4.1 Laju Respirasi
Respirasi dari buah dan sayuran adalah indeks dari aktivitas fisiologi dan kemampuan simpan. Sawo adalah buah klimakterik tetapi tidak mencapai klimakterik selama di pohon (Yahia, 2008). Buah klimakterik mengalami kenaikan respirasi yang cepat selama pematangan. Penyimpanan pada suhu ruang memperlihatkan bahwa sawo Sukatali ST1 pada 3 jam pertama penyimpanan mengalami kenaikan laju respirasi CO2 dari 17.22 ml/kg.jam menjadi 21.26 ml/kg.jam dan O2 dari 18.44 ml/kg.jam menjadi 25.92 ml/kg.jam. Setelah mengalami kenaikan, selanjutnya laju respirasi CO2 dan O2 mengalami penurunan atau mengalami fase praklimakterik. Laju respirasi O2 paling rendah adalah 20.56 ml/kg.jam dan terjadi pada penyimpanan jam ke-42 sedangkan laju respirasi CO2
paling rendah adalah 17.01 ml/kg.jam yang terjadi pada penyimpanan jam ke-30 atau titik praklimakterik minimum. Laju respirasi CO2 dan O2 kemudian sampai pada tahap klimakterik menaik dan mengalami puncak klimakterik pada jam ke-72 dengan laju respirasi CO2 dan O2 berturut-turut adalah 26.2 dan 25.1 ml/kg.jam. Setelah mengalami puncak respirasi, laju respirasi kemudian turun secara perlahan-lahan sampai buah busuk pada penyimpanan jam ke-192 dengan laju respirasi CO2 dan O2 berturut-turut adalah 10.83 dan 8.99 ml/kg.jam. Grafik laju respirasi CO2 dan O2 pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Laju respirasi sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan pada suhu ruang.
0 5 10 15 20 25 30 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 La ju r e sp ir a si ( m l/ k g .j a m ) Waktu (jam)
26 Penyimpanan sawo Sukatali ST1 pada suhu 15oC memperlihatkan laju respirasi buah pada awal penyimpanan mengalami penurunan. Laju respirasi CO2
dan O2 pada 3 jam awal adalah 13.14 dan 16.39 ml/kg.jam. Laju respirasi kemudian berangsur-angsur turun sampai titik terendah (praklimakterik minimum) pada jam ke-96 dengan laju respirasi CO2 5.44 ml/kg.jam dan pada jam ke-120 untuk O2 dengan laju respirasi 6.19 ml/kg.jam. Laju respirasi kemudian mulai naik (fase klimakterik menaik) sampai puncaknya pada penyimpanan jam ke-288 dengan laju respirasi 8.46 ml/kg.jam untuk CO2 dan pada jam ke-264 untuk O2 dengan laju respirasi 9.16 ml/kg.jam. Setelah titik puncak klimakterik ini, laju respirasi CO2 dan O2 mulai menurun sampai buah rusak pada penyimpanan hari ke-16 atau pada jam ke-384 dengan laju respirasi CO2 dan O2 berturut-turut adalah 7.63 dan 6.80 ml/kg.jam. Grafik laju respirasi CO2 dan O2 pada penyimpan suhu 15oC dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Laju respirasi sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan pada suhu 15oC.
Penyimpanan suhu 5oC memperlihatkan laju respirasi buah turun pada awal-awal penyimpanan dengan laju respirasi terendah CO2 adalah 1.58 ml/kg.jam terjadi pada jam ke-36 sedangkan laju respirasi O2 menunjukkan nilai terendahnya pada jam ke-21 yaitu 0.78 ml/kg.jam. Setelah mengalami penurunan, laju respirasi CO2 dan O2 menunjukkan kenaikan walaupun nilainya berfluktuasi sampai penyimpanan berakhir pada hari ke-20 (jam ke-480) dengan laju respirasi CO2 dan O2 berturut-turut adalah 3.41 dan 4.02 ml/kg.jam. Sampai berakhirnya
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336 360 384 408 La ju r e sp ir a si ( m l/ k g .j a m ) Waktu (jam) Karbon dioksida Oksigen
27 penyimpanan, tidak ditemukan puncak respirasi atau gejala klimakterik. Grafik laju respirasi CO2 dan O2 pada penyimpan suhu 5oC dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Laju respirasi sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan pada suhu 5oC.
