AMICUS CURIAE DAN CONTEMPT OF COURT Oleh: Tiara Andiny (210105019)
1. Istilah Amicus Curiae
Amicus curiae secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yang berarti friend of court atau sahabat pengadilan.1 Amicus curiae ini dikenal pertama kali dalam praktik pengadilan sejak awal abad kesembilan dalam sistem hukum Romawi Kuno dan berkembang di negara-negara dengan tradisi common law.2 Amicus Curiae adalah pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, dengan memberikan pendapat hukumnya di pengadilan. Amicus Curiae hanya sebatas memberikan opini, dan bukan melakukan perlawanan.
2. Kedudukan dan Fungsi Amicus Curiae dalam Praktek Peradilan Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi
Kedudukan Amicus Curiae dalam Praktek Peradilan Hukum Acara d Mahkamah Konstitusi
Kedudukan Amicus Curiae tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang tercantum dalam KUHAP Karena Amicus Curiae ini adalah alat bukti baru yang tidak memiliki bentuk baku dan belum diatur secara jelas atau formiil dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Kekuatan pembuktian dari Amicus Curiae tertelak pada keyakinan hakim dalam menilai isi serta relevansi dari Amicus Curiae yang diajukan dalam perkara tersebut.
Amicus Curiae juga tidak dapat dikatakan sebagai saksi atau saksi ahli, karena Amicus Curiae merupakan sesuatu yang baru dalam peradilan pidana, namun dalam praktiknya sudah diterapkan dalam beberapa kasus di peradilan Indonesia. Amicus Curiae tidak dapat dikatakan sebagai saksi karena dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang sesuatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri dan dia alami sendiri.
sedangkan Amicus Curiae adalah orang yang merasa berkepentingan alasannya yaitu untuk mengklarifikasi isu-isu yang faktual, menjelaskan isu-isu hukum yang ada dan mewakili kelompok-kelompok tertentu, tidak dijelaskan bahwa
Amicus Curiae haruslah orang yang melihat, mendengar ataupun mengalami sendiri.
Amicus curiae tidak dapat dikatakan sebagai saksi ahli, karena saksi ahli tidak bisa sembarang orang, tetapi keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus. Sedangkan Amicus Curiae tidak harus orang yang mempunyai keahlian khusus seperti saksi ahli, tetapi masyarakat biasapun bisa menjadi Amicus Curiae asalkan orang tersebut mengikuti kasus yang ada.
Amicus Curiae dapat menjadi pertimbangan hakim. Karena di dalam KUHAP sistem pembuktian yang dianut adalah sistem pembuktian undangundang secara negatif, bisa dilihat dari penjelasan KUHAP Pasal 183 yang ketentuannya itu memperlihatkan bahwa di dalam pembuktian diperlukan dua alat bukti yang sah dan adanya keyakinan hakim. Dikarenakan Amicus Curiae belum dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah.
Amicus Curiae dapat dijadikan pertimbangan hakim, sebab dalam teori pembuktian undang-undang secara negatif, bukan hanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tetapi adanya keyakinan hakim. Hal tersebut dilakukan untuk membantu hakim agar dapat adil dan bijaksana dalam memutus sebuah perkara. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa kewajiban hakim untuk
“menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dimasyarakat”. Jadi ketentuan tersebut mewajibkan hakim untuk membuka seluas-luasnya informasi dan pendapat dari berbagai kalangan masyarakat baik yang menjadi para pihak yang berperkara maupun melalui masukan dari pihak yang di luar para pihak yang sedang berperkara.
Ketika keterbukaan pikiran dan luasnya informasi yang didapatkan oleh hakim, maka hakim dapat menghasilkan suatu putusan yang adil dengan pertimbangan yang bijaksana. Dialam putusan hakim harus selalu tetap memperhatikan tiga unsur yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan
2 Muhammad Ilham Hasanuddian dan Amy Yayuk Sri Rahayu. Peranan Amicus Curiae pada Putusan Gugatan Terhadap Proses Seleksi Calon Hakim Agung. Jurnal Yudisial Vol. 15 No. 1 April 2022;
keadilan hukum. Ketiga unsur tersebut haruslah seimbang, dan tidak boleh mengutamakan salah satu dari ketiga unsur tersebut.3
Fungsi Amicus Curiae dalam Praktek Peradilan Hukum Acara d Mahkamah Konstitusi
Fungsi utama dari amicus curiae adalah untuk mengklarifikasi isu-isu faktual, menjelaskan isu-isu hukum dan mewakili kelompok-kelompok tertentu.
