• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM: Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahy

N/A
N/A
Serambi Aljunaidiyah

Academic year: 2024

Membagikan "ALIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM: Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahy "

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

ALIRAN TEOLOGI DALAM ISLAM:

Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu

Nur Afiyah1, Bunga Ifatunnisa2

1Universitas PTIQ Jakarta [email protected]

2Universitas PTIQ Jakarta [email protected]

Abstrak

Makalah ini membahas tentang dua aliran teologi dalam Islam, Qadariyah dan Jabariyah, dengan fokus pada sejarah, relevansi dalam konteks akal dan wahyu, serta kontribusi terhadap pemahaman umat Islam. Tujuan utama penelitian ini adalah menggali akar sejarah masing- masing aliran, mengidentifikasi metode pemikiran yang mereka terapkan, dan mengevaluasi relevansi pandangan mereka terhadap hubungan antara akal dan wahyu. Melalui analisis terhadap naskah-naskah klasik yang mewakili pandangan Qadariyah dan Jabariyah, temuan utama mencakup kompleksitas pandangan mereka terkait takdir, kebebasan manusia, dan hubungan dengan wahyu ilahi. Metode kritis digunakan untuk merinci argumen kunci dan perdebatan yang muncul dalam literatur klasik, memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap perdebatan intelektual di antara kedua aliran. Hasil penelitian ini memberikan wawasan baru terhadap perbandingan antara Qadariyah dan Jabariyah, dan nilai naskah klasik tersebut diakui sebagai sumber penting dalam memahami keragaman pemikiran teologis Islam, memperkaya diskusi terkait takdir, dan memberikan landasan bagi pengembangan pemikiran kritis dalam tradisi Islam.

Kata Kunci: Teologi Islam, Qadariyah, Jabariyah, akal, wahyu

Abstract

This paper discusses the two schools of theology in Islam, Qadariyah and Jabariyah, with a focus on history, relevance in the context of reason and revelation, as well as contributions to Muslim understanding. The main objective of this research is to explore the historical roots of each school, identify the methods of thought they apply, and evaluate the relevance of their views on the relationship between reason and revelation. Through analysis of classical texts representing the Qadariyah and Jabariyah views, the main findings include the complexity of their views regarding destiny, human freedom, and the relationship with divine revelation. Critical methods are used to detail key arguments and debates that emerge in classical literature, providing a deeper understanding of the intellectual debates between the two schools. The results of this research provide new insights into the comparison between Qadariyah and Jabariyah, and the value of these classic texts is recognized as an important source in understanding the diversity of Islamic theological thought, enriching discussions related to destiny, and providing a foundation for the development of critical thinking in the Islamic tradition.

Keywords: Islamic theology, Qadariyah, Jabariyah, reason, revelation

(2)

Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu | 2 Pendahuluan

Pemikiran dan peradaban Islam melalui rentang sejarahnya dimulai dari kerasulan Muhammad SAW dan melibatkan pemimpin-pemimpin berikutnya yang turut berperan dalam kemajuan agama rahmatan lil ‘alamin ini. Namun, dalam proses perkembangannya, muncul pemikiran-pemikiran kontroversial akibat pergolakan politik, pengaruh pemikiran non-Muslim dari filsafat Yunani yang sedang berkembang, dan dampak dari perubahan kultural budaya.

Salah satu dampak yang muncul dari pemikiran kontroversial tersebut adalah pandangan terkait perbuatan manusia (af’al ai-‘ibad), apakah manusia memiliki kebebasan untuk menentukan perbuatannya sendiri, atau apakah semua perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qadha dan Qadar Tuhan.1 Dalam sejarah pemikiran Islam, perdebatan tersebut memunculkan aliran teologi yang berkembang, yakni aliran Jabariyah dan Qadariyah.

Kedua aliran ini memaparkan pandangan berbeda terkait takdir, kebebasan manusia, dan hubungan antara akal dan wahyu. Sejarah perkembangan keduanya menciptakan dinamika intelektual dan teologis yang mempengaruhi pemahaman umat Islam terhadap konsep-konsep kunci dalam agama. Oleh karena itu, penelitian tentang aliran Qadariyah dan Jabariyah menjadi relevan untuk menggali akar sejarah, mendalaminya secara literer, dan mengevaluasi dampaknya terhadap pemikiran Islam.

Kajian literatur mengenai aliran Qadariyah dan Jabariyah telah menjadi fokus utama dalam pemahaman kerangka teologis Islam. Karya-karya klasik seperti "Kitab al- Milal wa al-Nihal" karya al-Shahrastani dan "Al-Maqalat wal-Firaq" karya al-Ash'ari memberikan wawasan mendalam tentang perbedaan pandangan di antara kedua aliran.

Kajian modern oleh ahli teologi seperti Fazlur Rahman dan Ibn Taymiyyah juga menyumbangkan analisis kritis terhadap pandangan Qadariyah dan Jabariyah.

Pemahaman literatur tersebut menjadi dasar untuk merinci kerangka pemikiran yang dibawa oleh keduanya dan memberikan landasan teoritis untuk penelitian lebih lanjut.

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas, pertanyaan penelitian yang muncul adalah bagaimana latarbelakang sejarah munculnya aliran Qadariyah dan Jabariyah? bagaimana doktrin atau ajaran yang dikembangkan oleh kedua aliran tersebut? Bagaimana relevansi pemikiran kedua aliran tersebut terhadap akal dengan wahyu?

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian yang fokus pada analisis teks sebagai metode inti. Sumber data utama adalah naskah-naskah klasik Islam yang mencakup karya-karya kunci dari Qadariyah dan Jabariyah, seperti

"Kitab al-Milal wa al-Nihal" oleh al-Shahrastani dan "Al-Maqalat wal-Firaq" oleh al- Ash'ari. Sumber data tambahan mencakup karya-karya ahli teologi modern yang menganalisis pandangan Qadariyah dan Jabariyah. Proses pengumpulan data melibatkan studi literatur secara cermat, dengan peneliti mengidentifikasi dan menganalisis argumen-argumen serta konsep-konsep yang mendasari kedua aliran.

Analisis teks dilakukan secara kritis dengan memperhatikan konteks sejarah, dan validitas dijaga melalui selektivitas dalam pemilihan naskah serta konsistensi dalam analisis. Etika penelitian diperhatikan dengan menjaga hak cipta naskah dan integritas

1 Ahmad, Hanafi. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta:Bulan bintang, 1982,hlm. 18.

(3)

3| Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu

intelektual. Kesimpulan penelitian ditarik melalui sintesis temuan-temuan yang diidentifikasi selama analisis, dengan fokus pada implikasi terhadap pemahaman teologis Islam. Metode ini dirancang untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai pandangan Qadariyah dan Jabariyah dalam tradisi Islam, menekankan analisis teks sebagai alat utama untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Pengertian Teologi Islam

Teologi secara etimologi berasal dari bahsa yunani yaitu theologia yang terdiri dari kata “Theos” artinya “Tuhan” dan “Logos” yang berarti “Ilmu”. Jadi teologi berarti

“ilmu tentang Tuhan”. Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni.

