• Tidak ada hasil yang ditemukan

699/Kepariwisataan - Repositori | UNUD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2025

Membagikan "699/Kepariwisataan - Repositori | UNUD"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

1 Bidang unggulan: Budaya dan Pariwisata*) Kode/Nama Bidang Ilmu :699/Kepariwisataan**)

LAPORAN KEMAJUAN

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

DAMPAK PARIWISATA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PESISIR DI KAWASAN TULAMBEN DAN CANDIDASA

KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

(SEBUAH ANALISIS SEKUNDER DALAM PRO POOR TOURISM)

TIM PENELITI

Ni Gusti Ayu Susrami Dewi, SST.Par.,M.Par (Ketua) I Wayan Suardana, SST.Par., M.Par/0001027906 I Nyoman Sudiarta, SE., M.Par/0015036507 I Ketut Antara, SST. Par., M.Par/0810027601 I Gede Gian Saputra (Mahasiswa)

Sri Herayanti (Mahasiswa

)

PROGRAM STUDI INDUSTRI PERJALANAN WISATA (IPW) FAKULTAS PARIWISATA

UNIVERSITAS UDAYANA

JULI 2015

(2)

2 HALAMAN PENGESAHAN HIBAH

UNGGULAN PROGRAM STUDI

Judul Penelitian : Dampak Pariwisata Terhadap Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir di Kabupaten Karangasem (Sebuah Analisis Sekunder Dalam Pro Poor Tourism)

Bidang Unggulan : Pariwisata

Topik Unggulan : Dampak Pariwisata Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Ni Gusti Ayu Susrami Dewi, SST.Par.,M.Par b. NIP/NIDN : 198404042014042001

c. Pangkat/Gol : Penata Muda Tk.1/IIIb d. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli

e. PS/Fakultas : Pariwisata

f. Alamat : Jl. Dr. Goris.07 Denpasar

g. Telepon/E-mail : 0361223798 HP.0081934366403.

email:[email protected] Jumlah anggota peneliti : 3 orang

Jumlah mahasiswa : 2 orang Lama penelitian keseluruhan : 1 tahun

Jumlah biaya yang disetujui : Rp 21.750.000

Denpasar, 27 Juli 2015 Ketua Peneliti,

(Ni Gusti Ayu Susrami Dewi, SST.Par.,M.Par) NIP: 198404042014042001

Mengetahui,

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana

(3)

3 RINGKASAN

Pariwisata merupakan salah satu kegiatan pembangunan dengan prospek pertumbuhan tinggi (Leon, 2007: 340; Hermantoro, 2010: 22-23). Keprihatinan akan kemiskinan di daerah tujuan wisata menjadi perhatian dari para cendekiawan, komponen wisata, dan wisatawan.

Usaha- usaha yang dilakukan untuk dapat mengentaskan kemiskinan adalah dengan mengikutsertakan dan menjadikan masyarakat subjek kepariwisataan yang berpartisipasi langsung dalam mengentaskan kemiskinan. Di Bali pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin mencapai 174,93 ribu orang, lebih kecil dari tahun sebelumnya sebesar 181,7 ribu orang.

Tingkat kemiskinan sebesar 4,88 persen menurun 0,25 persen dari tahun 2009 yaitu 5,13 persen.

Garis kemiskinan di daerah perkotaan maupun di perdesaan sama-sama mengalami peningkatan, yaitu 5,39 persen dan

6,86 persen. Indeks kedalaman kemiskinan di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Begitu juga halnya dengan indeks keparahan kemiskinan yang mencerminkan

kemiskinan di perdesaan lebih parah dibandingkan perkotaan (BPS Provinsi Bali, 2010: 1- 5).

Salah satu Kabupaten di Bali yang mendukung dan mengembangkan pariwisata adalah Kabupaten Karangasem. Saat ini terdapat dua kawasan wisata yang memiliki potensi wisata bahari dan sudah banyak fasilitas pendukung yang dibuat. Kawasan pariwisata tersebut adalah Kawasan Tulamben dan Kawasan Candidasa. Kawasan wisata bahari dan fasilitas wisata yang berkembang melalui suatu proses perencanaan yang paradoks, yaitu idealisme perencanaan awal yang mengandung suatu keinginan untuk melakukan pemerataan pembangunan dan pengurangan kemiskinan di Kawasan Timur Pulau Bali, dan realitasnya pengembangan pariwisata penuh dengan hegemoni dari berbagai pihak. Menurut Nadjib (2009; 15) bahwa kemiskinan masyarakat nelayan merupakan salah satu masalah yang perlu di tangani. Para nelayan kecil yang bermukim di sepajang pantai ditengarai sebagai kelompok termiskin dalam struktur ekonomi masyarakat Indonesia. Kemiskinan di Kabupaten Karangasem terkonsentrasi di daerah pedesaan dan pesisir, dengan lebih dari setengah dari rumah tangga miskin yang terletak di pedesaan. Karangasem merupakan kasus baik di Bali yang mengalami perkembangan pesat pariwisata internasional, khususnya di daerah pantai. Namun demikian, pro poor tourism saat ini menjadi sebuah model yang dianggap ideal untuk meningkatkan peran pariwisata dalam mengurangi kemiskinan. Menurut Ashley et al. (2002:61-82), pariwisata memiliki beberapa keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi pro-miskin: (1) konsumen datang ke tempat tujuan, sehingga memberikan kesempatan untuk menjual barang tambahan dan jasa; (2) pariwisata merupakan kesempatan penting untuk diversifikasi ekonomi lokal, dan (3) pariwisata menawarkan kesempatan kerja yang lebih intensif dan berskala kecil. Perkembangan pariwisata di Kabupaten Karangasem memberikan kesempatan dan isu-isu yang menarik untuk dikaji dan diteliti. Terlebih lagi setelah dikembangkannya dua Kawasan Wisata Bahari yang cukup terkenal, yaitu Kawasan Candidasa dan Kawasan Tulamben. Hipotesis yang diajukan adalah kegiatan pariwisata bahari yang berkembang di Karang Asem khusunya Kawasan Candidasa dan Tulamben, tidak memberikan dampak yang cukup positif terhadap peningkatan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat miskin di dua kawasan wisata di Karangasem tersebut.

(4)

4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keprihatinan akan kemiskinan di daerah tujuan wisata menjadi perhatian dari para cendekiawan, komponen wisata, dan wisatawan. Perhatian ini dimaksudkan agar para stake holder yang terlibat dalam kegiatan kepariwisataan ikut berperan aktif dalam mengentaskan kemiskinan dengan mengikutsertakan dan menjadikan masyarakat miskin sebagai subjek kepariwisataan yang berpartisipasi langsung di dalam usaha mengentaskan kemiskinan mereka. Indeks kedalaman kemiskinan di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Begitu juga halnya dengan indeks keparahan kemiskinan. Kondisi ini mencerminkan kemiskinan di daerah perdesaan lebih parah dibandingkan daerah perkotaan (BPS Provinsi Bali, 2010: 1-5).

Konsep Pro poor tourism saat ini menjadi sebuah model yang dianggap ideal untuk meningkatkan peran pariwisata dalam mengurangi kemiskinan. Menurut Ashley et al. (2000), pariwisata memiliki beberapa keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi pro-miskin: (1) konsumen datang ke tempat tujuan, sehingga memberikan kesempatan untuk menjual barang tambahan dan jasa; (2) pariwisata merupakan kesempatan penting untuk diversifikasi ekonomi lokal, dan dapat berkembang di daerah miskin dan marjinal dengan sedikit ekspor dan pilihan diversifikasi, terutama karena daerah-daerah terpencil terutama menarik wisatawan karena tinggi budaya masyarakat dan utentisitas alam, dan nilai lanskap, dan (3) pariwisata menawarkan kesempatan kerja yang lebih intensif dan berskala kecil dibandingkan dengan non-kegiatan pertanian.

Bali merupakan salah satu pulau yang mengandalkan pariwisata sebagai salah satu sector andalan dalam pertumbuhan perekonomian. Setiap kabupaten di Bali dengan berbagai macam potensi yang dimiliki ikut berlomba untuk mengembangkan

(5)

5 daerahnya menjadi salah satu destinasi wisata favorit baik bagi wisatawan nasional maupun internasional. Salah satu Kabupaten di Bali yang mengembangkan pariwisata di daerahnya adalah Kabupaten Karangasem. Saat ini terdapat dua kawasan wisata yang memiliki potensi wisata bahari dan sudah banyak fasilitas pendukung yang dibuat.

Kawasan pariwisata tersebut adalah Kawasan Tulamben di Kecamatan Kubu dan Abang, dan Kawasan Candidasa yang berada di Kecamatan Manggis. Kawasan wisata bahari dan fasilitas wisata yang berkembang melalui suatu proses perencanaan yang paradoks, yaitu idealisme perencanaan awal yang mengandung suatu keinginan untuk melakukan pemerataan pembangunan dan pengurangan kemiskinan di Kawasan Timur Pulau Bali, dan realitanya pengembangan pariwisata penuh dengan hegemoni dari berbagai pihak.

