Nama : Putri Pajarwangi NIM : 1707121573
Prodi : Teknik Kimia S1 A Matkul : Agama Islam
ASBABUN NUZUL DAN ASBABUN WURUD
A.Pengertian Asbabun Nuzul
Asbab an-nuzul merupakan bentukidhafah dari kata“asbab” dan “nuzul”, Secara etimologi, asbab an-nuzul adalahsebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu.
Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatudapat disebut asbab an- nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Quran, seperti halnya asbab al- wurud secara khusus digunakan bagi sebab terjadinya hadist.
Banyak pengertiannya terminologi yang di rumuskan oleh para ulama, di antaranya:
1.Menurut Az-zarqoni
“asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2.Ash-shabuni
“asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu ayat atau beberapa ayat mulai yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
3.Subhi shalih
“asbab an-nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
4.Mana’ Al-Qaththan
“asbab an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunnya al-qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa kejadian atau pertanyaan yang diajukan kepada nabi”.
Jadi, asbab an-nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-qur’an, dalam rangka menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut. Asbab an-nuzul merupakan bahan sejarah yang dapat di pakai untuk memberikan keterangan terhadap turunnya ayat Al-qur’an dan memberinya konteks dalam memahami perintah-perintahnya. Sudah tentu bahan-bahan ini hanya melingkupi peristiwa pada masa al-qur’an masih turun (ashr at-tanzil).
Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya al-qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa konflik sosial, seperti ketegangan yang terjadi diantara suku Aus dan suku khazraj ; kesalahan besar, seperti kasus seorang sahabat yang mengimani shalat dalam keadaan mabuk; dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang, atau yang akan rerjadi.
Persoalan mengenai apakah seluruh ayat al-qur’an memiliki asbab an-nuzul atau tidak, ternyata telah menjadi bahan kontroversi diantara para ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak semua ayat al-qur’an memiliki asbab an-nuzul. Oleh sebab itu, ada ayat al-qur’an yang diturunkan tanpa ada yang melatarbelakanginya (ibtida’), dan sebagian lainnuya diturunkan dengan di latarbelakamgi oleh sesuatu peristiwa (ghair ibtida’).
Pendapat tersebut hampir menjadi kesepakatan para ulama. Akan tetapi sebagian berpendapat bahwa kesejarahan arabia pra-qur’an pada masa turunnya al-qur’an merupakan latar belakang makro al-qur’an, sedangkan riwayat-riwayat asbab an-nuzul merupakan latarbelakang mikronya.pendapat ini berarti mengaggap bahwa semua ayat al-qur’an memiliki sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
B.Macam-macam Asbabun Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbab an-nuzul dapat dibagi kepada;
1.Ta’addud Al-Asbab Wa Al-Nazil Wahid
Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat/ wahyu. Terkadang wahyu turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab,[4] misalnya turunnya (Q.S. Al- Ikhlas: 1-4).
“Katakanlah:”Dia-lah Allah, yang maha Esa. Allah adalah tuhan yang bergantung kepada- Nya segala sesuatu. Tiada berada beranak dan tiada pula di peranakkan. Dan tiada seoarangpun yang setara dengan dengan dia.
Ayat-ayat yang terdapat pada surat di atas turun sebagai tanggapan terhadap orang- orang musyrik makkah sebelum nabi hijrah, dan terhadap kaum ahli kitab yang ditemui di madinah setelah hijrah.
Contoh yang lain:
“peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah(dalam shalatmu) dengan khusyu’.
Ayat di atas menurut riwayat diturunkan berkaitan dengan beberapa sebab berikut;
a. Dalam sustu riwayat dikemukakan bahwa nabi SAW. Shalat dzuhur di waktu hari yang sangat panas. Shalat seperti ini sangat berat dirasakan oleh para sahabat.
