• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi Arsitektur Vernakular Sebagai Kearifan Lokal Terhadap Mitigasi Bencana di Area Rawan Banjir dan Angin Studi Kasus Pontianak Kalimantan Barat

N/A
N/A
Yayang Nisfulawati

Academic year: 2023

Membagikan "Adaptasi Arsitektur Vernakular Sebagai Kearifan Lokal Terhadap Mitigasi Bencana di Area Rawan Banjir dan Angin Studi Kasus Pontianak Kalimantan Barat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS FINAL : MEMBUAT ARTIKEL ARSITEKTUR DAN KEBENCANAAN

Adaptasi Arsitektur Vernakular Sebagai Kearifan Lokal Terhadap Mitigasi Bencana di Area Rawan Banjir dan Angin

Studi Kasus Pontianak Kalimantan Barat

DI SUSUN OLEH :

YAYANG NISFULAWATI 2204204010010

DOSEN : DR. ELYSA WULANDARI ST,.MT.

NIP : 196410191990022001

Program Studi Magister Arsitektur Fakultas Teknik

Universitas Syiah Kuala

Desember 2022

(2)

Adaptasi Arsitektur Vernakular Sebagai Kearifan Lokal Terhadap Mitigasi Bencana di Area Rawan Banjir dan Angin

Studi Kasus Pontianak Kalimantan Barat

Adaptation of Vernacular Architecture as Local Wisdom in Disaster Mitigation in Flood-Prone Areas

Pontianak Case Study, West Kalimantan

Yayang Nisfulawati/NPM 2204204010010

Program Studi Magister Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala ayangarach@gmail.com

(Dibuat; 28/11/2022)

Abstrak

Tipe hunian vernakular di Indonesia menunjukkan adanya potensi pemanfaatan arsitektur vernakular untuk desain hunian tanggap bencana sembari melestarikan warisan budaya masyarakat yang semakin luntur di masa kini. Sayangnya, desain rumah tahan bencana saat ini belum sepenuhnya mengeksplorasi kemungkinan ini dan belum pula merumuskan kapasitas dari kearifan lokal arsitektur saat ini untuk mengatasi masalah desain rumah tahan bencana di Indonesia. Untuk menjawab kebutuhan ini, saya meninjau literatur hasil penelitian mengenai karakteristik rumah tahan bencana dari rumah-rumah tradisional di Indonesia khususnya rumah melayu pontianak dan rumah-rumah yang menggunakan bahan dasar kayu sebagai material utamanya, termasuk material pada struktur atap, kolom, dan pondasinya. Faktanya, banyak hunian vernakuler di Pontianak Kalimantan Barat memiliki karakteristik tanggap bencana yang baik dan dapat digeneralisasi untuk konteks nasional. Capaian dari artikel ini adalah panduan rumah tahan bencana yang mampu merespon pada jenis bencana dengan frekuensi dan intensitas tinggi di Indonesia khususnya di Pontianak yaitu bencana banjir dan angin puting beliung yang mana kerap melanda provinsi Kalimantan Barat ini.

Kata kunci: rumah vernakuler, ketahanan bencana, puting beliung, rumah non rekayasa, rumah melayu, pondasi kayu

Abstract

The type of vernacular housing in Indonesia shows the potential for using vernacular architecture for disaster response housing design while preserving the cultural heritage of the community which is increasingly fading in the present. Unfortunately, the current disaster-resistant housing design has not fully explored this possibility nor has it formulated the capacity of current local architectural wisdom to address the problem of disaster-resistant housing design in Indonesia. To answer this need, I reviewed the research literature on the characteristics of disaster-resistant houses from traditional houses in Indonesia, especially Malay Pontianak houses and houses that use wood as the main material, including materials for roof structures, columns and foundations. In fact, many vernacular shelters in Pontianak, West Kalimantan, have good disaster response characteristics and can be generalized to the national context. The achievement of this article is a disaster-resistant house guide that is able to respond to types of disasters with high frequency and intensity in Indonesia, especially in Pontianak, namely floods and tornadoes which often hit the province of West Kalimantan.

Keywords: vernacular house, disaster resilience, whirlwind, non engineered building

(3)

Pendahuluan

Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) merupakan salah satu provinsi dengan bentang alam yang unik berupa bentukan sungai yang sangat banyakKalimantan Barat memiliki kekayaan alam yang melimpah , pulau ini merupakan salah satu pulau penghasil kayu terbaik di dunia, salah satunya yaitu jenis kayu ulin atau belian. Kayu ini memiliki karakteristik yang awet dan tahan lama sehingga sering digunakan sebagai material bahan bangunan seperti pondasi bangunan, atap rumah, bahan kusen, pintu bahkan digunakan sebagai selubung bangunan juga, khususnya pada bangunan dengan konsep vernakular.

Dalam terminologi arsitektur, akulturasi bentuk terjadi pada elemen arsitektur vernakular, yang disepakati masyarakat setempat sebagai cara membangun dan membentuk arsitektur rumah tinggal setempat (Wiranto 1999; Salura and Fauzy 2013).