Perkembangan pariwisata di Kabupaten Karangasem bisa memberikan mata pencaharian alternatif untuk masyarakat pesisir dan hal ini dapat mengimbangi penurunan pada sektor lainnya khususnya tangkapan ikan, dan dengan demikian membantu mengurangi kemiskinan dan memajukan pembangunan negara. Namun, dari beberapa penulis ada yang skeptis bahwa pariwisata akan mampu sebagai penyelamat yang layak bagi masyarakat miskin, mengingat pariwisata adalah sebuah bentuk neo- kolonialisme (Mowforth dan Munt, 1998). Hal ini terlihat dari beberapa kasus bahwa ketika pariwisata mampu memberikan keuntungan ekonomis yang tinggi, justru akan memiliki keterbatasan dalam mengurangi kesenjangan pendapatan. Hal ini disebabkan kebocoran luar negeri, kehilangan kontrol atas sumber daya lokal, dan fakta bahwa sebagian besar dari orang lokal hanya dapat berpartisipasi di bidang pariwisata melalui upah tenaga kerja yang kecil, usaha kecil, yang semuanya memiliki pendapatan rendah, sementara kelompok elit lokal dan kepentingan asing menerima sebagian besar keuntungan ekonomi (Britton, 1982, 1989, 1996; Brohman, 1996).

(6)

6 Perkembangan kegiatan pariwisata yang sangat pesat di Kabupaten Karangasem, khususunya pada dua Kawasan wisata bahari yang terkenal, yakni Tulamben dan Candidasa nampaknya belum mampu menjadi alat pengentasan kemiskinan bagi masyarakat pesisir di dua kawasan tersebut. Ini dibuktikan dengan masih cukup tingginya angka kemiskinan atau jumlah Rumah Tangga Miskin di kedua kawasan tersebut. Jika kita melihat secara kasat mata, arah pengembangan jenis pwisata bahari merupakan suatu jenis wisata yang tepat untuk dikembangkan pada dua kawasan ini yang mana potensi alam utamanya adalah pantai dan bersinergi dengan potensi sumber daya manusianya (masyarakat pesisir). Fenomena ini sangat menarik untuk diteliti, karena pada satu sisi pengembangan jenis pariwisata di kedua kawasan tersebut sudah dinilai tepat karena pengembangannya sesuai dengan potensi yang dimiliki kawasan tersebut. Di mana yang pada awalnya pengembangan pariwisata di kedua kawasan tersebut diharapkan sejalan dengan tujuan pengembangan konsep pro poor tourism (pariwisata yang berpihak pada masyarakat miskin) sehingga pariwisata nantinya diharapkan mampu menjadi alat penekan ataupun pengentas kemiskinan bagi masyarakat pesisir, namun fenomena yang terjadi tidaklah demikian. Oleh sebab itu penting kiranya dilakukan penelitian mengenai dampak pengembangan pariwisata terhadap masyarakat pesisir di kedua kawasan wisata bahari tersebut. Permasalahan yang akan diangkat pada penelitian ini antara lain, mengenai tipologi kemiskinan, penyebab kemiskinan, dan dampak pengembangan pariwisata terhadap masyarakat pesisir khususnya Rumah Tangga Miskin yang ada di Kawasan Tulamben dan Candidasa

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan dalam penelitian ini dapat

(7)

7 dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tipologi kemiskinan pada kawasan pariwisata pesisir di K a w a s a n T u l a m b e n d a n C a n d i d a s a Kabupaten Karangasem?

2. Faktor apakah yang menyebabkan masih adanya kemiskinan p a d a m a s y a r a k a t p e s i s i r di Kawasan Tulamben dan Candidasa Kabupaten Karangasem?

3. Bagaimanakah dampak kegiatan pariwisata terhadap masyarakat miskin di Kawasan Tulamben dan Candidasa Kabupaten Karangasem?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini secara umum adalah menemukan pemahaman antara pariwisata , pengembangan pariwisata, kemiskinan dan pro por tourism . Di mana diharapkan nantinya pengembangan jenis pariwisata pada suatu daerah tepat adanya dan diharapkan meningatkan kesejahteraan masyarakat atau dengan kata lain mampu mengatasi atau menekan permasalahan social masyarakat salah satunya dalah kemiskinan. Sehingga nantinya konsep pro poor tourism dapat dijadikan sebagai senjata atau acuan dalam pengembangan berbagai jenis wisata di berbagai daerah.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tipologi kemiskinan masyarakat pesisir di Kawasan Tulamben dan Candidasa Kabupaten Karangasem.

2. Untuk mengetahui factor penyebab masih adanya kemiskinan p a d a m a s y a r a k a t p e s i s i r di Kawasan Tulamben dan Candidasa Kabupaten Karangasem.

3. Untuk mengetahui dampak perkembangan pariwisata terhadap masyarakat miskin

(8)

8 di Kawasan Tulamben dan Candidasa Kabupaten Karangasem.

1.4 Keutamaan Penelitian

Adapun keutamaan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Menggabungkan antara analisis kuantitatif dan kualitatif, penelitian sebelumnya hanya menggunakan salah satu dari keduanya (lihat Ashley et al. (2000).

2. Penelitian mengenai pengaruh pariwisata khususnya pada masyarakat miskin pesisir di Bali belum banyak dilakukan, padahal sumber kemiskinan banyak terjadi pada daerah pesisir dan potensi pariwisata cukup tinggi.

3. Membangun suatu model penelitian yang dihasilkan dari penggunaan metode gabungan, sehingga mengurangi kelemahan dibandingkan menggunakan salah satu metode.

Penelitian pada masyarakat m i s k i n pesisir menjadi priorotas dalam era pembangunan ekonomi kerakyatan saat ini, khususnya dalam hal ini pengimplementasian konsep pro poor tourism atau pariwisata yang berpihak pada masyarakat miskin.

Pengimplementasian konsep pro poor tourism pada beberapa kawasan pesisir di Bali, diharapkan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di beberapa wilayah pesisir di pulau Bali, salah satunya di wilayah pesisir Kabupaten Karangasaem.

(9)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian dari Leon (2007: 1-22) dengan judul “The Impact of Tourism on Rural Livelihoods in the Dominican Republic’s Coastal Areas”, menfokuskan penelitiannya pada dampak pariwisata terhadap masyarakat pedesaan khususnya masyarkat pesisir dalam upaya pengentasan kemiskinan pada rumah tangga. Dengan menggunakan pendekatan pro poor tourism, pariwisata dapat tumbuh dengan baik di Republik Dominika. Hasil temuan dari Leon inilah yang memberikan inspirasi bagi penulis untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam guna mendapatkan penemuan baru tentang dampak pariwisata terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir di Kabupaten Karangasem. Disamping itu teori yang digunakan yaitu teori pembangunan dan teori Neo-liberalisme, masih ada relevansinya dengan penelitian ini karena ideologi pasar yang mendorong perkembangan pasar pariwisata menyebabkan kemiskinan menjadi bagian yang harus di tekan.

Harniati (2007:201-208) dalam temuan Disertasinya yang berjudul “Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Berbasis Agroekosistem dan Implikasinya pada Kebijakan Pengurangan Kemiskinan”, ditemukan bahwa kemiskinan di Indononesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial)berdasarkan agroekosistem. Pada masyarakat dataran tinggi, lahan basah dan lahan kering serta pesisir/pantai kemiskinannya berada di bawah angka insiden nasional. Akan tetapi secara kuantitatif rumah tangga miskin di lahan kering lebih besar daripada di adeah pesisir. Selain itu juga ditemukan bahwa tingkat keparahan kemiskinan terjadi di agroekosistem hutan dan pesisir.

Tidak ada dalam penelitian ini yang menunjukkan bahwa pariwisata berperan dalam pengurangan kemiskinan. Mengingat dalam bahasan juga disampiakan bahwa

(10)

10 pembatasan penelitian dilakukan hanya pada pesisir, tadaran tinggi, hutan, lahan basah, lahan kering, lahan campuran dan dengan data dari Survey Sosial Eonomi Nasional (Susenas), dan Potensi Desa dari badan pusat statistik (BPS). Dengan demikian laporan penelitian ini bisa menjadi sebuah sumber data sekunder untuk mengadakan penelitian lebih lanjut yang menyangkut proses dan dampak pariwisata terhadap tipologi masyarakat pesisir.