Ahmad Hanafi menjelaskan dalam pengantarnya, bahwa teologi memiliki banyak dimensi pengertian, namun secara umum teologi ialah ”the science which treats of the facts and phenomena of religion and the relations between God and man” atau ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia baik dengan jalan penyelidikan maupun pemikirann murni atau dengan jalan wahyu.2

Teologi sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama.

Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat. Dan yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.3

Teologi merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas mengenai ketuhanan yaitu membicarakan dzat Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan alam.

Karena itu teologi biasanya diikuti dengan kualifikasi tertentu seperti teologi yahudi, teologi kristen dan teologi Islam (ilmu kalam).4

Kata teologi yang bergandengan dengan islam merupakan ilmu yang membahas tentang fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara Tuhan dan Manusia. Islam dalam bahasan teologi Islam, adalah agama yang menuntut sikap ketundukan dengan penyerahan dan sikap pasrah, disertai sifat batin yang tulus, sehingga intisari yang terkandung dalam Islam ada dua yaitu; pertama berserah diri, menudukkan diri atau taat sepenuh hati; kedua masuk dalam as-Salam, yakni selamat sejahterah, damai hubungan yang harmonis.

Berdasar pada rumusan pengertian tentang “teologi” dan “Islam”, maka “Teologi Islam” adalah ilmu yang secara sistematis membicarakan tentang persoalan ketuhanan dan alam semesta menurut perspetif Islam yang harus diimani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran Islam yang harus diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat). Teologi Islam berbicara tentang persoalan ketuhanan, maka dapat pula dipahami bahwa ia identik dengan Ilmu kalam terutama dalam dua aspek.

2 Ahmad Syamsul Muarif and Mohammad Yunus, “Tinjauan Teologi Islam di Dunia: “Isu dan Prospek” Frederick Mathewson Denny, “Islamika: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 19, no.02 (2019): 40-53

3Muh Subhan Ashari, “Teologi Islam Perspektif Harun Nasution, “An-Nur Jurnal Studi Islam X, No.1 (2020): 73-96

4 Amat Zuhri dan Miftahul Ula, “Ilmu Kalam dalam Sorotan Filsafat Ilmu, “Religia 18, no. 2 (2015):

162

(4)

Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu | 4 Pertama, berbicara tentang kepercayaan terhadap Tuhan dalam segala seginya, termasuk soal wujud-Nya, keesaannya, dan sifat-sifat-Nya. Kedua, bertalian dengan alam semesta, yang berarti termasuk di dalamnya, persoalan terjadinya alam, keadilan dan kebijaksanaan Tuhan, serta selainnya. Ilmu yang membicarakan mengenai aspek- aspek yang disebutkan ini, disebut Teologi, dan karena pembicaraannya dalam perspektif Islam, maka disebutlah ia sebagai “Teologi Islam”.

Kajian teologi dalam ranah Islam memiliki nama terkenal lainnya seperti ilmu kalam dan ilmu tauhid. Teologi pada dasarnya sama dengan kajian ilmu kalam, yakni mencakup di dalamnya ilmu tentang Tuhan (ma’rifat al-mabda’), ilmu tentang utusan Allah (ma’rifat al-wāsiṭah), dan ilmu tentang hari akhirat (ma’rifat al-ma’ād).

Adapun pengertian teologi islam secara terminologi terdapat berbagai perbedaan pendapat.

1. Menurut Abdurrazak, teologi islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang terkait dengan-Nya secara rasional.

2. Menurut Ibnu Khaldun. teologi islam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan mempergunakan dalil- dalil pikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan ahli sunnah.

3. Menurut Sayyid Husein Afandi al-Jisr At-Tarabulisi, teologi islam ialah ilmu yang membahas padanya tentang menetapkan (meyakinkan) kepercayaan agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan (nyata).

4. Menurut Muhammad Abduh, teologi islam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sma sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri mereka.

Kalau melihat definisi terakhir dapat di pahami bahwa Muhammad Abduh lebih menekankan pada Ilmu Tauhid/Teologi yaitu pembahasan tentang Allah dengan segala sifat-Nya, Rasul dan segala sifat-Nya, sedang tiga definisi sebelumnya menekankan pada metode pembahsan, yaitu dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.

B. Kemunculan Aliran Teologi dalam Islam

Kemunculan aliran-aliran teologi dalam Islam, pada awalnya terkait dalam ranah politik dengan maksud perluasan ekspansi daerah kekuasaan Islam pada awal-awal perkembangan Islam. Peristiwa yang diawali oleh pertentangan politik menyangkut peristiwa pembunuhan, Uṡmān bin ‘Affān (574-656 M) yang berujung pada penolakan Mu’āwīyah bin Abū Sufyān (602-680 M) atas kekhalifahan Alī bin Abī Ṭālib (599-661 M).

Pertentangan antara Mu„āwīyah bin Abū Sufyān dan Alī bin Abī Ṭālib berakhir pada peristiwa perang Ṣiffin yang menghasilkan keputusan taḥkīm (arbitrase).

Akibat adanya taḥkīm tersebut, muncullah aliran teologi yang pertama dalam sejarah Islam, yaitu Khawarij, Murjiah dan Syi’ah. Setelah itu muncul berbagai aliran teologi dalam islam diantaranya adalah aliran Qadariyah dan Jabariyah.

(5)

5| Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu

C. Pengertian Qadariyah dan Jabariyah

Pengertian Qadariyah secara etimologi berasal dari kata, qadara, yaqduru, qadran artinya memutuskan, menentukan. Atau dari kata qadara, yaqdiru, qudratan, maqdaratan, maqduratan, maqdiratan artinya memiliki kekuatan dan kekuasaan.5 Jadi asal kata Qadariyah mempunyai dua pengertian. Yang pertama berarti menentukan.

Dari kata inilah diambil kata “taqdir”, sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah.