Akulturasi bentuk tersebut menghasilkan karakter bangunan yang khas, yang menandai perwujudan arsitektur rumah Melayu Pontianak (Salura and Fauzy 2012;

Salura and Fecianti 2015; Sukada and Salura 2020; Salura 2012). Bentuk arsitektur dari rumah-rumah melayu dan rumah-rumah yang menggunakan pondasi kayu juga merupakan salah satu adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya yang mana dari masa ke masa mayarakat menyadari dengan terjadinya bencana alam banjir yang kerap kali melanda menjadikan karakteristik rumah vernakular nya menjadi rumah yang tanggap terhadap bencana banjir. Berkaitan dengan bencana, wilayah Provinsi Kalbar berpotensi terjadi bencana banjir, puting beliung dan kebakaran hutan. Pada tahun 2021, terjadi banjir yang cukup parah di beberapa lokasi seperti Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Melawi.

(Sumber : Buku IRBI, 2021)

Keanekaragaman etnis, topografi, dan ekosistem yang ada di Kalimantan Barat berdampak pada keanekaragaman tipe hunian vernakular. Kekayaan arsitektur vernakular ini semestinya dapat memberikan kontribusi pada upaya Indonesia umunya dan pada Kalimantan Barat khususnya untuk mereduksi bencana. Kita dapat meyakini bahwa setidaknya beberapa tipe hunian akan memiliki respon bencana yang baik, setidaknya pada bencana-bencana dengan frekuensi tinggi seperti puting beliung dan banjir, atau bencana-bencana dengan intensitas (daya rusak) yang besar seperti gempa bumi dan tsunami. Sebagai bangsa yang sejak lama hidup dalam bencana, semestinya masyarakat tradisional telah memiliki solusi berbasis vernakular. Hal ini

(4)

wajar karena hunian vernakular mencerminkan respon masyarakat terhadap faktor lingkungan, termasuk diantaranya adalah potensi bencana.

Sebagai contoh respon ini adalah bagaimana hunian tradisional Kalimantan Barat merespon bencana. Respon vernakular terhadap bencana seperti bencana gempa juga dapat ditemukan pada arsitektur Jepang yang menggunakan dinding kertas. Pemakaian dinding kertas meminimalisir kerusakan yang dapat terjadi pada bangunan dan risiko cedera yang dapat diperoleh penghuni. Walau demikian, pemakaian dinding kertas ini telah mengorbankan privasi pada rumah-rumah tradisional Jepang.

Respon hunian vernakular terhadap bencana seperti contoh di atas semestinya dapat dijadikan pelajaran bagi hunian modern. Hunian modern memang dibangun dengan bahan yang lebih baik dari segi kualitas. Namun hal ini hanya berlaku pada situasi normal. Pada situasi

bencana, kualitas tersebut justru dapat menjadi sumber bahaya ketika tidak didesain sedemikian rupa. Bangunan berat dapat menampung banyak orang tetapi tanpa pondasi yang kuat, akan mengakibatkan keruntuhan yang dapat mengubur penghuni yang ada di dalamnya. Secara teori, hunian vernakular yang ada sekarang dapat bertahan hingga saat ini karena empat kemungkinan: selamat dari bencana karena desain yang baik, berubah secara dramatis karena bencana alam, telah pernah hancur karena bencana dan dibangun kembali, atau tidak pernah mengalami bencana sama sekali.

Pengamatan menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi dengan frekuensi bencana yang tinggi, hunian-hunian vernakular yang ada relatif responsif terhadap bencana atau setidaknya, mengandung mekanisme dan teknologi lokal tertentu yang memungkinkan pembangunan ulang dengan cepat (Silva, 2012).

Di sisi lain, ketiadaan kembali tipe hunian vernakular tertentu salah satunya dapat disebabkan oleh kemusnahan akibat bencana alam. Pada situasi hunian vernakular yang bertahan tetapi bukan karena desain yang tahan dan tanggap bencana, ada risiko laten bahwa suatu saat, ketika bencana terjadi, hunian-hunian ini akan hancur dan masyarakat etnik kehilangan warisan yang tersisa dari masa lampau mereka. Walau demikian, saat ini, teknik dan desain maupun bahan tahan bencana berbasis vernakular telah sebagian besar ditinggalkan akibat homogenitas kultural global dan urbanisasi (Petal, Green, Kelman, Shaw, & Dixit, 2008). Imperialisme kultural ini ditandai dengan promosi superioritas bahan konstruksi modern barat seperti beton dan bahan bangunan lainnya sembari menganggap remeh desain dan bahan tradisional. Padahal bahan dan desain seperti bambu, kayu, atau bata jemuran dapat saja memiliki keunggulan ekonomi, lingkungan, iklim, maupun estetika yang lebih baik (Petal et al, 2008).