Penelitian selanjutnya yang memfokuskan pada masyarakat dan pariwisata dilakukan oleh Madium (2010) yang berjudul “Partisipasi masyarakat dalam Pengembangan pariwisata di Kawasan Nusa Dua Sebuah kajian budaya”, dengan analisis kualitatif dan pendekatan budaya, ditemukan bahwa terjadi hegemoni penguasa terhadap hak-hak masyarakat lokal dalam pengemangan pariwisata di Kawasan Nusa Dua. Pariwisata telah mengakibatkan masyarakat lokal termarginalisasi dalam merebut peluang usaha dan dikalahkan oleh pengusaha besar. Dengan beragai keterbatasan masyarakat, seperti komunukasi, modal, jaringan, kompetensi dan lain-lain tidak mampu untuk bersaing dengan kuatnya tekanan pasar pariwisata. Hal tersebut telah mengakibatkan pada kegagalan masyarakat lokal dalam berpartisipasi dalam pariwisata sebagai wujud pariwisata berbasis masyarakat lokal. Relevansi dari penelitian ini adalah dampak yang diberikan pada pariwisata terhadap masyarakat memang secara ekonomi sudah cukup tinggi, tetapi diketahui bahwa community based tourism tidak mampu menyentuh pada masyarakat miskin. Masyarakat yang mendapatkan manfaat adalah masyarakat yang mampu dan memiliki kompetensi, sedangkan masyarakat miskin tetap miskin. Akhirnya kesenjangan semakin tinggi, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.

Hal ini juga ditemukan oleh Semadi (2010: 319-345) dalam disertasinya yang berjudul “ Modal Budaya Sebagai Dasar Pengembangan Pariwisata Di Desa Adat Kuta”.

(11)

11 Dalam beberapa bahasan di bab IV dan VII dibahas mengenai kegagalan masyarakat Kuta (yang miskin) dalam percaturan pariwisata, karena diasumsikan sebagai “Kidang nyirig pangkung” atau seekor Kijang yang sedang berjalan mundur di tepi jurang. Karena tidak bisa melihat arah jalan dengan baik, maka kijang akhirnya jatuh, artinya bahwa masyarakat memiliki modal ekonomi seperti tanah dan uang tetapi karena kompetensi dan tekanan pasar pariwisata,tidak tahu cara mengelola dan menangkap peluang ekonomi yang ada, sehingga akhirnya mereka jatuh miskin. Di daerah Kuta masih memiliki 120

KK kurang mampu, padahal daerah tersebut adalah daerah internasional. Hal ini menadakan bahwa kesenjangan akan terus terjadi pada saat pariwisata semakin tumbuh dan berkembang pesat.

Penelitian diatas sangat penting dan menarik dikaji lebih lanjut, karena terdapat fenomena yang sangat kontradiktif. Pariwisata dengan ego kapitalime telah memberikan dampak makro pada ekonomi, sosial budaya dan lingkungan (Mathieson and Wall,

1987:5-13. Pada sisi lain ternyata belum menyentuh pada masyarakat miskin yang notabena lemah dalam berbagai hal. Fokus kajian pada masyarakat merupakan pusat kajian dalam penelitian ini. Masyarakat lokal sebagai pelaku pariwisata yang berhadapan dengan wisatawan sebagai pasar wisata menjadi sebuah paradoks.

Penelitian di kawasan pesisir pernah dilakukan Suardana (2004) dengan judul

”strategi pengembangan kawasan tulamben sebagai kawasan wisata alam di Kabupaten Karangasem”, lebih banyak menguraikan berbagai strategi pengembangan pariwisata alam dengan pendekatan SWOT. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan diversiufikasi produk menjadi strategi utama dalam penelitian ini. Dalam bahasan juga dibahas satu sub bab mengenai dampak pariwisata terhadap masyarakat Tulamben,

(12)

12 yaitu pada peningkatan peran mayarakat, dan peningkata ekonomi masarakat melalui aktivitas pendukung pariwisata. Akan tetapi uraian masih pada aplikasi pengebangan pariwisata bahari dan dikaitkan dampak yang telah ditimbulkan pada saat itu.

Oleh karena itu penelitian terdahulu masih ada kaitannya dengan penelitian yang dilakukan sekarang dengan menambah objek penelitian berupa dampak pariwisata pada mata pencaharian masyarakat miskin di Kawasan wisata di Kabupaten Karangasem.

Penelitian tentang pariwisata di negara-negara berkembang telah banyak difokuskan pada dampak ekonomi, lingkungan dan sosial-budaya. Industri ini memiliki dampak yang berpotensi menguntungkan, tetapi dalam prakteknya ini telah sering sebanding dengan konsekuensi negatif untuk penduduk setempat (Brohman, 1996;

Burns, 1999; Iwersen-Sioltsidis dan Iwersen, 1996; Lea, 1988; Sinclair, 1998). Menurut kriteria John Brohman (lihat bagian tentang neoliberalisme dan pertumbuhan makro- ekonomi), pariwisata telah memberikan kontribusi untuk pembangunan sarana pendukung di banyak negara berkembang.

Menurut Cattarinich (2001 : 18-76), 'over-liberalisasi' industri pariwisata telah berdampak negatif terhadap masyarakat. Sebagai contoh, pemerintah Mesir telah melakukan privatisasi sebagian besar aset pariwisata negara itu tahun 1991. Pada tahun

1993, investasi swasta di sektor pariwisata Mesir telah mencapai 100% (Gray, 1998, p103). Tetapi privatisasi dan liberalisasi pariwisata di Mesir telah terjadi tanpa adanya rencana menyeluruh, yang telah menciptakan masalah. Pada tahun 1998 Mesir tidak mempunyai rencana jangka panjang untuk pengembangan pariwisata, tidak ada rencana strategis untuk menarik wisatawan agar datang ke Mesir. Bahkan, ada beberapa daerah yang saat ini tidak ditujukan untuk pengembangan pariwisata. Hal ini telah dilakukan tanpa penilaian atau perencanaan potensi masalah dari perkembangan pesat

(13)

13 tersebut. Hal ini disebabkan oleh kerusakan lingkungan, ketidakpuasan dari penduduk lokal, perubahan sosial dan ekonomi yang cepat dan ketimpangan distribusi ekonomi, dan kelebihan pasokan di sektor menyebabkan jatuhnya investasi dan lapangan kerja.

Akibatnya, Mesir mengalami decline dalam pariwisata, wisatawan tidak mau lagi berkunjung ke tempat tersebut dan masyarakat juga telah antipati terhadap wisatawan.

2.2 Konsep

Penelitian ini menggunakan beberapa konsep yang mendasari penelitian dampak pariwisata terhadap mata pencaharian masyarakat miskin di Kawasan Tulamben dan Candidasa ini, antara lain:

2.2.1 Pendekatan Pro Poor Tourism

Data-data mengenai besaran peran dari pariwisata dalam mengentaskan kemiskinan sampai saat ini masih terbatas. Dalam implementasi belum banyak best practice bahwa pariwisata secara faktual mampu menanggulangi kemiskinan (Damanik dan Kusworo, 2005: 107). Perdebatan tentang pariwisata sebagai kegiatan yang pro- poor atau tidak, jawabannya tergantung kepada situasi, dan harus dikaji kasus demi kasus. Pandangan ini mulai mencuat ketika muncul konsep pro poor tourism, dengan pengertian bukan membuat produk baru pariwisata dan bukan pula untuk menjual kemiskinan sebagaimana tour mengunjungi kantong-kantong kemiskinan seperti terjadi pada kasus tour di Jakarta (Subagja, 2010: 1).

Pendekatan pro poor tourism, yaitu pariwisata yang memberikan manfaat pada masyarakat miskin, yaitu manfaat ekonomi, sosial, lingkungan, dan kultural. Menurut Jamieson W, Goodwin H and Edmunds C(2004: 31-32). Memberikan berbagai indokator pengukuran implementasi pro poor tourism, yang diklasifikasikan pada 3 indikator yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Adapun indikator-indikator yang ditetapkan ada yang menjadi indikator umum berlaku dan khusus untuk tigkat rumah

(14)

14 tangga.