Sedangkan yang kedua berarti kekuatan dan kekuasaan. Yang kedua inilah yang identik dengan paham Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Sedangkan pengertian Qadariyah menurut istilah yang dipakai oleh ahli teologi ialah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi dengan tangan Tuhan.6 Kaum Qadariyah berpendapat, bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham Qadariyah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.7 Dalam teologi modern, paham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom of willingness atau freedom of action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.8 Jadi, Qadariyah adalah paham yang menisbatkan kekuasaan kepada manusia.9

Adapun pengertian Jabariyah, secara etimologi berasal dari kata jabara berarti pemaksaan, atau aliran yang berfaham tidak adanya ikhtiar bagi manusia.10 Sedangkan Jabariyah menurut istilah atau terminologi dikalangan para ahli teologi adalah suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa manusia dipaksa oleh Tuhan atau tidak mempunyai kekuasaan dan pilihan sama sekali.11 Atau manusia dalam kehidupannya serba terpaksa (majbur), tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya sendiri. Semua kehendak dan perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhanlah yang mempunyai kekuasaan dan kehendak yang mutlak. Dalam teologi modern, paham Jabariyah ini dikenal dengan nama fatalisme atau predestination, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu telah ditentukan dari sejak azali oleh qadha dan qadar Tuhan.

D. Sejarah Munculnya Aliran Qadariyah dan Jabariyah

Sebagaimana dimaklumi bahwa yang pertama kali muncul dan hangat dibicarakan dalam kalangan umat Islam setelah meninggalnya Rasulullah adalah persoalan politik yang merembet ke persoalan teologi. Mereka mengkafirkan orang yang telibat dalam arbitrase (tahkim) dan pembunuh khalifah Usman ibn Affan dinyatakan orang yang

5 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Mu’jam al-Lugah al-Arabiyah al-Mua’shirah, Cet III; (Bairut: Libanon: Librairie du liban, 1980), hlm. 745.

6 Adul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2012), hlm. 87

7 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2018), hlm. 33.

8 Hasan Basri, dkk, Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran, (Bandung : Azkia Pustaka Umum), hlm. 33

9 Dr. Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2015), hal. 124

10 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Ponpes al-Munawwir, 1984), hlm.

177.

11 Ensiklopedi Indonesia, Jilid III, (Jakarta: Ihktiar Baru-van Hoeve, 1982), hlm. 1532.

(6)

Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu | 6 berdosa besar. Pernyataan kafir dan dosa besar yang mereka kemukakan bukan lagi persoalan politik tetapi sudah masuk dalam persoalan teologi.12

Persoalan yang disebutkan di atas muncul pula masalah taqdir Tuhan. Masalah ini muncul berkenaan dengan kedudukan Tuhan sebagai pencipta alam semesta, termasuk manusia di dalamnya. Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak dan kekuasaan mutlak. Di sinilah timbul pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dan kebebasan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?

Qadariyah dan Jabariyah sebagai sebuah pemahaman, esensinya sudah berusia lama, jauh sebelum datangnya Islam. Paham ini sudah terdapat dikalangan Yahudi dan Nasrani, bahkan juga kaum filosof kuno. Dalam menjawab pernyataan tersebut di atas terjadilah dua jawaban ada yang mengatakan bahwa manusia bebas dan merdeka menentukan hidupnya. Dalam bahasa Inggrisnya free will and free act.13 Ada pula yang berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak bebas dan merdeka hanya majbur (dipaksa). Paham ini dalam bahasa Inggrisnya disebut predestianation atau fatalism.14 Paham pertama disebut paham Qadariyah karena berpaham bahwa manusia dapat menentukan perbuatan, dan yang kedua disebut paham Jabariyah karena pada hakekatnya manusia itu tidak memiliki kehendak dan qudrah, hanya terpaksa.

Sejak masa Nabi Muhammad saw, bibit paham Qadariyah dan Jabariyah sudah terdapat di kalangan umat Islam.15 Nabi pernah memarahi dua orang yang sedang bertengkar tentang ayat-ayat taqdir dan diduga bahwa yang bertengkar itu memiliki kecenderungan yang berbeda, satu Qadariyah dan lainnya Jabariyah. Aliran Qadariyah ini timbul bersamaan dengan timbulnya aliran Jabariyah, yang daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Aliran Qadariyah timbul di Irak, dan Jabariyah di Khurasan, Persia.

1. Latar Belakang Munculnya Aliran Qadariyah

Munculnya aliran Qadariyah secara matematis sulit dipastikan kapan ia mulai muncul, apalagi paham tersebut ketika dikenalkan kepada masyarakat Arab oleh orang Arab non padang pasir, kegoncangan dan sikap menentang sikap Qadariyah adalah hadits: ''Kaum Qadariyah merupakan majusi umat islam,'' dalam arti golongan yang tersesat. 16

Untuk menelusuri sejarah paham Qadariyah ini tentu tidak lepas dari pembahasan paham Jabariyah, sebagai realitas yang masih terus mewarnai kehidupan kehidupan manusia dalam bidang teologi, yang secara pasti sulit kapan paham-paham tersebut lahir/ada. Tetapi pada Dinasti Umayyah, setelah islam dianut oleh berbagai bangsa, maka paham Jabariyah dan Qadariyah telah menjadi bahan pemikiran diantara mereka, dan di situlah mulai muncul aliran-aliran tersebut.

12 Harun Nasution, Teologi Islam,….hlm.33

13 Harun Nasution, Teologi Islam,….hlm. 7

14 Harun Nasution, Teologi Islam,….hlm. 51

15 Tim Penulis IAIN Syarief Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 468.

16 Laessach M. Pakatuwo dan Mawaddah, “Al Jabariyah dan Al-Qadariyah; Pengertian, Latar Belakang Munculnya dan Pemikirannya” dalam Jurnal al-Ubudiyyah, Vol. 1, No. 1 edisi Juni 2020

(7)

7| Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu

Berkaitan dengan latar belakang munculnya aliran Qadariyah para peneliti di bidang teologi berbeda pendapat. Menurut Harun Nasution, kemunculan aliran Qadariyah erat kaitannya dengan masalah perbuatan manusia bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya.

Berbeda dengan Jabariyah, aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbutannya, ia dapat berbuat sesuatu dan meningalkannya atas kehendaknnya sendiri. Manusia mempunyai qudrah (kekutaan) untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan.

Ibnu Taimiyah mengemukakan sejarah timbulnya paham ini, Qadariyah muncul sebelum paham Jabariyah. Paham Qodariah muncul pada periode terakhir sahabat, yaitu ketika timbul perdebatan tentang qadar atau ketetapan Tuhan. Terkait penolakan terhadap qadar ini, para ulama salaf dan para imam telah membantah tentang pendirian kaum Qadariyah, Jabariyah, dan bid'ah-bid'ah kedua golongan ini.