Metode tertentu dalam desain yang sekedar memberikan modifikasi minimum pada praktik yang sudah berlangsung juga dapat meningkatkan ketahanan bencana secara signifikan dengan tetap dapat terjangkau dan diterima secara kultural (Arya, Boen, & Ishiyama, 2014; Silva, 2012). Modifikasi ini dapat berupa misalnya perbaikan pondasi, peningkatan ketahanan tiang kayu, atau desain rangka atap (Silva, 2012).

Secara konseptual, hal ini diistilahkan sebagai bangunan non rekayasa (Jigyasu, 2002).

Bangunan non rekayasa adalah “bangunan yang dibuat secara spontan dan informal di berbagai tempat di dunia dengan cara tradisional tanpa intervensi atau hanya sedikit intervensi oleh arsitek dan insinyur berkualifikasi dalam desainnya” (Arya et al, 2014).

Berbagai penelitian sebelumnya telah dilakukan di dalam negeri untuk mengkaji respon hunian vernakular dari kelompok etnik tertentu terhadap bencana tertentu.

Hematang, Setyowati, & Hardiman (2014) mengidentifikasi desain tahan bencana pada rumah tradisional suku Ibeiya di Papua dalam merespon bencana gempa lewat konstruksi hauwa. Penelitian Rinaldi, Purwantiasning, & Nur’aini (2015) mengidentifikasi karakter tahan gempa dari rumah tradisional Basemah, Sumatera Selatan. Sementara itu, kajian Asti (2012) mengidentifikasi karakter tahan banjir dari rumah tradisional Bugis di Danau Tempe. Studi karakteristik hunian tahan banjir juga dilakukan pada rumah vernakular Kutai (Hidayati & Octavia, 2013). Berbagai penelitian sebelumnya ini dapat berkontribusi secara umum pada mitigasi struktural berbasis vernakular di Indonesia, terutama jika diinventarisir dan digeneralisasi dengan baik.

(5)

Dalam makalah ini, penulis meninjau sejumlah literatur mengenai respon bencana alam dari sejumlah hunian vernakular di Kalimantan Barat dengan sorotan utama pada bencana-bencana dengan frekuensi tinggi dan intensitas tinggi khususnya benca banjirna yang kerap melanda Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat. Artikel ini akan melakukan sintesis yang diharapkan mampu menghasilkan teori konstruksi rumah yang tahan bencana yang berasal dari rumah-rumah tradisional di Pontianak, Kalimantan Barat. Diharapkan, penelitian ini dapat memberikan langkah mitigasi struktural yang diharapkan guna menyumbang pada upaya mitigasi bencana yang lebih umum pada masyarakat etnik di Indonesia.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksplanatoris menggunakan pendekatan studi literatur. Penulis mengumpulkan literatur hasil penelitian mengenai hunian vernakular di Indonesia dan di Kalimantan Barat, kemudian membaca dan saling membandingkan aspek-aspek hunian tersebut yang berhubungan dengan ketahanan bencana.

Penelitian diawali dengan menggunakan www.scholar.google.com yang memungkinkan pencarian awal sumber-sumber yang memenuhi tujuan penelitian ini.

Kata kunci yang digunakan adalah “rumah adat”, “rumah tradisional”, dan

“vernakuler”, yang masing-masing disandingkan dengan kata kunci “bencana”,

“banjir”, “gempa”, dan “angin”. Artikel ini diunduh pada 10 halaman pertama hasil pencarian. Selanjutnya, artikel-artikel dikelompokkan berdasarkan jenis bencana yaitu puting beliung, banjir, gempa. Setiap artikel dibaca dan informasi yang diperoleh dikelompokkan menjadi bagian-bagian bangunan yaitu atap, badan, dan kaki. Selain itu, rangkuman-rangkuman yang disajikan dalam topik pencarian lainnya yang berhubungan dengan ketahanan bencana juga dilakukan seperti dengan kata kunci

“disaster resistant”. Banyak dari artikel ini dapat ditemukan dalam versi digital pada situs pencarian ilmiah di atas.

Hasil dan Pembahasan Desain Tahan Puting Beliung

Puting beliung merupakan angin kencang yang muncul secara tiba-tiba, bergerak melingkar seperti spiral hingga menyentuh permukaan bumi, dan mempunyai pusat (Fitriani, 2016). Puting beliung merupakan bencana alam paling sering terjadi di Indonesia dan semakin meningkat intensitasnya akibata pemanasan global. Salah satu faktor utama dari kejadian puting beliung adalah cuaca ekstrim yang ditimbulkan oleh pemanasan global. Kejadian puting beliung umum terjadi pada saat hujan intensitas tinggi. Puting beliung bersifat lokal dengan cakupan wilayah 5-10 km dan durasi singkat sekitar 3-5 menit. Pada umumnya, puting beliung memberikan dampak pada atap rumah sehingga mengakibatkan kerusakan dengan melepaskan bagian atap dari rumah.