Laju respirasi sawo pada 24-28 °C (75.2-82.4 °F) adalah 16 mg (9 µl) CO2
kg-1 h-1 (Lakshminaryana dan Subramanyam, 1966 dalam Yahia, 2008). Menurut Kader (2006), sawo berpola respirasi klimakterik dengan respirasi puncak 25-35 ml CO2/kg.jam pada 20°C (68°F). Jika dibandingkan antara laju respirasi dari penyimpanan tiap-tiap suhu, maka dapat terlihat bahwa pada awal-awal penyimpanan terjadi penurunan laju respirasi. Puncak klimakterik suhu ruang terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan suhu 15oC. Penyimpanan suhu 5oC yang tidak terdapat gejala klimakterik. Pada penyimpanan suhu ruang, puncak respirasi terjadi pada jam ke-72 sedangkan untuk penyimpanan suhu 15oC terjadi pada jam ke-264 sehingga terlihat adanya kemunduran waktu puncak klimakterik yang disebabkan karena suhu penyimpanan yang rendah. Semakin rendah suhu penyimpanan maka jumlah CO2 yang digunakan dan O2 yang dihasilkan juga terlihat mengalami penurunan. Gambar 8 memperlihatkan sawo yang disimpan pada suhu ruang laju respirasinya lebih tinggi daripada suhu 15oC dan laju respirasi pada penyimpanan suhu 15oC lebih tinggi daripada laju repirasi penyimpanan suhu 5oC sehingga terlihat bahwa semakin rendah suhu penyimpanan maka laju respirasi akan terhambat. Kerusakan buah juga berbanding lurus dengan suhu penyimpanan. Pada suhu ruang, sawo sudah
0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336 360 384 408 432 456 480 504 La ju r e sp ir a si ( m l/ k g .j a m ) Waktu (jam) Karbon dioksida Oksigen
28 rusak/busuk pada jam ke-192 ( hari ke-8) sedangkan pada penyimpanan suhu 15oC sawo terjadi pada jam ke-384 (hari ke-16). Sawo pada penyimpanan suhu 5oC masih baik sampai akhir penyimpanan.
Gambar 8. Perbandingan laju respirasi sawo Sukatali ST1 pada beberapa suhu penyimpanan.
Laju respirasi penyimpanan sawo Sukatali ST1 pada suhu ruang paling tinggi dibandingkan dengan suhu dingin lainnya sehingga mengakibatkan berkurangnya umur simpan sawo karena buah cepat busuk (Kader et al.1985). Laju respirasi sawo Sukatali ST1 pada penyimpanan suhu dingin lebih rendah daripada suhu ruang karena pengaruh suhu dingin. Semakin rendah suhu maka laju respirasi akan turun sesuai dengan hukum Q10 Van’t Hoff’s dimana setiap kenaikan suhu 10oC maka laju reaksi kimia akan naik dua kali lipat. Walaupun untuk respirasi nilai Q10 tidak selalu dua kali lipat, tetapi bisa lebih dari itu (Ryall dan Lipton, 1979 dan 1982 dalam Salunkhe et al. 2000). Lampiran 3 memperlihatkan bahwa laju respirasi CO2 suhu ruang adalah 1.31 sampai 4.79 kali laju respirasi CO2 suhu 15oC dan laju respirasi CO2 suhu 15oC adalah 1.72 sampai 4.49 kali laju respirasi CO2 suhu 5oC.