Para sejarah teolog berpendapat bahwa yang mula-mula membawa paham ini adalah orang Yahudi.17 Adapun orang Islam yang pertama kali memperkenalkan paham Qadariyah, menurut keterangan para ahli teologi Islam adalah Ma’bad al-Juhany dan Ghailan al-Dimasyqi.18 Keduanya mengambil paham ini dari seorang kristen yang telah masuk Islam di Irak.

Dalam kitab Syahral ‘Uyun disebutkan,ada yang mengatakan orang yang pertama kali melahirkan paham Qadariyah adalah orang Irak, yang namanya Abu Yunus Sansawiah.19 Mula-mula orang ini beragama kristen, lalu masuk Islam, kemudian murtad kembali ke agamanya. Dari dialah Ma’bad al-Juhany dan Ghilan al-Diamsyqy menerima paham Qadariyah ini.20 Ma'bad Al-Juhani adalah seorang lelaki penduduk Basrah keturunan orang Majusi. Dia adalah seorang ahli hadits dan tafsir al-Qur'an, tetapi kemudian beliau dianggap sesat dan membuat pendapat-pendapat yang salah serta batal. Setelah diketahui pemerintahan waktu itu, ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan pada tahun 80 H. Dia adalah seorang tabi’in yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan al-Basri. Sedangkan menurut al-Zahabi, Ma'bad adalah seorang Tabi'in yang baik, tetapi ia terjun ke politik dan memihak 'Abd al-Rahman Ibn al-Asy'as ,Gurbernur Sajistan, dalam menentang Bani Umayyah. Dalam pertempuran dengan al- Hajjaj Ma'bad terbunuh dalam tahun 80 H.21

Kedua tokoh ini yaitu Ma’bad al-Juhany dan Ghilan al-Dimasyqy dengan gigih mengembangkan paham Qadariyah di daerahnya masing masing. Ma’bad al-Juhany menjadikan Irak sebagai sasaran pengembangan paham itu. Sedangkan Ghilan al- Dimasyqy menjadikan Damaskus sebagai tempat sasaran pengembangan pahamnya itu.

Pada waktu Ma’bad mati terbunuh dalam pertempuran melawan al-Hallaj, maka Ghailan terus menyebarkan paham Qadariyah tersebut di Damaskus. Tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar Ibn al-Aziz. Akhirnya di zaman Hisyam Abd al-Malik, ia

17 Tim Penulis IAIN Syarief Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia…,hlm. 33

18 Harun Nasution, Teologi Islam,….hlm. 34. Lihat juga Laessach M. Pakatuwo dan Mawaddah, “Al Jabariyah dan Al-Qadariyah; Pengertian, Latar Belakang Munculnya dan Pemikirannya” dalam Jurnal al- Ubudiyyah, Vol. 1, No. 1 edisi Juni 2020, hlm. 4

19 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Fkr al-Arabiyah, 1996), hlm.11

20 Hamka Haq (ed.), Corak Qadariyah Dalam Pemikiran Islam, dari kumpulan makalah makalah Harun Nasution, (Jakarta: t.p., 1998), hlm. 80.

21 Lihat Laessach M. Pakatuwo dan Mawaddah, “Al Jabariyah dan Al-Qadariyah; Pengertian, Latar Belakang Munculnya dan Pemikirannya” dalam Jurnal al-Ubudiyyah, Vol. 1, No. 1 edisi Juni 2020, hlm. 3

(8)

Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu | 8 harus mengalami hukuman mati. Sebelum dijatuhi hukuman mati diadakan perdebatan antara Ghailan dan al-Awza'i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri. Dari sini para peneliti menegaskan bahwa aliran ini muncul dalam Islam untuk pertama kali di Basrah dalam suasana pertentangan berbagai pendapat dan pemikiran.22

Menurut Abu Zahrah, para ahli sejarah ilmu pemikiran islam telah meneliti dan mengkaji lebih jauh mengenai siapakah yang pertama kali mengajarkan paham ini, di daerah mana timbul dan berkembang. Hanya saja pedoman umum yang dapat di dijadikan pegangan bahwsannya Basra dan Iraklah tempat timbulnya dan berkembangnya paham Qadariyah.

Abu Zahrah, selanjutnya menyimpulkan bahwasanya kaum muslimin pada akhir masa Khulafa Ar-Rasyidin dan masa pemerintahan Muawiyah ramai membicarakan masalah Qadha dan Qadar. Sekelompok umat islam sangat berlebihan dalam meniadakan hak memilih bagi umat manusia, mereka adalah kaum Jabariyah.

Sedangkan kaum Qadariyah sangat berlebihan dengan pendapatnya bahwa semua perbutaan manusia adalah murni keinginan manusia yang terlepas dari keinginan atau kehendak Tuhan.

Namun demikian, meski para pakar berbeda pendapat tentang latar belakang kemunculan aliran Qadariyah, para ahli hampir sepakat bahwa Ma'bad al-Junani adalah orang yang pertama kali dikalangan kaum muslimin menyampaikan paham periode sahabat.

2. Latar Belakang Munculnya Aliran Jabariyah.

Aliran Jabariyah timbul bersamaan dengan timbulnya aliran Qadariyah, yang daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Aliran Jabariyah timbul di Khurasan Persia, dan Qadariyah di Irak.

Adapun paham Jabariyah pertama kali dipromosikan oleh Ja’ad bin Dirham yang dihukum mati oleh penguasa pada tahun 124 H.23 Akan tetapi paham ini kemudian disebarkan dan dipopulerkan oleh Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Jahm ibn Safwan ini juga merupakan salah satu tokoh pendiri aliran al-Jahmiyah dalam paham Murji’ah. Ia adalah sekretaris Syuraih ibn al-Haris dan turut menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan ini Jahm ibn Safwan ditangkap dan kemudian dihukum mati oleh penguasa pada tahun 131 H.24

Paham yang dibawa oleh Jahm ibn Safwan adalah lawan ekstrim dari paham yang diajarkan oleh Ma’bad dan Ghailan. Manusia, menurut Jahm, tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam semua perbuatannya adalah terpaksa diluar kemauan, kekuasaan dan pilihannya.25

Mengenai munculnya aliran Jabariyah ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.

22 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Fkr al-Arabiyah, 1996), hlm. 11

23 Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,1998), hlm. 244

24 Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm.35.

25 Harun Nasution, Teologi Islam…, hlm. 35.

(9)

9| Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu

Harun Nasution dalam hal ini menjelaskan bahwa bangsa Arab dengan keadaan yang bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanah dan gunungnya yang gundul, Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran hidup yang timbul. Dalam kehidupan banyak bergantung pada kehendak.

Sebenarnya benih-benih paham Jabariyah sudah muncul jauh sebelum tokoh- tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:

a. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi saw. melarang mereka memperdebatkan persoaalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penefsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.

b. Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri.

Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.”

