari dasar proses hidup dan berhubungan dengan kematangan, penanganan, transportasi dan umur simpan. Sampai saat ini sawo belum banyak diekspor ke luar negeri, tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu penyimpanan dingin terhadap umur simpan sawo Sukatali ST1 sehingga petani maupun distributor buah mampu memperkirakan batas toleransi penyimpanan agar buah sampai di tempat pemasaran atau negara tujuan dengan kondisi yang baik. Perlakuan suhu yang diberikan adalah suhu 5oC, 15oC dan suhu ruang. Perlakuan lama simpan dilakukan selama 20 hari. Pengamatan yang dilakukan selama penyimpanan adalah respirasi, susut bobot, kekerasan, kandungan total padatan terlarut (TPT), perubahan warna dan uji organoleptik.

Semakin rendah suhu penyimpanan maka sawo semakin lama untuk busuk. Sawo busuk setelah disimpan pada suhu ruang selama 8 hari dan pada suhu 15oC selama 16 hari. Penyimpanan dengan suhu 5oC menghasilkan buah yang baik (belum matang) setelah 20 hari dan masih bisa diteruskan.

Praklimakterik respirasi CO2 penyimpanan suhu ruang terjadi pada jam

ke-30 sedangkan untuk suhu 15oC terjadi pada jam ke-288 (hari ke-12). Penyimpanan pada suhu 5oC tidak terjadi praklimakterik maupun puncak klimakterik sampai akhir penyimpanan selama 20 hari. Waktu puncak klimakterik mundur dengan rendahnya suhu, penyimpanan suhu ruang puncak klimakterik terjadi pada hari ke-3 sedangkan untuk suhu 15oC terjadi pada hari ke-11. Susut bobot buah tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai ekonomis buah karena sampai buah busuk atau akhir penyimpanan, tidak terdapat tanda-tanda pengeriputan kulit buah. Kekerasan (tekstur) buah lebih terjaga dengan semakin rendahnya suhu penyimpanan. Kekerasan dan total padatan terlarut mulai turun pada hari ke-6 untuk penyimpanan suhu ruang dan hari ke-11 untuk suhu 15oC, sedangkan pada penyimpanan suhu 5oC tidak mengalami penurunan. Nilai L (kecerahan) lebih cepat menurun pada penyimpanan suhu ruang dan diikuti suhu 15oC. Nilai a (warna merah) mengalami kenaikan pada seluruh perlakuan penyimpanan. Nilai b (warna kuning) paling tinggi pada penyimpanan suhu 5oC diikuti suhu 15oC dan suhu ruang. Sawo diterima panelis pada hari ke-5 penyimpanan suhu ruang dan hari ke-15 penyimpanan suhu 15oC. Sawo belum diterima panelis setelah penyimpanan 20 hari pada suhu 5oC.

(3)

i KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian umur simpan sawo Sukatali ST1 pada penyimpanan suhu dingin”. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu penyimpanan dingin terhadap umur simpan sawo Sukatali ST1 sehingga petani maupun distributor buah mampu memperkirakan batas toleransi lama penyimpanan agar buah sampai di tempat pemasaran atau negara tujuan dengan kondisi yang baik.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr sebagai dosen Pembimbing Akademik atas bimbingannya selama ini dan telah banyak membantu dalam menyelesaikan tugas akhir.

2. Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si sebagai dosen penguji.

3. Keluarga penulis yang selalu memberi dorongan dan motivasi selama penelitian dan penyelesaian tugas akhir.

4. Pak Sugi atas dukungan, semangat dan bantuannya.

5. Pak Sulyaden atas bantuannya selama penulis menggunakan laboratorium TPPHP.

6. Teman-teman seperjuangan (Harritz, Ismi, Imat, Ida, Lia, Rina) atas kerjasama, dukungan dan doanya.

7. Anan, Mas Aris, teman-teman TEP 41 dan pahlawan-pahlawan yang telah mendoakan dan menyemangati penulis.

8. Njum, Efril, Cherry atas bantuan konsultasi statistiknya. Teman-teman pengajian atas dukungan dan semangatnya.

(4)

ii Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, masih banyak kesalahan dan kekurangan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Agustus 2008

(5)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Botani Tanaman Sawo ... 3

2.2 Sawo Sukatali ST1 ... 5

2.3 Pemanenan ... 6

2.4 Fisiologi Pasca Panen ... 7

2.4.1 Respirasi ... 8

2.4.2 Sifat Respirasi ... 11

2.4.3 Klimakterik dan Non-klimakterik ... 11

2.4.4 Perubahan Kimiawi Selama Penuaan dan Pematangan ... 14

2.5 Penyimpanan ... 14

2.5.1 Chilling Injury ... 15

2.5.2 Penyimpanan sawo ... 16

2.6 Kualitas Buah dan Sayuran ... 17

III. METODOLOGI ... 18

3.1 Waktu dan Tempat ... 18

3.2 Alat dan Bahan ... 18

3.3 Perlakuan ... 18

3.4 Tahapan Penelitian ... 19

3.5 Pengamatan ... 19

3.5.1 Respirasi ... 19

(6)

iv

3.5.3 Kekerasan ... 22

3.5.4 Total Padatan Terlarut ... 22

3.5.5 Peubahan Warna ... 23

3.5.6 Uji Organoleptik ... 24

3.6 Rancangan Percobaan ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Laju Respirasi ... 25

4.2 Susut Bobot ... 30

4.3 Kekerasan ... 34

4.4 Total Padatan Terlarut ... 37

4.5 Warna ... 40

4.6 Organoleptik ... 43

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran ... 46

(7)

v DAFTAR TABEL

Tabel 1. Analisa sawo dari Meksiko Selatan ... 4 Tabel 2. Komposisi sawo per 100 gram porsi yang bisa dimakan

(edible portion) ... 5 Tabel 3. Laju respirasi dan produksi etilen beberapa komoditas

pada 20oC ... 13 Tabel 4. Beberapa karakteristik kerusakan karena pendinginan pada

komoditas jika disimpan dibawah suhu kritis penyimpanan ... 16 Tabel 5. Skor hasil penilaian organoleptik penyimpanan sawo Sukatali ST1. .44

(8)

vi DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sawo Sukatali ST1... 6 Gambar 2. Alat pemanen sawo ... 7 Gambar 3. Skema pembagian tahap-tahap klimakterik ... 12 Gambar 4. Pola pertumbuhan dan respirasi buah dan sayuran selama

perkembangan ... 12 Gambar 5. Laju respirasi sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan

pada suhu ruang ... 25 Gambar 6. Laju respirasi sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan

pada suhu 15oC ... 26 Gambar 7. Laju respirasi sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan

pada suhu 5oC ... 27 Gambar 8. Perbandingan laju respirasi sawo Sukatali ST1

pada beberapa suhu penyimpanan ... 28 Gambar 9. Susut bobot sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan ... 31 Gambar 10. Sawo Sukatali ST1 sebelum penyimpanan ... 32 Gambar 11. Sawo Sukatali ST1 pada penyimpanan suhu ruang

selama 8 hari ... 32 Gambar 12. Sawo Sukatali ST1 pada penyimpanan suhu 15oC

selama 16 hari ... 33 Gambar 13. Sawo Sukatali ST1 pada penyimpanan suhu 5oC

selama 20 hari ... 33 Gambar 14. Sawo Sukatali ST1 yang disimpan 1 hari dalam toples

pada suhu ruang setelah penyimpanan pada suhu 5oC

selama 20 hari ... 34 Gambar 15. Kekerasan sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan ... 35 Gambar 16. Total padatan terlarut sawo Sukatali ST1

selama penyimpanan ... 38 Gambar 17. Perubahan nilai L sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan….. 40 Gambar 18. Perubahan nilai a sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan…... 41 Gambar 19. Perubahan nilai b sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan…... 43

(9)

vii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Laju produksi CO2 dan konsumsi O2 sawo Sukatali ST1

selama penyimpanan ... 50

Lampiran 2. Laju produksi CO2, konsumsi O2, dan kuosien respirasi (RQ) rata-rata sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan. ... 51

Lampiran 3. Perbandingan laju respirasi CO2 dan O2 tiap-tiap suhu ... 52

Lampiran 4. Susut bobot sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan ... 53

Lampiran 5. Kekerasan sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan ... 54

Lampiran 6. Total padatan terlarut sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan ... 55

Lampiran 7. Sinyal warna merah (r), hijau (g) dan biru (b) sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan. ... 56

Lampiran 8. Warna Hunter Lab sawo Sukatali ST1selama penyimpanan ... 58

Lampiran 9. Analisis sidik ragam produksi CO2 (ml/kg.jam) selama penyimpanan ... 60

Lampiran 10. Analisis sidik ragam konsumsi O2 (ml/kg.jam) selama penyimpanan ... 61

Lampiran 11. Analisis sidik ragam susut bobot selama penyimpanan ... 62

Lampiran 12. Analisis sidik ragam kekerasan selama penyimpanan ... 63

Lampiran 13. Analisis sidik ragam TPT selama penyimpanan ... 64

Lampiran 14. Analisis sidik ragam nilai L selama penyimpanan ... 65

Lampiran 15. Analisis sidik ragam nilai a selama penyimpanan ... 66

(10)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sawo adalah buah yang bernutrisi dan kebanyakan dikonsumsi dalam bentuk segar. Serbat, milk shake dan es krim bisa dibuat dari daging buah sawo yang masih segar, sedangkan lateks yang didapat dari kulit kayu sawo, selama ini digunakan sebagai bahan utama pembuatan permen karet. Selain itu, sawo juga bisa digunakan sebagai bahan makanan olahan seperti selai, sirup, atau difermentasi menjadi anggur atau cuka (Balerdi et al. 2005).