Untuk indikator umum dijelaskan sebagai berikut:

1. Indikator ekonomi

a. Prosentase (%) penduduk miskin bekerja di sektor pariwisata yang pro poor.

b. Jumlah dan jenis pekerjaan yang diciptakan oleh kegiatan pariwisata. Pada kondisi musim ramai (high seasons) atau pada musim sepi (low seasons), Bekerja penuh/tetap atau paruh waktu

c. Diversifikasi pekerjaan

d. Jumlah bisnis lokal yang berkaitan dengan pariwisata dimulai e. Jumlah penjualan untuk produk masyarakat

f. Pola pengeluaran orang yang bekerja di bidang pariwisata

g. Biaya barang makanan dan konsumen sebelum dan sesudah pengembangan pariwisata.

h. Pemakaian listrik per kapita sebelum dansesudah pengembangan pariwisata.

i. Penghasilan distribusi dalam masyarakat sebelum dan sesudah j. Kebocoran dalam hal akomodasi, makanan dan transportasi.

k. Hutang per kapita sebelum dan sesudah pengembangan pariwisata l. Harga tanah sebelum dan sesudah pengembangan pariwisata 2. Indikator Sosial

a. Modal SDM yaitu perbaikan dalam bahasa atau belajar terhadap kinerja tradisional karena pengaruh pariwisata.

b. Prosentase tingkat kejahatan (turun atau naik) c. Peningkatan akses terhadap infrastruktur publik d. Peningkatan akses terhadap pelayanan sosial / fasilitas e. Peningkatan akses ke pasar oleh orang miskin

(15)

15 f. Peningkatan tanah

g. Jumlah orang lokal dengan pariwisata pelatihan yang berkaitan h. Tingkat pendidikan penduduk

3. Indikator Lingkungan

a. Generasi sampah dari kegiatan wisata b. Tingkat pencemaran air limbah

c. Tingkat polusi udara dari bus wisata dan kendaraan d. Peningkatan atau penurunan masalah lalu lintas Untuk indikator khusus, dijelaskan sebagai berikut:

1. Ekonomi

a. Pendapatan dari program wisata yang didapatkan oleh masyarakat miskin/

lokal

b. Tingkat pendapatan masyarakat miskin yang bergerak di bisnis pariwisata (sebelum dan sesudah).

c. Distribusi yang berkeadilan hasil dari pengembangan pariwisata. d. Jumlah lokal dan asing yang dimiliki usaha pariwisata.

e. Pendapatan dari pariwisata pro miskin 2. Sosial

a. Jumlah masyarakat lokal / masyarakat miskin yang terlibat dalam desain program dan perencanaan pariwisata dan manajemen

b. Tingkat partisipasi masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan.

c. Perubahan struktur sosial masyarakat d. Perubahan nilai-nilai lokal dan adat istiadat e. Perubahan perilaku masyarakat

(16)

16 f. Perubahan gaya perumahan lokal

g. Perubahan kepemilikan tanah (non-warga / warga)

h. Efektivitas kemitraan antara pusat dan daerah, masyarakat pemerintah dan lain-lain.

i. Tingkat kepuasan masyarakat dengan pariwisata j. Konflik publik pengembangan pariwisata pro poor

3. Lingkungan

a. Prosentase (%) hilangnya atau perubahan spesies akibat aktivitas pariwisata b. Kondisi dan tingkat kerusakan atraksi lokal (baik alam atau warisan

c. Kualitas air 3. Tourist

a. Kebutuhan, preferensi dan kepentingan

pengunjung b. Persepsi pengunjung di tempat tujuan

c. Kepuasan tingkat dengan atraksi, fasilitas dan layanan di masyarakat

Pro poor tourism merupakan pendekatan bukan produk yang spesifik.

Sebenarnya pendekatan ini sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata yang sudah dikembangkan di Bali. Dalam perkembangan ekowisata, wisata perdesaan, agro wisata dan marine tourism. Ciri-ciri pro poor tourism ini adalah fokusnya kepada masyarakat miskin. Potensi pariwisata untuk ikut berperan serta dalam pengentasan kemiskinan didasari oleh kenyataan bahwa:

1. Sebagai industri yang beragam, kemungkinan partisipasi makin luas, termasuk kenyataan bahwa sektor ini juga sangat memungkinkan partisipasi sektor informal.

2. Wisatawan datang ke lokasi, asal ada peluang untuk keterkaitan ekonomi dengan usaha kepariwisataan lain, membuka peluang bagi masyarakat seperti

(17)

17 penjualan cinderamata.

3. Pariwisata berbasis kepada sumberdaya alam dan budaya yang dalam berbagai kenyataan dimiliki oleh masyarakat miskin meskipun mereka tak memiliki sumberdaya finansial.

Caroline Ashley & Dilys Roe (2002: 61-81) melakukan analisis terhadap implementasi dari pro poor tourism terhadap manfaat pariwisata terhadap masyarakat miskin. Berdasarkan pada fakta bahwa di Afrika Selatan banyak masyarakat yang masih di bawah garis kemiskinan. Walaupun beberapa wilayah berkembang sentra-sentra kepariwisataan. Dengan melakukan analisis terhadap kemajuan dari daerah wisata, masalah yang dihadapi, dan faktor-faktor kritis yang mempengaruhi diharapkan mampu memberikan implikasi yang lebih baik pada pengentasan kemiskinan. Dengan mengambil kasus pada enam daerah pariwisata yang dengan tipologi yang berbeda di Afrika Selatan ditemukan bahwa pro poor sangat efektif untuk mengurangi kemiskinan. Hal ini perlu disesuaikan dengan keadaan setempat, target pasar dan kepentingan masyarakat.

Berdasarkan kajian yang mendalam Poultney dan Spencenley (2001: 811) menyatakan ada enam strategi yang dapat dilakukan, yaitu;

1. Perluasan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin.

Perluasan kesempatan berusaha dapat memanfaatkan bahan lokal untuk sandang dan pangan serta kebutuhan akomodasi untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan.

Penggunaan bahan lokal menjamin terbukanya peluang berusaha bagi penduduk miskin.

2. Perluasan kesempatan kerja bagi penduduk miskin

Perluasan kesempatan kerja dilakukan dengan cara optimalisasi rekrutmen tenaga kerja lokal. Hal ini bisa dilakukan dengan menyediakan guide lokal yang

(18)

18 memahami budaya lokal dibandingkan guide luar yang hanya sekedar tahu. Maka dari itu, penggunaan tenaga kerja lokal, pemanduan dan pelayanan akomodasi dari orang lokal merupakan upaya nyata mengentaskan kemiskinan.

3. Pengurangan dampak lingkungan bagi penduduk miskin yang lebih rentan Pengembangan akomodasi hotel (bahan baku dan keperluan sehari-hari) dengan memanfaatkan bahan lokal. Namun pemanfaatan bahan tersebut harus dikendalikan sedemikian rupa, sehingga tidak defisit bagi masyarakat yang sangat bergantung padanya.

4. Pengurangan dampak negatif sosial budaya pariwisata bagi penduduk miskin.

Pariwisata dapat dengan mudah mengubah struktur ekonomi masyarakat tetapi, sulit untuk aspek sosial budaya. Oleh sebab itu perluasan kesempatan kerja tidak hanya melihat jumlah pekerjaan tetapi kesesuaian dengan situasi riil masyarakat miskin.

5. Pengembangan kelembagaan yang mendorong upaya pengentasan kemiskinan.

Masyarakat miskin seringkali tidak memiliki institusi yang kuat untuk melakukan berbagai tindakan bersama. Padahal masalah tersebut diperlukan sebagai upaya sebagai entitas kelembagaan yang merepresentasi masyarakat miskin.

6. Penajaman kebijakan dan perencanaan pariwisata yang lebih tepat.

Kebijakan dan rencana pengembangan pariwisata perlu dirumuskan secara spesifik dan tegas mengakomodasi kepentingan masyarakat miskin. Masyarakat miskin di daerah tujuan wisata perlu dihargai sebagai pemilik sumber daya yang utama, sehingga setiap pengembangan harus memberikan sumbangan yang positif bagi kehidupan mereka.

Pengalaman sampai saat ini menunjukkan bahwa pendekatan pro-poor tidaklah mudah, tetapi ada potensi nyata untuk memanfaatkan pariwisata lebih efektif untuk pengurangan kemiskinan. Dengan demikian sifat pariwisata berkembang di Afrika selatan memberikan kesempatan yang baik untuk mengambil pro poor sebagai

(19)

19 model yang relevan. Di Tanzania, perkembangan pariwisata memberikan peningkatan pada pendapatan masyarakat, peluang kerja, peningkatan pendapatan untuk konservasi alam, budaya dan nilai-nilai norma masyarakat. Begitu pula di Namibia dan Uganda (Ashly dan Roe, 2002: 61-81) manfaat ekonomi sangat penting untuk peningkatan promosi konservasi wilayah. Temuan yang sama juga ditulis oleh Leon (2007:349-356) dalam salah satu tulisannya menunjukkan dampak positif dari pariwisata terhadap mata pencaharian masyarakat di Republik Dominika. Dominika menjadikan pengembangan pariwisata pada masyarakat pedesaan khususnya daerah pesisir. Secara umum pariwisata berdampak positif pada pendapatan masyarakat dan kepuasan kerja. Karakteristik masyarakat seperti pengetahuan bahasa asing, usia muda dan keunggulan dari masyarakat dan perjalanan wisata merupakan faktor utama sebagai penentu tenaga kerja.