Mendengar ucapan itu Khalifah Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, huku an potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.

c. Khalifah Ali bin Abi Thalib sesuai Perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju Perang Siffin) itu terjadi qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar itu bukan paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas perlakuan dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.

d. Para pemerintah Daulah Bani Umayyah, pandangan tentang paham Jabariyah semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah.

Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit paham Jabariyah telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, paham jabariyah sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yakni oleh Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan dan dikembangkan Al-Husain bin Muhammad, An-Najjar dan Ja’ad bin Dirham.

Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermadzhab Qurra dan agama Kristen bermadzhab Yacobit. 26 Namun, tanpa pengaruh asing itu, Paham Jabariyah akan muncul juga di kalangan umat Islam.

E. Tokoh dan Doktrin Aliran Qadariyah

Menurut sebagian ahli sejarah, sebagaimana dikutip Aziz Dahlan bahwa sumber awal paham Qadariyah yang dikemukakan oleh seorang tokoh pemikir dan penyebar pertama kali paham Qadariyah ini ialah Ma’bad al-Juhani.27 Paham itu adalah berasal

26 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam Edisi Revisi…, hlm. 84

27 Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Cet. I, (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), hlm. 29.

(10)

Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu | 10 dari seorang Kristen Irak yang bernama Abu Yunus Sansawiah yang masuk Islam tapi kembali lagi menjadi Nasrani. Setelah Ma’bad al-Juhani meninggal terbunuh pada tahun 80 H. tampillah Ghailan al-Dimasyqy untuk meneruskan usaha menyiarkan paham itu dan ia melakukan banyak perdebatan untuk membela paham tersebut.

Diceritakan bahwa ketika kegiatan Ghilan dihentikan oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz, maka terhentilah peredaran paham tersebut. Tetapi setelah khalifah itu wafat, maka Ghilan al-Dimasyqy kembali lagi melanjutkan usahanya menyiarkan paham tersebut untuk waktu yang cukup lama sampai ia dihukum mati oleh khalifah Hisyam bin Abdul Malik yang memerintah pada tahun 105-125 H.28

Dalam ajaran atau fahamnya Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan, tanpa ada campur tangan Tuhan.

Menurut Ghilan al-Dimasyqy, manusia berkuasa atas perbuatan perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.29 Selanjutnya menyatakan “bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menjadikan baginya kekuatan agar dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika Allah memberi beban kepada manusia, namun ia tidak memberikan kekuatan pada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan kesiasiaan itu bagi Allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi”. Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Di sini tidak terdapat paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan- perbuatannya hanya menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azali.30

Pemahaman tentang Qadariyah ini jangan dikacaukan dengan pemahaman tentang sifat al-qudrah yang dimiliki oleh Allah swt. karena pemahaman tentang sifat Tuhan al-qudrah lebih ditujukan kepada upaya ma’rifat kepada Allah swt. sedangkan paham Qadariyah lebih ditujukan kepada qudrat yang dimiliki oleh manusia. Namun terdapat perbedaan antara qudrat yang dimiliki manusia dengan qudrat yang dimiliki oleh Tuhan. Qudrat pada Tuhan adalah bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah swt, tunggal, tidak berbilang, dan berhubungan dengan segala yang dijadikan objek kekuatan, serta tidak berakhir dalam hubungannya dengan zat.31 Sedangkan qudrat manusia adalah bersifat sementara, berproses, bertambah, berkurang bahkan bisa hilang.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa paham Qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika manusia berbuat baik maka hal itu adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu, jika

28 Abdul Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam,…hlm. 31.

29 Harun Nasution, Teologi Islam…,hlm. 33-34.

30 Harun Nasution, Teologi Islam…,hlm. 33-34.

31 Ali Mushtafa al-Guraby Tarikh al-Firaq al-Islami wa Nasy’at al-’Ilm al-Kalam ‘Inda al Muslimin,..hlm.174.

(11)

11| Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu

seseorang diberi ganjaran yang baik berupa surga di akhirat, atau diberi siksaan di neraka, maka semuanya itu adalah atas pilihannya sendiri.

Adapun alasan argumentasi golongan yang berfaham Qadariyah dalam memperkuat pahamnya atau argumentasinya sering dipakai dalil naqli atau al-Qur’an32 yaitu:

1. QS. al-Ra’ad [13] ayat 11.

َّنِإ ٱ هَّللّ

ۡۗۡمِهِسُفن ه

أِب اهم ْاوُ ِِيّهغُي ٰ َّتَّهح ٍمۡوهقِب اهم ُ ِِيّهغُي هلَ

Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan”. (QS. al-Ra’ad [13]: 11)

2. QS. Fushilat [41] ayat 40.

ٱ ْاوُلهمۡع ُهَّنِإ ۡمُتۡئِش اهم ٌيّ ِصهب هنوُلهمۡعهت اهمِب ۥ

٤٠

“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Fushilat [41]: 40)

3. QS. al-Kahfi [18] ayat 29.

ِل ُقهو ٱ قه لۡ ۡ ۡرُفۡكهيۡلهف هءٓاهش نهمهو نِمۡؤُيۡلهف هءٓاهش نهمهف ۡۖۡمُكِِبَّر نِم

Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. (QS. al-Kahfi [18]: 29)

Menurut Ahamd Amin dalam kitabnya Fajrul Islam, menyebutkan beberapa Doktrin ajaran aliran Qadariyah,yaitu segala tingkah laku manusia 33

a. Mengingkari Ilmu Allah terhadap perbuatan manusia, mereka penganut aliran ini meyakini bahwa Allah tidak mengetahui dan tidak menentukan kejadian sebelum itu terjadi, artinya segala kejadian dimuka bumi ini diketahui Allah setelah itu terjadi.

b. Allah SWT tidak menciptakan perbuatan manusia, melainkan manusia yang menciptakannya, oleh karena itulah manusia menerima balasan baik atas kebaikannya dan menerima balasan buruk atas keburukannya, maka allah baerhak disebut maha adil.

c. orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mu’min, akan tetapi fasik, dan orang fasik kekal di dalam neraka

d. Hanya meyakini satu sifat wajib Allah yaitu Allah Maha Esa, mereka penganut aliran ini tidak menerima pemahaman mengenai sifat-sifat wajib Allah yang lain seperti

‘Ilm, Basyar, Sami’ dll.

32 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, 2000), h. 345

33 Ahmad Amin, Fajr Al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdhat al-Mishriah, 1975), 297-298

(12)

Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu | 12 F. Tokoh dan Doktrin Aliran Jabariyah

Menurut al-Syahrastani bahwa aliran Jabariyah terbagi dua, yaitu Jabariyah ekstrim dan Jabariyah moderat.34 Kedua aliran Jabariyah ini, masing masing memiliki tokoh dan pandangan. Penulis akan mengemukakan masing-masing tokoh dan argumentasinya, baik yang ekstrim maupun yang moderat dari aliran paham ini.