Maka turunnlah ayat tersebut di atas. (HR. Ahmad, bukhari, abu daud).
b. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nabi SAW. Shalat dzuhur di waktu yang sangat panas. Di belakang rasulullah tidak lebih dari satu atau dua saf saja yang mengikutinya. Kebanyakan diantara mereka sedang tidur siang, adapula yang sedang sibuk berdagang. Maka turunlah ayat tersebut diatas (HR.ahmad, an-nasa’i, ibnu jarir).
c. Dalam riwayat lain dikemukakan pada zaman rasulullah SAW. Ada orang-orang yang suka bercakap-cakap dengan kawan yang ada di sampingnya saat meraka shalat. Maka turunlah ayat tersebut yang memerintahkan supaya diam pada waktu sedang shalat (HR. Bukhari muslim, tirmidhi, abu daud, nasa’i dan ibnu majah).
d. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ada orang-orang yang bercakap-cakap di waktu shalat, dan ada pula yang menyuruh temannya menyelesaikan dulu keperluannya(di waktu sedang shalat). Maka turunlah ayat ini yang sedang memerintahkan supaya khusyuk ketika shalat.
2.Ta’adud an-nazil wa al-asbab wahid
Satu sebab yang mekatarbelakangi turunnya beberapa ayat.
Contoh: Q.S. Ad-dukhan : 10,15 dan16;
“maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata, ”
“sesungguhnya (kalau) kami akan melenyapkan siksaan itu agak sedikit sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar)”.“(ingatlah) hari (ketika) kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras. Sesungguhnya kami memberi balasan”.
Asbab an-nuzul dari ayat-ayat tersebut adalah; dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika kaum Quraisy durhaka kepada nabi SAW. Beliau berdo’a supaya mereka mendapatkan kelaparan umum seperti kelaparan yang pernah terjadi pada zaman nabi yusuf. Alhasil mereka menderita kekurangan, sampai-sampai merekapun makan tulang, sehingga turunlah(Q.S. ad-dukhan :10). Kemudian mereka menghadap nabi saw untuk meminta bantuan. Maka rasulullah saw berdo’a agar di turunkan hujan. Akhirnya hujanpun turun, maka turunnlah ayat selanjutnya (Q.S. ad-dukhan: 15).namun setelah mereka memperoleh kemewahan merekapun kembali kepada keadaan semula (sesat dan durhaka) maka turunlah ayat ini (Q.S. ad-dukhan :16) dalam riwayat tersebut dikemukakan bahwa siksaan itu akan turun di waktu perang badar.
C. Makna Ungkapan Sabab An-Nuzul
Ungkapan-ungkapan yang di gunakan oleh para sahabat untuk menunjukkan turunnya al-qur’an tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu secara garis besar di kelompokkan dalam dua kategori;
1. Sarih (jelas)
Ungkapan riwayat “sarih” yang memang jelas menunjukkan asbab an-nuzul dengan indikasi menggunakan lafadz (pendahuluan).
“sebab turun ayat ini adalah...”
“telah terjadi... maka turunlah ayat…..”
“rasulullah saw pernah di tanya tentang ... maka turunlah ayat…..”
Contoh lain: Q.S. al-maidah, ayat : 2
“hai orang-orag yang beriman, janganlah kamu melanggar shi’ar-shi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qala-id, dan jangan pula mengganggu orang-orang yang mengunjungi baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhoannya dari tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali- kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari masjid al-haram, mendorongmu membuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya ”.(Q.S. almaidah : ayat 2).
Asbab an-nuzul dari ayat berikut; ibnu jarir mengetengahkan subuah hadits dari ikrimah yang telah bercerita,” bahwa hatham bin hindun al-bakri datang kemadinah bersrta kafilahnya yang membawa bahan makanan. Kemudian ia menjualanya lalu ia masuk ke madinah menemui nabi saw.; setelah itu ia membaiatnya masuk islam. Tatkala ia pamit untuk keluar pulang, nabi memandangnya dari belakang kemudian beliau bersabda kepada orang- orang yang ada di sekitarnya, ‘sesungguhnya ia telah menghadap kepadaku dengan muka yang bertampang durhaka, dan ia pamit dariku dengan langkah yang khianat. Tatkala al-bakri sampai di yamamah, ia kembali murtad dari agama islam. Kemudian pada bulan dhulkaidah ia keluar bersama kafilahnya dengan tujuan makkah. Tatkala para sahabat nabi saw.