Salah satu varietas sawo di Indonesia adalah Sukatali, sesuai dengan nama desa di Sumedang tempat tanaman ini banyak tumbuh. Sawo asli desa Sukatali memiliki sejumlah keistimewaan, antara lain rasanya sangat manis dan tidak mudah busuk. Selain itu, sawo ini terasa tidak lembek jika ditekan sehingga membuat konsumen sering terkecoh karena menyangka buah sawo masih mentah. Sawo Sukatali memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi dan vitamin C buah ini dinilai lebih tinggi dibandingkan apel. Pemeliharaan tanaman sawo khas desa Sukatali ini tidak begitu rumit, hanya diberi pupuk kandang dan rajin disiangi, pohon sawo akan berbuah lebat. Penggunaan pestisida juga dihindari, sehingga sawo ini bebas dari bahan kimia (www.inkubator-bisnis.com).

Masa depan sawo sepertinya menjanjikan, perhatian besar terhadap hasil panen diberikan dari petani dan konsumen di banyak negara. Produksi sawo di India terus tumbuh dan dilakukan program penelitian aktif dengan tujuan khusus untuk meningkatkan kemampuan simpan, transport dan strategi pemasaran sawo. Departemen Pertanian Malaysia mempromosikan sawo untuk program pengembangan industri buahnya (Bakar dan Abdul Karim, 1994 dalam Mickelbart, 1996). Buah ini juga mendapatkan popularitasnya sebagai buah spesial di restauran Amerika Utara.

Sawo dari Indonesia sampai saat ini belum banyak diekspor ke luar negeri, hasil panen sawo hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri saja. Menurut BAPPENAS (2005), perkembangan produksi buah sawo cenderung mengalami peningkatan, tetapi semua itu belum dapat memenuhi kebutuhan

(11)

2 masyarakat. Dengan demikian, masih dibutuhkan investor yang mau menanamkan modalnya untuk perluasan tanaman sawo. Peluang bisnis buah ini sangat besar karena konsumsi buah-buahan berkembang dengan pesatnya ditambah dengan begitu mudahnya menanam sawo yang dapat menghasilkan buah sepanjang tahun.

Produk panen segar seperti sawo membutuhkan perlakuan khusus untuk memperlambat laju kerusakan dan meminimalkan kerugian. Hasil panen yang mendapat perlakuan khusus ini adalah yang dipanen musiman dan disimpan dalam waktu yang lama atau yang sangat mudah rusak dan untuk ditransportasikan ke pasar yang jaraknya jauh. Penanganan pascapanen bertujuan antara lain untuk menjamin mutu produk, menghambat laju proses metabolisme dan memperpanjang umur simpan. Kekuatan penyimpanan menjadi sangat penting jika buah tidak diolah tetapi ditransportasikan dalam bentuk segar. Oleh karena itu, penanganan pascapanen sangat menentukan nilai jual produk ini.

Salah satu teknik pascapanen hortikultura adalah penyimpanan dingin, karena merupakan cara paling ekonomis dalam penyimpanan sayur dan buah. Penyimpanan dingin bertujuan untuk memperpanjang umur simpan hasil panen dengan menurunkan suhu produk tersebut sehingga menghambat laju respirasi. Selama proses respirasi terjadi penguraian zat-zat yang terdapat dalam bahan tersebut dan menimbulkan panas pada bahan. Bila proses ini dibiarkan terus berlangsung maka bahan akan cepat rusak/busuk. Pendinginan juga dapat mencegah kerusakan-kerusakan mikrobiologis.

Hubungan lama penyimpanan dingin dengan perubahan mutu sawo akan memegang peran penting dalam sistem penyimpanan sawo. Petani maupun distributor sawo akan dapat memperkirakan batas toleransi penyimpanan agar buah sampai di tempat pemasaran atau negara tujuan dengan kondisi yang baik.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suhu penyimpanan dingin terhadap umur simpan sawo Sukatali ST1. Kajian yang dilakukan adalah mengenai perubahan laju respirasi, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, warna dan penerimaan konsumen terhadap sawo Sukatali ST1 setelah penyimpanan.

(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Tanaman Sawo

Sawo atau biasa dikenal dengan nama sapodilla (Amerika Serikat), chiku (India), chicozapote (Meksiko), kauki (Asia Tenggara), sapote (Cuba), dan banyak nama lainnya. Nama botani Manilkara dan Achras biasa digunakan dan tidak ada persetujuan diantara ahli botani dan hortikultura mengenai nama yang tepat. Sapota (zapota) atau sapote (zapote) biasa digunakan sebagai nama spesies. Gilly (1943) dalam Mickelbart (1996) pada tulisannya membahas masalah kebingungan penamaan ini. Rupanya, nama Achras yang diberikan oleh Linnaeus, berdasarkan gambar dan deskripsi dari ahli botani bernama Plumier. Akan tetapi, tanaman yang dideskrispsikan oleh Plumier adalah bukan sapodilla, yang mengakibatkan salah penamaan. Gilly menyarankan Manilkara zapotilla (Jacq.), tetapi tetap saja nomenclature dari spesies ini masih membingungkan.

Menurut BAPPENAS (2005), sawo adalah tanaman buah yang berasal dari Guatemala (Amerika Tengah), Meksiko dan Hindia Barat. Tanaman sawo di Indonesia telah lama dikenal dan banyak ditanam mulai dari dataran rendah sampai tempat dengan ketinggian 1200 m diatas permukaan laut, seperti di Jawa dan Madura. Kerabat dekat sawo dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

1) Sawo Liar atau Sawo Hutan

Kerabat dekat sawo liar diantaranya adalah sawo kecik dan sawo tanjung. Sawo kecik atau sawo jawa (Manilkara kauki L. Dubard.) dimanfaatkan sebagai tanaman hias atau tanaman peneduh halaman. Tinggi pohon mencapai 15 – 20 meter, merimbun dan tahan kekeringan. Kayu pohonnya sangat bagus untuk dibuat ukiran dan harganya mahal. Sawo tanjung (Minusops elingi) memiliki buah kecil-kecil berwarna kuning keungu-unguan, jarang dimakan, sering digunakan sebagai tanaman hias atau tanaman pelindung di pinggir-pinggir jalan.

2) Sawo Budidaya

Berdasarkan bentuk buahnya, sawo budidaya dibedakan menjadi dua yaitu :

(13)

4 a. Sawo Manilas

Buah sawo manila berbentuk lonjong, daging buahnya tebal, banyak mengandung air dan rasanya manis. Termasuk dalam kelompok sawo manila antara lain adalah : sawo kulon, sawo betawi, sawo karat, sawo malaysia, sawo maja dan sawo alkesa.

b. Sawo Apel

Sawo apel dicirikan oleh buahnya yang berbentuk bulat atau bulat telur mirip buah apel, berukuran kecil sampai agak besar dan bergetah banyak. Termasuk dalam kelompok sawo apel adalah : sawo apel kelapa, sawo apel lilin dan sawo duren.

Analisa sawo dari Meksiko Selatan dan komposisinya per 100 gram porsi yang bisa dimakan disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 1. Analisa sawo dari Meksiko Selatan

Pengukuran Nilai

Kadar air 69.0 - 75.7%

Ascorbic acid 8.9 - 41.4 mg/100 g

Total asam 0.09 - 0.15%

pH 5.0 - 5.3

Total padatan terlarut 17.4 - 23.7º Brix Karbohidrat glukosa fruktosa sukrosa 5.84 - 9.23% 4.47 - 7.13% 1.48 - 8.75% Total gula 11.14 - 20.43% Starch (kanji) 2.98 - 6.40% Tannin 3.16 - 6.45% Sumber : Morton 1987

Manfaat tanaman sawo adalah sebagai makanan buah segar atau bahan makan olahan seperti es krim, selai, sirup atau difermentasi menjadi minuman anggur atau cuka. Selain itu, manfaat lain tanaman sawo dalam kehidupan manusia adalah :

1. Tanaman penghijauan di lahan-lahan kering dan kritis. 2. Tanaman hias dalam pot dan apotik hidup bagi keluarga.

3. Penghasil buah bergizi tinggi yang dapat dijual di dalam atau luar negeri. 4. Penghasil getah untuk bahan baku industri permen karet.

(14)

5 5. Penghasil kayu yang sangat bagus untuk pembuatan perabotan rumah

tangga (BAPPENAS, 2005).

Menurut Leung dan Flores (1961); Wenkam (1990) dalam Nakasone dan Paull (1998), komposisi sawo untuk setiap 100 gram porsi yang bisa dimakan disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 2. Komposisi sawo per 100 gram porsi yang bisa dimakan (edible portion) Proksimat Energi (kJ) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Abu (g) Kadar air (g) 393 0.5 1.1 23 1.6 0.4 75 Mineral Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) 24 10 1 Vitamin Thiamine (mg) Riboflavin (mg) Niacin (mg) Vitamin C (mg) Vitamin A (IU) 0.01 0.01 0.02 15 10

Sumber : Leung dan Flores (1961); Wenkam (1990), dalam Nakasone dan Paull (1998).

2.2 Sawo Sukatali ST1

Sawo Sukatali ST1 adalah varietas dari buah sawo Achras zapota L (atau Manilkara zapota L). Sukatali adalah nama sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang. Dahulu, sawo Sukatali dikenal dengan nama sawo apel kapas, kemudian pada tahun 2002 nama tersebut berubah menjadi sawo Sukatali ST1 (Sumedang Tandang 1).