Desain tahan puting beliung pada umumnya diarahkan dengan memastikan struktur bangunan kuat agar dapat tahan terhadap gaya angin, desain yang memerhitungkan beban angin, penempatan bangunan pada lokasi yang terlindung, dan penghijauan sebagai peredam gaya angin (Triana, Hadi, & Husain, 2017).

(6)

Gambar 1. Visualisasi kecepatan angin pada empat tipe atap segitiga (Amri et al, 2017)

Desain vernakular di Indonesia relatif aman terhadap puting beliung. Hal ini disebabkan karena secara umum, atap rumah tradisional di Indonesia mengambil bentuk segitiga setidaknya pada sisi depan dan belakang (Zain, 2012). Bentuk segitiga lebih tahan terhadap angin puting beliung karena dapat mengurai angin dengan baik. Kajian yang lebih lengkap dilakukan oleh Amri, Ode, Syukur, & Amsyar (2017) pada empat tipe atap rumah yang umum ditemukan di Indonesia yaitu tipe pelana 45 derajat, tipe kampung srotongan, tipe lasenar, dan tipe mansard (Gambar 1).

Atap tipe mansard merupakan atap segitiga dengan sudut landai dengan luasan bidang landai lebih kecil dan membentuk lekukan. Dari hasil simulasi, diketahui bahwa atap tipe mansard merupakan atap dengan kemampuan paling baik dalam menghadapi angin dibandingkan ketiga jenis atap lainnya, dilihat dari drag coefficient dan drag force.

Jadi atap mansard merupakan salah satu adaptasi arsitektur vernakular kedalam mitigasi bencana angin putting beliung yang diterapkan pada rumah dayak di Kalimantan Barat, dan diharapkan struktur atap ini juga dapat menjadi salah satu strategi mitigasi bencana angin untuk di adaptasi kedalam struktur atap rumah yang ada di Indonesia.

Gambar 2. Visualisasi Struktur Atap Mansard (Sintak Unika, 2017)

(7)

Gambar 3. Detail Struktur Atap Mansard (Moediartianto, 2010)

Bentuk atap tipe mansard merupakan bentuk yang jarang ditemukan pada hunian vernakular di Indonesia. Hal ini disebabkan karena atap mansard merupakan atap yang dimodifikasi dari rumah tradisional Belanda, bukannya atap asli Indonesia. Tipe atap mansard mulai muncul pada abad ke-17 ketika Belanda mulai membangun hunian dengan karakteristik budaya mereka di Indonesia (Madiasworo, 2009). Namun pada era modern, rumah-rumah dengan atap mansard dapat ditemukan pada rumah khas suku dayak di Dusun Sebujit, Desa Hli Buei, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Rumah baluk merupakan rumah adat suku dayak Kalimantan Barat yang diidentifikasi dengan bentuk atap mansard.

Gambar 4. Contoh rumah dengan atap mansard di Kalbar (Sumber : Bappeda Kabupaten Bengkayang)

Rumah Baluk merupakan rumah tradisional suku Dayak Bidayuh. Bentuk Rumah Baluk memang terlihat berbeda dari rumah tradisional suku-suku Dayak lainnya khususnya yang berada di Kalimantan Barat. Rumah Baluk memiliki gaya rumah panggung berbentuk bundar dengan diameter sekitar 10 meter dan ketinggian sekitar 12 meter. Tinggi Rumah Baluk melambangkan kedudukan atau tempat Kamang Triyuh yang

(8)

harus dihormati. Rumah ini disangga dengan tiang kayu sebagai penopang dan sebatang tiang sebagai titian. Atap Mandard juga di adopsi kedalam bangunan masjid yang ada di Kalimantan Barat, diantaranya adalah Masjid Jami’atul Khair di Mempawah, Mesjid Jami’ Kesultanan Sambas dan Majid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman yang berada di tepi sungai Kapuas Kecamatan Pontianak Timur.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan dua karakteristik penting hunian vernakular Indonesia yang tahap bencana angin puting beliung yaitu bentuk atap mansard pada rumah baluk dayak dan pada bangunan masjid di pontinak. dapat disimpulkan bahwa kapasitas kearifan lokal masyarakat tradisional di Indonesia telah cukup adaptif untuk memenuhi kebutuhan masa kini di wilayahnya masing-masing.

Masa kini yang dimaksud disini adalah masa ketika rumah-rumah tersebut dibangun dan dihuni secara luas. Walau begitu, kapasitas kearifan lokal masyarakat masih belum mengantisipasi perubahan di masa datang, misalnya ketika pepohonan telah tidak ada lagi atau kehidupan masyarakat bergeser dari kawasan rawa menjadi pantai terbuka.

Solusi antisipatif memang tidak dapat diambil karena walau bagaimanapun, ada masalah yang akan timbul jika solusi antisipatif seperti atap mansard diterapkan pada lingkungan lokal yang berawa dan penuh dengan pohon besar. Dengan cara ini, maka sebenarnya kapasitas kearifan lokal masyarakat khususnya di Kalimantan Barat sangat besar.

