HAK TANGGUNGAN
Dosen Pengampuh : Nurul Fajri elfikri S.H M.H
Kata Pengantar
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah tentang "Hak Tanggungan”
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki karya ilmiah ini.
Kami berharap semoga Makalah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur lain. Untuk memberikan suatu kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum, maka pembebanan jaminan Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan, guna memenuhi unsur publisitas atas barang jaminan, dan mempermudah pihak ketiga mengontrol apabila terjadi pengalihan benda jaminan.
Obyek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 4 UUHT, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Salah satu ciri Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yaitu mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Setelah berlakunya UUHT, kemudahan yang ditawarkan UUHT pun dalam kenyatannya tidak selalu mudah untuk ditempuh, karena dalam prakteknya proses pelaksanaan parate executie telah mengalami pergeseran makna dan tidak semua Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) bersedia melaksanakan penjualan lelang objek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT (parate executie) dengan alasan bahwa setiap penjualan umum (lelang) terhadap objek Hak Tanggungan harus melalui fiat ketua pengadilan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kekeliruan pembentuk UUHT dan lembaga peradilan dalam memahami dua lembaga eksekusi yaitu antara parate executie dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial. Pendirian lembaga peradilan (yurisprudensi) yang kemudian ditindak lanjuti oleh keluarnya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Hak Tanggungan telah mencampuradukkan antara pengertian parate executie dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, hal ini menimbulkan kebingungan pada banyak kalangan terutama para kreditur pemegang Hak Tanggungan. Hal tersebut juga telah menimbulkan ketakutan bagi para pelaksana lelang yang dalam hal ini KPKNL untuk menerima permohonan lelang parate executie berdasarkan Pasal 6 UUHT.
Di Indonesia lembaga perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan. Di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan disebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Suatu benda yang dimiliki oleh seseorang, baik bergerak dan tidak bergerak secara khusus dapat diikat dengan sejumlah utang. Pembebanan atas benda bersangkutan memakai lembaga jaminan jenis mana adalah ditentukan dengan macam benda yang dijadikan objek jaminan. Bilamana benda yang dijadikan objek jaminan berupa benda bergerak maka oleh BW ditentukan lembaga jaminan gadai (Pand) diatur dalam Pasal 1150-1160 BW, sedangkan jika benda tidak bergerak maka lembaga jaminan yang dipergunakan adalah lembaga jaminan hipotek diatur dalam Pasal 1162- 1232 BW, jaminan diluar BW, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 6 Fungsi adanya barang yang di jadikan jaminan adalah untuk memberikan hak dan kekuasaan kepada bank selaku kreditor untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan yang diserahkan oleh debitor atau penjamin jika debitor wanprestasi dan atau tidak membayar pinjamannya pada saat sudah jatuh tempo.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan parate executie Hak Tanggungan dalam kaitannya dengan fiat pengadilan?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit?
3. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit?
4. Apa Implikasi Hukum Jika Lelang Hak Tanggungan Tanpa Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT)?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit
2. Untuk mengetahui apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit
3. Memperoleh pemahaman serta menganalisis tentang ketentuan parate executie Hak Tanggungan dalam kaitannya dengan wajib tidaknya pemegang Hak Tanggungan pertama meminta fiat pengadilan ketika akan mengeksekusi obyek jaminan Hak Tanggungan dengan menggunakan parate executie.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ketentuan parate executie Hak Tanggungan dalam kaitannya dengan fiat pengadilan
Lelang merupakan salah satu alternatif penjualan yang diatur dalam Vendue Reglement Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3 (Undang-Undang Lelang).
Mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK No. 213/2020), Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.
Jenis-jenis lelang secara umum terdiri dari 3 jenis, yaitu:
a. Lelang Eksekusi;
b. Lelang Noneksekusi Wajib; dan c. Lelang Noneksekusi Sukarela
Jumlah perkara terkait lelang eksekusi hak tanggungan di KPKNL (Contoh: KPKNL Bandar Lampung) pada umumnya berkaitan pula dengan jumlah lelang yang telah dilaksanakan. Terkait dengan lelang eksekusi hak tanggungan sendiri pada umumnya timbul dari adanya perjanjian kredit dengan objek jaminan benda tidak bergerak.