Sawo asli desa Sukatali memiliki sejumlah keistimewaan, antara lain rasanya sangat manis dan tidak mudah busuk. Selain itu, sawo ini terasa tidak lembek jika ditekan sehingga membuat konsumen sering terkecoh karena menyangka buah sawo masih mentah. Sawo Sukatali memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan protein, lemak, kalsium, fosfor, zat besi dan vitamin C buah ini dinilai lebih tinggi dibandingkan apel. Pemeliharaan tanaman sawo khas desa Sukatali ini tidak begitu rumit, hanya diberi pupuk kandang dan rajin disiangi, pohon sawo akan berbuah lebat. Penggunaan pestisida juga dihindari, sehingga sawo ini bebas dari bahan kimia (www.inkubator-bisnis.com).

(15)

6 Gambar 1. Sawo Sukatali ST1.

2.3 Pemanenan

Balerdi et al. (2005); Kute dan Shete (1995) dalam Yahia (2008) mengemukakan bahwa ketuaan sawo dapat dilihat dari perubahan warna kulit buah dari coklat ke coklat kekuningan. Cara yang dilakukan untuk mengamati perubahan warna kulit buah adalah dengan menggores pelan kulit buah, jika warnanya coklat maka buah bisa dipetik, tetapi jika berwarna hijau atau mengeluarkan lateks berarti buah belum dewasa. Jika umur panen tidak diketahui maka harus ditunggu sampai beberapa buah jatuh dari pohon dan mulai untuk memanen buah dengan ukuran yang sama dengan buah yang jatuh.

Menurut BAPPENAS (2005), ciri-ciri buah sawo yang sudah tua adalah ukuran buah maksimal, kulit berwarna cokelat muda, daging buah agak lembek, bila dipetik mudah terlepas dari tangkainya serta bergetah relatif sedikit.

Dalam Mickelbart (1996), Sundararajan dan Rao (1967) menyarankan penggunaan total soluble solids (total padatan terlarut) sebagai ukuran tingkat ketuaan sawo, walaupun variasi umur buah dalam satu pohon bisa terjadi maka diperlukan penilaian secara individual terhadap masing-masing buah. Abdul-Karim et al. (1987) menemukan bahwa panjang dan lebar buah menjadi indikator ketuaan yang baik daripada berat dan volume, atau kekerasan.

Dalam Yahia (2008), kebiasaan pembungaan yang tidak teratur dari sawo dan hadirnya buah dalam seluruh tahap perkembangan tanaman menjadikan kesulitan tersendiri untuk menentukan umur panen optimum (Lakshminaryana, 1980). Buah yang dipanen lebih lama dari waktu panen optimum akan cepat melunak dan menjadikannya sulit untuk ditangani. Buah yang dipanen lebih cepat dari ketuaan optimumnya mungkin tidak akan melunak tetapi biasanya kemanisannya rendah dan tinggi dalam astringency (kesepatan) saat matang

(16)

dengan sisa rasa alkohol yang tidak enak dan membentuk kantong yang menggumpal sehingga menurunkan kuali

Umumnya pohon sawo cukup tinggi, buahnya terdapat di ujung batang muda yang jumlahnya hanya sedikit, sehingga untuk mengetahui buah yang cukup tua sangat sulit. Oleh karena itu, pemanenan dilakukan dengan cara memanjat pohon, dan apabila belum mencapa

seperti terlihat dalam Gambar 2.

Setelah semua buah dipanen dan dikumpulkan dalam suatu wadah, kemudian dilakukan pencucian untuk menghilangkan

gabus (BAPPENAS, 2005).

2.4 Fisiologi Pasca Panen

Sayur dan buah jika dipanen dari tanaman adalah struktur hidup karena melanjutkan reaksi metabolisme dan mempertahankan proses fisiologi dalam periode pascapanen. Buah dan sayur ber

mengeluarkan karbon dioksida dan panas. Selain itu buah dan sayur juga bertranspirasi yaitu melepaskan air dalam bentuk uap. Kehilangan karena respirasi dan transpirasi diisi kembali dari air, fotosintat (sukrosa dan a

mineral dari aliran air pada sel tumbuhan selama sayur dan buah masih menempel pada tanaman induknya. Akibat pemanenan, sumber air, fotosintat dan mineral terputus, sehingga buah dan sayur memasuki fase kerusakan (Salunkhe 2000).

a. Galah gurung

dengan sisa rasa alkohol yang tidak enak dan membentuk kantong-kantong lateks yang menggumpal sehingga menurunkan kualitas.

Umumnya pohon sawo cukup tinggi, buahnya terdapat di ujung batang muda yang jumlahnya hanya sedikit, sehingga untuk mengetahui buah yang cukup tua sangat sulit. Oleh karena itu, pemanenan dilakukan dengan cara memanjat pohon, dan apabila belum mencapai buahnya, dapat disambung dengan galah seperti terlihat dalam Gambar 2.

Gambar 2. Alat pemanen sawo.

Setelah semua buah dipanen dan dikumpulkan dalam suatu wadah, kemudian dilakukan pencucian untuk menghilangkan kulit yang kasar ata gabus (BAPPENAS, 2005).

Fisiologi Pasca Panen

Sayur dan buah jika dipanen dari tanaman adalah struktur hidup karena melanjutkan reaksi metabolisme dan mempertahankan proses fisiologi dalam periode pascapanen. Buah dan sayur berespirasi dengan mengambil oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dan panas. Selain itu buah dan sayur juga bertranspirasi yaitu melepaskan air dalam bentuk uap. Kehilangan karena respirasi dan transpirasi diisi kembali dari air, fotosintat (sukrosa dan asam amino), dan mineral dari aliran air pada sel tumbuhan selama sayur dan buah masih menempel pada tanaman induknya. Akibat pemanenan, sumber air, fotosintat dan mineral terputus, sehingga buah dan sayur memasuki fase kerusakan (Salunkhe

Galah gurung b. Galah tangguk

7 kantong lateks

Umumnya pohon sawo cukup tinggi, buahnya terdapat di ujung batang muda yang jumlahnya hanya sedikit, sehingga untuk mengetahui buah yang cukup tua sangat sulit. Oleh karena itu, pemanenan dilakukan dengan cara memanjat i buahnya, dapat disambung dengan galah

Setelah semua buah dipanen dan dikumpulkan dalam suatu wadah, kulit yang kasar atau kulit

Sayur dan buah jika dipanen dari tanaman adalah struktur hidup karena melanjutkan reaksi metabolisme dan mempertahankan proses fisiologi dalam espirasi dengan mengambil oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dan panas. Selain itu buah dan sayur juga bertranspirasi yaitu melepaskan air dalam bentuk uap. Kehilangan karena respirasi sam amino), dan mineral dari aliran air pada sel tumbuhan selama sayur dan buah masih menempel pada tanaman induknya. Akibat pemanenan, sumber air, fotosintat dan mineral terputus, sehingga buah dan sayur memasuki fase kerusakan (Salunkhe et al.

(17)

8 2.4.1 Respirasi

Respirasi dari buah dan sayur adalah indeks dari aktivitas fisiologi dan kemampuan lama simpan. Respirasi menjadi salah satu dari dasar proses hidup dan berhubungan dengan kematangan, penanganan, transportasi dan umur simpan. Sebagian besar perubahan fisikokimia yang terjadi dalam buah setelah dipanen berhubungan dengan metabolisme oksidatif, termasuk didalamnya respirasi. Oksidasi biologi dikaitkan sangat erat dengan penelitian-penelitian mengenai perubahan mutu, gangguan fisiologi, daya simpan, kemasakan, penanganan komoditi dan banyak perlakuan-perlakuan pascapanen oleh karena luasnya ruang lingkup respirasi (Pantastico, 1986).

Formula sederhana dari respirasi ditunjukkan sebagai berikut : C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + Energy

Salunkhe et al. (2000) mengemukakan bahwa respirasi dari sayur dan buah melibatkan aspek-aspek berikut :

1. Substrat : jumlah substrat (terutama gula) tersedia untuk respirasi adalah faktor penentu untuk lama simpan pada suhu tertentu (Paez dan Hultin, 1972).

2. Oksigen : ketersediaan oksigen untuk respirasi normal secara umum cukup kecuali jika secara sengaja ketersediaannya dibatasi seperti dalam penyimpanan dengan atmosfir termodifikasi (Kader et al. 1985).

3. Karbon dioksida : pembuangan CO2 hasil pernapasan memerlukan perhatian

lebih daripada penyediaan O2, karena CO2 mungkin berlebih walaupun O2

cukup. Pengurangan 3–5% konsentrasi O2 tidak berefek merugikan pada

produk, tetapi kenaikan CO2 pada konsentrasi yang sama akan merusak dan

membuat mati lemas pada beberapa buah dan sayur (Kader et al. 1985; Duckworth, 1966).

4. Energi : pelepasan panas dari respirasi sangat penting, jika tidak dilakukan, umur dari sayur dan buah akan berkurang dan suhu lingkungan akan naik. Naiknya laju respirasi menyebabkan kenaikan penggunaan substrat (Ryall dan Lipton, 1979 dan 1982).

5. Laju respirasi : tingkat respirasi menentukan jumlah O2 yang harus tersedia

(18)

9 dihilangkan. Laju respirasi adalah fungsi dari suhu dan konsentrasi O2

disekitar buah dan sayur. Semakin tinggi laju respirasi maka akan mengurangi umur simpan produk. Laju respirasi juga bisa didefinisikan sebagai berat CO2 yang diproduksi per unit berat segar dan waktu (mg

CO2/kg.h) (Kader et al. 1985).

6. Laju respirasi awal : laju respirasi yang terjadi segera setelah panen atau antara beberapa jam tergantung jenis panen dan suhu (Ryall dan Lipton, 1979).

7. Laju respirasi rata-rata : ditentukan dengan respirasi pada selang waktu tertentu kemudian dirata-ratakan (Ryall dan Lipton, 1979).

8. Efek suhu dan lama penyimpanan terhadap laju respirasi : laju respirasi secara umum akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan waktu penyimpanan buah dan sayur. Walaupun demikian, pada suhu yang tinggi dan waktu penyimpanan yang lama, laju respirasi akan menurun sampai matinya produk (Duckworth, 1966).