Gambar 6.

Gambar 5.

(9)

Walaupun arsitektur melayu dan dayak Kalimantan Barat memiliki kemampuan yang baik dalam merespon angin puting beliung karena kondisi alamnya yang sering mengalami bencana angin puting beliung, Pontianak juga merupakan kawasan rawan banjir dan berada di kondisi tanah gambut dan karena sebagian besar rumah berada di tepian sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia sehingga tampak bahwa masyarakat melayu dan dayak di Pontianak lebih memilih untuk beradaptasi pada lingkungan angin dan banjir ketimbang gempa dengan memilih rumah dengan atap mansard dan bentuk panggung menggunakan pondasi kayu ulin atau kayu belian.

Desain Tahan Banjir

Banjir merupakan peristiwa dimana luaran air melebihi suatu ambang batas yang dianggap normal dalam kehidupan sehari-hari (Bradley & Potter, 1992). Efek banjir pada bangunan dapat berupa perendaman yang pada gilirannya melemahkan struktur baik secara biologis, fisik, ataupun kimia, mengakibatkan kerusakan struktur, atau jika struktur pondasi jauh lebih lemah dari struktur badan bangunan, membuat bangunan menjadi hanyut. Desain tahan banjir sangat bervariasi mulai dari peninggian pondasi, peningkatan rumah, penggunaan bahan kedap air, penyediaan tanggul, penempatan drainase, penguatan pondasi, dan sebagainya (Triana et al, 2017). Pada prinsipnya, desain tahan banjir berusaha mencegah air masuk ke dalam rumah atau membiarkan air masuk tetapi tidak menetap di dalam bangunan dan tidak memberikan efek pada bangunan secara keseluruhan.

Hunian vernakular di Indonesia mengadaptasi situasi banjir dengan berbagai cara.

Rumah tradisional Melayu yang berada di kelurahan Tambelan Sampit kecamatan Pontianak Timur mengadaptasi banjir dengan sepenuhnya menghilangkan pondasi yang menancap ke tanah (Rizky, 2018). Sebagai gantinya, bagian bawah rumah berbentuk panggung dengan menggunakan kayu belian atau kayu ulin sebagai struktur pondasinya.

Dengan cara ini, ketika terjadi banjir, hunian dapat mengapung dengan mudah dan tidak merusak isi rumah. Alternatifnya, sebagian penduduk Melayu membangun hunian dengan bentuk panggung. Tinggi dari panggung disesuaikan dengan tinggi kenaikan muka air ketika terjadi banjir. Dengan cara ini, air tidak dapat mencapai bagian rumah. Sebagai antisipasi lebih lanjut, barang- barang disimpan di bagian kepala (atas) rumah.

Dibandingkan dengan rumah apung,rumah panggung merupakan bentuk yang lebih umum ditemukan di Indonesia, terlebih karena sifat panggung yang multifungsi. Selain menjauhkan rumah dari banjir dan memungkinkan penguraian puting beliung, kolong panggung menyediakan pendingin alami bagi rumah dan mencegah ancaman hewan liar. Sementara itu, konstruksi apung hanya terbatas pada WC yang diapungkan di permukaan sungai dan dipisah dari rumah utama. Hal ini umum ditemukan pada hunian- hunian tradisional di tepian sungai besar di Kalimantan Barat. Sementara itu, rumah vernakular Melayu menggunakan pendekatan yang lebih lengkap lagi. Selain menggunakan model panggung, rumah juga dibarikade pada sisi tertentu atau seluruh sisi rumah. Barikade ini merupakan sebuah pagar dari kayu yang tersusun vertikal dan rapat.

Barikade ini ditujukan untuk mencegah masuknya sedimentasi ke dalam rumah ketika banjir surut. Air masih dapat masuk dan lolos karena struktur kolong tetapi endapan seperti tanah, pasir, atau batu yang terbawa banjir tertahan pada barikade di sekitar rumah. Hal ini menyediakan solusi yang lebih baik dari sekedar panggung biasa karena pada bentuk biasa, walaupun air dapat lewat dan tidak menyentuh rumah, sampah dan bahan lain yang terbawa air dapat menetap dan menjadi sampah di bawah kolong.

(10)

Gambar 7. Konstruksi pondasi kayu tongkat pada rumah melayu pontianak

Masih banyak bentuk adaptasi lain yang ditunjukkan oleh rumah Melayu terhadap banjir. Bagian dinding yang berpotensi terkena hempasan air disusun secara horizontal sehingga tidak langsung rubuh ketika terkena banjir. Bahan kayu yang digunakan adalah kayu ulin atau kayu belian. Kayu ulin dikenal memiliki kemampuan tahan air yang sangat kuat, yang membuatnya dianggap sangat bernilai dalam konstruksi di kawasan basah dan lembab. Bentuk-bentuk adaptasi lain yang ditemukan mencakup pemancangan kayu dengan tumbukan yang sama di setiap titik kolom, konstruksi kalang sunduk sebagai pondasi, dan penambahan balok suai (balok diagonal antar tiang panggung). Tiga bentuk adaptasi ini diarahkan untuk menjaga keseimbangan dan kekokohan bangunan panggung ketika terkena banjir.