Memaksimalkan dampak pariwisata terhadap masyarakat tidak harus dalam skala besar. Penelitian dilakukan oleh Trevor Hil, Nell and Troter (2006: 163-174) menemukan pengembangan pariwisata yang berbasis pada alam dan dengan skala kecil di propinsi Kwazulu-Natal, Afrika Selatan mampu mengatasi krisis ekonomi. Penelitian lainnya dari Mograbi dan Rogeron (2007: 85-102) dengan kasus pariwisata bahari di Teluk Sodwana Afrika Selatan. Adanya mekanisme kontrol, pola pengambilan keputusan yang dilakukan oleh kepala kelompok operator secara berkeadilan, dapat meningkatkan pendapat dari masyarakat secara signifikan. Dampak nyata dari upaya pengentasan kemiskinan adalah peningkatan tenaga kerja khususnya dive operator (dengan 637 dari masyarakat lokal dengan 52% dari masyarakat lokal, 47% dari luar wilayah, dan 28% dari luar daerah. Usaha yang dominan berkembang adalah kerajinan, penginapan, serta fasilitas untuk penyelaman, dan produksi kayu bakar.

Perkembangan pariwisata juga telah memberikan dampak pengganda pada masyarakat sekitar Sodwana seperti Hluhluwe, Pangola, Teluk

(20)

20 Richards dan Durban. Dari daerah ini banyak disuplai kebutuhan pariwisata seperti kayu bakar, sarana penyelaman, tenaga kerja dengan ketrampilan yang rendah, dan lainnya.

Dampak yang secara melembaga diperoleh dari retribusi kunjungan wisatawan, akomodasi dan juga fasilitas restoran. Retribusi ini dimanfaatkan untuk perbaikan sarana pendidikan yang ada di sekitar Sodwana. Manat dalam tulisannya Tingsabadh (Damanik, dkk, 2005: 63) memperkuat dengan temuan dari Phuket bahwa dampak pariwisata pantai adalah tumbuhnya pengusaha lokal, dan pekerja sektor informal. Dari 12.570 pekerja sektor pariwisata, 5.025 adalah pekerja formal.

Pariwisata dalam beberapa kasus, terutama di sektor ekonomi tidak mempunyai dampak langsung terhadap pengurangan kemiskinan. Pada beberapa kasus perkembangan pariwisata justru memunculkan gap semakin besar antara masyarakat kaya dan miskin (Scheyvens & Momsen, 2008: 22-41). Apabila masyarakat dalam pembangunan pariwisata tidak terlibat dalam perencanaan apalagi sampai menjual tanah yang dimiliki untuk kepentingan hotel, dapat berakibat meluasnya kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh struktur industri pariwisata yang bersandar pada mekanisme pengadaan modal infrastruktur membatasi partisipasi kelompok miskin untuk memanfaatkan keuntungan dari pariwisata (Harrison, 2008: 851-866). Apalagi kalau hotel tidak merekrut masyarakat sebagai karyawan, sehingga tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan dan tetap saja miskin. Masyarakat yang tergusur proyek pembangunan sarana pariwisata menjadi tersisihkan dan tidak mendapatkan keuntungan dari pembanguan pariwisata. Ada sejumlah alasan kegagalan pariwisata menciptakan keuntungan pada masyarakat miskin, yaitu; modal yang terbatas;

keterbatasan fisik penduduk; sifat-sifat bisnis pariwisata yang telah mapan; tipe pasar wisatawan yang ditarik ke wilayah itu; sifat temporer proyek; keadaan buruk kaum miskin yang tidak terintegrasikan ke dalam rencana pembangunan pariwisata (Gibson,

(21)

21 2009:527-534).

2.3 Kemiskina

Kemiskinan merupakan isu sentral di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, terutama pasca krisis tahun 1997-1999. Levitan 1980 (dalam Nawawi, 2009:119) mendefinisikan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan layanan yang dibutuhan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sejalan dengan itu, Lewis (dalam Usman, 2009) mengkategorikan kemiskinan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan kultural, pendekatan situasional, dan pendekatan interaksional. Pendekatan kultural bahwa kemiskinan merupakan suatu budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi (economic deprivation) yang berlangsung lama.

Berbeda dengan yang diasumsikan Luwis, Valentine (dalam Usman, 2009: 3) mengatakan bahwa ciri-ciri subkultar orang miskin bukan karena kebudayaan yang dihasilkan secara turun temurun, tetapi karena situasi yang menekan yang disebut pendekatan situasional. Sedangkan pendekatan interaksional oleh Gans (dalam Usman, 2009: 4) perilaku dan ciri-ciri yang ditampilkan kaum miskin merupakan hasil interaksi di antara faktor kebudayaan yang sudah tertanam dalam diri orang miskin karena ada faktor yang menekan.

Dengan ukuran pendapatan di bawah standar kemiskinan ekstrim PBB, jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2008 tercatat sebanyak 34,96 juta atau 15,42%

jumlah penduduk turun sebesar 5,94% dari tahun sebelumnya (Hermantoro, 2010: 20).

Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) memprediksikan bahwa tahun 2011 prosentase penduduk miskin di Indonesia mencapai

11,50% atau 25 juta orang dari jumlah penduduk yang diperkirakan 231,7 juta orang.

Menurut Harun (2008: 1), dari 100-an negara berkembang, pariwisata merupakan

(22)

22 sektor ekonomi yang signifikan bagi hampir setengah negara dengan pendapatan rendah (low income countries) dan di hampir seluruh negara dengan pendapatan menengah ke bawah (lower-midle income countries). Di negara berkembang pariwisata merupakan ekspor utama (termasuk lima besar) yaitu sebesar 83 persen yang menghasilkan devisa.

Delapan puluh persen penduduk miskin dunia dengan pendapatan kurang dari USD 1 perhari, tinggal di 12 negara. Pada 11 negara, pariwisata merupakan industri yang tumbuh atau industri yang signifikan. Negara-negara berkembang menerima pangsa yang makin meningkat dari kedatangan wisata internasional, pada tahun 1973 mencapai 20,8 persen meningkat menjadi 40 persen pada tahun 2000. Di Indonesia sendiri tahun 2007 pariwisata memberikan kontribusi sebesar 4,6% terhadap produk nasional, 4,35 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia 5,45 terhadap lapangan kerja, 4,4%

terhadap upah nasional dan 4,1% terhadap total pajak nasional.

Kenyataan juga membuktikan bahwa negara-negara yang kurang berkembang (lesser developed countries/LDCs), mengalami pertumbuhan pendapatan per kedatangan internasional tahun 1990-2000 yang lebih besar dibandingkan dengan negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan negara-negara Eropa. Kenaikannya sebesar 45 persen sementara negara berkembang mengalami kenaikan sebesar hampir 20 persen, negara-negara OECD mengalami kenaikan 18 persen, sedangkan masyarakat Uni Eropa hanya mengalami kenaikan sebesar 7,8 persen. Pariwisata juga terbukti merupakan sumber devisa yang signifikan, lapangan kerja, dan peluang bisnis (Mograbi and Rogerson, 2007: 86; Muhanna, (2007:39). Pariwisata diyakini sebagai alat distribusi pendapatan yang efektif dengan besaran dampak yang bervariasi, baik langsung maupun tidak langsung.

Dalam perkembangan pariwisata di negara berkembang diketahui ternyata

(23)

23 pertumbuhan ekonomi tidak selalu memberikan dampak bagi masyarakat miskin (Hill, Nel and Trotter, 2006:164; Nevin, 2007: 50). Pengurangan kemiskinan hanya dapat dicapai apabila keuntungan atau manfaat pertumbuhan didistribusikan kembali kepada si miskin atau bilamana si miskin disertakan dalam kegiatan ekonomi, sebagai pekerja atau melalui pemberdayaan untuk menciptakan lapangan usaha. Pariwisata dalam ini bukan/tidak hanya memberikan manfaat material bagi si miskin, namun juga membawa kebanggaan kultural, rasa memiliki dan pengendalian. Sebaiknya sebelum menggunakan pariwisata untuk pengurangan kemiskinan juga dibandingkan dengan sektor lain.

2.4 Kontribusi penelitian

Manfaat secara teoritis (akademis) dari penemuan penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan yang berkaitan dengan pariwisata, khususnya pro poor tourism sebagai alat dalam pengentasan kemiskinan di Kabupaten Karangasem. Selain itu penemuan penelitian ini merupakan sumber informasi yang berkaitan dampak pariwisata terhadap masyarakat di Kabupaten Karangasem, yang notabene dengan penduduk miskin terbanyak di Bali.

Secara praktis penelitian ini berkontribusi adalah sebagai berikut:

1. Dapat dipakai bahan pertimbangan bagi pemerintah, dan pelaku pariwisata untuk mengambil kebijakan dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Karangasem khususnya di Kawasan Tulamben dan Candidasa sebagai upaya pengentasan kemiskinan.

2. Menggugah kesadaran para pelaku pariwisata untuk meningkatkan kontribusinya kepada masyarakat miskin sebagai wujud implementasi pengimplementasian pro poor tourism, dimana pelaku pariwisata tidak hanya memarginalkan masyarakat

(24)

24 miskin tetapi merangkul sehingga terjadi keharmonisan antara pariwisata dan manusia.