9. Efek komoditas pada laju respirasi : laju respirasi bervariasi tergantung dari komoditas dan varietasnya. Varietas yang berbeda dalam satu komoditas akan bervariasi dalam laju respirasinya (Ryall dan Lipton, 1979 dan 1982). 10. Ketuaan buah dan sayuran terhadap laju respirasi : buah dan sayur yang

dipanen muda untuk pasar jarak jauh akan berespirasi lebih cepat daripada yang dipanen pada ketuaan yang mendekati pematangan (Ryall dan Lipton, 1979 dan 1982).

11. Hukum Van’t Hoff’s : hukum ini menunjukkan bahwa laju reaksi kimia dikontrol oleh suhu. Van’t Hoff’s membuat istilah Q10 yang

mengindikasikan kenaikan suhu 10oC akan menyebabkan laju reaksi naik dua kali lipat. Walaupun demikian, Q10 untuk respirasi tidak selalu dua kali

lipat, kadang-kadang lebih dari dua kali lipat tergantung dari ketuaan dan struktur anatomi buah dan sayur. Kuosien suhu (Q10) bisa berbeda dari buah

yang sama namun dengan varietas yang berbeda (Ryall dan Lipton, 1979 dan 1982).

(19)

10 Menurut Pantastico (1986) dan Muchtadi (1992), respirasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal yaitu :

1. Tingkat perkembangan. Variasi laju respirasi terjadi selama perkembangan organ.

2. Susunan kimiawi jaringan. Kuosien respirasi bervariasi tergantung substrat yang digunakan.

3. Ukuran produk. Semakin besar permukaan maka laju respirasinya semakin besar.

4. Pelapis alami. Lapisan kulit yang baik mengakibatkan laju respirasi rendah; 5. Jenis jaringan. Jaringan-jaringan muda yang aktif bermetabolisme,

respirasinya lebih besar dari organ yang mati atau tidur.

Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi respirasi adalah : 1. Suhu. Sesuai dengan karakter kuosien suhu (Q10) masing-masing komoditas.

Pada suhu 32-95oF (0-35oC), laju respirasi buah meningkat 2-2.5 kali setiap kenaikan 18oF (10oC), yang menunjukkan proses biologi/kimia dipengaruhi suhu.

2. Etilen. Pada buah klimakterik, etilen merubah sumbu waktu respirasi namun kurva respirasi dan zat-zat utama yang terkandung tidak berubah, kenaikan respirasi hanya pada saat praklimakterik, setelah klimakterik tidak mengubah laju respirasi.

3. Oksigen yang tersedia. Steward et al. (1936) memperlihatkan bahwa respirasi wortel meningkat dengan ditambahkannya pemberian O2,

sedangkan jika konsentrasinya dikurangi sampai lebih kecil dari konsentrasi O2 udara maka laju respirasinya turun.

4. Kadar CO2. Umur simpan buah dan sayur dapat dipertahankan jika

konsentrasi CO2 sesuai (cukup tinggi) karena akan mengganggu respirasi.

5. Zat pengatur tumbuh, seperti MH (Maleat Hidrazid), ester metil, dan IPC. 6. Kerusakan buah. Respirasi akan dipacu dengan adanya kerusakan pada

(20)

11 2.4.2 Sifat Respirasi

a. Jalur metabolik.

Respirasi dibedakan menjadi tiga tingkat yaitu pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana, oksidasi gula sederhana menjadi asam piruvat, dan transformasi aerobik piruvat dan asam-asam organik lainnya menjadi CO2, air, dan energi. Protein dan lemak dapat berperan sebagai

substrat dalam proses pemecahan ini (Pantastico, 1986). b. Kuosien respirasi.

Kuosien respirasi (RQ) adalah perbandingan CO2 yang dikeluarkan

terhadap O2 yang dipakai dalam respirasi. RQ berguna untuk mengetahui

sifat substrat yang digunakan dalam respirasi, sejauh mana bersifat aerobik atau anaerobik, dan sejauh mana reaksi respirasi berlangsung. Namun demikian harus disadari bahwa proses ini mungkin sangat rumit, sebab pada suatu saat mungkin berbagai tipe substrat yang berbeda bersama-sama digunakan. Jadi RQ yang diukur hanya merupakan nilai rata-rata yang bergantung pada sumbangan respirasi masing-masing substrat dan kandungan relatif karbon, H2, dan O2. Interpretasi kuosien respirasi harus

berhati-hati karena kuosien respirasi dipengaruhi oleh faktor kimia dan fisik, terutama dalam koefisien kelarutan dan difusi gas O2 dan CO2 yang penting

jika laju respirasi berubah dengan cepat. Nilai RQ bervariasi tergantung perlakuan yang diberikan seperti adanya penghalang masuknya gas O2, suhu

dan fiksasi (pengikatan) gas CO2 selama periode gelap di dalam daun-daun

yang mengandung banyak air (Pantastico, 1986).

2.4.3 Klimakterik dan Non-klimakterik

Berdasarkan pola respirasinya, buah dibedakan atas dua kelompok, yaitu klimakterik dan non-klimakterik. Buah klimakterik mengalami kenaikan respirasi yang cepat selama pematangan. Menurut Kader et al. (1985), buah klimakterik menunjukkan kenaikan yang tinggi dari laju produksi CO2 dan etilen (C2H4)

selama pematangan. Pantastico (1986) mengungkapkan klimakterik adalah kenaikan produksi CO2 secara mendadak.

(21)

12 Klimakterik diterima sebagai petunjuk berakhirnya secara alami suatu masa sintesis dan perawatan yang giat dan permulaan terjadinya penuaan (senescene) yang sesungguhnya pada buah (Pantastico, 1986). Proses klimakterik atau pematangan terjadi sebagai hasil dari perubahan kimia di dalam jaringan secara alami atau biologis. Berdasarkan sifat klimakteriknya, proses klimakterik dibagi menjadi tiga tahap, yaitu klimakterik menaik, puncak klimakterik, dan lepas klimakterik. Fase sebelum ketiga tahapan tersebut dinamakan praklimakterik (Winarno, 2002). Skema pembagian tahap-tahap klimakterik dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema pembagian tahap-tahap klimakterik (Winarno, 2002). Pola respirasi bervariasi dari fase pertumbuhan dan perkembangan, juga bervariasi antar buah dan sayuran (Salunkhe et al. 2000). Pola respirasi dan pertumbuhan buah dan sayur selama perkembangan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Pola pertumbuhan dan respirasi buah dan sayuran selama perkembangan (Biale, 1964 dalam Salunkhe et al. 2000).

(22)

13 Respirasi dan pematangan bisa dihambat dengan mengurangi O2. Jika O2

masih tersedia, etilen akan meningkatkan laju respirasi dan proses metabolisme lain. Etilen dihasilkan dari buah atau sayur itu sendiri atau bisa ditambahkan dalam atmosfer buah atau sayur. Menurut Kader (1985), etilen adalah hormon penuaan dan pematangan alami serta aktif secara fisiologis dalam jumlah yang sedikit (kurang dari 0.1 ppm). Secara umum, laju produksi etilen meningkat dengan kematangan saat panen, kerusakan fisik, penyakit, kenaikan suhu sampai 30oC dan stress air. Produksi etilen pada produk hortikultura segar dapat dikurangi dengan penyimpanan pada suhu aman terendah untuk tiap komoditas dan dengan mengurangi O2 (kurang dari 8%) dan/atau menaikkan CO2 (lebih dari 2%).

Perlakuan etilen pada buah atau sayur yang mempunyai kenaikan respirasi klimakterik akan memacu kenaikan lebih awal, tetapi lajunya tidak mencapai level yang lebih tinggi. Puncak respirasi tidak selalu harus bertepatan dengan puncak pematangan (Salunkhe et al. 2000). Laju respirasi dan produksi etilen beberapa komoditas buah tropis disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 3. Laju respirasi dan produksi etilen beberapa komoditas pada 20oC.

Respirasi Etilen Kelas Range (mg kg-1 h-1) Komoditas Range (µl kg-1h-1) Komoditas sangat rendah <35 nanas, carambola rendah 35 – 70 pisang hijau,

litchi, pepaya, jackfruit, passion-fruit, manggis 0.1 – 1.0 nanas, carambola sedang 70 – 150 mangga, rambutan, chiku (sawo), jambu biji, durian, lanzone

1.0 – 10.0 pisang, jambu biji, mangga, pisang raja, manggis, litchi, sugar apple, sukun, durian, rambutan tinggi 150 – 300 alpukat, pisang

matang, sugar apple, atemoya 10 – 100 alpukat, pepaya, atemoya, chiku sangat tinggi

> 300 soursop > 100 cherimoya, passion-fruit, sapote, soursop

(23)

14 Sawo adalah buah klimakterik tetapi tidak mencapai klimakterik selama di pohon. Laju respirasi pada 24-28 °C (75.2-82.4 °F) adalah 16 mg (9 µl) CO2 kg-1

h-1 (Lakshminaryana dan Subramanyam, 1966 dalam Yahia, 2008), sedangkan menurut Mickelbart (1966) dan Kader (2006), puncak respirasi sawo adalah 25-35 ml CO2/kg.hr pada 20°C (68°F) dan puncak pengeluaran etilen pada 20oC (68oF)

adalah 2-4 µl/kg.h.

