Definisi Aliran Qadariyah
Kata qadariyah, berasal dari kata qadara yang memiliki dua pengertian yaitu adalah berani untuk memutuskan serta berani untuk memiliki kekuatan maupun kemauan. Sedangkan kata qadariyah yang dimaksudkan oleh aliran ini ialah suatu paham, bahwa manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak serta memiliki kemampuan untuk berbuat.
Orang-orang yang menganut aliran qadariyah, merupakan sebuah kelompok yang meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia terwujud, karena ada kehendak serta kemampuan manusia itu sendiri.
Dalam aliran qadariyah pula, para penganut percaya bahwa manusia dapat melakukan sendiri seluruh perbuatan, sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.
Pemikiran-Pemikiran Aliran Qadariyah
Para penganut aliran qadariyah percaya, bahwa manusia memiliki kuasa terhadap segala perbuatannya sendiri. Mereka juga percaya, bahwa manusia yang mewujudkan perbuatan baik, atas kehendak serta kekuasan dirinya sendiri.
Manusia pula yang melakukan maupun menjauhi seluruh perbuatan jahat atas kemauan maupun kemampuannya sendiri. Dalam aliran qadariyah, para pengikutnya memiliki paham bahwa manusia adalah makhluk merdeka yang bebas bertindak.
Paham aliran qadariyah juga menolak bahwa nasib manusia telah ditentukan oleh Tuhan sejak azali, serta manusia berbuat maupun beraktivitas hanya dengan mengikuti atau menjalani nasib yang telah ditentukan tersebut.
Dalam sebuah riwayat dari Al Lalikai dari Imam Syafii, dijelaskan bahwa qadar merupakan orang yang menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan apapun. Sementara itu, Imam Abu Tsaur menjawab bahwa qadariyah merupakan orang yang menyatakan, bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan dari para hamba- Nya, menurut penganut aliran qadariyah pula, Allah tidak menentukan serta menciptakan perbuatan maksiat pada hamba-Nya.
Sedangkan ketika, Imam Ahmad ditanya mengenai qadariyah, ia menjawab bahwa mereka kafir.
Abu Bakar Al Marudzi pun berkata bahwa, ‘saya bertanya pada Abu Abdullah tentang qadari, maka beliau menjawab bahwa ia tidak mengkafirkan qadari yang menetapkan ilmu Allah atas perbuatan dari hamba-Nya sebelum terjadi’.
Begitu pula dengan Ibnu Taimiyah, ia mengkafirkan qadari yang menafikan tulisan-tulisan serta ilmu Allah dan tidak mengkafirkan aliran qadari yang menetapkan ilmu Allah. Ibnu Rajab Al Hambali pun menyatakan, bahwa aliran qadariyah yang mengingkari ilmu Allah adalah kafir.
(Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili, 2002, 83-85).
Aliran ini disebut sebagai aliran qadariyah, sebab para pengikutnya mengingkari takdir serta mereka menganggap bahwa manusia telah melakukan usahanya sendiri, seperti bagaimana yang telah dituturkan oleh Imam An Nawawi.
Ada dua pokok pemikiran yang diusung atau dipercayai oleh aliran qadariyah. Akan tetapi, pada intinya aliran qadariyah percaya bahwa manusia memiliki daya atau kemampuan untuk memutuskan kehendaknya sendiri, bebas dan terlepas dari takdir Allah.
Di sisi lain, aliran qadariyah juga memandang, bahwa Allah memberikan anugerah pada manusia berupa akal. Agar manusia mampu mempertimbangkan dengan bijaksana setiap tingkah laku, keputusan dan perbuatannya.
Pada aliran qadariyah, para pengikutnya percaya bahwa akal diposisikan sebagai instrumen paling penting. Sebab, akal menjadi penimbang dari keputusan manusia. Pandangan para pengikut aliran qdariyah bahwa akal merupakan hal krusial dalam tingkah laku beragama ini, juga kelak akan memengaruhi aliran-aliran yang lahir di era selanjutnya yaitu Mu’tazilah pada tahun 723 M.
Selain itu, berikut adalah dua pokok pemikiran yang ada pada aliran qadariyah.
1. Melawan kezaliman-kezaliman dengan tangannya sendiri
Aliran qadariyah memiliki pandangan, bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk menegakan kebenaran serta melawan kezaliman dengan tangannya masing-masing. Paham ini, memiliki keyakinan bahwa Allah telah memberikan daya serta kekuatan pada manusia untuk melawan kezaliman.