1. Jabariyah Ekstrim

a. Al-Ja’ad ibn Dirham (W. 124 H)

Dia adalah orang yang pertama memunculkan paham Jabariyah. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan bani Umayyah dan mencetuskan pendapatnya pada masa pemerintahan Marwan ibn Muhammad dan pada waktu itu bertemu dengan Jahm ibn Safwan, pandangannya adalah sebagai berikut:

1) Al-Qur’an adalah makhluk Allah swt. karena al-Qur’an adalah makhluk, maka sifatnya tidaklah qadim, karena yang qadim adalah hanya Allah SWT.17

2) Al-a’thil yang berarti mengingkari adanya sifat-sifat bagi Allah SWT. menurutnya tidak benar menyifati Tuhan yang maha suci dengan sifat-sifat kemanusiaan yang bersifat baharu.35

3) Al-Af’al atau perbuatan yang diciptakan dalam diri manusia, tak ubahnya dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda mati. Oleh karena itu, manusia dikatakan berbuat bukan dalam arti yang sebenarnya (haqiqi), tapi dalam arti kiasan (majazi), tak ubahnya sebagaimana disebut air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan lain sebagainya. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Termasuk di dalamnya perbuatan- perbuatan seperti mengerjakan kewajiban, menerima pahala dan siksaan.36

b. Al-Jahm ibn Shafwan

Dia dalah tokoh pendiri Jabariyah yang sesungguhnya, sehingga aliran ini dinisbahkan pada namanya dengan sebutan Jahmiyah. Adapun pandangan- pandangannya adalah sebagai berikut:

1) Bagi Allah hanya ada satu zat. Allah tidak akan mempunyai sifat dan tidak benar menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk, walaupun dalam al-Qur’an, banyak ayat yang menyebutkan Allah mempunyai sifat al-bashar, al-sam’u, al-kalam, dan al-’Alim. Hal itu janganlah dipahami secara tekstual, sebab hal seperti itu akan menyerupai makhluknya sedang bagi Allah mustahil seperti itu. Sifat-sifat Allah dalam al-Qur’an wajib ditakwilkan.37

2) Melihat Allah di hari kemudian adalah tidak mungkin. Adapun surga dan neraka akan lenyap setelah penghuninya masuk ke dalam. Ahli surga akan merasakan kenikmatan di dalamnya. Surga dan neraka akan hancur dan musnah dan masing- masing penghuninya akan lenyap, sehingga hanya Allah saja yang ada sebagaimana keberadaannya.38

34 Al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I (Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967), hlm. 85

35 Ali Mushtafa al-Guraby Tarikh al-Firaq al-Islami wa Nasy’at al-’Ilm al-Kalam ‘Inda alMuslimin, (Mesir: Maktabah wa Mat’abah Muhammad. Ali Shabih wa Auladuhu, 1958), hlm. 28.

36 Al-Syahrastani al-Milal Wa al-Nihal,... hlm. 87.

37 al-Nasysyar, Al-Hasy’ah al-Fikr wa al-Filsafat al-Islami, Juz I (Kairo: Dar al-Ma’arif 1977), hlm. 329

(13)

13| Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu

3) Iman menurutnya tidak cukup dengan ma’rifat kepada Allah, rasul-Nya dan semua yang datang dari Allah swt. ikrar dengan lisan, ketundukan hati, mahabbah dan lain sebagainya serta perbuatan yang dilakukan oleh anggota badan bukanlah iman. Sesungguhnya iman itu diperoleh dalam batin. Oleh karena itu, manusia yang sudah memiliki ma’rifat kepada Allah tidak akan hilang disebabkan oleh ucapan lisan dan iman itu terbagi, iman para nabi dan umatnya sama saja.39 4) Manusia tidak memiliki kemampuan apapun, segala perbuatan atau kejadian yang

terjadi adalah wujud kekuasaan Allah dan perbuatan Allah

2. Jabariyah Moderat a. An-Najjariyah

Pendiri aliran ini adalah Abu Abdillah Hasan ibn Muhammad al-Najjar. Beliau hidup pada masa khalifah al-Makmun 198-218 H. Pada mulanya ia adalah murid dari seorang Mu’tazilah bernama Basyar al-Marisi, tetapi ia kemudian menjadi loncat sekali menganut paham Mu’tazilah, besok menganut paham Jabariyah, lusa menganut ahl al-sunnah wa-al-jama’ah dan akhirnya membuat paham sendiri.40

Adapun pandangan-pandangannya sebagai berikut:

1) Tuhan Allah tidak sifat, ia berkuasa, berkata dan mendengar dengan zatnya.24 2) Mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum taubat, maka pasti ia

masuk neraka.

3) Manusia tidak akan mampu melihat Allah di akhirat, namun jika Allah memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata maka manusia mampu melihat Tuhan.

4) Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, akan tetapi manusialah mempunyai bahagian dalam melakukan perbuatannya. Artinya manusia itu tidak seperti benda mati, melainkan tetap mempunyai peran aktif dalam perbuatannya.

Perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan dan diperoleh manusia. Tuhan sebagai yang mencipta (khalik) dan manusia sebagai yang memperoleh muktasib. Jadi pada dasarnya, manusia mempunyai daya dan kehendak yang efektif dalam perbuatannya. Suatu perbuatan diwujudkan oleh dua pelaku, Tuhan dan manusia.

Dengan demikian, manusia itu tidak serba terpaksa dalam perbuatannya, tetapi ia masih mempunyai andil dan hak memilih untuk melakukan perbuatannya.41 5) Tuhanlah yang menciptakan perbuatan positif dan perbuatan negatif. Tetapi

dalam melakukan perbuatan itu manusia mempunyai bagian. Daya yang diciptakan dalam diri manusia oleh Tuhan, mempunyai efek, sehingga manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya itu kemudian disebut kasab (acguisition).42

b. Adh-Dhirar

Pendiri aliran ini adalah Dhirar bin Amr dan Hafsul Al-fard, keduanya sependapat dengan sifat Allah, namun keduanya berkata bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, ajaran pada aliran moderat ini yaitu:

39 Al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I hlm.88.

40 Sirajuddin Abbas. I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,…hlm. 249.

24 Sirajuddin Abbas hlm. 251.

41 Tim Penulis IAIN Syarief Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia…,hlm. 294.

42 Ahmad Amin, Fajar al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah 1975), hlm. 46.

(14)

Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu | 14 1) Meyakini akan sifat Allah, Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, Allah tidak dapat

diketahui dzat-Nya, Allah saja yang mengetahui hakikat dzat-Nya.