2.4.4 Perubahan Kimiawi Selama Penuaan dan Pematangan

Perubahan kimiawi yang terjadi selama penuaan dan pematangan adalah perubahan warna, tekstur, rasa, karbohidrat (pati), asam organik, lemak, asam amino, protein dan lain-lain. Warna hijau (klorofil) berkurang tetapi di dalam buah masih ada sedangkan dinding sel pada waktu proses kelayuan menjadi tipis sehingga membuat tekstur buah menjadi empuk. Pematangan meningkatkan jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis, penurunan asam-asam organik dan senyawa-senyawa fenolik yang mengurangi rasa sepet dan masam. Kenaikan zat-zat atsiri yang memberikan aroma khas buah juga terjadi saat pematangan (Pantastico, 1986).

2.5 Penyimpanan

Tujuan utama penyimpanan buah dan sayur adalah pengendalian respirasi, laju transpirasi, infeksi penyakit dan mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen (Muchtadi, 1992 dan Pantastico, 1986). Penyimpanan dingin merupakan cara yang paling ekonomis dalam memperpanjang umur simpan buah dan sayur.

Menurut Pantastico (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpanan adalah :

1. Faktor-faktor sebelum pemanenan. Cara pembudidayaan mempengaruhi lama penyimpanan, pernafasan, penguapan air, komposisi kimiawi, kenampakan luar, struktur anatomi, pembusukan, mutu rasa dan lain-lain. 2. Praktek pemanenan dan penanganan. Buah yang dijatuhkan dari ketinggian

beberapa inchi dapat mengakibatkan kenaikan produksi CO2 yang mungkin

(24)

15 3. Prapendinginan. Prapendinginan akan mengurangi susut bobot dan memberikan keuntungan yang pasti selama perpanjangan periode penyimpanan.

4. Kebersihan. Keadaan ruang penyimpanan yang tidak bersih meningkatkan kehilangan yang ditimbulkan oleh organisme-organisme penyebab pembusukan.

5. Varietas dan tingkat kemasakan pada pemanenan. Buah-buahan dan sayur-sayuran memiliki lama dan laju tingkat perkembangan yang berbeda-beda menurut jenis produknya. Tingkat perkembangan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju respirasi dan lamanya umur simpan, begitu juga terhadap perubahan antara cadangan bahan makanan. Buah-buah dalam tingkat perkembangan yang lebih lanjut mencapai klimakterik respirasi dalam waktu 6 sampai 10 hari, sedang yang dipanen dengan kemasakan sedang membutuhkan waktu lebih dari 10 hari.

Dalam diskusi mengenai pendinginan terdapat dua aspek yang harus dipertimbangkan yaitu suhu dan waktu selama penyimpanan pada suhu tersebut. Hubungan aktual antara suhu penyimpanan dan durasi bervariasi tergantung dari kultivar, kondisi sebelum panen, tingkat kematangan, dan perlakuan pascapanen (Arpala, 1993 dalam Nakasone dan Paull, 1998).

2.5.1 Chilling Injury

Kerusakan karena pendinginan berbeda-beda tergantung jaringannya. Menurut Kader et al. (1985) secara umum gejala kerusakan secara fisiologis adalah perusakan warna (kehitaman), pelubangan, ada area basah, pematangan yang tidak seragam atau gagal matang, aroma yang berkurang, dan percepatan terjadinya keluruhan permukaan. Kerusakan karena pendinginan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kemasakan buah atau sayur dan suhu penyimpanan. Semakin tua buah atau sayur, maka semakin peka terhadap kerusakan akibat pendinginan (Pantastico, 1986). Namun menurut Muchtadi (1992), beberapa peneliti menemukan bahwa kepekaan terhadap kerusakan dingin lebih besar pada buah-buahan yang belum cukup tua dibandingkan dengan buah yang sudah tua untuk

(25)

16 disimpan. Pengendalian kerusakan akibat pendinginan dapat dilakukan dengan pengendalian suhu dan pelapisan lilin, pre-cooling (pra-pengkondisian suhu), pengaturan kelembaban dan penyimpanan dengan udara terkendali. Beberapa karakteristik kerusakan karena pendinginan disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 4. Beberapa karakteristik kerusakan karena pendinginan pada komoditas jika disimpan dibawah suhu kritis penyimpanan.

Komoditas Suhu Penyimpanan Minimum

Karakter Kerusakan

o

C oF

Apel 3 38 Pencoklatan internal, luka seperti terkena air mendidih (scald), pembusukan, dll.

Pisang 13 56 Pudarnya warna, rasa, dan gagal matang. Cranberries 2 36 Tekstur seperti karet, warna daging merah. Buah zaitun 7 45 Pencoklatan internal.

Jeruk 3 38 Pelubangan, terdapat noda coklat. Kentang 4 40 Akumulasi gula pereduksi.

Tomat 9 49 Permukaan basah dan pembusukan.

Sumber : Salunkhe et al. (2000)

2.5.2 Penyimpanan Sawo

Fatimah (1996) mengemukakan bahwa penyimpanan sawo kulon pada suhu 10oC berlangsung kurang dari 8 hari karena pada hari ke-8 sudah terjadi kerusakan akibat pendinginan dengan ciri terdapat bintik-bintik hitam pada kulit buah. Menurut Yahia (2008); Boughton dan Wong (1979) dalam Nakasone dan Paull (1998), umur pascapanen sawo adalah 2-3 minggu pada suhu 12-16oC dengan RH 85-90%. Umur simpan sekitar 13 hari jika disimpan pada 25oC, dan 22 hari pada 15oC. Sawo dewasa akan matang dalam 3 – 7 hari pada 25oC dan bisa disimpan pada 15oC selama 2 minggu. Selain itu, dengan menyimpan sawo pada suhu 4oC sebelum disimpan pada suhu 20oC akan memperpanjang umur simpan, walaupun jika disimpan dalam suhu 4oC selama lebih dari 10 hari akan mengakibatkan chilling injury. Penyimpanan pada 6-10oC menyebabkan kerusakan permanen dan menghasilkan aroma yang buruk, gejala chilling injury terjadi pada penyimpanan 10oC selama 21 hari. Singh dan Mathur (1954) dalam Mickelbart (1996) menemukan bahwa penyimpanan dingin optimum untuk sawo dicapai pada suhu 35-38oF (1.67-3.33oC) dengan kelembaban relatif 85-90%,

(26)

17 dalam kondisi ini sawo bisa disimpan sampai 8 minggu. Menurut Morton (1987), pada percobaan di Malaysia sawo yang masih keras dan dewasa jika disimpan pada 68oF (20oC) akan matang dalam 10 hari dan kondisinya tetap baik untuk 5 hari selanjutnya. Di Venezuela, buah yang sudah tua jika disimpan pada 68oF (20oC) dan RH 90% berada dalam kondisi baik pada akhir hari ke-23. Penelitian lain oleh Kader (2006) mengemukakan bahwa suhu optimum penyimpanan sawo adalah 14oC ± 1oC (58oF ± 1oF) dan berpotensi disimpan selama 2-4 minggu tergantung kultivar dan tingkat ketuaan. Kelembaban relatif optimum adalah 90-95%. Penyimpanan pada suhu dibawah 5oC selama lebih dari 10 hari mengakibatkan chilling injury dengan ciri-ciri noda coklat-hitam pada kulit, gagal untuk matang,dan meningkatnya kebusukan jika dipindah ke suhu yang lebih tinggi.

2.6 Kualitas Buah dan Sayuran

Kualitas dari komoditas segar hortikultura adalah kombinasi dari sifat-sifat yang memberikan nilai sebagai makanan untuk manusia. Menurut produsen hortikultura, kultivar yang baik akan menghasilkan panen yang baik pula, tahan penyakit, mudah dipanen dan berkualitas untuk dikapalkan. Sedangkan menurut konsumen dan distributor, kualitas penampakan adalah yang paling penting. Selain itu, konsumen dan distributor juga sangat tertarik terhadap kekerasan dan lamanya kemampuan simpan. Konsumen menilai bahwa buah dan sayur dalam kondisi baik adalah yang terlihat bagus karena kuat dan memiliki rasa yang enak dan bergizi (Kader et al. 1985). Penampilan, warna, rasa dan tekstur adalah kriteria paling penting dalam kualitas jual produk buah dan sayur (Salunkhe et al. 2000).

(27)

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Dramaga. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2008.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah sawo Sukatali ST1 yang diperoleh dari petani sawo di desa Sukatali, Sumedang. Sawo yang dipanen adalah yang bentuk buahnya maksimal, kulit buah berwarna cokelat muda, dan mudah dilepas dari tangkainya. Peralatan yang digunakan yaitu cold storage, chamber (stoples penyimpanan) dengan volume 3300 ml, thermometer dan RH meter untuk mengukur suhu dan kelembaban relatif chamber, gas analyzer Shimadzu untuk mengukur konsentrasi gas O2 dan CO2, rheometer merk

SUN CR-300 untuk mengukur kekerasan, chromameter Minolta CR-200 dan kamera digital Kodak EasyShare C613 untuk mengukur warna, Atago hand refraktometer untuk mengukur total padatan terlarut, timbangan digital Mettler 2 desimal untuk mengukur susut bobot, alat-alat penunjang untuk pengukuran suhu ruang pendingin dan perlengkapan untuk uji organoleptik.

3.3 Perlakuan

Penelitian ini menggunakan dua faktor yaitu suhu dan lama simpan. Perlakuan suhu yang diberikan adalah suhu 5oC, 15oC dan suhu ruang. Perlakuan lama simpan adalah selama 20 hari. Perlakuan suhu simpan ini dipilih 5 dan 15oC selama 20 hari karena menurut Kader (2006), suhu penyimpanan optimum sawo adalah 14oC ± 1oC (58oF ± 2oF) dan memiliki kekuatan simpan selama 2 – 4 minggu (tergantung pada kultivar dan tingkat kematangan). Sedangkan penyimpanan pada suhu dibawah 5oC selama lebih dari 10 hari menyebabkan chilling injury.