Gambar 8. Gambar dan Ilustrasi Dinding Secara Horizontal pada rumah melayu Pontianak

(11)

Gambar 9. Rumah Kapuas dengan pondasi kayu menggunakan barikade di desa wisata kampong budaya Tambelan Sampit, Pontianak

Kalbar

Gambar 10. Detail pondasi kayu yang menggunakan barikade di rumah kapuas desa wisata kampong budaya Tambelan Sampit, Pontianak

Kalbar

(12)

Gambar 11. Konstruksi kalang sunduk (kiri) dan balok suai (kanan) pada rumah Melayu

Gambar 12. Balok Lantai pada Konstruksi Lantai Papan

Berbagai desain di atas merupakan respon masyarakat melayu dengan menerapkan kearifan lokal guna meningkatkan pengalaman hidup yang tenang di dalam hunian mereka. Kearifan lokal di Kalimantan Barat khususnya, menggunakan prinsip- prinsip anti banjir yang bijak. Perlu dipertimbangkan apakah prinsip-prinsip konstruksi rumah di daerah-daerah rawan banjir di Indonesia saat ini perlu dimodifikasi atau digantikan dengan kearifan lokal dari masyarakat tradisional di daerah bersangkutan atau meminjam dari daerah lain.

(13)

Gambar 13. Rumah apung atau rumah lanting di Kabupaten Sambas , Pontianak Kalbar

Gambar 14. Rumah apung atau rumah lanting di Kabupaten Sambas , Pontianak Kalbar

Teori Konstruksi Rumah Tahan Bencana

Tinjauan di atas menunjukkan bahwa suatu rumah tahan bencana tidak dapat dibuat secara universal. Sejumlah solusi ketahanan pada satu jenis bencana, dapat menjadi sumber masalah ketika dihadapkan pada bencana lainnya. Tabel berikut menunjukkan apa saja keunggulan serta kelemahan dari masing-masing solusi terhadap jenis bencana tertentu. Sebagai akibat dari solusi parsial ini, pembangunan rumah tahan bencana harus difokuskan pada satu bencana tertentu saja. Agar optimal, setiap daerah harus disurvei mengenai apa saja potensi bencana yang dapat terjadi dan desain diarahkan pada bencana dengan potensi terbesar. Jika potensi dari semua bencana besar, solusi dari rumah-rumah tradisional tidak dapat diterapkan dan harus menggunakan solusi yang lebih modern.

(14)

Tabel 2. Solusi Vernakular Terhadap Bencana

No. Bencana Solusi Kelemahan Prototype

1. Puting Beliung

Atap tipe mansard Belum teridentifikasi Rumah Baluk suku Dayak, dan bangunan masjid di Pontianak Kalbar Desain Panggung Rentan rubuh karena

gempa dan tsunami (kecuali menggunakan balok suai)

Rumah

tradisional suku Melayu,

Pontianak Kalbar 2. Banjir Desain panggung Rentan rubuh karena

gempa dan tsunami (kecuali menggunakan balok suai)

Rumah Kapuas pondasi kayu menggunakan barikade di desa wisata kampong budaya Tambelan Sampit,

Pontianak Kalbar Rumah Apung

atau Rumah Lanting

Bangunan tidak terkendali ketika terjadi gempa atau tsunami karena mudah hanyut dan menabrak bangunan lain

Rumah apung atau rumah lanting di Kabupaten Sambas

,Pontianak Kalbar Barikade Pelemahan barikade dapat

berakibat longsor kecuali dilakukan pembersihan segera pasca banjir

Rumah apung atau rumah lanting di Kabupaten Sambas

,Pontianak Kalbar WC Apung WC tidak terkendali

ketika terjadi gempa atau tsunami karena mudah hanyut dan menabrak bangunan lain

Rumah-rumah tradisional

melayu dan dayak di tepi sungai Kapuas Susunan kayu

horizantal pada dinding

Kualitas kayu harus sangat diperhatikan

Rumah tradisional melayu di tepian sungai Kapuas Penggunaan kayu

tahan air

Sudah semakin langka ditemukan

Rumah tradisional melayu di tepian sungai Kapuas Balok Suai Belum diketahui Rumah kapuas

Tambelan Sampit,

Pontianak Kalbar

(15)

Gambaran di atas, dapat dibuat sebuah panduan tentang bagaimana seharusnya mitigasi bencana berbasis struktural dilakukan dengan menerapkan pengetahuan lokal.

Panduan ini ditunjukkan pada Tabel berikut. Rumah tahan bencana dengan model ini mungkin memiliki kinerja yang lebih rendah atau justru lebih baik dari rumah tahan bencana modern berbasis beton. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan simulasi untuk memeriksa kemampuan dari panduan rumah tahan bencana tradisional ini dibandingkan dengan model rumah tahan bencana modern.