Mendengar beritanya, maka segolongan sahabat nabi dari kalangan kaum muhajirin dan kaun ansar bersiap-siap keluar madinah untuk mencegat yang berada dalam kafilahnya itu.
Kemudian Allah SWT. Menurunkan ayat,’ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar shiar-shiar Allah...(Q.S. al-maidah : 2 ) kemudian para sahabat mengurungkan niatnya (demi menghormati bulan haji itu).
Hadits serupa ini di kemukakan pula oleh asadiy.” Ibnu abu khatim mengetengahkan dari zaid bin aslam yang mengatakan, bahwa rasulullah saw. Bersama para sahabat tatkala berada di hudaibiah, yaitu sewaktu orang-orang musyrik mencegah mereka untuk memasuki bait al-haram peristiwa ini sangat berat dirasakan oleh mereka, kemudian ada orang-orang musyrik dari penduduk sebelah timur jazirah arab untuk tujuan melakukan umroh. Para sahabat nabi saw. Berkata, marilah kita halangi mereka sebagaimana(teman-teman mereka) merekapun menghalangi sahabat-sahabat kita. Kemudian Allah SWT. Menurunkan ayat,”janganlah sekali-kali mendorongmu berbuat aniaya kepada mereka...” (Q.S. al-maidah ayat : 2)
2. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)
Ungkapan “mutammimah”adalah ungkapan dalam riwayat yang belum dipastikan asbab an-nuzul karena masih terdapat keraguan. Hal tersebut dapat berupa ungkapan;
...“ayat ini diturunkan berkenaan dengan ...”
“saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ...”
“saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan...”
Contohnya: Q.S. al-baqarah: 223
“istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, mak datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik)untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”(QS. Al-baqarah, ayat ;223)
Asbab an-nuzul dari ayat berikut ;dalam sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh abu daud dan hakim, dari ibnu abbas di kemukakan bahwa penghuni kampung di sekitar yatsrib (madinah), tinggal berdampingan bersama kaum yahudi ahli kitab. Mereka menganggap bahwa kaum yahudi terhormat dan berilmu, sehingga mereka banyak meniru dan menganggap baik segala perbuatannya.Salah satu perbuatan kaum yahudi yang di anggap baik oleh mereka ialah tidak menggauli istrinya dari belakang.
Adapun penduduk kamping sekitar quraish (makkah) menggauli istrinya dengan segala keleluasannya.Ketika kaum muhajirin (orang makkah) tiba di madinah salah seorang dari mereka kawin dengan seorang wanita ansar (orang madinah).Ia berbuat seperti kebiasaannya tetapi di tolak oleh istrinya dengan berkata: “kebiasaan orang sini, hanya menggauli istrinya dari muka.” Kejadian ini akhirnya sampai pada nabi saw, sehingga turunlah ayat tersebut di atas yang membolehkan menggauli istrinya dari depan, balakang, atau terlentang, asal tetap di tempat yang lazim.
D.Urgensi dan kegunaan asbab an-nuzul
Asbab an-nuzul mempunyai arti penting dalan menafsirkan al-qur’an. Seseorang tidak akan mencapai pengertian yang baik jika tidak memahami riwayat asbab an-nuzul suatu ayat.
Al-Wahidi (W.468H/1075M.)seorang ulama klasik dalam bidang ini mengemukakan;
“pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat tidak mungkin, jika tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang peristiwa dan penjelasan dengan turunnya suatu ayat. Sementara ibnu daqiq al-id menyatakan bahwa penjelasan asbab an-nuzul
Merupakan salah satu jalan yang baik dalam rangka memahami al-qur’an. Pendapat senada di ungkapkan oieh ibnu taimiyah bahwa mengetahui asbab an-nuzul akan menolomg seorang dalam upaya memahami ayat, karena pengetahuan tentang sebab akan melahirkan pengetahuan tentang akibat.