(28)

19 3.4 Tahapan Penelitian

Sawo Sukatali ST1 yang digunakan adalah yang dipanen dengan bentuk buah maksimal, kulit buah berwarna cokelat kekuningan, dan mudah dilepas dari tangkainya (Balerdi et al. 2005; Kute dan Shete, 1995 dalam Yahia, 2008; BAPPENAS, 2005). Setelah dipetik pada pagi hari kemudian dicuci dengan menggunakan air sumur atau air ledeng (tidak menggunakan air hujan). Pencucian ini ditujukan untuk menghilangkan sisa getah dan lapisan kulit terluar yang menempel. Pencucian juga bisa disebut pre-cooling untuk menurunkan suhu buah dan respirasinya. Buah setelah dicuci kemudian disortasi lalu dimasukkan ke dalam karung untuk selanjutnya ditransportasikan ke laboratorium TPPHP. Setelah sampai di laboratorium, buah kemudian disimpan di suhu ruang selama 12 jam (semalam). Buah kemudian dimasukkan ke dalam cold storage dengan suhu 20oC selama satu jam sebelum dimasukkan dalam stoples untuk menjalani perlakuan penyimpanan pada suhu 5oC dan 15oC, dan suhu ruang sebagai kontrol. Tiap stoples terdiri dari 6 buah sawo Sukatali ST1. Kelembaban cold storage dijaga pada 90-95% yang merupakan kelembaban optimum penyimpanan (Kader, 2006).

3.5 Pengamatan 3.5.1 Laju Respirasi

Pengukuran laju respirasi bertujuan untuk menentukan pola respirasi sampai terjadinya klimakterik dan penurunannya. Besar kecilnya respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat (gula) yang hilang, O2 yang diserap, CO2

yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan, dan energi (ATP/adenosine triphosphate) yang timbul.

Produksi CO2 selama proses respirasi relatif cukup besar, sehingga mudah

untuk melakukan pengukuran. Proses respirasi pada tanaman dapat terjadi secara aerobik dan anaerobik. Respirasi anaerobik adalah proses respirasi dengan menggunakan senyawa penerima elektron bukan oksigen, tetapi menggunakan senyawa yang terdapat di dalam bahan itu sendiri yang dikenal sebagai proses fermentasi. Oleh karena itu, pengukuran proses pernafasan dengan mengukur jumlah CO2 yang keluar tidak dapat diketahui apakah proses respirasi bersifat

(29)

20 aerobik atau anaerobik. Pengukuran jumlah O2 yang digunakan dalam respirasi

sulit untuk dilakukan karena jumlah O2 yang digunakan sangat sedikit sehingga

dibutuhkan alat yang memiliki kepekaan tinggi terhadap oksigen misalnya gas khromatografi.

Biasanya respirasi ditentukan dengan pengukuran CO2 dan O2, yaitu dengan

pengukuran laju penggunaan O2 atau dengan penentuan laju pengeluaran CO2

(Winarno dan Aman, 1979; Pantastico, 1986). Perubahan jumlah O2 yang diserap

dan jumlah CO2 yang dikeluarkan relatif cukup jelas selama proses respirasi.

Sampel gas sebagai hasil dari kegiatan respirasi diambil untuk tujuan pengukuran laju respirasi. Sampel gas diperoleh dari gas dalam jaringan (internal) atau dari gas yang ditimbulkan oleh jaringan (eksternal). Pengambilan secara eksternal lebih sederhana dan tidak merusak bahan. Ada dua metode dalam pengambilan gas secara eksternal yaitu metode statis (sistem tertutup) dan metode dinamis (sistem terbuka). Dalam metode sistem tertutup bahan ditempatkan dalam suatu wadah tertutup dimana gas CO2 yang dihasilkan terakumulasi dan gas O2 yang

dikonsumsi menjadi berkurang konsentrasinya. Laju respirasi dihitung dengan mengetahui berat bahan, volume bebas wadah dan perbedaan konsentrasi setelah waktu tertentu (Hasbullah, 1996).

Mannapperuma dan Singh (1960) dalam Hasbullah (1996) menyatakan laju respirasi metode sistem tertutup pada suhu tertentu dengan menggunakan satuan ml/kg.jam seperti Persamaan 1 dan 2.

R



 

    ... (1)

R



    ... (2)

dimana : R adalah laju respirasi (mg/kg.jam atau ml/kg.jam), x1 adalah konsentrasi

gas O2 (%), x2 adalah konsentrasi gas CO2 (%), t adalah waktu (jam), V adalah

volume bebas respirator chamber (ml atau dm3), W adalah berat produk (kg) dan T adalah suhu (K).

Laju respirasi diukur dengan memasukkan buah ke dalam stoples lalu disimpan dalam lemari pendingin dan pada suhu ruang. Pengukuran laju respirasi dilakukan secara periodik, pada 24 jam pertama dilakukan setiap 3 jam sekali, 24 jam kedua dilakukan 6 jam sekali, 24 jam ketiga dilakukan 12 jam sekali, dan

(30)

21 untuk selanjutnya dilakukan setiap 24 jam. Pertama-tama dihitung terlebih dahulu volume chamber lalu dikurangi dengan volume produk untuk menentukan volume bebas ruang. Kemudian dua buah selang dihubungkan dengan alat gas analyzer dan dimasukkan ke dalam chamber untuk melewatkan gas CO2 dan O2. Pada alat

akan terbaca persen gas CO2 dan O2. Laju produksi gas CO2 dan O2 (ml/kg.jam)

selama respirasi diukur dengan Persamaan 1 dan 2.

3.5.2 Susut bobot

Kehilangan berat sayuran dan buah-buahan yang disimpan bisa disebabkan oleh kehilangan karbon selama respirasi atau melalui kehilangan air (transpirasi). Kehilangan berat akibat respirasi lebih kecil daripada melalui transpirasi, sebagai contoh kehilangan berat yang disebabkan oleh respirasi pada buah apel selama penyimpanan pada suhu 37oF adalah sekitar 0.05% setiap minggu sedangkan yang diakibatkan oleh transpirasi adalah 0.5% (Muchtadi, 1992). Kehilangan air selama penyimpanan tidak hanya menurunkan berat, tetapi juga dapat menurunkan mutu dan menimbulkan kerusakan. Susut bobot yang besar akan mengakibatkan pelayuan dan pengeriputan.

Pencegahan kehilangan air dari buah dan sayur bisa dilakukan baik dengan mengurangi respirasi, transpirasi, atau keduanya (Salunkhe et al. 2000). Pengendalian transpirasi dilakukan dengan penyimpanan suhu rendah, kelembaban penyimpanan yang tinggi, perbedaan tekanan uap (vapor pressure difference) yang kecil dan prapendinginan. Penggunaan RH (kelembaban relatif) yang tinggi pada penyimpanan harus diusahakan jangan sampai tumbuh jamur dan organisme-organisme pembusuk lainnya yang disebabkan pengembunan uap pada permukaan komoditas. Menurut Kader et al. (1985), laju transpirasi dipengaruhi oleh faktor internal atau komoditas seperti karakteristik morfologi dan anatomi, rasio permukaan terhadap volume, kerusakan permukaan, dan tingkat ketuaan. Sementara faktor eksternal atau lingkungan adalah suhu, RH, kecepatan udara, dan tekanan atmosfer.

Pengukuran susut bobot adalah salah satu metode yang digunakan dalam menilai kualitas ukuran dari penampakan (visual) produk segar hortikultura

(31)

22 (Kader et al. 1985). Bobot buah diukur setiap hari. Data hasil pengukuran dimasukkan kedalam persamaan :

(

)

% 100 × − = awal berat akhir berat awal berat bobot Susut …………...(3) 3.5.3 Kekerasan

Pengukuran kekerasan adalah salah satu metode yang digunakan dalam menilai kualitas tekstural produk segar hortikultura. Tekstur buah dan sayur dipengaruhi oleh adanya jaringan penunjang, komposisi tanaman, turgiditas, keterikatan (cohesiveness), ukuran dan bentuk sel (Pantastico, 1986). Pengukuran kekerasan dilakukan menggunakan rheometer merk SUN model CR-300 yang diset dengan mode 20, beban maksimum 10 kg, kedalaman penekanan 10 mm, kecepatan penurunan beban 60 mm/m dan diameter probe 5 mm. Bahan ditekan pada daerah pangkal dan ujung (±2-3cm dari pangkal dan ujung), serta bagian tengah buah. Hasil dari ketiga tempat tersebut dirata-ratakan. Pengukuran dilakukan dua kali ulangan pada setiap pengamatan. Nilai pengukuran dalam kg-force (kgf). Kekerasan diamati setiap hari.

3.5.4 Total Padatan Terlarut

Secara praktis, padatan terlarut (obrix) diukur dari air buah karena lebih mudah. Biasanya gula adalah padatan terlarut terbesar dari buah sehingga mengukur bahan terlarut dalam bentuk sari/air bisa memberikan hasil pengukuran yang memuaskan terhadap kandungan gula dalam buah (Thompson, 2003). Kualitas rasa manis dari buah bisa diukur dengan pengukuran total padatan terlarut karena gula merupakan komponen utama dari padatan terlarut (Kader et al. 1985). Pengukuran total padatan terlarut menggunakan hand refraktometer Atago dengan range pengukuran 0-32obrix. Buah setelah dikupas lalu dihancurkan dengan mortar dan cairan daging buah ditempatkan pada prisma refraktometer, kemudian dilakukan pembacaan. Sebelum dan sesudah pembacaan, prisma refraktometer dibersihkan dengan aquades. Pengukuran total padatan terlarut dilakukan setiap hari.