(25)

25

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan paradigma penelitian kualitatif, yang menekankan pada penggunaan statistik untuk pengukuran. Akan tetapi dalam pariwisata yang merupakan multidisplin, maka dalam membahas penelitian ini akan dilegkapi juga dengan metode kualitatif sebagai pemakna dari setiap ulasan data yang dibahas.

Menurut Jenning (2001:32-61) penggunaan metode kualitatif dan kuantitatif tidak perlu dipertentangkan, justru saling melengkapi. Hal yang sama juga disampaikan oleh Sugiono (2010: 26), karena paradigma ke dua metode berbeda, maka sangat sulit untuk digunakan dalam waktu yang bersamaan, yang dapat dilakukan adalah dengan mengunakan teknik pengumualn datab dengan triangulasi.

Penelitian ini ditujukan sebagai riset kebijakan yang bersifat mikro pada rumah tangga miskin dengan variabel yang banyak. Jenis penelitian ini adalah expalantory research. Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari isian angket yang disebarkan pada responden dan wawancara yang dilaukan kepada para informan. Untuk data sekundernya digunakan data dari Badan Pusat Statistik Bali dan Badan Pusat Statistik Karangasem, serta beberapa perangkat desa yang berada di Kawasan Tulamben dan Candidasa. Penelitian difokuskan pada dampak pariwisata terhadap mata pencaharian masyarakat miskin di Kawasan Tulamben dan Candidasa Kabupaten Karangasem. Masyarakat miskin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat miskin dalam kategori dari BPS yaitu, kemiskinan absolut yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan makanan yakni 2,100 kalori per orang per hari.

Tipologi masyarakat miskin di Kawasan pariwisata diidentifikasi dan

(26)

26 dibandingkan dengan perkembangan pariwisata yang sudah ada. Dengan mengetahui penyebab dari kemiskinan dari masyarakat pesisir, maka akan diketahui pula factor yang menghambat masyarakat miskin mendapatkan manfaat dari perkembangan pariwisata di desa mereka. Gambaran dari masyarakat dan pariwisata diukur dampak yang diberikan pariwisata terhadap masyarakat pesisir miskin di kedua kawasan tersebut.

Adapun rancangan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

(27)

27 Masalah

Penelitian

Hipotesis

Variabel penelitian Tipologi kemiskinan, penyebab kemiskinan dan dampak

pariwisata

Instrumen penelitian

Pengumpulan Data 1. Observasi 2. Wawancara 3. Kuisioner

Penentuan Responden Random sampling

Pengolahan Data Regresi logit

Pembahasan dan analisis hasil penelitian

Temuan Simpulan dan saran Implikasi kebijakan

(28)

28 3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di kawasan pariwisata Tulamben dan Candidasa Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Wilayah desa administratif yang menjadi lokasi penelitian meliputi empat desa yang berada di dua wilayah kecamatan. Adapun wilayah desa pesisir yang termasuk dalam penelitian ini adalah Desa Tulamben, dan Desa Purwakerthi. Sedangkan di Kawasan Candidasa terdiri dari Desa Nyuh Tebel, dan Desa Padang Bay. Pemilihan Desa ini merupakan desa yang mengembangkan pariwisata bahari dengan berbagai industri pendukungnya. Keempat desa ini memiliki karakteristik objek wisata yang sama dan masyarakat pada desa ini dominan memiliki dua mata pencaharian selain mata pencaharian utama yaitu nelayan atau petani. Pemilihan Kabupaten Karangasem sebagai lokasi penelitian, mengingat tingkat kemiskinan di Kabupaten adalah tertinggi di Bali dan letaknya di desa Kawasan Timur Kabupaten Karangasem. Pada desa yang menjadi lokasi penelitian memiliki angka kemiskinan tinggi, dengan rata-rata mencapai 127 KK di bawah garis kemiskinan.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan jenisnya, data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, antara lain sebagai berikut:

1) Data kualitatif

Data kualitatif adalah data yang tidak berupa angka-angka, namun data tersebut dapat dijabarkan secara rinci dan jelas untuk menarik suatu kesimpulan seperti tipologi kemiskinan masyarakat pesisir, penyebab kemiskinan pada masyarakat pesisir, proses pengembangan pariwisata di Kabupaten Karangasem, dan dampak pariwisata terhadap masyarakat miskin di Kawasan Tulamben dan Candidasa.

(29)

29 2) Data kuantitatif

Data kuantatif yaitu data yang berupa angka-angka yang dapat atau telah diolah dengan menggunakan teori matematik atau statistik untuk menarik kesimpulan seperti tingkat pertumbuhan, kemiskinan, dampak ekonomi pariwisata di Kabupaten Karangasem.

Sedangkan sumber data meliputi data primer dan sekunder, yaitu sebagai berikut.

1) Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil survei, wawancara dan angket yang disebarkan untuk mengetahui data yang menyangkut tipologi kemiskinan dan penyebab kemiskinan, dampak pariwisata terhadap masyarakat pesisir miskin di kawasan Tulamben dan Candidasa.

2) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber tidak langsung yang telah ada atau data yang diperoleh dari dokumen dan arsip resmi. Data tersebut seperti peta geografis dan demografis, dari Kabupaten Karangasem, jumlah kunjungan wisatawan dan informasi lainnya yang telah dikumpulkan oleh lembaga/intansi terkait lainnya. Bentuknya berupa gambar, buku, laporan dan lain-lain.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan informasi. Dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder, camera dan pencatatan. Untuk data kualitatif digunakan pedoman wawancara, yang disusun secara umum dan digunakan untuk melakukan wawancara dengan responden, hal ini dilakukan untuk menghindari kekurangan pertanyaan. Wawancara juga dimaksudkan untuk pendalaman dan pemaknaan dari masalah yang diajukan.

Untuk data kuantitatif digunakan instrumen angket. Daftar angket digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pariwisata di Kabupaten Karangasem.

(30)

30 Angket disusun dengan indikator yang jelas dan terukur, akan tetapi dalam daftar pertanyaan yang tertutup.

Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung dilokasi penelitian dengan bantuan dokumentasi berupa alat kamera dan pencatatan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan data spasial ruang atau gambar yang terkait dengan penelitian. Dengan visual atau gambar data akan lebih otentik dan jelas sehingga pendokumentasian dalam jangka panjang dapat digunakan.

3.5 Populasi dan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumah tangga miskin yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan Tulamben dan Kawasan Candidasa sebanyak 560 KK. Sampel diperoleh dari populasi rumah tangga miskin, diambil secara random sampling, menggunakan rumus dari Taro Yamane sebagai berikut:

n = N/N.d2+1

dimana: n = jumlah sampel N = jumlah populasi

d = presisi yang ditetapkan (10%)

Dengan menggunakan rumus diatas, diperoleh jumlah sampel sebanyak 85 kepala keluarga.

3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Menurut Nazir (1998), pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengetahui

(31)

31 secara langsung mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata bahari, partisipasi masyarakat di Kabupaten Karangasem. Survai lapangan dilakukan untuk melakukan pengamatan terhadap masyarakat miskin dan pariwisata di Kawasan Tulamben dan Candidasa Kabupaten Karangasem. Pengamatan dilakukan dilengkapi dengan panduan observasi, panduan wawancara, lembar dan panduan pengamatan serta daftar cocok (cheklist) dan rekaman gambar dari kamera (foto).

2) Wawancara terstruktur, yaitu melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan masyarakat yang terlibat dalam pariwisata di Kabupaten Karangasem. Instrumen yang di pakai adalah daftar pertanyaan yang disiapkan sebelumnya.

3) Angket, yaitu melakukan penyebaran daftar pertanyaan kepada masyarakat miskin di kawasan Tulamben dan Candidasa. Pengukuran dilakukan dengan angket yang disiapkan dalam lampiran.

4.7 Metode dan Teknik Analisis Data

Data akan dianalisis kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif (mixed method), seingga diperoleh hasil analisis dampak pariwisata terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir. Untuk analisis kuantitatif digunakan regresi logit. Menurut Haryati (2007: 63) dijelaskan dalam menguji variabel yang menjadi penciri kondisi kemiskinan dapat digunakan metode regresi logit. Regresi ini digunakan apabila variabel penjelas bersifat kategorik. Regresi logit digunakan bila variabel prediktor merupakan campuran antara variabel diskrit dan kontinyu serta distribusi data yang digunakan tidak normal. Regresi ini sangat bermanfaat bila digunakan pada distribusi respon atas hasil diharapkan non linier dengan satu atau lebih prediktor.