Pemahaman asbab an-nuzul akan sangat membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Ini sangat penting untuk menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya kekeliruan akan semakin besar jika mengabaikan riwayat asbab an-nuzul.
Muhammad chirzin dalam bukunya: al-qur’an dan ulum al-qur’an menjelaskan, dengan ilmu asbab an-nuzul. Pertama, seorang dapat mengetahui hikmah di balik syariat yang di turunkan melalui sebab tertentu.Kedua, seorang dapat mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului turunnya suatu ayat.Ketiga, seorang dapat dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umumdan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti di terapkan. Keempat, seorang dapat menyimpulkan bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada rasulullah dan selalu bersama para hambaNya.
Study tentang asbab an-nuzul akan selalu menemukan relevansinya sepanjang peradaban perjalanan manusia, mangingat asbab an-nuzul manjadi tolak ukur dalam upaya kontekstualisasi teks-teks al-qur’an pada setiap ruang dan waktu serta psiko-sosio-historis yang menyertai derap langkah kehidupan manusia.
Lebih lanjut sebagaimana dijelaskan oleh manna khalil al-qattan dalam bukunya mabahith fi ulum al-qur’an diantara faedah ilmu asbab an-nuzul dalam dunia pendidikan, para pendidik megalami banyak kesulitan dalam penggunaan media pendidikan yang dapat membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka siap menerima pelajaran dengan penuh minat dan seluruh potensi intelektualnya terdorong untuk mendengarkan dan mengikuti pelajaran.
Asbab an-nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang di sampaikan kepada rasulullah untuk mengetahui hukum suatu masalah, sehingga al-qur’an pun sesudah terjadi peristiwa atau pertanyaan tersebut. Seorang guru sebenarnya tidak perlu membuat suatu pengantar dengan sesuatu yang baru dan di pilihnya;
sebab bila ia menyampaikan sebab asbab an-nuzul, maka kisahnya itu sudah cukup untuk membangkitkan perhatian, minat menarik memusatkan potensi intelektual dan menyiapkan jiwa anak didik untuk menerima pelajaran, serta mendorong mereka untuk mendengarkan dan memperhatikannya.
Mereka segera dapat memahamai pelajaran itu secara umum dengan mengetahui asbab an-nuzul karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kisah yang menarik. Dengan demikian jiwa mereka terdorong untuk mengetahui ayat apa yang rahasia perundangan dan hukum-hukum yang terkandung didalamnya, yang kesemua ini memberi petunjuk kepada manusia kejakan kehidupan lurus, jalan menuju kekuatan kemuliaan dan kebahagiaan.
Para pendidik dalam dunia pendidikan dan pengajaran di bangku-bangku sekolah atau punpendidikan umum,dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan perlu memanfaatkan konteks asbab an-nuzul untuk memberikan rangsangan kepada anak didik yang temgah
belajar dan masyarakat umum yang di bimbing. Cara demikian merupakan cara paling bermanfaat dan efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan tersebut dengan menggunakan metode pemberian pengertian yang paling menarik.
Dalam kaitannya dengan kajian ilmu shari’ah dapat ditegaskan bahwa pengetahuan tentang asbab an-nuzul berfungsi antara lain;
1. Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’
tehadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin dan agama. Jika dianalisa secara cermat, proses penetapan hukum berlangsung secara manusiawi, seperti pelanggaran minuman keras,misaalnya ayat-ayat al-qur’an turun dalam empat kali tahapan yaitu: Q.S.an-nahl: 67,Q.S al-baqarah:219, Q.S an-nisa’:43 danQ.S al-maidah:90-91
2. Mengetahui asbab an-nuzul membantu memberikan kejelasan terhadap beberapa ayat.
Misalnya. Urwah ibnu zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardu sa’i antara sofa dan marwa Q.S. al-baqarah : 158
“sesungguhnya sofa dan marwa adalah sebagian dari shiar-shiar. Barang siapa yang beribadah haji ke baitullah ataupun umroh, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya .dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, sesungguhnya Allah maha mensyukuri kebaikan lagi maha mengetahui”.