(32)

23 3.5.5 Perubahan Warna

Pengukuran warna adalah salah satu metode yang digunakan dalam menilai kualitas penampakan (visual) produk segar hortikultura. Perubahan warna diukur dengan mengkonversi nilai sinyal warna merah (r), hijau (g) dan biru (b) menjadi nilai warna Hunter Lab. Warna Lab didesain kira-kira seperti penglihatan manusia dan diciptakan sebagai model independen yang digunakan sebagai referens. Ketiga koordinat Lab mewakili kecerahan warna (L, L = 0 menyatakan hitam dan L = 100 menyatakan putih), posisi kecerahan antara warna merah/magenta dan hijau (a, nilai positif menyatakan magenta dan nilai negatif menyatakan hijau), dan posisi kecerahan antara warna kuning dan biru (b, nilai positif menyatakan kuning dan nilai negatif menyatakan biru) (http://en.wikipedia.org/ wiki/Lab_color_space). Nilai sinyal warna merah, hijau dan biru yang dihasilkan dari image processing foto kemudian dikonversikan dalam nilai Hunter Lab dengan rumus sebagai berikut :

Nilai r = var_R, g = var_G, b = var_B. Jika var_R, var_G, var_B > 0.04045, maka:

(

)

100 055 . 1 055 . 0 var_ var_ 4 . 2 ×             + = R R (4)

(

)

100 055 . 1 055 . 0 var_ var_ 4 . 2 ×             + = G G (5)

(

)

100 055 . 1 055 . 0 var_ var_ 4 . 2 ×             + = B B (6) (www.easyrgb.com/index.php?X=MATH&H=02#Top) Jika var_R, var_G, var_B <0.04045, maka :

100 92 . 12 var_ var_ ×      = R R (7) 100 92 . 12 var_ var_ ×      = G G (8) 100 92 . 12 var_ var_ ×      = B B (9)

Kemudian hasil var_R, var_G, var_B dikonversi ke XYZ (observer 2o dan illuminant D65) : 1805 . 0 var_ 3576 . 0 var_ 4124 . 0 var_ × + × + × = R G B X (10) 0722 . 0 var_ 7152 . 0 var_ 2126 . 0 var_ × + × + × = R G B Y (11)

(33)

24 9505 . 0 var_ 1192 . 0 var_ 0193 . 0 var_ × + × + × = R G B Z (12)

Hunter Lab adalah : Y L H) = 10× ( (13)

(

)

(

)

     × − × = Y Y X a H) 17.5 1.02 ( (14)

(

)

(

)

     − × × = Y Z Y b H) 7 0.847 ( (15) (www.easyrgb.com/index.php?X=MATH&H=05#text5) 3.5.6 Uji Organoleptik

Sampel yang seragam disiapkan untuk evaluasi kualitas. Penilaian organoleptik terdiri dari warna, rasa, tekstur, dan aroma oleh panel dari 10 juri yang terlatih atau oleh panel besar konsumen dan tidak merokok. Rasa diuji dengan merasakan kemanisan, keasinan, kehambaran, dan kepahitannya pada lokasi distribusi rasa pada lidah. Tekstur diuji dengan mengunyah. Aroma diuji dengan membaui sampel. Warna diuji sesuai warna alaminya dan diperlukan intensitas cahaya siang hari agar warna sedekat mungkin dengan aslinya (Salunkhe et al. 2000). Pengujian dengan metode hedonik dengan rentangan skor 1-7. Nilai 7 menunjukkan sangat suka sekali dan 1 sangat tidak suka sekali. Nilai yang diperoleh tiap-tiap sampel dijumlahkan dan dibagi jumlah juri untuk menentukan skor akhir rata-rata.

3.6 Rancangan Percobaan

Rancangan acak lengkap, setiap kombinasi suhu dan lama simpan dikondisikan pada RH 90-95% dan diulang sebanyak 2 kali. Data dianalisis menggunakan analisis ragam dengan taraf nyata 5%, bila berpengaruh nyata maka dilanjutkan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test).

(34)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Laju Respirasi

Respirasi dari buah dan sayuran adalah indeks dari aktivitas fisiologi dan kemampuan simpan. Sawo adalah buah klimakterik tetapi tidak mencapai klimakterik selama di pohon (Yahia, 2008). Buah klimakterik mengalami kenaikan respirasi yang cepat selama pematangan. Penyimpanan pada suhu ruang memperlihatkan bahwa sawo Sukatali ST1 pada 3 jam pertama penyimpanan mengalami kenaikan laju respirasi CO2 dari 17.22 ml/kg.jam menjadi 21.26

ml/kg.jam dan O2 dari 18.44 ml/kg.jam menjadi 25.92 ml/kg.jam. Setelah

mengalami kenaikan, selanjutnya laju respirasi CO2 dan O2 mengalami penurunan

atau mengalami fase praklimakterik. Laju respirasi O2 paling rendah adalah 20.56

ml/kg.jam dan terjadi pada penyimpanan jam ke-42 sedangkan laju respirasi CO2

paling rendah adalah 17.01 ml/kg.jam yang terjadi pada penyimpanan jam ke-30 atau titik praklimakterik minimum. Laju respirasi CO2 dan O2 kemudian sampai

pada tahap klimakterik menaik dan mengalami puncak klimakterik pada jam ke-72 dengan laju respirasi CO2 dan O2 berturut-turut adalah 26.2 dan 25.1

ml/kg.jam. Setelah mengalami puncak respirasi, laju respirasi kemudian turun secara perlahan-lahan sampai buah busuk pada penyimpanan jam ke-192 dengan laju respirasi CO2 dan O2 berturut-turut adalah 10.83 dan 8.99 ml/kg.jam. Grafik

laju respirasi CO2 dan O2 pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5. Laju respirasi sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan pada suhu ruang.

0 5 10 15 20 25 30 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 La ju r e sp ir a si ( m l/ k g .j a m ) Waktu (jam)

(35)

26 Penyimpanan sawo Sukatali ST1 pada suhu 15oC memperlihatkan laju respirasi buah pada awal penyimpanan mengalami penurunan. Laju respirasi CO2

dan O2 pada 3 jam awal adalah 13.14 dan 16.39 ml/kg.jam. Laju respirasi

kemudian berangsur-angsur turun sampai titik terendah (praklimakterik minimum) pada jam ke-96 dengan laju respirasi CO2 5.44 ml/kg.jam dan pada jam ke-120

untuk O2 dengan laju respirasi 6.19 ml/kg.jam. Laju respirasi kemudian mulai naik

(fase klimakterik menaik) sampai puncaknya pada penyimpanan jam ke-288 dengan laju respirasi 8.46 ml/kg.jam untuk CO2 dan pada jam ke-264 untuk O2

dengan laju respirasi 9.16 ml/kg.jam. Setelah titik puncak klimakterik ini, laju respirasi CO2 dan O2 mulai menurun sampai buah rusak pada penyimpanan hari

ke-16 atau pada jam ke-384 dengan laju respirasi CO2 dan O2 berturut-turut

adalah 7.63 dan 6.80 ml/kg.jam. Grafik laju respirasi CO2 dan O2 pada penyimpan

suhu 15oC dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Laju respirasi sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan pada suhu 15oC.

Penyimpanan suhu 5oC memperlihatkan laju respirasi buah turun pada awal-awal penyimpanan dengan laju respirasi terendah CO2 adalah 1.58 ml/kg.jam

terjadi pada jam ke-36 sedangkan laju respirasi O2 menunjukkan nilai terendahnya

pada jam ke-21 yaitu 0.78 ml/kg.jam. Setelah mengalami penurunan, laju respirasi CO2 dan O2 menunjukkan kenaikan walaupun nilainya berfluktuasi sampai

penyimpanan berakhir pada hari ke-20 (jam ke-480) dengan laju respirasi CO2 dan

O2 berturut-turut adalah 3.41 dan 4.02 ml/kg.jam. Sampai berakhirnya 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336 360 384 408 La ju r e sp ir a si ( m l/ k g .j a m ) Waktu (jam) Karbon dioksida Oksigen

(36)

27 penyimpanan, tidak ditemukan puncak respirasi atau gejala klimakterik. Grafik laju respirasi CO2 dan O2 pada penyimpan suhu 5oC dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Laju respirasi sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan pada suhu 5oC.

Laju respirasi sawo pada 24-28 °C (75.2-82.4 °F) adalah 16 mg (9 µl) CO2

kg-1 h-1 (Lakshminaryana dan Subramanyam, 1966 dalam Yahia, 2008). Menurut Kader (2006), sawo berpola respirasi klimakterik dengan respirasi puncak 25-35 ml CO2/kg.jam pada 20°C (68°F). Jika dibandingkan antara laju respirasi dari

penyimpanan tiap-tiap suhu, maka dapat terlihat bahwa pada awal-awal penyimpanan terjadi penurunan laju respirasi. Puncak klimakterik suhu ruang terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan suhu 15oC. Penyimpanan suhu 5oC yang tidak terdapat gejala klimakterik. Pada penyimpanan suhu ruang, puncak respirasi terjadi pada jam ke-72 sedangkan untuk penyimpanan suhu 15oC terjadi pada jam ke-264 sehingga terlihat adanya kemunduran waktu puncak klimakterik yang disebabkan karena suhu penyimpanan yang rendah. Semakin rendah suhu penyimpanan maka jumlah CO2 yang digunakan dan O2 yang dihasilkan juga

terlihat mengalami penurunan. Gambar 8 memperlihatkan sawo yang disimpan pada suhu ruang laju respirasinya lebih tinggi daripada suhu 15oC dan laju respirasi pada penyimpanan suhu 15oC lebih tinggi daripada laju repirasi penyimpanan suhu 5oC sehingga terlihat bahwa semakin rendah suhu penyimpanan maka laju respirasi akan terhambat. Kerusakan buah juga berbanding lurus dengan suhu penyimpanan. Pada suhu ruang, sawo sudah

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336 360 384 408 432 456 480 504 La ju r e sp ir a si ( m l/ k g .j a m ) Waktu (jam) Karbon dioksida Oksigen

(37)

28 rusak/busuk pada jam ke-192 ( hari ke-8) sedangkan pada penyimpanan suhu 15oC sawo terjadi pada jam ke-384 (hari ke-16). Sawo pada penyimpanan suhu 5oC masih baik sampai akhir penyimpanan.

