• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mall, Place Identity, dan Sense of Place Masyarakat Kota

N/A
N/A
hepi

Academic year: 2023

Membagikan "Mall, Place Identity, dan Sense of Place Masyarakat Kota"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Mall, Place Identity, dan Sense of Place Masyarakat Kota

Afifah Azzahra 1

1Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Masyarakat didefinisikan oleh para ahli sebagai sekumpulan individu (dua atau lebih) yang menempati ruang tertentu yang berinteraksi menurut suatu sistem organisasi dan memiliki suatu rasa identitas yang cenderung sama. Individu dalam masyarakat bersifat multidimensi yang dapat menciptakan ruang-ruang kehidupan yang khas. Ruang-ruang tersebut memiliki karakteristik tersendiri yang kemudian dimaknai oleh manusia sehingga menghasilkan definisi tempat. Sejalan dengan pemikiran Tuan (1974) yang menyatakan struktur ruang hanyalah sebuah lokasi grafis dan konsep tempat hanya akan muncul yang ditandai dengan keberadaan manusia. Tempat memiliki 3 komponen penting, yaitu lokasi (location), locale, dan sense of place (National Geographic: Resource Library ‘place’). Tempat akan menjadi

‘unik’ karena adanya interelasi antar tempat dan interaksi manusia yang memberikan pengalamannya serta pemaknaan terhadap tempat tersebut. Interaksi manusia dan tempat kemudian menghasilkan sebuah pengalaman yang dapat dirasakan seseorang pada setting tertentu sehingga seseorang dapat merasakan senang, gembira, serta ingin melakukan hal yang lebih jauh terhadap suatu tempat, hal tersebut yang kemudian dinamakansense of place.

Setiap tempat memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga memberikan suatu identitas terhadap keberadaan tempat tersebut. Identitas tempat atau place identitydiuraikan oleh Proshansky et al., (1978; Proshansky & Fabian, 1987) sebagai sebuah substruktur identitas diri yang dipahami secara luas tentang setting fisik dan pengetahuan yang digambarkan terhadap tempat dimana individu hidup. Identitas tempat ditentukan dan dipengaruhi, elemen fisik, makna, dan hubungan antara manusia dengan tempat (Bott et al., 2003 in (Wang & Xu, 2015). E. Relph menjelaskan bahwa kunci dari place identityadalah

insideness’, sejauh mana pengalaman, perasaan memiliki (belongs to), serta asosiasi terhadap suatu tempat. Relph (dalam Place and Placeness;1976) menjelaskan terdapat tiga komponen penting dalam place identity, yaitu setting fisik (physical setting), aktivitas (activities),dan pemaknaan (the meanings).

Gambar 1Komponen Place Identity (after Relph, 1976) (Taylor, 2008, p. 5)

(2)

Seiring berjalannya waktu, manusia memberikan kontribusinya melalui ilmu dan teknologi sehingga menciptakan sebuah perubahan. Perubahan yang biasa disebut sebagai modernisasi ini, memberikan wujud dan produk-produk baru yang dapat menunjang kehidupan dan kebutuhan manusia. Salah satu contohnya adalah didirikannya sebuah konstruksi bangunan yang tersusun atas berbagai macam toko yang melengkapinya sebagai bangunan pusat perbelanjaan atau yang dikenal sebagai Mall atau Shopping Mall. Mall pertama kali dikonstruksikan oleh Victor Gruen seorang arsitektur dari Amerika. Gruen memberikan ide bentuk Mallsebagai bangunan yang multi-lantai tertutup dengan suhu ruang yang telah diatur sedemikian rupa, didalamnya terdapat toko-toko penunjang kebutuhan belanja dan fasilitas lainnya. Mall hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat kota yang identik dengan ‘kemewahan’ dan ‘kemegahannya’. Eksistensi mall memberikan suatu perubahan yang berdampak pada kondisi sosial ekonomi, sense of place, serta identitas tempat atauplace identitybagi masyarakat kota.

Mall hadir sebagai tempat untuk pemenuhan kegiatan berbelanja bagi masyarakat. Mall berfungsi sebagai salah satu setting fisik yang mempengaruhi pemilihan tempat berbelanja.

Mall memiliki setting fisik yang lebih modern daripada pasar tradisional lainnya. Dalam segi form atauphysical settingnya mall memiliki tata letak yang diatur sedemikian rapi sehingga mempermudah masyarakat untuk memilih toko atau gerai belanja. Mall juga memiliki jaringan jalan untuk pedestrian mall yang dibuat untuk menghubungkan toko-toko dan fasilitas lainnya serta terdapat escalator maupunlift yang dapat menghubungkan antarlantai di Mall. Selain itu, mall juga menawarkan fasilitas lain selain untuk berbelanja, seperti bioskop, game center, salon, tempat makan, mushola, dan lainnya. Tak heran jika banyak masyarakat kota yang memilih untuk berbelanja di mall.

Gambar 2Physical setting salah satu Mall di Jakarta

(3)

Kehadiran Mall sebagai representasi kapitalis ekonomi menciptakan perubahan sosial, life style, serta merebaknya budaya konsumerisme atau konsumtif di tengah kehidupan masyarakat kota. Berkunjung ke mall kini bukan hanya untuk memuaskan kebutuhan fisiologis seperti berbelanja kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk memuaskan kebutuhan psikologis yang bersifat menghibur dan rekreatif. Masyarakat kini tidak hanya pergi ke mall untuk berbelanja melainkan juga untuk melakukan aktivitas lainnya, seperti menonton bersama di bioskop, bermain di game center, menyantap makanan di restaurant, berkumpul bersama teman, rapat, belajar, dan kegiatan lainnya. Letak mall yang biasanya berada di tengah-tengah kota yang dikelilingi oleh wilayah perkantoran, tak jarang dimanfaatkan oleh para pekerja kantor untuk membeli makan untuk jam siang, rapat, atau sekedar melepas penat dari suntuknya pekerjaan.