Tabel 3. Panduan mitigasi bencana berbasis struktural dengan penerapan pengetahuan Lokal

Struktur Solusi Modifikasi Pada Bangunan Lokal

Ketahanan Bencana

Atap Atap Tipe

Mansard

Pelandaian atap dan pemanjangan sisi bawah atap

Puting Beliung

Massa bagian atas paling ringan

Redistribusi massa bangunan

Gempa

Tengah Susunan kayu

horizontal pada dinding

Redesain pola penyusunan kayu dinding dan

penggantian kayu dengan kayu tahan air

Banjir

Sambungan tanpa paku tetapi diikat dengan rotan

Tidak perlu desain ulang jika rumah sudah

menggunakan pasak tetapi kekuatan pasak harus diperiksa ulang

Gempa

Simetri Periksa desain keseluruhan rumah dan lakukan

modifikasi dengan penambahan atau

penghilangan atau reduksi pada bagian-bagian yang merusak simetri

Gempa

Bawah Desain panggung

dikombinasi dengan balok suai

Pemasangan balok suai pada tiang panggung

Banjir, Puting Beliung,Gempa

Rumah Apung Pemasangan struktur rakit bambu di bawah rumah yang bertindak sebagai semacam perahu

penyelamat ketika struktur panggung menahan air

Banjir

Barikade Pemasangan barikade di sekitar rumah

Banjir Pancangan dengan

tumbukan sama pada setiap kolom

Uji kekuatan dan penyesuaian

Banjir

(16)

Kesimpulan

Secara keseluruhan, penelitian terkait adaptasi arsitektur vernakular terhadap mitigasi bencana yang dilakukan di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat ini memberikan kontribusi kecil namun signifikan pada teori konstruksi rumah tahan bencana dengan menggunakan prinsip vernakular secara kritis dan mengkonversinya menjadi panduan tentang bagaimana seharusnya mencapai tujuan mitigasi bencana. Penelitian ini menambah teori konstruksi rumah tahan bencana dengan mengintegrasikan kearifan lokal, yang jarang dicakup dalam desain rumah tahan bencana, dengan mempertimbangkan aspek multi-bencana. Penelitian ini juga memberikan panduan yang komprehensif, diperkuat dengan sejumlah indikator, untuk memandu desain rumah tahan bencana berbasis lokal. Penerapan model ini secara empris mengisi gap dalam pemikiran desain masa kini di Indonesia mengenai bagaimana tujuan desain dapat tercapai dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan lokal. Dengan menerapkan kearifan lokal yang telah ada, desain dapat dibuat dengan biaya minimal namun dengan penerimaan kultural yang kuat. Secara khusus, hal ini akan melestarikan pula desain rumah vernakular yang terancam punah dengan sedikit modifikasi.

(17)

Daftar Pustaka

Amri, S. B., Syukur, L. O. A., & Amsyar, S. (2017). Identifikasi Pola Angin dan Gaya Hambat pada Atap Miring. In Seminar Nasional Sains dan Teknologi (pp. 1–2).

Arya, A. S., Boen, T., & Ishiyama, Y. (2014). Guidelines for Earthquake Resistant Non- Engineered Construction. Paris: UNESCO.

Asti, A. F. (2012). Bencana Alam dan Budaya Lokal: Respons Masyarakat Lokal terhadap Banjir Tahunan Danau Tempe di Kabupaten Wajo, Propinsi Sulawesi Selatan. In Annual International Conference on Islamic Studies XIII (pp. 1429–1445).

Aydın, F., & Coskun, M. (2010). Observation of the students ’ “ earthquake ” perceptions by means of phenomenographic analysis ( primary education 7th grade – Turkey ). International Journal of the Physical Sciences, 5(8), 1324–1330.

BNPB. (2019). Data Informasi Bencana Indonesia. Retrieved February 16, 2019, from http://bnpb.cloud/dibi/laporan4

Boen, T. (2001). Earthquake Resistant Design of Non-Engineered Buildings In Indonesia. In EQTAP Workshop IV. Kamakura.

Bradley, A. A., & Potter, K. W. (1992). Flood Frequency Analysis of Simulated Flows. Water Resources Research, 28(9), 2375–2385.

BSNI. SNI 1726:2012 tentang Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung (2012). Indonesia.

Fitriani, F. (2016). Pengelompokan Data Angin Puting Beliung dengan Menggunakan LVQ.

Wahana, 66(1), 49–53.

Hematang, Y. I. P., Setyowati, E., & Hardiman, G. (2014). Kearifan lokal Ibeiya dan Konservasi Arsitektur Vernakular Papua Barat. Indonesian Journal of Conservation, 3(1), 16–25.