(32)

32

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Karangasem

Kabupaten Karangasem merupakan satu dari delapan kabupaten di Provinsi Bali, terletak di ujung timur Pulau Bali. Secara geografis Kabupaten Karangasem memiliki daerah pantai dan pegunungan yang terbentang dari timur ke barat dengan batas wilayah sebagai berikut : sebelah utara adalah Laut Bali, sebelah timur adalah Selat Lombok, sebelah selatan adalah Samudra Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangli, dan Kabupaten Buleleng. Secara administratif Kabupaten Karangasem terdiri atas 8 kecamatan dan 75 desa, 3 kelurahan, 191 desa adat, 714 banjar adat, 539 banjar dinas, dan 52 banjar lingkungan. Berdasarkan topografi, bentang alam kabupaten karangasem secara umum menunjukkan bentuk fisiografis bergelombang, berbukit, hingga bergunung. Wilayah Kabupaten karangasem terletak di antaraketinggian 0->1000 m dpl dengan puncak tertinggi adalah Gunung Agung. Luas Kabupaten Karangasem adalah 839,54 Km2 atau 14,90 persen dari luas Provinsi Bali (5.632,86 Km2). Bila dilihat dari peruntukan tanahnya, sebanyak 7.140 Ha (8,50 persen) merupakan lahan perawahan, sedangkan bukan lahan sawah sebanyak 76.814 Ha (91,50 %), yang sebagian besar di antaranya merupakan lahan kering atau lahan kritis. Banyaknya lahan kering disebabkan oleh rendahnya curah hujan (Karangasem dalam Angka 2014).

Kabupaten Karangasem terdiri atas 8 (delapan) kecamatan, yakni Kawasan Candidasa, Kawasan Tulamben, Kecamatan Rendang, Kecamatan Sidemen, Kecamatan Abang, Kecamatan Bebandem, Kecamatan Selat, dan Kecamatan Kubu. Dari delapan kecamatan tersebut, Kubu merupakan kecamatan terluas sedangkan yang paling sempit adalah Kecamatan Sidemen.

(33)

33 Di lihat dari gambaran ekonomi dan penduduk dapat dijelaskan sampai tahun 2013 jumlah penduduk di Kabupaten Karangasem sebanyak 471.820 orang dengan komposisi 236.530 orang penduduk laki-laki dan 235.290 orang penduduk perempuan, yang tersebar ke dalam 127.586 rumah tangga. Jumlah penduduk ini meningkat 3,20 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 457.204 orang. Kenaikan jumlah penduduk ini tidak hanya disebabkan oleh pertumbuhan alami (lahir dan mati) melainkan juga karena adanya migrasi penduduk dari daerah lain. Luas wilayah 839,54 Km2, kepadatan penduduk mengcapai 522 orang/Km2.

Tabel 4.1

Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Rasio Jenis Kelamin orang (RJK) Dan Kepadatan Dirinci per kecamatan di Kabupaten Karangasem Tahun 2014

Kecamatan Penduduk (orang) RJK Luas Wilayah

(Km2)

Kepadatan (Orang/Km2) Laki Perempuan Jumlah

1. Rendang 19.630 19.834 39.464 98,97 109,70 360

2. Sidemen 17.886 18.094 35.980 98,85 35,15 1.024

3. Manggis 24.647 24.655 49.302 99,97 69,83 706

4. Karangasem 49.497 49.385 98.882 100,23 94,23 1.049

5. Abang 40.993 39.701 80.694 103,25 134,05 602

6. Bebandem 25.659 25.112 50.771 102,18 81,51 623

7. Selat 21.157 21.826 42.983 96,93 80,35 535

8. Kubu 37.061 36.683 73.744 101,03 234,72 314

Jumlah 236.530 235.290 471.820 100,53 839,54 562

Sumber : Karangasem Dalam Angka Tahun 2014.

Kabupaten Karangasem memiliki pertumbuhan penduduk mencapai 0,96 persen dengan tertinggi dicapai oleh Kecamatan Rendang (1,84) persen dan terendah di Kawasan Tulamben (1,48) persen. Kabupaten Karangasem yang terdiri atas delapan kecamatan memiliki persebaran penduduk yang tidak merata, sebagian besar penduduk bermukim di bagian utara terutama Kecamatan Kubu dan Kecamatan Abang sedangkan di bagian selatan penduduk terkonsentrasi di Kawasan Tulamben dan Manggis, dimana Kawasan Tulamben sebagai ibukota kabupaten

(34)

34 sekaligus sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian. Kawasan Tulamben merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar mencapai 98.882 orang.

Kabupaten Karangasem memiliki proporsi rumah tangga miskin terbesar di Provinsi Bali, yang mencapai 33,66 persen. Hal ini memiliki arti bahwa setiap 3 rumah tangga terdapat 1 rumah tangga miskin. Berdasarkan pada indeks kemiskinan dari Propinsi Bali, Kabupaten Karangasem juga menunjukkan kedalaman kemiskinan maupun keparahan kemiskinan yang sangat tinggi. Kesenjangan masyarakat yang miskin dan kaya sangat kelihatan dan bebeda jauh, dimana masyarakat pada satu desa ada yang miskin sekali sampai tidak memiliki rumah, pada sisi lain ada masyarakat yang sangat kaya. Keadaan ini dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2

Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Kabupaten Karangasem dan Provinsi Bali Periode 2013-2014

Wilayah Indeks Kedalaman Kemiskinan (P2)

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

2012 2013 2014 2012 2013 2014

Kab. Karangasem 1,90 0,81 1,21 0,53 0,22 0,30

Provinsi Bali 1,29 0,82 0,79 0,36 0,28 0,18

Sumber : Bali Dalam Angka 2014 diolah (berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional) Tingginya indeks kedalaman kemiskinan di Kabupaten Karangasem menandakan masih tingginya rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

Demikian pula indeks keparahan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Karangasem lebih tinggi dibandingkan dengan Provinsi Bali. Garis kemiskinan Kabupaten Karangasem per kapita per bulan Rp. 205.860 jauh lebih rendah dari garis kemiskinan Provinsi Bali (246.598).

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kubu yaitu Kawasan Tulamben dan Kawasan candidasa yaitu di Kawasan Candidasa. Kawasan Tulamben memiliki penduduk 32.679 orang (6.513 KK) dengan komposisi berimbang antara laki-laki dan perempuan. Sebanyak 75% dari

(35)

35 penduduk bekerja sebagai petani, sisanya mempunyai profesi sebagai buruh tani, nelayan, wiraswasta, dagang, dan bidang jasa. Pendapatan masyarakat rata-rata mencapai Rp. 1.640.554 sampai Rp. 2.249.145 per tahun. Di Kawasan Tulamben khususnya di Di Desa Tulamben dan Purwakerti tidak ada masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian tetapi sebagian besar hidup sebaai nelayan dan dagang. Penduduk di daerah ini cukup momogen dari segi etnis dan agama. Sebagai pusat pariwisata kawasan ini memiliki jenis pekerjaan cukup banyak dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya, terutama disektor pariwisata.

Berbeda dengan Kawasan candidasa khususnya Desa Padangbai dan Bugbug yang jumlah penduduknya sebanyak 48.106 orang dengan tingkat pertumbuhan 1,36 persen dan lebih bersifat homogen ditinjau dari etnis dan agama. Walaupun daerah ini dilalui oleh lalu lintas antar kota dan provinsi pertumbuhan ekonominya sangat lambat. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor pertanian dan perkebunan terutama pisang dan kelapa, dan sebagian kecil sebagai nelayan.

Kedua daerah ini memiliki kondisi geografis relative sama yaitu daerah landai dari daerah pesisir hingga perbukitan. Kedua kawasan pariwisata ini memiliki karakteristik ekonomi yang mirip dengan mengembangkan sektor pariwisata laut yaitu diving dan snorkling. Berikut dijelaskan dua kawasan wisata yang menjadi lokasi penelitian, yaitu:

1. Kawasan Wisata Tulamben

Kawasan wisata diving Tulamben terletak meliputi perairan Desa Tulamben, Purwakerti, Bunutan dan Seraya Timur. Kawasan ini merupakan wilayah Kecamatan Kubu dan Abang Kabupaten Karangasem Propinsi Bali.

Kawasan Tulamben terletak di daerah pesisir timur Pulau Bali dan berhadapan langsung dengan Gunung Agung dan memiliki 15 lokasi penyelaman yang menarik. Akibat dari letusan Gunung Agung tahun 1963 yang mengeluarkan 300 juta kubik bebatuan maka pantai di areal ini

(36)

36 ditutupi oleh bebatuan. Kondisi ini memberikan keunikan bagi ragam flora fauna yang hidup di perairan Tulamben. Berbagai jenis udang dan kepiting (macro) dapat dijumpai hidup di areal Tulamben. Keadaan ini tentunya mengundang perhatian peminat underwater photography dari mancanegara. Kawasan Tulamben menjadi area selam terbaik di Bali karena tidak ada arus yang kuat dan lokasi penyelaman tidak terlalu jauh dari pantai. Selain itu, Tulamben memiliki potensi kerangka kapal dagang Amerika Serikat US Liberty yang sudah ditumbuhi berbagai jenis karang, anemone, sponge, dan hidup spesies ikan hias. Jenis ikan yang hidup sebagai ekosistem laut Tulamben adalah angel napoleon, angel payama, angel batman, dan kape-kape monyong asli.