Klimakterik respirasi penyimpanan sawo Sukatali ST1 pada suhu ruang terjadi lebih awal dibandingkan dengan suhu 15oC. Terjadinya klimakterik berhubungan dengan faktor fisik yang terutama berhubungan dengan permeabilitas kulit terhadap gas. Buah muda mempunyai epidermis yang disalut
0 5 10 15 20 25 30 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 312 336 360 384 408 432 456 480 504 La ju r e sp ir a si ( m l/ k g -j a m ) Waktu (jam)
Karbon dioksida 5°C Karbon dioksida 15°C Karbon dioksida suhu ruang
29 oleh suatu lapisan kutikula tipis yang terutama terdiri atas lilin padat. Bila buah menjadi masak kutikula menjadi lebih tebal dan makin lama makin mengandung lilin cair dan minyak sehingga permeabilitas keseluruhannya berkurang dengan bertambahnya umur (Pantastico, 1986). Perubahan permeabilitas sel menyebabkan enzim-enzim dan substrat dalam sel yang dalam keadaan normal terpisah akan bergabung dan bereaksi satu dengan yang lain, sehingga terjadi klimakterik (Winarno dan Aman, 1979).
Gejala mundurnya respirasi klimakterik dan rendahnya laju respirasi pada penyimpanan dingin seperti terlihat pada Gambar 8, disebabkan oleh pengaruh suhu penyimpanan dimana semakin rendah suhu maka waktu klimakterik akan mundur (Salunkhe et al. 2000). Penyimpanan sawo Sukatali ST1 pada suhu 5oC tidak memperlihatkan gejala klimakterik selama 20 hari penyimpanan, hal ini disebabkan buah menjadi dorman karena suhu penyimpanan yang rendah. Dorman atau dormancy dalam fisiologi tanaman adalah periode menahan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dorman meminimalkan aktivitas metabolisme sehingga menghemat energi. Dorman adalah strategi bertahan hidup yang memungkinkan tanaman untuk bertahan hidup di lingkungan yang tidak cocok untuk hidup seperti saat musim dingin atau kering (http://en.wikipedia.org/wiki/Dormancy). Dorman baik untuk penyimpanan karena saat buah mengalami pematangan setelah penyimpanan, buah masih menyimpan energi yang cukup untuk mendukung perubahan-perubahan fisikokimia dalam buah sehingga buah dapat matang dengan baik.
Kuosien respirasi (RQ) adalah perbandingan CO2 yang dikeluarkan terhadap O2 yang dipakai dalam respirasi. RQ berguna untuk mendeduksi sifat substrat yang digunakan dalam respirasi, sejauh mana bersifat aerobik atau anaerobik, dan sejauh mana reaksi respirasi berlangsung (Pantastico, 1986). Penyimpanan suhu ruang memperlihatkan bahwa selama awal penyimpanan sampai sebelum terjadinya klimakterik laju respirasi CO2 lebih kecil daripada laju respirasi O2
sehingga membuat nilai kuosien respirasinya kurang dari 1. Menurut Pantastico (1986), nilai kuosien respirasi kurang dari 1 bisa disebabkan oleh substrat respirasinya (asam lemak) mempunyai perbandingan O2 terhadap C (karbon) yang lebih kecil daripada heksosa (lemak), proses oksidasi belum tuntas (tidak
30 sempurna/terhenti), misalnya pada pembentukan asam suksinat atau zat-zat antara lainnya, atau karena CO2 yang dikeluarkan digunakan dalam proses-proses sintesis, misalnya pembentukan asam oksaloasetat dan asam malat dari piruvat dan CO2. Nilai kuosien respirasi kurang dari 1 juga terjadi pada penyimpanan suhu 15oC pada hampir semua fase respirasi klimakterik kecuali pada 1 hari terakhir penyimpanan. Sementara itu, pada fase lepas klimakterik penyimpanan suhu ruang memperlihatkan perbandingan laju respirasi CO2 lebih besar daripada O2 sehingga mengakibatkan kuosien respirasi bernilai lebih dari 1. Nilai kuosien respirasi lebih dari 1 berarti yang digunakan dalam respirasi adalah substrat yang mengandung oksigen (asam-asam organik). Dibandingkan dengan gula, respirasi ini butuh lebih sedikit O2 untuk menghasilkan sejumlah CO2 yang sama. Penyimpanan suhu 5oC memperlihatkan tidak adanya pola kuosien respirasi.