Bagiadolescents atau remaja yang dimana pada usia saat ini gairah untuk bermain dan memenuhi hasrat (desire) berkumpul dengan teman sangat tinggi menjadikan mall sebagai pilihan tempat untuk berbagi cerita, bermain, dan berkumpul bersama teman-teman sebayanya. Faktor kebutuhan rekreatif ini menjadi dasar para remaja untuk pergi mengunjungi mall. Para remaja atau seusianya biasanya mengunjungi mall untuk menonton ke bioskop, pergi ke cafe yang terdapat di mall, berbelanja di toko dan gerai merk ternama, atau hanya untuk hiburan semata. Adanya mall ini juga memberikan identitas diri atau self identity bagi remaja yang biasa disebut sebagai ‘city girl’ atau ‘city girl gang’. Bagi masyarakat lainnya, mall juga dapat menjadi tempat untuk pemenuhan berbelanja karena menyediakan toko dan gerai dengan merk ternama yang memiliki kualitas lebih baik daripada yang berada di pasar tradisional. Pada hal ini, terkadang kegiatan belanja tidak hanya dipengaruhi oleh logika kebutuhan (need) tetapi juga oleh logika hasrat (desire) dan keinginan (want). Mall juga menjadi pilihan untuk berbelanja karena memiliki sistem perbelanjaan yang cenderung lebih mudah dan nyaman karena sudah memiliki sistem yang lebih modern.

Gambar 3Keberadaan Mall Aeon Dilihat dari Lokasi Relatif

(4)

Eksistensi mall memberikan kesan dan pemaknaan tersendiri bagi setiap lapisan masyarakat kota. Genius loci (dalam arsitektur) atau semangat ‘tempat’ atau spirit of place dalam mall memberikan sentuhan yang menyalakan kehidupan dalam mall. Mall menjadi kian hidup karena adanya berbagai penggambaran ‘image’ serta pemaknaan oleh masyarakat kota. Selain itu, mall juga menjadi tempat bagi masyarakat untuk menciptakan sebuah

memory’, pengalaman, atau kenangan yang mungkin tak terlupakan. Pengalaman masyarakat kota terhadap mall yang terbentuk dari waktu ke waktu kemudian akan membentuksense of place.Sense of place yang terbentuk membuat masyarakat kota memiliki rasabelongingatau rasa memiliki terhadap mall atau bahkan membentuk suatu rasa keterikatan atau place attachment terhadap mall. Rasa tersebut yang kemudian membangun ikatan emosional masyarakat kota dengan mall yang membuat masyarakat tersebut ingin pergi mengunjungi kembali mall tersebut.

Pemaknaan dan rasa yang terbentuk akan menuangkan sebuah identitas terhadap mall.

Identitas tersebut terbentuk dengan secara alami dan subjektif berasal dari individu masyarakat itu sendiri. Place identity tersebut kemudian memberikan gambaran identitas terhadap mall, seperti tempat bermain, tempat rekreasi, tempat berbelanja, tempat untuk

healing’, atau identitas mall lainnya. Identitas tempat tersebut yang kemudian membedakan mall terhadap tempat lain, menjadi sebuah ‘pembeda’ bagi tempat-tempat lain yang memiliki pemaknaan berbeda.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa eksistensi mall memberi pengaruh terhadap gaya hidup, lifestyle, place identity, sertasense of place masyarakat kota. Sense of placedanplace identityterbentuk karena adanya komponen aktivitas, pemaknaan, dan setting fisik terhadap tempat. Ikatan emosional dan perasaan yang terbentuk dapat berbeda-beda bagi setiap masyarakat sehingga memberikan kesan dan identitas tempat (dalam hal ini adalah mall) yang berbeda pula.

(5)

Daftar Referensi

Bernardo, Fatima. Jose Manuel P. (2012)Place Identity: A Central Concept in Understanding Intergroup Relationships in the Urban Context. The Role of Place Identity in the Perception, Understanding, and Design of Built Environments, 2012, 35-46.

Ginting, Nurlisa., Julaihi Wahid. (2016).Defining Distinctiveness Aspect of Place Identity in Urban Heritage Tourism. 8th International Conference on Architecture Research and Design (AR+DC)

Kusumowidagdo, Astrid. dkk. (2015). Sense of Place among Adolescents: Factors Influencing the Place Attachment on Shopping Malls. Makara Hubs-Asia, 2015, 19(2):

97-106

Parsa, Rogayeh Mansouri. dkk. (2015). Explaining The Concept of Identity and Sense of Place in Residential Environment and Lifestyle. Kuwait Chapter of Arabian Journal of Business and Management Review Vol. 4, No.5; January. 2015

QAZIMI, Shukran. (2014). Sense of Place and Place Identity. European Journal of Social Sciences Education and Research, Vol. 1, Issue 1.

Setiadi, Hafid. (2018). Perubahan Identitas Tempat dan Konflik Perubahan di Pinggiran:

Studi Awal Tentang Urban Habitus Dalam Transformasi Ruang di Kota Depok, Jawa Barat.SPACE - Vol. 5, No. 1, April 2018

Zamroni, M. Imam. (2007).Mall, Masyarakat Yogya, dan Budaya Konsumsi. Jurnal Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. VIII, No. 1 Juni 2007:14-29

Referensi

Dokumen terkait

Two centers in the EPIC-Italy participated in the ESCAPE project: Varese and the city of Turin. 24 Co-operation with the local cancer registry and the local health authority