Dimana terhadap jaminan berupa benda tidak bergerak tersebut dibebankan hak tanggungan yang dibuat berdasarkan akta pemberian hak tanggungan (APHT) yang selanjutnya akan didaftarkan ke kantor pertanahan untuk memperoleh Sertifikat Hak Tanggungan (SHT). Sertifikat hak tanggungan berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Undang- Undang Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial selayaknya putusan pengadilan.
Dalam perkara-perkara mengenai lelang hak tanggungan yang masuk ke KPKNL, salah satu dalil yang sering disampaikan oleh Penggugat dalam gugatannya yaitu terkait dengan ketentuan dalam Pasal 224 HIR yang menyatakan bahwa terhadap akta yang dibuat di hadapan Notaris di Indonesia yang kepalanya berbunyi “Demi keadilan dan Ketuhanan yang Maha Esa” berkekuatan hukum sama dengan putusan hakim yang jika tidak dengan jalan damai, maka surat akta tersebut dijalankan dengan perintah di bawah pimpinan ketua pengadilan (Fiat Pengadilan).
Ketentuan mengenai pelaksanaan (eksekusi) Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut seringkali menjadi salah satu dalil gugatan yang diajukan oleh debitor. Pasalnya KPKNL seringkali dianggap telah melakukkan perbuatan melawan hukum (PMH) karena tidak menjalankan prosedur lelang berdasarkan Fiat Executie melalui penetapan ketua pengadilan. Sementara lelang eksekusi Pasal 6 hak tanggungan yang diselenggarakan oleh KPKNL dilakukan dengan dasar konsep Parate Executie sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan yang mengatur mengenai eksekusi Hak Tanggungan apabila Debitor cidera janji, yang dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara yaitu :
a. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf (a) :
Yaitu berdasarkan hak Pemegang Hak Tanggungan Pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 UUHT.
b. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf (b) :
Yaitu pelaksanaan eksekusi atas dasar Titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT. Dalam hal ini, berdasarkan irah-irah yang tercantum dalam Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
c. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) :
Yaitu eksekusi dibawah tangan, ialah penjualan objek Hak Tanggungan yang dilakukan oleh Pemberi Hak Tanggungan berdasarkan kesepakatan dengan Pemegang Hak Tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang tertinggi.
Batasan Konsep
1. Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lain. (Pasal 1 angka 1 UUHT)
2. Parate executie adalah pelaksanaan eksekusi hak kreditur atas objek jaminan, tanpa (di luar) melalui ketentuan hukun acara, tanpa penyitaan, tanpa melibatkan juru sita, tanpa izin (fiat) Pengadilan.
3. Fiat Pengadilan adalah penetapan eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang dulu memeriksa dan memutuskan perkara itu dalam tingkat pertama.
4. Kreditor adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utangpiutang tertentu.
(Pasal 1 angka 2 UUHT)
5. Debitor adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utangpiutang tertentu.
(Pasal 1 angka 3 UUHT) 6. Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. (Pasal 8 ayat (1) UUHT) 7.
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. (Pasal 9 UUHT).
Kehadiran lelang di Indonesia sudah ada sejak lama, tepatnya pada saat zaman Hindia Belanda yang dibuktikan dengan adanya peraturan mengenai lelang yaitu
Vendue Reglement Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3 (Undang-Undang Lelang).
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK No. 213/2020), Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang. Menurut jenisnya, lelang secara umum terdiri dari 3 jenis, yaitu:
1) Lelang Eksekusi;
2) Lelang Noneksekusi Wajib; dan 3) Lelang Noneksekusi Sukarela.
Lelang eksekusi sendiri terbagi lagi ke dalam beberapa jenis, salah satunya adalah Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai lelang eksekusi, kiranya perlu bagi kita untuk memahami definisi dari eksekusi itu sendiri. Istilah eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau menjalankan putusan pengadilan, namun nyatanya eksekusi tidak hanya berkaitan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan grosse akta saja, namun juga terdapat dalam bidang hukum jaminan yang merupakan pelaksanaan hak kreditur pemegang hak jaminan terhadap objek jaminan dengan cara menjual jaminannya, apabila debitur cidera janji atau wanprestasi.
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”, maka kreditur selaku pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Selain itu dipertegas pula dalam Pasal 20 ayat (1) huruf (a) UUHT yang menyebutkan bila pemegang Hak Tanggungan pertama berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Atas dasar inilah, lelang eksekusi Pasal 6 UUHT yang diselenggarakan oleh KPKNL dilakukan dengan dasar konsep Parate Executie.