Berdasarkan analisis sidik ragam dengan taraf nyata 5%, dapat diketahui bahwa selama 8 hari penyimpanan, suhu dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap laju respirasi O2, sedangkan laju respirasi CO2 hanya dipengaruhi secara nyata oleh suhu penyimpanan. Hasil analisis sidik ragam konsumsi O2 dan produksi CO2 dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10. Penyimpanan dengan suhu 15oC tidak dianjurkan untuk dilakukan karena laju respirasinya masih tinggi dan terjadi klimakterik. Penyimpanan sawo Sukatali ST1 selama 20 hari pada suhu 5oC masih bisa diteruskan lebih lama karena selama penyimpanan 20 hari tidak terjadi klimakterik dan kondisi buah masih baik.
4.2 Susut Bobot
Buah dan sayur kebanyakan memiliki kandungan air yang tinggi. Kehilangan bobot selama transportasi dan penyimpanan bisa menjadi faktor ekonomis yang serius terutama jika sayur atau buah tersebut dijual berdasarkan bobotnya. Susut bobot penyimpanan suhu ruang pada 2 hari awal adalah 0.11 dan 0.44%, yang lebih kecil daripada susut bobot penyimpanan suhu 5 dan 15oC pada hari yang sama. Susut bobot penyimpanan suhu ruang pada hari ke-3 yaitu 0.72% yang melewati susut bobot penyimpanan suhu 15oC pada hari yang sama, namun belum melewati susut bobot suhu 5oC. Susut bobot penyimpanan suhu ruang pada hari ke-4 sudah melebihi dari penyimpanan suhu 5 dan 15oC yaitu 0.92%. Gambar
31 9 memperlihatkan pada hari ke-5 penyimpanan suhu ruang terjadi lonjakan susut bobot menjadi 2.72%. Lonjakan ini disebabkan pada hari ke-5 terdapat 2 buah yang busuk pada ulangan ke-2 stoples 60. Dua buah ini pada hari ke-4 berbobot 122.5 dan 60.19 g, sehingga jika keseluruhan bobot buah dirata-ratakan akan menghasilkan nilai 82.85 g dan berbeda 2.96 g dari bobot pada hari ke-4. Susut bobot pada penyimpanan suhu ruang mencapai titik tertinggi sebesar 3.37% yaitu pada hari ke-8 karena setelah hari ke-8 buah yang disimpan sudah busuk.
Penyimpanan suhu 15oC menunjukkan susut bobot yang lebih besar daripada penyimpanan dengan suhu 5oC mulai dari awal penyimpanan sampai hari ke-11dengan susut bobot 2.22% untuk penyimpanan suhu 5oC dan 2.11% untuk penyimpanan suhu 15oC. Pada hari ke-12, susut bobot suhu 15oC adalah 2.58% dan melebihi susut bobot penyimpanan suhu 5oC yang bernilai 2.36%. Mulai dari hari ke-12 sampai penyimpanan berakhir, susut bobot penyimpanan suhu 15oC lebih besar daripada penyimpanan suhu 5oC. Susut bobot tertinggi penyimpanan suhu 15oC adalah 3.58% pada hari ke-16, setelah itu penyimpanan tidak dilanjutkan karena buah sudah busuk. Penyimpanan suhu 5oC menghasilkan susut bobot terbesar pada akhir waktu penyimpanan (hari ke-20) dengan nilai 3.28%. Penyimpanan pada suhu 5oC tidak dilanjutkan karena dibatasi sampai hari ke-20. Data susut bobot sawo Sukatali ST1 pada berbagai suhu penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 9. Susut bobot sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan.