Apabila tidak melawan kezaliman tersebut, maka manusia telah berdosa. Sebab, ia telah melanggar perintah Allah. Perintah untuk melawan kezaliman itu pula, digambarkan dalam salah satu sabda Rasul, berikut ini.
‘Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka lawanlah kemungkaran dengan tangannya.
Apabila ia tidak sanggup, maka dengan lisannya. Apabila tak sanggup pula, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.’ (HR. Muslim).
Karena paham tersebutlah, pengikut dari aliran qadariyah menjadi oposisi bagi kebijakan di Dinasti Umayyah yang menilai bahwa kebijakan di Dinasti Umayyah, telah melampaui batas-batas syariat. Sehingga, pada masa tersebut beberapa tokoh dari aliran qadariyah pun dipenjara oleh para penguasa Dinasti Umayyah.
2. Keadilan dari Allah berasal dari kehendak bebas
Pokok pikiran kedua dari aliran qadariyah adalah, manusia diciptakan oleh Allah dengan kehendak yang bebas. Oleh karena itu, manusia memiliki kemampuan yang mandiri untuk dapat memutuskan perbuatan apa yang akan dilakukan.
Pemikiran dari aliran qadariyah tersebut, didasari oleh alasan bahwa Allah, telah memberikan pilihan pada manusia untuk melakukan kebaikan serta keburukan, beriman maupun menetap pada kekafiran. Oleh karena itu, manusia akan dihakimi, diberikan pahala maupun diganjar atau dosa sesuai pilihannya sendiri
Para penganut aliran qadariyah ini bersandar pada salah satu firman Allah yaitu surat Al Kahfi ayat 29 yang berbunyi,
‘Barang siapa yang menghendaki untuk menjadi orang beriman, maka berimanlah dan barang siapa yang menghendaki untuk menjadi orang kafir, maka kafirlah’.
Itulah dua pokok pikiran yang dipercaya oleh aliran qadariyah.
Tokoh Pendiri Aliran Qadariyah
Tokoh yang berperan sebagai pendiri aliran qadariyah ialah Ma’bad Al Juhani serta Ghaylan Al Dimasyqi. Nama pertama yaitu Ma’bad Al Juhani tercatat lebih senior dibandingkan nama kedua’
Ma’bad Al Juhani lahir di Basrah dan wafat pada 80 Hijriah atau 699 M. Ia termasuk dalam generasi tabiin. Ma’bad dikenal pun sebagai seorang ahli hadis. Sedangkan Ghaylan lahir di Damaskus dan dikenal sebagai seorang orator sekaligus ahli debat, Ghaylan wafat pada tahun 105 H atau 722 M.
Aliran qadariyah, dipelopori oleh kedua tokoh tersebut mulai muncul usia adanya pergantian kekhalifahan Rasyidin di Dinasti Umayyah. Tepatnya pada era usai terjadi perpecahan umat Islam, karena Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh lalu Muawiyah bin Abu Sufyan naik takhta dan menjadi khalifah pertama di Dinasti Umayyah.
Pada masa itu, banyak masyarakat muslim yang tidak setuju dengan gaya politik Muawiyah karena dinilia bertolak jauh dari masa pemerintahan kekhalifahan Rasyidin. Muawiyah sebagai khalifah sering kali memojokan para oposisi politiknya. Bahkan atas kuasa dari anaknya yaitu Yazid bin Muawiyah dan cucu Rasul serta Husein bin Ali dibantai di Karbala.
Pada kekhalifahan Muawiyah pula, para penganut aliran qadariyah diburu habis-habisan. Para tokoh dipenjara hingga dihukum mati, karena aliran qadariyah berbeda pandangan dengan aliran jabariyah yang saat itu memiliki pandangan yang sama dengan Muawiyah.
Sejarah Perkembangan Aliran Qadariyah
Aliran qadariyah pertama kali dikenalkan dan disebarkan oleh dua tokoh pendirinya, yaitu Ma’bad Al Jauhani dan Ghailan Al Dimasyqi pada 70 H di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Latar belakang munculnya aliran qadariyah adalah sebagai sebuah isyarat, di mana para penganut paham ini menentang kebijakan politik yang saat itu diterapkan oleh Bani Umayyah, karena dianggap kejam.