Istilah parate executie sendiri secara implisit tidak pernah tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Secara etimologis parate executie berasal dari kata paraat yang berarti siap di tangan, sehingga parate executie dikatakan sebagai sarana yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate executie mempunyai arti pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim. Sedangkan berdasarkan doktrin ilmu hukum, parate executie memiliki arti sebagai kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri, atau bisa juga diberikan arti bahwa jika debitur wanprestasi maka kreditur bisa melakukan eksekusi objek jaminan tanpa harus meminta fiat dari ketua pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan dalam hukum acara perdata, tanpa perlu melibatkan juru sita dan oleh karenanya prosedurnya jauh lebih mudah dan biaya lebih murah.
Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa Pasal 6 UUHT dipedomani sebagai ketentuan bagi para pemegang hak tanggungan pertama dalam hal ini kreditur yang memiliki hak untuk menjual objek hak tanggungan atas dasar kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut apabila debitur cidera janji. Dengan kata lain, baik kekuasaan pemegang hak tanggungan pertama tersebut dicantumkan atau tidak dicantumkan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai kekuasaan/wewenang untuk dapat melakukan penjualan melalui pelelangan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan bahwa hak untuk menjual atau kekuasaan sendiri menguntungkan dalam 2 hal, yaitu:
a) Tidak dibutuhkan Titel Eksekutorial dalam melaksanakan haknya/eksekusi.
b) Dapat melaksanakan eksekusi sendiri secara langsung (mandiri) tidak peduli adanya kepailitan dari debitur (di luar pengadilan) karena tergolong separatis.
Merujuk pada ketentuan Angka 4 Penjelasan Umum UUHT yang memuat:
“Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.”
B. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit
Eksekusi Hak Tanggungan dilakukan dengan penjualan dengan cara lelang kemudian hasil perolehanya dibayarkan kepada Kreditur Pemegang Hak Tanggungan dan bila ada sisanya dikembalikan kepada Debitur. Eksekusi Hak Tanggungan mendasarkan pada alas hak yang berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai titel eksekutorial, yang merupakan cara cepat dan mudah untuk menyelesaikan masalah hutang yang macet.
Dengan kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan maka perlindungan hukum bagi kepentingan Kreditur dapat terwujud. Dalam praktek sering dijumpai debitur keberatan dan tidak bersedia secara sukarela mengosongkan obyek Hak Tanggungan itu bahkan berusaha mempertahankan dengan mencari perpanjangan kredit atau melalui gugatan perlawanan eksekusi Hak Tanggungan kepada Pengadilan Negeri yang tujuannya untuk menunda eksekusi Hak Tanggungan tersebut, sikap seperti ini mengganggu tatanan kepastian penegakkan hukum. Berdasarkan dari kerangka pemikiran tersebut di atas, maka penulis jadikan sebagai pedoman untuk menjawab permasalahan yang sudah ditetapkan dengan melakukan riset dan penelitian di kantor Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah berkaitan dengan pelaksanaan tingkatan-tingkatan hak tanggungan dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak atas tanah, serta melakukan penelitian di kantor pelayanan lelang negara agar mengetahui kendala apa saja yang terjadi dalam pelaksanaaan eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak atas tanah.