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 S u su t b o b o t ( % ) Waktu (hari) 5°C 15°C suhu ruang
32 Kehilangan berat sayuran dan buah-buahan yang disimpan bisa disebabkan oleh kehilangan karbon selama respirasi atau melalui kehilangan air (transpirasi). Kehilangan berat akibat kehilangan karbon selama respirasi lebih kecil daripada melalui transpirasi. Pencegahan kehilangan air dari buah dan sayur bisa dilakukan baik dengan mengurangi respirasi, transpirasi, atau keduanya (Salunkhe et al. 2000). Susut bobot penyimpanan dingin pada 2 hari awal penyimpanan lebih tinggi dari susut bobot penyimpanan pada suhu ruang. Gejala ini disebabkan karena terjadinya perubahan suhu yang mendadak dari suhu prapendinginan selama 1 jam pada suhu 20oC ke suhu 5oC dan 15oC atau sebagai gejala awal kerusakan karena pendinginan. Gejala kerusakan pendinginan (chilling injury) yang umum diantaranya adalah perubahan warna seluruh permukaan maupun internal buah, lekukan, kehilangan air, dan tidak dapat menjadi matang sebagaimana mestinya terutama pada buah dengan kulit relatif tipis (Pantastico, 1986; Muchtadi, 1992). Gambar perbandingan warna kulit dari berbagai suhu dan lama penyimpanan adalah sebagai berikut :
Gambar 10. Sawo Sukatali ST1 sebelum penyimpanan
a. Ulangan 1 b. Ulangan 2
33
a. Ulangan 1 b. Ulangan 2
Gambar 12. Sawo Sukatali ST1 pada penyimpanan suhu 15oC selama 16 hari.
a. Ulangan 1 b. Ulangan 2
Gambar 13. Sawo Sukatali ST1 pada penyimpanan suhu 5oC selama 20 hari. Walaupun pada awal penyimpanan menunjukkan kehilangan air yang besar, tetapi setelah akhir penyimpanan tidak ditemukan gejala akibat kerusakan penyimpanan dingin seperti perubahan warna seluruh permukaan maupun internal buah, lekukan dan tidak dapat matang. Untuk membuktikan bahwa sawo Sukatali ST1 bisa matang setelah disimpan selama 20 hari pada suhu 5oC, maka dilakukan penyimpanan dalam stoples selama 1 hari pada suhu ruang. Setelah disimpan pada suhu ruang selama 1 hari, buah hasil penyimpanan dingin pada suhu 5oC bisa matang dengan rasa yang manis dan tidak terdapat kelainan warna pada daging maupun permukaan buah. Sawo Sukatali ST1 yang disimpan 1 hari dalam stoples pada suhu ruang setelah penyimpanan pada suhu 5oC selama 20 hari dapat dilihat pada Gambar 14.
34 Gambar 14. Sawo Sukatali ST1 yang disimpan 1 hari dalam stoples pada suhu
ruang setelah penyimpanan pada suhu 5oC selama 20 hari.
Pengendalian transpirasi dilakukan dengan penyimpanan suhu rendah, kelembaban penyimpanan yang tinggi, dan perbedaan tekanan uap (vapor pressure difference) yang kecil. Menurut Kader (2006), kelembaban relatif optimum penyimpanan sawo adalah 90-95%. Pengamatan per hari kelembaban relatif penyimpanan suhu ruang menunjukkan nilai 95-96%, sementara kelembaban relatif penyimpanan suhu 5 dan 15oC menunjukkan nilai 99%. Penggunaan RH (kelembaban relatif) yang tinggi pada penyimpanan harus diusahakan jangan sampai tumbuh jamur dan organisme-organisme pembusuk lainnya yang disebabkan pengembunan uap pada permukaan komoditas (Pantastico, 1986). Susut bobot selama penyimpanan pada semua suhu tidak mengakibatkan pengeriputan sampai buah busuk atau selesai disimpan.
Berdasarkan analisis sidik ragam dengan taraf nyata 5%, dapat diketahui bahwa selama 8 hari penyimpanan, suhu dan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap susut bobot sawo Sukatali ST1. Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 11.
4.3 Kekerasan
Pengukuran kekerasan adalah salah satu metode yang digunakan dalam menilai kualitas tekstural produk segar hortikultura. Selama penyimpanan, nilai kekerasan berfluktuasi, hal ini dapat dilihat pada Gambar 15. Pengamatan selama penyimpanan suhu ruang selama 6 hari menghasilkan nilai kekerasan terendah pada hari pertama yaitu 3.91 kgf dan tertinggi 5.08 kgf pada hari ke-5. Kekerasan mengalami penurunan drastis setelah penyimpanan selama 6 hari. Pengamatan
35 pada hari ke-7 dan 8 penyimpanan pada suhu ruang memperlihatkan nilai kekerasan berturut-turut adalah 0.32 dan 0.3 kgf.