Ketika Bani Umayyah membunuh orang, mereka mengatakan bahwa pembunuhan tersebut telah ditakdirkan oleh Allah dan alasan tersebut menjadi topeng bagi Bani Umayyah untuk melakukan kekejaman lainnya.
Oleh karena itu, aliran qadariyah ini ingin membatasi qadar tersebut. Para penganut aliran qadariyah mengatakan, bahwa Allah bersikap adil, oleh karena itu Allah akan menghukum orang- orang yang bersalah serta memberikan ganjaran berupa pahala pada orang-orang yang telah berbuat kebaikan.
Ketika pertama kali dikenalkan dengan pokok-pokok pemikirannya, aliran qadariyah pun segera mendapatkan pengikut yang cukup banyak. Sehingga khalifah pun segera mengambil tindakan, dengan alasan untuk ketertiban umum.
Ma’bad sebagai tokoh pendiri aliran qadariyah serta beberapa pengikutnya akhirnya ditangkap.
Sedangkan Ma’bad sendiri dihukum mati di Damaskus. Setelah peristiwa penangkapan tersebut, pengaruh dari aliran qadariyah pun mulai surut.
Usai Ma’bad meninggal dunia karena dieksekusi, Ghaylan pun melanjutkan penyebaran aliran qadariyah kepada para penduduk kota di Damaskus. Ayah dari Ghaylan pernah bekerja pada khalifah Usman bin Affan. Ketika penyebaran aliran qadariyah di Damaskus tersebut, Ghaylan pun segera mendapatkan tantangan dari khalifah Umar ibn Abdul Aziz.
Akan tetapi, setelah khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia, Ghaylan lantas kembali melanjutkan penyebaran aliran qadariyah hingga akhirnya ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Hisyam ibn Abdul Malik. Sebelum Ghaylan dieksekusi mati, muncul sebuah perdebatan antara Ghaylan dengan Al Auza’i yang dihadiri pula oleh Hisyam.
Sebagian dari para penganut qadariyah mengatakan, bahwa seluruh perbuatan manusia yang baik asalnya dari Allah. Sedangkan untuk perbuatan manusia yang jelek, tidak ada sangkut pautnya dengan Allah.
Atas paham tersebut, aliran qadariyah dikatakan sebagai majusi. Sebab para penganut aliran qadariyah mengatakan bahwa ada dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan serta pencipta keburukan.
Kedua konsep penciptaan tersebut, sama seperti dengan ajaran dalam agama Majusi atau Zaroaster, yang menjelaskan mengenai adanya dewa terangm kebaikan dan siang. Dewa terang disebut sebagai Ahura Mazda dan dewa keburukan, gelap serta malam disebut sebagai Ahriman atau Angra Mainyu.
Pendapat lainnya mengatakan, bahwa sebenarnya tokoh yang mengembangkan aliran qadariyah bukanlah Ma’bad akan tetapi seorang penduduk Irak yang awalnya beragam Kristen lalu masuk Islam.
Akan tetapi pada akhirnya ia kembali ke agama Kristen. Dari orang Irak tersebutlah, Ma’bad dan Ghaylan mengambil pemikirannya.
Aliran qadariyah diperkarakan sebagai sebuah pemikiran yang bidah karena dua perkara. Perkara pertama, karena adanya pengingkaran pada ilmu Allah yang telah mendahului suatu kejadian.
Sementara perkara kedua, karena munculnya pernyataan bahwa manusia sendirilah yang memiliki kuasa penuh untuk mewujudkan seluruh perbuatannya.
Namun paham qadariyah yang murni kini telah punah, akan tetapi masih dapat dijumpai deviasi- deviasi pada masa kini. Di mana beberapa orang tetap meyakini, bahwa perbuatan seorang makhluk adalah kemampuannya dan ciptaan dari makhluk itu sendiri. Meskipun saat ini deviasi dari aliran qadariyah telah menetapkan bahwa Allah telah mengetahui segala perbuatan hamba- Nya sebelum itu terjadi.
Pada masa kini, al qadariyah telah sepakat bahwa Allah Maha Mengetahui segala hal, mengetahui segala perbuatan hamba-hamba-Nya sebelum hamba-Nya melakukan perbuatan tersebut. Akan tetapi masih ada beberapa yang berselisih mengenai As Salafush Shalih yaitu dengan menyatakan bahwa perbuatan dari manusia adalah hasil dari kemampuan serta ciptaan manusia itu sendiri.