Kerangka kapal ini berada pada berbagai kedalaman 50m didasar laut. Suhu air sekitar 26ºC-- 27ºC dengan thermoclines sampai 24ºC. Visibilitas air laut di kawasan ini mencapai 15--30m (100ft--50).

Kawasan Tulamben terdiri dari tiga objek wisata diving yang memiliki potensi dan karakter wisatawan yang berbeda. Daerah tersebut adalah daerah Tulamben, Amed dan Bunutan.

Di daerah pantai Tulamben lebih dominan wisatawan dengan kelompok rata-rata 3--8 orang dan menyelam tanpa bantuan perahu, karena lokasi penyelaman hanya 5 meter dari pantai.

Wisatawan juga diantar oleh travel agent dari Kawasan Sanur atau Tanjung Benoa dengan jenis kendaraan minibus dan bus. Tujuan utama wisatawan adalah untuk melihat koral yang tumbuh di bangkai kapal Liberty. Rata-rata wisatawan menyelam selama dua kali penyelaman dengan durasi masing-masing di dalam air 40 menit. Wisatawan ini tidak menginap di Tulamben, melainkan kembali ke Denpasar atau Badung.

Desa Tulamben memiliki penduduk yang dominan berinteraksi dengan wisatawan melalui aktivitas wisata. Mata pencaharian masyarakat dari nelayan dan petani mengalami pergeseran ke arah pariwisata dan industri jasa lainnya. Pedagang dan homestay menjadi usaha

(37)

37 sampingan selain sebagai nelayan. Masyarakat juga bergabung dalam berbagai kelompok usaha pariwisata seperti pengantar tabung wisatawan yang menyelam, kelompok pedagang, dan kelompok guide atau pemandu selam.

Selain Tulamben Desa yang penduduknya banyak beralih mata pencaharian adalah masyarakat di objek wisata Amed yang terletak di Desa Purwakerti. Masyarakat 50% sudah memiliki usaha sendiri sebagai pedagang atau pemandu wisata. Daerah ini menjadi tempat wisatawan melakukan diving utuk melihat keanekaragaman koral dan ikan hias. Wisatawan dapat berjemur disepanjang pantai, karena pasir yang halus, walaupun warna hitam. Berbeda dengan Tulamben di kawasan ini banyak berdiri hotel berbintang, vila dan homestay (24 buah), restoran dan bar sebanyak 21 buah yang dimanfaatkan oleh wisatawan.

Jumlah kunjungan wisatawan per tahun di Tulamben mencapai 66.179 orang dan di Amed mencapai 2.853 orang. Rata-rata lama tinggal wisatawan mencapai 3--5 hari, dan dilanjutkan ke Kawasan Lovina atau kembali ke Denpasar. Wisatawan datang dengan keluarga atau pasangan, sehingga banyak yang melakukan diving dan menginap di daerah ini.

Di Desa Bunutan, merupakan daerah wisata yang baru berkembang dengan fasilitas hotel dan dive operator. Wisatawan yang melakukan kunjungan di daerah ini biasanya melakukan penyelaman di daerah Pulau Selang dan Seraya Timur. Daerah ini memiliki arus yang cukup kuat, sehingga wisatawan yang datang dominan wisatawan penyelam profesional dan menginap di hotel terdekat. Terdapat 25 hotel di Desa Bunutan. Selain diving, wisatawan juga melakukan wisata spiritual dan bulan madu.

Kawasan Tulamben memiliki operator diving sebanyak 69 buah (tahun 2014) yang tersebar di Desa Tulamben, Desa Purwakerti dan Desa Bunutan (lampiran 9). Provider ini menyediakan harga penyelaman dari Rp 600.000 -- Rp 900.000 untuk satu kali penyelaman,

(38)

38 dengan kategori fun dive. Fasilitas yang diberikan adalah semua perlengkapan menyelam dan pemandu wisata.

2. Kawasan Candidasa

Kawasan Candidasa terletak di Kawasan Candidasa Kabupaten Karangasem. Terdapat dua tempat menyelam yang sangat potensial dikunjungi wisatawan, yaitu Teluk Padang Bai dan Teluk Amuk.

Padang Bai terletak hanya kurang lebih 60 km dari Denpasar dapat ditempuh dalam 1,5 jam perjalanan dari Denpasar. Di Padang Bai terdapat pelabuhan penyeberangan Ferry Bali-- Lombok. Kawasan Candidasa memiliki 9 lokasi penyelaman yang memiliki berbagai karakteristik. Dive site yang baik di Padang Bai yaitu Blue Lagoon, Pura Jepun, Bias Tugal, Ferry Channel, dan Tanjung Sari. Salah satu daya tarik diving di Padang Bai adalah night dive menyaksikan Spanish Dancer yang kerap dijumpai di area ini. Daerah ini juga favorit bagi para photographer (macro photography), karena terdapat banyak ragam dari frog fish, nudibranch.

Teluk Padang Bai sangat baik diselami oleh segala level penyelam, dengan visibilitas air rata- rata 12-20m, suhu 22--280C, dan topografi pantai yang landai (slope).

Teluk Amuk, terletak tidak jauh dari Padang Bai, terdapat gugusan pulau yang terdiri dari Gili Tepekong, Gili Biaha, dan Gili Mimpang. Areal ini memiliki arus yang cukup kuat karena mendapat pengaruh arus kuat dari Selat Lombok. Untuk keamanan wisatawan disediakan pemandu yang untuk kawasan ini. Binatang laut yang ada di areal ini adalah mola-mola/Sun fish dan Shark. Tempat menyelam ini hanya dapat diselami oleh peselam yang sudah berpengalaman, dan sama sekali tidak cocok untuk pemula. Kondisi arus kebawah (down current) yang kuat dapat membuat panik wisatawan meskipun yang sudah berpengalaman. Di Kawasan Candidasa terdapat 52 provider jasa diving (data terlampir pada Lampiran 9), yang tersebar di Desa Bugbug

(39)

39 dan Padang Bai. Harga untuk satu kali penyelaman dalam kategori fun dive berkisar antara Rp.

400.000--750.000,-.

4.2 Tipologi Sosial Demografi Responden

Gambaran tentang karakteristik sosial demografi responden seperti umur, pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, jumlah anggota rumah tangga, luas lahan tempat tinggal, kepemilikan aset, kepemilikan MCK, dan sumber air bersih dipaparkan berikut ini.

4.2.1 Umur responden

Dari uji coba kuisioner yang dilakukan pada 30 responden pada masing-masing kawasan diperoleh sebaran data yang cukup baik dari aspek demografis responden. Ditinjau dari umur, responden berada pada rentang 20 tahun keatas, digolongkan menjadi lima kelompok umur seperti disajikan pada Tabel 4.3. Data menunjukkan, usia responden yang tergolong miskin di Kawasan Tulamben cenderung menyebar pada semua kelompok umur, sedangkan di Kawasan Candidasa lebih terkonsentrasi pada rentang usia 30-59 tahun.

Tabel 4.3

Karakteristik Responden Menurut Umur di Kawasan Tulamben dan Kawasan Candidasa Tahun 2014

Umur (tahun) Kawasan Tulamben Kawasan Candidasa Total

Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen

20-29 4 13.3 1 3.3 5 8.3

30-39 2 6.7 5 16.7 7 11.7

40-49 5 16.7 5 16.7 10 16.7

50-59 8 26.7 5 16.7 13 21.7

60+ 11 36.7 14 46.7 25 41.7

Total 30 100,00 30 100,00 60 100,00

Sumber : Hasil data penelitian yang telah diolah 2015

Referensi

Dokumen terkait

Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan analisis teks media semiologi Roland Barthes. Adapun sumber data penelitian ini adalah

Dalam penelitian pengembangan ini didapatkan dua macam jenis data yaitu jenis data kualitatif dan jenis data kuantitatif. Jenis data kualitatif merupakan data proses

dan jenisnya adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini yaitu sumber data primer yakni guru yang mengajarkan mata pelajaran Bahasa Arab di Madrasah

Dalam penelitian kualitatif jenis sumber dan data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder.. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian lapangan ( field research ) dan menggunakan dua jenis sumber data yaitu data

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologis dan normatif. Peneliti menggunakan dua sumber data yaitu data primer

Jenis penelitian ini tergolong penelitian kualitatif/field research dengan pendekatan penelitian yang digunakan adalah: Historis, Teologis dan Sosiologis. Adapun sumber data

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologis dan normatif. Peneliti menggunakan dua sumber data yaitu data primer