Urwah bin zubair kesulitan memahami”tidak ada dosa” di dalam ayat ini lalu ia menanyakan kepada aisyah perihal ayat tersebut, lalu aisyah menjelaskan bahwa peniadaan dosa di situ bukan peniadaan hukum fardhu peniadaan di situ dimaksudkan sebagai penolak keyakinan yang telah mengakar di hati muslimin pada saat itu, bahwa melakukan sa’i antara sofa dan marwah termasuk perbuatan jahiliyah.
Keyakinan ini didasarkan atas pandangan bahwa pada masa pra islam di bukit safa terdapat sebuah patung yang di sebut”isaf” dan di bukit marwah ada patung yang di sebut”na’ilah”. Jika melakukan sa’i di antara bukit itu orang jahiliyah sebelumnya mengusap kedua patung tersebut. Ketika islam datang, patung-patung tersebut itu di hancurkan, dan sebagian ummat islam enggan melakukan sa’I di tempat itu, maka turunlah ayat ini (Q.S al- baqarah :158).
3. Pengetahuan asbab an-nuzul dapat menghususkan (takhsis) hukum terbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah (khusus as-sabab) sebab khusus. Sebagai contoh turunnya ayat-ayat dhihar pada permulaan surat al-mujadalah, yaitu dalam kasus aus ibnu as- samit yang mendzihar istrinya, khaulah binti hakam ibnu tha’labah. Hukum yang terkandung dalam ayat-ayat ini khusus bagi keduanya dan tidak berlaku bagi orang lain.
4. Yang paling penting ialah asbab an-nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apa ayat itu di terapkan. Maksud yang sesungguhnya suatu ayat dapat di pahami melalui asbab an-nuzul.
5. Pengetahuan tentang asbab an-nuzul akan mempermudah orang yang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya. Sebab, pertalian antara sebab dan musabab (akibat), hukum dan peristiwa, peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya, semua ini merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mantapnya dan terlukisnya dalam ingatan.
Contoh-contoh Asbabun Nuzul,yaitu : 1. Asbabun nuzul Al Qur'an Surat At-Taubah
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS.At-Taubah : 123)
Abu Ja’far berkata : Allah SWT berfirman kepada orang yang beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, “wahai orang-orang yang membenarkan Allah SWT dan Rasulnya, perangilah wali-walimu yang kafir dan tidak berada jauh darimu,” atau dia berkata, “Mulailah perangi orang-orang terdekat dan terdekat denganmu, jangan perangi yang jauh darimu,”
Yang diajak bicara pada saat itu adalah bangsa Roma, karena mereka tinggal di negeri Syam, dan Syam lebih dekat dengan Madinah daripada Irak, tetapi setelah Allah Swt memerdekakan negeri-negeri bagi umat muslim, maka kewajiban berperang telah tetap atas umat mukmin untuk memerangi wali mereka yang menjadi musuh bagi mereka, selama saudara seakidah mereka yang jauh tidak diusik oleh musuh mereka yang kafir, tetapi jika saudara seakidah mereka diusik dan diganggu kehormatannya, maka umat muslim yang lain wajib menolong dan membebaskan mereka, karena muslim yang satu dengan muslim yang lain merupakan penolong. (buku tafsir At-Thabari karya Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Ath-Thabari, penerjemah Anshari Taslim dkk.)
2. Contoh Asbabun nuzul QS. Al-Ahzab Ayat 1-3
"Wahai nabi! Bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menuruti (keinginan) orang- orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana,"
"dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan,"
"dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pemelihara."