Gambar 8. Perbandingan laju respirasi sawo Sukatali ST1 pada beberapa suhu penyimpanan.

Laju respirasi penyimpanan sawo Sukatali ST1 pada suhu ruang paling tinggi dibandingkan dengan suhu dingin lainnya sehingga mengakibatkan berkurangnya umur simpan sawo karena buah cepat busuk (Kader et al.1985). Laju respirasi sawo Sukatali ST1 pada penyimpanan suhu dingin lebih rendah daripada suhu ruang karena pengaruh suhu dingin. Semakin rendah suhu maka laju respirasi akan turun sesuai dengan hukum Q10 Van’t Hoff’s dimana setiap

kenaikan suhu 10oC maka laju reaksi kimia akan naik dua kali lipat. Walaupun untuk respirasi nilai Q10 tidak selalu dua kali lipat, tetapi bisa lebih dari itu (Ryall

dan Lipton, 1979 dan 1982 dalam Salunkhe et al. 2000). Lampiran 3 memperlihatkan bahwa laju respirasi CO2 suhu ruang adalah 1.31 sampai 4.79 kali

laju respirasi CO2 suhu 15oC dan laju respirasi CO2 suhu 15oC adalah 1.72 sampai

4.49 kali laju respirasi CO2 suhu 5oC.

Klimakterik respirasi penyimpanan sawo Sukatali ST1 pada suhu ruang terjadi lebih awal dibandingkan dengan suhu 15oC. Terjadinya klimakterik berhubungan dengan faktor fisik yang terutama berhubungan dengan permeabilitas kulit terhadap gas. Buah muda mempunyai epidermis yang disalut

0 5 10 15 20 25 30 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336 360 384 408 432 456 480 504 La ju r e sp ir a si ( m l/ k g -j a m ) Waktu (jam)

Karbon dioksida 5°C Karbon dioksida 15°C Karbon dioksida suhu ruang

(38)

29 oleh suatu lapisan kutikula tipis yang terutama terdiri atas lilin padat. Bila buah menjadi masak kutikula menjadi lebih tebal dan makin lama makin mengandung lilin cair dan minyak sehingga permeabilitas keseluruhannya berkurang dengan bertambahnya umur (Pantastico, 1986). Perubahan permeabilitas sel menyebabkan enzim-enzim dan substrat dalam sel yang dalam keadaan normal terpisah akan bergabung dan bereaksi satu dengan yang lain, sehingga terjadi klimakterik (Winarno dan Aman, 1979).

Gejala mundurnya respirasi klimakterik dan rendahnya laju respirasi pada penyimpanan dingin seperti terlihat pada Gambar 8, disebabkan oleh pengaruh suhu penyimpanan dimana semakin rendah suhu maka waktu klimakterik akan mundur (Salunkhe et al. 2000). Penyimpanan sawo Sukatali ST1 pada suhu 5oC tidak memperlihatkan gejala klimakterik selama 20 hari penyimpanan, hal ini disebabkan buah menjadi dorman karena suhu penyimpanan yang rendah. Dorman atau dormancy dalam fisiologi tanaman adalah periode menahan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dorman meminimalkan aktivitas metabolisme sehingga menghemat energi. Dorman adalah strategi bertahan hidup yang memungkinkan tanaman untuk bertahan hidup di lingkungan yang tidak cocok untuk hidup seperti saat musim dingin atau kering (http://en.wikipedia.org/wiki/Dormancy). Dorman baik untuk penyimpanan karena saat buah mengalami pematangan setelah penyimpanan, buah masih menyimpan energi yang cukup untuk mendukung perubahan-perubahan fisikokimia dalam buah sehingga buah dapat matang dengan baik.

Kuosien respirasi (RQ) adalah perbandingan CO2 yang dikeluarkan terhadap

O2 yang dipakai dalam respirasi. RQ berguna untuk mendeduksi sifat substrat

yang digunakan dalam respirasi, sejauh mana bersifat aerobik atau anaerobik, dan sejauh mana reaksi respirasi berlangsung (Pantastico, 1986). Penyimpanan suhu ruang memperlihatkan bahwa selama awal penyimpanan sampai sebelum terjadinya klimakterik laju respirasi CO2 lebih kecil daripada laju respirasi O2

sehingga membuat nilai kuosien respirasinya kurang dari 1. Menurut Pantastico (1986), nilai kuosien respirasi kurang dari 1 bisa disebabkan oleh substrat respirasinya (asam lemak) mempunyai perbandingan O2 terhadap C (karbon) yang

(39)

30 sempurna/terhenti), misalnya pada pembentukan asam suksinat atau zat-zat antara lainnya, atau karena CO2 yang dikeluarkan digunakan dalam proses-proses

sintesis, misalnya pembentukan asam oksaloasetat dan asam malat dari piruvat dan CO2. Nilai kuosien respirasi kurang dari 1 juga terjadi pada penyimpanan

suhu 15oC pada hampir semua fase respirasi klimakterik kecuali pada 1 hari terakhir penyimpanan. Sementara itu, pada fase lepas klimakterik penyimpanan suhu ruang memperlihatkan perbandingan laju respirasi CO2 lebih besar daripada

O2 sehingga mengakibatkan kuosien respirasi bernilai lebih dari 1. Nilai kuosien

respirasi lebih dari 1 berarti yang digunakan dalam respirasi adalah substrat yang mengandung oksigen (asam-asam organik). Dibandingkan dengan gula, respirasi ini butuh lebih sedikit O2 untuk menghasilkan sejumlah CO2 yang sama.

Penyimpanan suhu 5oC memperlihatkan tidak adanya pola kuosien respirasi. Berdasarkan analisis sidik ragam dengan taraf nyata 5%, dapat diketahui bahwa selama 8 hari penyimpanan, suhu dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap laju respirasi O2, sedangkan laju respirasi CO2 hanya dipengaruhi

secara nyata oleh suhu penyimpanan. Hasil analisis sidik ragam konsumsi O2 dan

produksi CO2 dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10. Penyimpanan dengan suhu

15oC tidak dianjurkan untuk dilakukan karena laju respirasinya masih tinggi dan terjadi klimakterik. Penyimpanan sawo Sukatali ST1 selama 20 hari pada suhu 5oC masih bisa diteruskan lebih lama karena selama penyimpanan 20 hari tidak terjadi klimakterik dan kondisi buah masih baik.

4.2 Susut Bobot

Buah dan sayur kebanyakan memiliki kandungan air yang tinggi. Kehilangan bobot selama transportasi dan penyimpanan bisa menjadi faktor ekonomis yang serius terutama jika sayur atau buah tersebut dijual berdasarkan bobotnya. Susut bobot penyimpanan suhu ruang pada 2 hari awal adalah 0.11 dan 0.44%, yang lebih kecil daripada susut bobot penyimpanan suhu 5 dan 15oC pada hari yang sama. Susut bobot penyimpanan suhu ruang pada hari ke-3 yaitu 0.72% yang melewati susut bobot penyimpanan suhu 15oC pada hari yang sama, namun belum melewati susut bobot suhu 5oC. Susut bobot penyimpanan suhu ruang pada hari ke-4 sudah melebihi dari penyimpanan suhu 5 dan 15oC yaitu 0.92%. Gambar

Gambar

Tabel 1. Analisa sawo dari Meksiko Selatan
Tabel 2. Komposisi sawo per 100 gram porsi yang bisa dimakan (edible portion)  Proksimat  Energi (kJ)  Protein (g)  Lemak (g)  Karbohidrat (g)  Serat (g)  Abu (g)  Kadar air (g)  393 0.5 1.1 23 1.6 0.4 75  Mineral  Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg)  24 10
Gambar 2. Alat pemanen sawo.
Gambar 4. Pola pertumbuhan dan respirasi buah dan sayuran selama   perkembangan (Biale, 1964 dalam Salunkhe et al
+7

Referensi

Dokumen terkait

langkah-langkah pembentukan trip pertama pada rute keempat sebagai berikut. 1) Pada langkah ini, karena truk mengawali perjalanan dari BLH Kota Yogyakarta (0), maka dipilih TPS

2 Saat ini, hal yang paling penting dalam hidup saya adalah berolahraga dengan sebaik-baiknya pada cabang olahraga yang saya tekuni.. 3 Saya ingin berlatih

Seluruh Staff Tata Usaha, Pak Budi (terima kasih atas kemudahan birokrasinya, pemberi solusi, semangat, dan kemurahan hatinya), Mas Depi (terima kasih atas

Piagam penghargaan “ Anggota evaluasi presentasi dan program KKN “ Universitas Lampung ORGANISASI PROFESI/ILMIAH Tahun Organisasi Jabatan 2003. Himpunan Ahli Teknik Hidrolik

Dalam konteks perang AS-sekutu versus Irak, alasan apa yang dapat membenarkannya, sehingga tindakan Bush-Blair yang melanggar ketentuan PBB itu pun dapat kita terima sebagai

Untuk mengusahakan ekowisata disuatu tempat, yang perlu dikenali adalah keadaan alam (keindahan dan daya tarik) yang spesifik atau unik dari objek objek wisata yang

Sedangkan sektor yang mengalami kenaikan meliputi Sektor Industri, Sektor Konstruksi dan Sektor Perdagangan yang mengalami kenaikan jumlah penduduk bekerja pada

Dari banyaknya film horor yang beredar di Indonesia, peneliti memilih film “Hantu Budeg” karena di dalam film ini banyak adegan. yang vulgar, bahkan di dalam