Dalam penyelesaian kredit macet yang dilakukan oleh PT. Bank Mega, Tbk tidak lah berjalan seperti apa yang diharapkan, berbagai masalah timbul seiring dengan penyelesaiannya, menurut Bapak John Eric Pontoh dalam penyelesaian kredit macet terdapat dua bentuk perlawanan yang dihadapi oleh pihak Bank sehubungan dengan eksekusi hak tanggungan, adapun bentuk perlawanan tersebut berupa : a) Perlawanan sebelum pelaksanaan lelang (Menunda Lelang) b) Perlawanan setelah pelaksanaan lelang (Membatalkan Lelang).12 Pada
umumnya perlawanan tersebut berupa gugatan dari pihak debitur atau pemilik jaminan yang diajukan kepada pengadilan negeri setempat yang masuk rana hukum acara perdata, dan pihak bank berapa pada posisi pihak yang digugat (tergugat) atau turut tergugat, namun tidak menuntup kemungkinan pihak Bank dapat bertindak sebagai pihak yang mengajukan gugatan (penggugat) perdata biasa. Adapun upaya penyelesaian kredit macet terhadap gugatan atau perlawanan atau perlawanan dalam pelaksanaan eksekusi adalah sebagai berikut : a. Upaya penyelesaian melalui beracara di pengadilan Gugatan perdata yang diajukan oleh debitor/penanggung hutang ataupun oleh pihak ketiga kepada pihak Bank pada umumnya disebabkan adanya tindakan hukum yang dilakukan oleh bank dalam rangka penyelesaian kredit macet dan pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan. Tindakan hukum yang dilakukan oleh bank selaku pemegang hak tanggungan dianggap tidak sah atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku oleh debitur, atau pihak ketiga/pemilik jaminan, sedangkan pihak bank berpendapat bahwa tindakan tersebut adalah sah dan benar sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam prakteknya penyelesaian kredit macet terhadap gugatan atau perlawanan dalam eksekusi hak tanggungan yang ditempuh melalui hukum acara perdata tidak serta merta berakhir pada putusan pengadilan tingkat pertama, dalam hukum acara perdata dikenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa terdiri dari banding, kasasi, dan verzet (perlawanan terhadap putusan verstek) dan Upaya hukum luar biasa terdiri dari derden verzet dan peninjauan kembali. Pada prinsipnya penyelesaian kredit macet terhadap gugatan atau perlawanan dalam eksekusi hak tanggungan baru dapat dilaksanakan apabila telah memperoleh putusan hakim dengan berkuatan hukum tetap dalam arti tidak ada upaya hukum yang dilakukan setelah putusan tersebut. Dalam prakteknya putusan tersebut akan menjadi dasar dalam melakukan lelang eksekusi obyek hak tanggungan.
Penyelesaian sengketa kredit macet terhadap gugatan atau perlawanan dalam perlaksanaan eksekusi hak tanggungan yang terjadi dalam prakteknya dapat berakhir melalui proses mediasi, hasil mediasi merupakan kesepakatan para pihak untuk mengakhiri sengketa tersebut secara kekeluargaan atau damai yang kemudian akan dituang didalam bentuk akta perdamaian.
C. Kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit
Dalam pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan yang dilaksanakan oleh KPKNL sering mendapat gugatan dari pihak debitor maupun pihak lain yang merasa kepentingannya dirugikan. Gugatan perdata yang dilakukan biasanya dalam bentuk perlawanan sebelum pelaksanaan lelang maupun gugatan yang diajukan setelah pelaksanaan lelang. Mayoritas timbulnya gugatan disebabkan oleh ketidakpuasan debitor atas pelaksanaan lelang Hak Tanggungan yang dimohonkan oleh Bank yang bersangkutan kepada KPKNL.
Kemudian yang menjadi permasalahan selanjutnya apabila seorang tereksekusi lelang masih menempati atau menguasai fisik atas barang lelang yang laku terjual.
Secara aturan, hak orang yang dijual barangnya pindah kepada pemenang lelang segera setelah perjanjian jual beli ditutup. Jika debitor masih bersikeras menguasai barang laku lelang tersebut, maka pemenang lelang meminta penerbitan grosse risalah lelang untuk pengosongan lelang yang akan disampaikan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama untuk bantuan pengosongan. Pelaksanaan eksekusi ini diawali dengan permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat oleh pemenang lelang selaku pemilik hak. Berdasarkan permohonan tersebut Ketua Pengadilan Negeri menindaklanjutinya dengan melakukan pemanggilan kepada termohon eksekusi. Biaya untuk proses pengosongan sulit diprediksi dan proses dari permohonan pengosongan sampai dengan eksekusi pengosongan tidak memiliki kepastian waktu dan seringkali berlangsung lama sehingga tidak diperoleh kepastian hukum pembeli untuk memperoleh haknya. Adapun masalah atau dampak yang muncul kemudian antara lain :
1.Mengurangi minat masyarakat untuk mengikuti pelaksanaan lelang tersebut terhadap tanah dan/atau bangunan yang masih ditempati oleh penghuni sebelumnya apalagi jika terdapat gugatan.