(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 3)
Imam Ibnu Jarir At-Thabari telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ad-Dahak dan dari Ibnu Abbas RA. Ibnu Abbas RA. Telah menceritakan, bahwa sesungguhnya penduduk mekah, antara lain Al-Walid Ibnu Mughira dan Syaibah Ibnu Rabi’ah mengimbau kepada Nabi SAW. Agar mencabut kembali perkataan-perkataan (seruan dakwahnya). Untuk itu, mereka bersedia memberikan imbalan kepadanya yaitu memberikan setengah dari harta mereka. Dan orang-orang munafik dan yahudi di Madinah menakut-nakutinya supaya menghentikan seruan itu. Apabila tidak, maka mereka akan membunuhnya, kemudian turunlah ayat-ayat ini. (buku terjemah tafsir al-maraghi, Ahmad Musthafa Al-Maraghi)
3. Asbabun nuzul Al Qur'an Surat al-Kaafiruun
"Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.6. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”(al-Kaafiruun: 1- 6)
Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari Ibnu
‘Abbas bahwa kaum Quraisy berusaha mempengaruhi Nabi Muhammad saw dengan menawarkan harta kekayaan agar beliau menjadi orang yang paling kaya di kota Mekah.
Mereka juga menawarkan kepada beliau untuk menikahi wanita mana saja yang beliau kehendaki. Upaya tersebut mereka sampaikan kepda beliau seraya berkata: “INilah yang kami sediakan bagimu hai Muhammad, dengan syarat engkau jangan memaki-maki tuhan-tuhan kami dan menjelek-jelekkannya, atau sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun.” Nabi Muhammad saw menjawab: “Aku akan menunggu wahyu dari Rabb-ku.”
Surat ini turun berkenaan dengan peristiwa itu sebagai perintah untuk menolak tawaran kaum kafir itu.
Dan turun pula surat az-Zummar ayat 64.
Katakanlah: “Maka Apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, Hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?” sebagai perintah untuk menolak ajakan orang-orang bodoh yang menyembah berhala.
Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq yang bersumber dari Wahb dan diriwayatkan pula oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Juraij bahwa kaum kafir Quraisy berkata kepada Nabi sumber: asbabunnuzul KHQ.Shaleh dkk.
4. Asbabun nuzul Al Qur'an Surat al-Kautsar Ayat 1-3 Allah SWT berfirman:
"Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak."
"Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)."
"Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)."
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dll, dengan sanad yang sahih, yang bersumber dari Ibnu
‘Abbas bahwa ketika Ka’b bin al-Asyraf (tokoh yahudi) datang ke Mekah, kaum Quraisy berkata kepadanya; “Tuan adalah pemimpin orang Madinah. Bagaimana pendapat tuan tentang si pura-pura sabar yang diasingkan oleh kaumnya, yang menganggap dirinya lebih mulia dari kami, padahal kami adalah penyambut orang-orang yang melaksanakan haji, pemberi minumnya, serta penjaga Ka’bah ?” Ka’b berkata: “Kalian lebih mulia daripada dia.”
Maka turunlah ayat ini (al-Kautsar ayat 3) yang membantah ucapan mereka.
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah di dalam KItab al-Mushannaf dari Ibnul Mundzir, yang bersumber dari ‘Ikrimah bahwa ketika Nabi Muhammad saw diberi wahyu, kaum Quraisy berkata: “Terputuslah hubungan Muhammad dengan kita.” Maka turunlah ayat ini (al-Kautsar ayat 3) sebagai bantahan terhadap ucapan mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari as-suddi. Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam Kitab ad-dalaa-il, yang bersumber dari Muhammad bin ‘Ali, dan disebutkan bahwa yang meninggal itu ialah Qasim. Bahwa kaum Quraisy menganggap kematian anak laki-laki itu berarti putus keturunan. Ketika putra Rasulullah saw meninggal, al-‘Ashi bin Wa-il mengatakan bahwa keturunan Muhammad saw telah terputus. Maka surat al-Kautsar ayat 3 ini turun sebagai bantahan terhadap ucapan mereka.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi yang bersumber dari Mujahid bahwa ayat 3 ini turun berkenaan dengan al-‘Ashi bin Wa-il yang berkata, “Aku membenci Muhammad.” Maka ayat ini turun sebagai penegasan bahwa orang yang membenci Rasulullah akan terputus segala kebaikannya.