Berdasarkan penjelasan pada bagian pengertian amicus curiae di atas, dapat pula disimpulkan bahwa fungsi amicus curiae adalah untuk membantu pengadilan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara dalam bentuk pendapat hukum atau melalui karya ilmiah.4 Pendapat tersebut nantinya akan menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara.
3. Istilah Contempt of Court
Contempt of court adalah perbuatan tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan yang dapat mengurangi kemandirian kekuasaan kehakiman. Selanjutnya, perbuatan yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap pengadilan antara lain5:
a. Berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (misbehaving in court);
b. Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (disobeying court orders);
c. Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (scandalising the court);
d. Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (obstructing justice);
e. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (sub-judice rule).
4. Kedudukan dan Fungsi Contempt of Court dalam Praktek Peradilan Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi
Kedudukan Contempt of Court
3 Linda Ayu Pralampita. Kedudukan Amicus Curiae dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Lex Renaissance Vol. 5 No. 3, Juli 2020, hal. 560
4 Siti Aminah. Menjadi Sahabat Keadilan; Panduan Menyusun Amicus Brief. Jakarta Selatan: ILRC- Hivos, 2014, hal. 12
5 Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002. Jakarta: Mahkamah Agung. 2002.
Istilah contempt of court hanya diberlakukan secara praktikal dalam sidang pengadilan, selebihnya beberapa norma mengenai contempt of court di luar ketentuan KUHP ini juga dinilai masih menuai banyak pro dan kontra terkait kedudukannya sebagai ketentuan contempt of court. Di luar dari berbagai persoalan mengenai penegakan hukum norma contempt of court dalam beberapa undang-undang, pengaturan contempt of court dalam beberapa undang-undang khusus dinilai sangat membantu dalam menjaga integritas dan martabat peradilan, selain juga dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus khusus dengan potensi pelanggaran contempt of court yang juga lebih dari pada kasus-kasus konvensional biasanya.6
Ketentuan contempt of court selain diatur dalam beberapa norma peraturan yang eksis dan berlaku, dalam RKUHP ternyata juga ada. Hal ini dikarena RKUHP merupakan reinkarnasi dari KUHP yang saat ini ada, sehingga ada beberapa pasal yang diubah, ditambah, atau dihapuskan. Dalam RKUHP semakin diperjelas kedudukan berbagai pasal yang semula berada di berbagai lokasi dalam KUHP menjadi satu bab khusus yaitu Bab Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, mulai dari Pasal 281 sampai dengan Pasal 303. Ini artinya ada paling tidak 22 Pasal dalam RKUHP yang mengatur tentang tindak pidana terkait contempt of court.
Dianutnya konsep contempt of court sebagai produk sistem hukum common law pada negara civil law seperti Indonesia tentunya memberikan dimensi baru dalam memahami kedudukan contempt of court tersebut. Adanya perbedaan sistem hukum yang dimiliki, Indonesia sebagai negara penganut sistem hukum eropa kontinental (civil law) menempatkan contempt of court sebagai pelanggaran hukum yang pengaturannya diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan tertulis.7
Meskipun telah diatur dalam berbagai macam aturan tertulis, tidak dapat diolak lagi bahwa sampai saat ini istilah contempt of court di Indonesia masih menuai berbagai problematika keterbatasan norma dan implementasinya.
Fungsi Contempt of Court
Fungsi dari contempt of court adalah untuk:
6 Syarif Nurhidayat. Pengaturan Dan Ruang Lingkup Contempt Of Court Di Indonesia. Jurnal Ius Constituendum, 2021, 6.1: 73-98.
7 Choky R. Ramadhan, “Konvergensi Civil Law dan Common Law di Indonesia Dalam Penemuan Dan Pembentukan Hukum”, Mimbar Hukum 20 (2), hal 214
1. Menjaga Martabat Pengadila, memastikan bahwa otoritas dan integritas pengadilan tetap dihormati dan tidak direndahkan oleh perilaku tidak pantas.
2. Menegakkan Ketertiban, memastikan bahwa proses pengadilan berjalan dengan tertib dan lancar tanpa gangguan yang dapat menghambat keadilan.
3. Melindungi Hak dan Kewajiban Para Pihak, menjaga agar semua pihak yang terlibat dalam proses pengadilan dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara adil tanpa adanya tekanan atau intervensi yang tidak semestinya.
4. Menjamin Kepatuhan terhadap Putusan Pengadilan, memastikan bahwa perintah dan putusan pengadilan dipatuhi dan dilaksanakan oleh pihak yang bersangkutan.
5. Menghukum Pelanggaran, memberikan sanksi kepada individu atau entitas yang melakukan tindakan tidak hormat atau melanggar perintah pengadilan, yang dapat berupa denda atau hukuman penjara.