Penyimpanan sawo pada suhu 15oC menunjukkan nilai kekerasan tertinggi pada hari ke-2 dengan nilai 5.26 kgf. Kekerasan pada penyimpanan hari ke-6 dan seterusnya hingga buah busuk mengalami penurunan. Penurunan yang terjadi cukup drastis yaitu dari 4.97 kgf menjadi 0.4 kgf pada penyimpanan hari ke-13. Penyimpanan pada suhu 5oC menunjukkan bahwa nilai kekerasan juga mengalami fluktuasi tetapi tidak ditemukan kecenderungan adanya penurunan drastis nilai kekerasan. Nilai kekerasan tertinggi pada penyimpanan suhu 5oC adalah 5.54 kgf dan terendah 3.79 kgf. Data kekerasan sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 15. Kekerasan sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan.
Tekstur buah dan sayur bergantung pada ketegangan, ukuran, bentuk dan keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang dan susunan tanamannya. Selain itu, tekstur buah dan sayur amat bervariasi dan tergantung pada tebalnya kulit luar, kandungan total zat padat dan kandungan pati (Pantastico, 1986). Selama penyimpanan, turunnya ketegaran disebabkan oleh pembongkaran protopektin yang tak larut menjadi asam pektat dan pektin yang lebih mudah larut air (Pantastico, 1986; Muchtadi, 1992). Gambar 15 menunjukkan bahwa kekerasan suhu ruang turun ke titik paling rendah pada umur simpan 7 hari, sedangkan pada penyimpanan suhu 15oC kekerasan turun ke titik terendah pada hari ke-13,
0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 K e k e ra sa n ( k g f) Waktu (hari) 5°C 15°C suhu ruang
36 sementara kekerasan pada penyimpanan suhu 5oC tidak menunjukkan penurunan sampai penyimpanan berakhir. Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa semakin rendah suhu maka kekerasan (tekstur) buah semakin terjaga.
Ketiga grafik kekerasan penyimpanan sawo Sukatali ST1 tidak memperlihatkan pola. Hal ini disebabkan oleh tidak seragamnya umur panen sawo Sukatali ST1 sehingga pada waktu penyimpanan yang sama belum tentu ketuaannya sama yang secara langsung berhubungan dengan kandungan pektin yang larut dalam air. Setelah melampaui fase puncak respirasi klimakterik, buah dalam proses pelayuan seperti terlihat pada Gambar 4. Dinding sel pada waktu proses pelayuan menjadi tipis sehingga mengakibatkan tekstur menjadi lebih lunak (Winarno dan Aman, 1979). Gambar 5 menunjukkan bahwa puncak respirasi klimakterik penyimpanan suhu ruang terjadi pada hari ke-3 dan turun perlahan-lahan sampai akhir penyimpanan pada hari ke-8. Hubungan antara fase kelayuan pada penyimpanan suhu ruang yang terjadi setelah penyimpanan hari ke-3 dengan menipisnya dinding sel yang mengakibatkan tekstur menjadi lunak terlihat tidak begitu baik. Kekerasan sawo Sukatali ST1 pada penyimpanan suhu ruang pada saat fase kelayuan tidak langsung menunjukkan penurunan yang drastis. Penurunan drastis baru terjadi pada hari ke-7, dan selama hari ke-4 sampai ke-6 kekerasan masih tinggi. Hal ini juga disebabkan karena perbedaan umur panen sawo Sukatali ST1 sehingga menghasilkan respon yang berbeda dari masing-masing pengamatan (respirasi dan kekerasan). Selain itu, karena sampel pengamatan kekerasan tidak sama sampai akhir penyimpanan (buah dirusak setiap pengamatan), maka tidak bisa dengan baik diamati perubahan kekerasan pada buah. Penyimpanan sawo Sukatali ST1 pada suhu 15oC menunjukkan hal yang sedikit berbeda. Gambar 6 menunjukkan bahwa masa kelayuan dimulai pada hari ke-12 dan apabila dibandingkan dengan kekerasan, maka pada hari ke-12 kekerasan sudah mulai turun drastis. Namun demikian, pada fase awal sampai puncak klimakterik, kekerasan berfluktuasi yang disebabkan karena ketidakseragaman sampel. Penyimpanan sawo Sukatali ST1 pada suhu 5oC tidak menunjukkan penurunan drastis kekerasan walaupun nilainya berfluktuasi sampai akhir penyimpanan. Hal ini karena suhu penyimpanan yang rendah akan menunda
37 kematangan dan tidak ditemukannya fase kelayuan pada pola respirasi penyimpanan suhu 5oC sehingga kekerasan hanya dipengaruhi oleh ketuaan buah.