Diriwayatkan oleh Aththabarani dengan sanad yang dhaif, yang bersumber dari Ayyub bahwa ketika Ibrahim, putra Rasulullah saw wafat, orang-orang musyrik berkata satu sama lain: “Orang murtad itu (Muhammad) telah terputus keturunannya tadi malam.” Allah menurunkan surat al-Kautsar ayat 1-3 ini yang membantah ucapan mereka.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair bahwa ayat ini (ayat 2) turun pada peristiwa Hudaibiyah, ketika Jibril datang kepada rasulullah memerintahkan kurban dan shalat. Rasulullah segera berdiri seraya menyampaikan khotbah Idul Fitri-mungkin juga khotbah idul Adha (rawi ragu, apakah peristiwa di dalam hadits itu terjadi pada bulan Ramadhan atau pada bulan Zulkaidah) kemudian sholat dua rakaat.
Sesudah itu beliau menuju ke tempat kurban, lalu memotong hewan kurban.
Menurut as-Suyuthi, riwayat ini sangat gharib. Matan hadits ini meragukan, karena menyebutkan sholat id didahului khotbah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Syamr bin ‘Athiyyah bahwa
‘Uqbah bin Abi Mu’aith berkata: “Tidak ada seorang pun anak laki-laki Nabi Muhammad saw yang hidup hingga keturunannya terputus.” Ayat ke 3 ini turun sebagai bantahan terhadap ucapan itu.
Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij bahwa ketika Ibrahim putra Rasulullah saw wafat, kaum Quraisy berkata, “Serkarang Muhammad menjadi abtar (terputus keturunannya).” Hal ini menyebabkan Nabi Muhammad saw bersedih hati.
Maka turunlah ayat ini (al-Kautsar 1-3) sebagai penghibur baginya. [Sumber: asbabunnuzul, KHQ.Shaleh dkk]
5. Asbabun nuzul Al Qur'an Surat Al-Ma'un
Menurut mayoritas ulama’, surat ini termasuk ke dalam surah Makkiyah. Sebagian menyatakan Madaniyah’ dan ada juga yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai ayat ketiga turun di Mekah dan sisanya turun di Madinah.
Pendapat lain juga mengatakan bahwa awal surat ini turun di Mekah, sebelum nabi berhijrah. Sedangkan akhirnya yang berbicara tentang riya’ dalam shalatnya turun di Mekah.Yang berpendapat surat ini Makkiyah, menyatakan ia adalah wahyu yang ke-17 yang
diterima oleh Nabi Muhammad saw. Ia turun sesudah ayat At-Takatsur dan sebelum surah Al- Kafirun.
Adapun sebab turunnya ayat ini terdapat dalam riwayat yang di kemukakan bahwa ada orang yang di perselisihkan, apakah Abu Sufyan atau Abu jahal, Al-ash Ibn Walid atau selain dari mereka. Konon setiap minggu mereka menyembelih unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu. Namun, ia tidak memberinya bahkan menghardik dan mengusir anak yatim tersebut. Maka turunlah ayat pertama sampai ketiga dari surat Al-Ma’un.
Sedang menurut sebuah riwayat yang dituturkan dari sahabat Ibnu Abbas ra yang melatari turunnya wahyu Allah Al Quran surat Al-Maun ayat keempat sampai terakhir ini adalah sebagai berikut.
Bahwa pada zaman Rasullah dulu ada sekelompok kaum munafik yang rajin ibadah, dalam hal ini mengerjakan sholat. Namun patut disayangkan bahwa setiap mereka sholat itu tidak diniatkan karena Allah, melainkan karena ingin dilihat oleh orang lain. Ketika ada orang yang melihat mereka sholat maka mereka akan sholat dengan khusyuknya tetapi jika tidak ada orang yang melihatnya maka mereka sholat dengan seenaknya bahkan mereka tidak mengerjakannya.