Hidayati, Z., & Octavia, C. (2013). Studi Adaptasi Rumah Vernakular Kutai terhadap Lingkungan

Rawan Banjir di Tenggarong. Dimensi: Journal of Architecture and Built Environment, 40(2), 89–98. https://doi.org/10.9744/dimensi.40.1.89-98

Idham, N. C. (2011). Seismic Vulnerability Assessment In Vernacular Houses : The Rapid Visual Screening Procedure for Non Engineered Building with Application to Java

Indonesia. Eastern Mediterranean University.

Jigyasu, R. (2002). Reducing Disaster Vulnerability through Local Knowledge and Capacity: The Case of Earthquake Prone Rural Communities in India and Nepal. Norwegian University of Science and Technology.

Kementerian Pekerjaan Umum. SNI - 1726 - 2002 tentang Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung (2002).

Madiasworo, T. (2009). Revitalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kampung Melayu Semarang dalam Pembangunan Berkelanjutan. Local Wisdom, 1(1), 10–18.

Menteri Pekerjaan Umum. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No . 06 / PRT / M / 2009 tentang Pedoman Perencanaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Rawan Tsunami (2009).

Pawitro, U. (2011). Prinsip-Prinsip Kearifan Lokal dan Kemandirian Berhuni pada Arsitektur Rumah Tinggal Suku Sasak di Lombok Barat. In Simposium Nasional RAPI X FT UMS (pp.

1–9).

Petal, M., Green, R., Kelman, I., Shaw, R., & Dixit, A. (2008). Community-based construction for disaster risk reduction. In Hazards and the built environment: Attaining built-in resilience

(pp. 191–217).

(18)

Prihatmaji, Y. P. (2007). Perilaku Rumah Tradisional Jawa “Joglo” terhadap Gempa.

Dimensi Teknik Arsitektur, 35(1), 1–12.

Pudjisuryadi, P., Lumantarna, B., & Lase, Y. (2007). Base Isolation in Traditional Building:

Lesson Learned from Nias March 28, 2005 Earthquake. In EACEF-The 1st Int Conference of European Asian Civil Engineering Forum (pp. 242–247). Jakarta:

Universitas Pelita Harapan. Purwanto, L. M. F., & Gayatri, C. S. (2007). Arsitektur Vernakular Nabire dan Kondisi Nabire Pasca Gempa. Dimensi Teknik Arsitektur, 35(1), 13–22.

Rinaldi, Z., Purwantiasning, A. W., & Nur’aini, R. D. (2015). Analisa Konstruksi Tahan Gempa Rumah Tradisional Suku Basemah di Kota Pagaralam Sumatera Selatan. In Seminar Nasional Sains dan Teknologi (pp. 1–10). Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Siddiq, S. (2008). Bangunan tahan gempa berbasis standar nasional indonesia. Jurnal Standarisasi, 8(2), 80–97.

Silva, K. D. (2012). Resettlement Housing Design: Moving Beyond the Vernacular Imagery.

South Asia Journal for Culture, 5&6, 117–135.

Sukawi, & Zulfikri. (2010). Adaptasi Arsitektur Sasak terhadap Kondisi Iklim Lingkungan Tropis. Berkala Teknik, 1(6), 339–346.

Triana, D., Hadi, T. S., & Husain, M. K. (2017). Mitigasi Bencana Melalui Pendekatan Kultural Dan Struktural. In Prosiding Seminar Nasional XII “Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi" (pp. 379–384).

Triyadi, S., & Harapan, A. (2011). Lesson learnt from vernacular houses of Rurukan and Tonsealama at Minahasa to cope the earthquake. Asian Transactions on Science & Technology, 1(5), 14–21.

Widosari. (2010). Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh Aceh dalam Dinamika Kehidupan Masyarakat Pasca Gempa dan Tsunami. Local Wisdom, 2(2), 27–36.

Zain, Z. (2012). Analisis Bentuk dan Ruang pada Rumah Melayu Tradisional di Kota Sambas. NALARs, 11(1), 39–62.

Referensi

Dokumen terkait

ﻚﻠﺘﺑ ﺎﻫاﻮﺘﳏ ﻂﺑﺮﻳو ،ﺎﻬﻓاﺪﻫأ دﺪﲢ ،ﺔﻤﻜﳏ ﺔّﻴﻤﻴﻠﻌﺗ ﺔّﻄﺧ فاﺪﻫﻷا ﻩﺬﳍ ًﺎﺳﺎﻜﻌﻧا بﺎﺘﻜﻟا نﻮﻜﻳ نأ ّﺪﺑ ﻻو ،فاﺪﻫﻷا ّﻚﺷ ﻻو ،ﺎﻬﻘﻴﻘﲢ ﱃإ ًﺎﻴﻋﺎﺳو أﺪﺒﻳ دﺎﺟ ﻞﻤﻋ ّيأ ّنأ ﰲ ﻖﻘﲢ ﱵﻟا ﻞﺋﺎﺳﻮﻟا رﺎﻴﺘﺧا ّﰒ ،ّمÃ