Berdasarkan analisis sidik ragam dengan taraf nyata 5%, dapat diketahui bahwa selama 8 hari penyimpanan, suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kekerasan sawo Sukatali ST1. Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 12. Sawo belum memasuki fase pematangan pada penyimpanan suhu 5oC selama 20 hari karena tidak terjadi pelunakan sehingga suhu 5oC baik digunakan untuk penyimpanan, sedangkan pada suhu 15oC buah matang setelah hari ke-11 yang ditandai turunnya kekerasan buah secara drastis.
4.4 Total Padatan Terlarut
Kualitas rasa manis dari buah bisa diukur dengan pengukuran total padatan terlarut karena gula merupakan komponen utama dari padatan terlarut (Kader et al. 1985). Menurut Morton (1987), kandungan total padatan terlarut sawo Meksiko Selatan adalah 17.4 – 23.7obrix. Selama penyimpanan sawo Sukatali ST1, nilai total padatan terlarut berfluktuasi, hal ini dapat dilihat pada Gambar 16. Pengamatan selama penyimpanan suhu ruang selama 6 hari menghasilkan nilai total padatan terlarut terendah pada hari pertama yaitu 21.1 obrix dan tertinggi 24.8 obrix pada hari ke-4. Total padatan terlarut mengalami penurunan drastis setelah penyimpanan selama 6 hari. Pengamatan pada hari ke-7 dan 8 penyimpanan pada suhu ruang memperlihatkan nilai total padatan terlarut berturut-turut adalah 14.5 dan 15.1 obrix.
Penyimpanan sawo pada suhu 15oC menunjukkan nilai total padatan terlarut tertinggi pada hari pertama dengan nilai 24.4 obrix. Total padatan terlarut pada pengamatan selanjutnya sampai hari ke-7 menalami fluktuasi antara 20.1-23.7
o
brix dan pada hari ke-7 sampai hari ke-13 mengalami penurunan. Penurunan yang terjadi cukup drastis yaitu dari 23.7 obrix menjadi 14.9 obrix. Total padatan terlarut selanjutnya berfluktuasi antara 15-15.6 obrix sampai berakhirnya masa simpan pada hari ke-16 karena buah busuk. Penyimpanan pada suhu 5oC menunjukkan bahwa nilai total padatan terlarut juga mengalami fluktuasi antara 18.6-25.8 obrix, tetapi tidak ditemukan kecenderungan adanya penurunan drastis
38 nilai total padatan terlarut. Data total padatan terlarut sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 6.
Gambar 16. Total padatan terlarut sawo Sukatali ST1 selama penyimpanan. Buah non-klimakterik menimbun gula selama pendewasaan, sementara buah klimakterik menimbun karbohidrat selama pendewasaan dalam bentuk tepung (starch) dan saat buah mengalami pematangan, tepung dipecah menjadi gula. Pengukuran gula ini menjadi indikasi sejauh mana berlangsungnya tahap penuaan maupun pematangan pada kedua jenis buah tersebut (Thompson, 2003). Pengukuran total padatan terlarut sawo Sukatali ST1 pada semua suhu dengan menggunakan handrefractometer mengalami kesulitan karena buah yang diamati jika belum matang kandungan getahnya masih banyak. Getah ini biasa disebut tannin. Tannin adalah polifenol tanaman yang memiliki rasa sepat (astringency) dan mampu mengendapkan protein. Pada umumnya kandungan tannin pada buah mengalami perubahan setelah pemanenan. Kandungan tannin yang ada pada tanaman atau buah sangat tergantung pada tingkat perkembangannya. Misalnya pada buah apel, tannin mencapai kandungan tertinggi pada waktu buah masih