Apa yang dikerjakan selalu ingin mendapatkan pujian dari orang lain atau dengan kata lain disebut riya. Selain itu kaum munafik ini enggan untuk memberikan barang-barang berguna yang dimikinya kepada orang yang membutuhkannya dengan kata lain kaum munafik ini enggan untuk megeluarkan zakat. Allah tidak menyukai kaum seperti ini. Oleh karena itu, Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara malaikat Jibril, sebagai ancaman kepada kaum munafik tersebut dan menggolongkan mereka kedalam orang-orang yang mendustakan agama Allah.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS An Nisa: 142).
B.Pengertian Asbabun Wurud
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah :
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
Dan ada juga yang mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun dalam hukum itu
Sedangkan kata Wurud bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir seperti :
“Air yang memancar atau air yang mengalir “[6]
Dengan demikian, secara sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab- sebab datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadis, maka asbabul wurud maka asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang ( background ) munculnya suatu hadis.
Menurut as-suyuthi, secara terminology asbabul wurud diartikan sebagai berikut :
Sesuatu yang menjadi thoriq (metode) untuk menentukan suatu Hadis yang bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu Hadis.
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan As-Suyuthi lebih mengacu kepada fungsi asbabu wurud al-Hadis, yakni untuk menentukan takhsis
(pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain sebagainya.
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan untuk merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said Agil Husin Munawwar untuk merumuskan pengertian asbabul wurud, kita perlu mengacu kepada pendapat hasbi ash- shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul wurud sebagai berikut :
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi SAW. Menuturkannya”.
Sementara itu, ada pula ulama’ yang memberikan definisi asbabul wurud, agak mirip dengan pengertian asbabun-nusul, yaitu :
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang terjadi pada waktu Hadis itu disampaikan oleh nabi SAW.”
Dari ketiga definisi tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa asbabul wurud adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang terjadi pada saat Hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah Hadis itu bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (washilah) untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami pesan moral suatu Hadis.
1. Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut imam as-Suyuthi asbabul wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu: 1) sebab yang berupa ayat al-Qur’an, 2) sebab yang berupa Hadis itu sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:
Sebab yang berupa ayat al-Qur’an. Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah Swt. Yang berbunyi :
“orang-orang yang beriman, dan mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (Q.S. Al-An’am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian al jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Luqman:
“sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Q.S al-Luqman: 13)
Sebab yang berupa Hadis. Artinya pada waktu itu terdapat suatu Hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut. Contoh adalah Hadis yang berbunyi:
“sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim)
Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”.
Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk surga) tiga kali.
Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya:
“Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut:
“wajabat” sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. al- Hakim dan al-Baihaqi).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat.
2. Sebab yang berupa perkaitan yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi berssabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan- Nya, seandainya kamu shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memnuhi nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini, Yaitu Masjid Al-Haram Itu Lebih Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq Dalam Kitab Al-Mushannafnya).
3. Urgensi Asbabul Wurud dan Cara Mengetahuinya
Asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, cultural, bahkan temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadis. Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali. Pemahaman hadis yang
mengabaikan peranan asbabul wurud akan cenderung bersfat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Adapun urgensi asbabul wurud menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:
1. Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat umum.
2. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlak.
3. Mentafshil (memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalamsuatu hadis.
5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)
Sebagai ilustrasi, akan diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya hadis yang berbunyi:
“shalat orang yang sambil duduk pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.”
(H.R. Ahmad)
Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan takhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbabul wurud.
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian bersabda :” shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat dengan berdiri”.
Mendengar pernyataan nabi tersebut, akhirnya para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “shalat” dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat pahala separoh dari orang shalat sunnat dengan beridiri.
Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbabul wurud yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang mutlak adalah hadis yang berbunyi:
“Barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula sebaliknya, barang siapayang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R. Muslim)
Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh pengertian tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah merupakankata yang mutlaq baik yang mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh.
Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat fenomena itu, Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai jama’ah shalat, Nabi SAW kenudian berpidato, yang inti
pidatonya adalah menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda :
Dari asbabul wurud tersebut, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud sunnah dalam hadis tersebut adalah sunnah yang baik.
Adapun cara mengetahui asbabul wurudnya sebuah hadis adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis lain. Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah atas dasar pemberitaan para sahabat.