2) Melalui indera keenam atau manusia mampu melihat Allah dihari akhir.

3) Perbuatan manusia merupakan ciptaan Allah pada hakikatnya namun dipergunakan oleh manusia

c. Jahmiyah

Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin Sofwan, salah seorang yang paling berjasa besar dalam mengembangkan aliran Jabariyah. Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta’ala (Allah SWT Tuhan Maha Pencipta lagi Maha Tinggi).

Secara umum ciri-ciri (yang juga merupakan pendapat dan ajaran) paham Jabariyah adalah (Abbas, 2008):

1) Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah SWT semata yang menentukannya.

2) Bahwa Allah SWT tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi. 3) Ilmu Allah SWT bersifat huduts (baru)

3) Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.

4) Bahwa Allah SWT tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaan- Nya.

5) Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.

6) Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.

7) Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.

Selanjutnya perbedaan antara Jabariyah ekstrim dan yang moderat yang istilah diberikan oleh al-Syahrastani disebut Jabariyah al-Khalish dan Jabariyah al- Mutawassitah. Al-Khalis adalah Jabariyah ekstrim sama sekali tidak menempatkan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun pada manusia, sedangkan Jabariyah moderat/

al-Mutawassitah adalah menetapkan adanya perbuatan atau kekuasaan pada manusia, tetapi qudrat tersebut tidak mempunyai efek atas perbuatan.

Adapun dalil naqli 43 yang sering dipergunakan oleh golongan yang berfaham Jabariyah dalam memperkuat argumentasinya adalah sebagai berikut:

1. QS. al-Shaffat [37] ayat 96.

هوٱ َُّللّ

ۡمُكهقهلهخ ۡعهت اهمهو

هنُولهم

Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. al- Shaffat [37]: 96)

2. QS. al-Anam [6] ayat 111.

هءٓا هشهي ن ه أ ٓ َّ

لَِإ ْآوُنِمۡؤُِلِ ْاوُنهكَ اَّم ٱ

َُّللّ

هنوُلههۡ هيَ ۡمُهه هثَۡك ه

أ َّنِكٰهلهو ١١١

Niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki”.( QS.

al-Anam [6]: 111)

43 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjamahnnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an,2000).

(15)

15| Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu

3. QS. al-Anfal [8] ayat 17.

َّنِكٰهلهو هتۡيهمهر ۡذِإ هتۡيهمهر اهمهو ٱ

هَّللّ

ٰ همَهر

Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” ) QS. al-Anfal [8]: 17)

4. QS. al-Takwir ayat 29.

هءٓا هشهي ن ه أ ٓ َّ

لَِإ هنوُء ٓاهشهت اهمهو ٱ

َُّللّ

بهر هيِمهلٰ هعۡل ٱ ٢٩

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-Takwir ayat 29.)

G. Relevansi Pemikiran Qadariyah dan Jabariyah Terhadap Akal dan Wahyu Perbedaan pemikiran antara aliran-aliran keislaman sebetulnya terletak pada penempatan porsi akal dan wahyu, mana yang lebih diperioritaskan dan mana yang lebih dikesampingkan. Apabilah porsi akal yang ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi maka lebih akan lebih mengesampingkan porsi wahyu atau sebaliknya bila mana wahyu yang dijadikan skala prioritas, maka bukan hal yang mustahil akan menempatkan porsi akal pada kedudukan yang inferior. 44

Pemikiran kaum Qadariyah lebih menempatkan akal pada porsi yang superior, sehingga mengesampingkan yang lainnya, termasuk takdir Allah. Kehendak akal menjadi rujukan utama manusia dalam melakukan kehendaknya, tidak sedikitpun terkait dengan ketentuan Allah Swt. Adapun turunan dari aliran ini adalah Mu’tazilah yang juga menempatkan posisi akal sebagai segala-galanya dalam pemikiran keislaman.45 Disatu sisi memang aliran ini memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam ranah pemikiran Islam, karena penggunaan akal sangat diperlukan dalam proses ijtihadi atau menginterpertasikan teks-teks keagamaan agar dapat dipahami secara kontekstual sesuai sosio-kultur yang berkembang. Disamping itu umat Islam agar tidak tertutup atau tidak konsevatif dalam hal pemikiran. Dengan kata lain, penggunaan rasio dalam memahami tekstualitas keagamaan dapat menjauhkan dari tertutupnya pintu ijtihadi. 46

Namun pada sisi yang lain penggunaan akal yang tidak berpijak sama sekali pada teks-teks keagamaan akan memunculkan pemikiran yang melenceng dari kebenaran, bahkan cenderung berujung pada liberalisme yaitu pemahaman yang cenderung bebas kebablasan jauh dari sumber kebenaran hakiki yang pada akhirnya adalah kesesatan.

Pemahaman seperti ini akan sangat berbahaya bagi umat Islam secara mayoritas, apalagi persoalannya pada ranah teologi akan menimbulkan kemusyrikin dan kesesatan dalam memahami ajaran keagamaan.47

44 Laessach M. Pakatuwo dan Mawaddah, “Al Jabariyah dan Al-Qadariyah; Pengertian, Latar

Belakang Munculnya dan Pemikirannya” dalam Jurnal al-Ubudiyyah, Vol. 1, No. 1 edisi Juni 2020, hlm. 5

45 Suhaimi, “Integrasi Aliran Pemikiran Keislaman: Pemikiran Qadariyah dan Jabariyah yang Bersandar dibalik Legitimasi Al-Qur’an, “Jurnal El-Furqania,04 (2018), hlm. 117

46 Laessach M. Pakatuwo dan Mawaddah, “Al Jabariyah dan Al-Qadariyah; Pengertian, Latar

Belakang Munculnya dan Pemikirannya” …., hlm. 5

47 Laessach M. Pakatuwo dan Mawaddah, “Al Jabariyah dan Al-Qadariyah; Pengertian, Latar

Belakang Munculnya dan Pemikirannya” …., hlm. 5

(16)

Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu | 16 Aliran Jabariyah memiliki pemikiran yang terbalik dari pemikiran Qadariyah.

Mereka cenderung menempatkan akal di posisi akal pada kedudukan yang inferior. Dan mendudukkan teks pada posisi tinggi, bersandar secara mutlak pada ketentuan Allah.Manusia dianggap tidak memiliki kuasa sedikitpun dalam menentukan kehendaknya. Seluruh kehendak manusia ditentukan secara mutlak oleh kehendak Allah Swt. Pendapat-pendapat yang disampaikan oleh kaum jabariyah bukan hanya sekedar statemen saja tanpa landasan. Akan tetapi mereka juga melegitimasi pendapatnya dengan ketentuan alqur’an.48

Perseteruan pemikiran yang terjadi diantara aliran keislaman khususnya dalam pembahasan ini adalah Qadariyah dan Jabariyah menunjukkan heterogenitas pemikiran yang tidak dapat dipersatukan satu sama lain. Karena masing-masing memiliki persepsi bahwa pendapat golongannya sendiri yang paling benar. Mereka mempunyai sifat fanatisme yang berlebihan. Dalam mainstream mereka bahwa pemikiran golongan lain dianggap salah sedangkan pendapat dirinya yang paling benar. Aliran Qadariyah menganggap bahwa manusia adalah penentu kehendak secara totalitas. Sedangkan aliran Jabariyah justru menganggap sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kuasa apapun dalam menentukan kehendaknya, seluruhnya menjadi kehendak sang Maha Pencipta. Kedua pemikiran inilah yang tidak dapat dipersatukan sehingga menimbulkan perseteruan pendapat. 49

Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa Aliran Qodariyah secara matematis sulit dipastikan kapan ia mulai muncul. Untuk menelusuri sejarah paham Qodariyah ini tentu tidak lepas dari pembahasan paham Jabariyah, sebagai realitas yang masih terus mewarnai kehidupan kehidupan manusia dalam bidang teologi,yang secara pasti sulit kapan paham-paham tersebut lahir/ada. Tetapi pada Dinasti Umayyah, setelah islam di anut oleh berbagai bangsa, maka faham Jabariyah dan Qodariyah telah menjadi bahan pemikiran di antra mereka, dan di situlah mulai muncul aliran-aliran tersebut.

Pemikiran kaum Qadariyah lebih menempatkan akal pada porsi yang superior, sehingga mengesampingkan yang lainnya, termasuk takdir Allah. Kehendak akal menjadi rujukan utama manusia dalam melakukan kehendaknya, tidak sedikitpun terkait dengan ketentuan Allah Swt., adapun turunan dari aliran ini adalah Mu’tazilah yang juga menempatkan posisi akal sebagai segala-galanya dalam pemikiran keislaman.

Aliran Jabariyah memiliki pemikiran yang terbalik dari pemikiran Qadariyah. Mereka cenderung menempatkan akal di posisi akal pada kedudukan yang inferior. Dan mendudukkan teks pada posisi tinggi, bersandar secara mutlak pada ketentuan Allah.

Manusia dianggap tidak memiliki kuasa sedikitpun dalam menentukan kehendaknya.

Aliran ini dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimasqi pada abad 70 H/689 M di Bashrah, Iraq.

Sedangkan aliran Jabariyah berpendapat bahwa apapun yang dilakukan mnusia, semua telah ditentukan oleh Tuhan. Tuhan telah menetapkan bagi manusia untuk melakukan kebajikan dan menetapkan pahala baginya, begitu pula sebaliknya Tuhan

48 Laessach M. Pakatuwo dan Mawaddah, “Al Jabariyah dan Al-Qadariyah; Pengertian, Latar

Belakang Munculnya dan Pemikirannya” …., hlm. 6

49 Suhaimi, “Integrasi Aliran Pemikiran Keislaman: Pemikiran Qadariyah dan Jabariyah yang Bersandar dibalik Legitimasi Al-Qur’an,…hlm.118

(17)

17| Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu

telah menetapkan manusia berbuat kejelekan dan menetapkan siksaan bagi pelakunya.

Dengan kata lain, pahala, siksa dan kewajiban merupakan keterpaksaan, sehingga manusia bagaikan bulu yang bergerak karena ditiup angin, diam karena anginnya tidak bertiup. Sedangkan Qadariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan dan pilihan manusia sendiri, bukan ciptaan atau plihan Tuhan. Hal ini didasarkan atas kemampuan manusia membedakan antara orang yang berbuat baik dan berbuat buruk. Aliran ini dipelopori oleh Ja’ad bin Dirham dan Jahm bin Shafwan di Khurasan, Persia.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah,1998 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fkr al-Arabiyah, 1996

al-Guraby, Ali Mushtafa Tarikh al-Firaq al-Islami wa Nasy’at al-’Ilm al-Kalam ‘Inda al Muslimin, Mesir: Maktabah wa Mat’abah Muhammad. Ali Shabih wa Auladuhu, 1958

al-Nasysyar, Al-Hasy’ah al-Fikr wa al-Filsafat al-Islami, Juz I Kairo: Dar al-Ma’arif 1977 Al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967

Amin, Ahmad, Fajar al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah 1975

Anwar, Adul Rozak dan Rosihon, Ilmu Kalam Edisi Revisi, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2012

Ashari, Muh Subhan, “Teologi Islam Perspektif Harun Nasution, “An-Nur Jurnal Studi Islam X, No.1 (2020)

Basri, Hasan, dkk, Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran, Bandung : Azkia Pustaka Umum

Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Cet. I, Jakarta:

Beunebi Cipta, 1987

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjamahnnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an,2000

Hamka Haq (ed.), Corak Qadariyah Dalam Pemikiran Islam, dari kumpulan makalah makalah Harun Nasution, (Jakarta: t.p., 1998)

Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan bintang, 1982 Jamrah, Dr. Suryan A, Studi Ilmu Kalam Edisi Pertama, Jakarta: Kencana, 2015

Muarif, Ahmad Syamsul and Mohammad Yunus, “Tinjauan Teologi Islam di Dunia: “Isu dan Prospek” Frederick Mathewson Denny, “Islamika: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 19, no.02 (2019)

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Ponpes al-Munawwir, 1984

Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 2018

Pakatuwo, Laessach M. dan Mawaddah, “Al Jabariyah dan Al-Qadariyah; Pengertian, Latar Belakang Munculnya dan Pemikirannya” dalam Jurnal al-Ubudiyyah, Vol. 1, No. 1 edisi Juni 2020

Suhaimi, “Integrasi Aliran Pemikiran Keislaman: Pemikiran Qadariyah dan Jabariyah yang Bersandar dibalik Legitimasi Al-Qur’an, “Jurnal El-Furqania,04 (2018)

Tim Penulis IAIN Syarief Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:

Djambatan, 1992

(18)

Sejarah Qadariyah dan Jabariyah serta Relevansinya dalam Akal dan Wahyu | 18 Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Mu’jam al-Lugah al-Arabiyah al-

Mua’shirah, Cet III; Bairut: Libanon: Librairie du liban, 1980

Zuhri, Amat dan Miftahul Ula, “Ilmu Kalam dalam Sorotan Filsafat Ilmu, “Religia 18, no.

2 (2015)

Referensi

Dokumen terkait