2.Masyarakat mempunyai kecenderungan membeli rumah melalui media lain selain lelang e-auction;
3.Potensi lelang menjadi tidak laku terjual sehingga pencapaian target lelang tidak tercapai.
Berdasarkan Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-Benda yang berkaitan dengan tanah, penyebab terjadinya masalah antara lain :
1.Penguasaan Objek lelang masih ditempati oleh yang debitur/penghuni/pemilik jaminan.
Permasalahan dalam pelelangan ini terjadi ketika pemenang lelang tidak bisa menguasai objek lelang yang dibelinya dikarenakan susahnya pengosongan dan adanya gugatan dari pihak debitor. Pemenang lelang seharusnya dapat menguasai obyek lelang tersebut karena terbukti secara sah membeli tanah tersebut melalui lembaga lelang resmi yaitu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Apabila debitur menolak atau tidak bersedia melakukan pengosongan objek jaminan Hak Tanggungan, pembeli objek jaminan dapat melakukan permohonan kepada Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan pengosongan. Banyak faktor yang dapat menimbulkan gugatan atau bantahan salah satunya terjadi karena debitur dimungkinkan tidak mau menyerahkan objek yang telah laku dilelang kepada pemenang lelang secara sukarela. Namun demikian, dalam APHT pada dasarnya telah diperjanjikan mengenai pengosongan objek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan sehingga tidak ada alasan lagi bagi debitur untuk berkelit dan menolak pengosongan. Atas perbuatan debitur tersebut pemenang lelang dapat mengajukan permohonan Eksekusi Pengosongan ke pengadilan.
Sebelum mengajukan permohonan eksekusi pengosongan ke pengadilan, pemenang lelang dapat mengajukan permohonan Grosse Risalah Lelang yang merupakan salinan asli Risalah Lelang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuahan Yang Maha Esa” ke KPKNL. Grosse Risalah Lelang memiliki kekuatan eksekutorial yang berkekuatan sama dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
2.Hubungan komunikasi antara pihak perbankan dengan debitur yang kurang baik.
Kurangnya komunikasi dari pihak perbankan dalam hal ini sebagai kreditur dengan debitur sesuai kesepakatan yang dibuat dalam sebuah perjanjian berupa perjanjian kredit dimana kreditur yang telah menberikan sejumlah uang sebagai pinjaman kepada debitur yang wajib dilunasi dalam jangka waktu tertentu oleh debitur. Dalam perjanjian debitur menjadikan tanah dan/atau bangunan miliknya menjadi tanggungan utang. Sesuai perjanjian dalan hal debitur cedera janji atau tidak mampu membayar kewajiban utangnya maka kreditur dapat melakukan penjualan atas barang jaminan tersebut melalui KPKNL tanpa melalui persetujuan dari pihak debitur.
Dalam pelaksanaan lelang terkadang barang yang dijual tidak sepenuhnya dikuasai oleh pihak penjual, adakalanya tanah dan/atau bangunan masih dikuasai oleh pihak ketiga. Penguasaan oleh pihak ketiga ini juga bermacam macam alasannya, ada yang legal seperti sewa menyewa ada juga pendudukan secara illegal. Untuk melakukan pengosongan objek yang telah dimenangkan, pembeli/pemenang lelang harus mengajukan permohonan pengosongan melalui pengadilan setempat, karena Pejabat Lelang/Pelelang tidak memiki kewenangan terkait pengosongan dan untuk eksekusi pengosongan itu sendiri juga dengan melibatkan aparat keamanan setempat.
3.Kurangnya kooperatif dan kesadaran debitur dalam menyelesaikan utang atau kewajibannya.
Kurangnya kooperatif dan kesadaran debitur/penghuni/pemilik jaminan dalam menyelesaikan utang atau kewajibannya pada pihak kreditur menyebabkan penyelesaian utang tidak dilunasi oleh debitur dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit maka sesuai yang tercantum dalam perjanjian kredit apabila debitur cedera janji atau tidak mampu membayar kewajiban utangnya maka kreditur dapat melakukan penjualan atas barang jaminan tersebut.
Dalam beberapa kasus pengosongan objek lelang menjadi terkendala karena debitur atau pemilik jaminan menolak jika tanah dan/atau bangunan miliknya akan diambil alih oleh pemenang lelang akibat adanya proses pelelangan. Para debitur merasa bahwa mereka dalam kondisi wanprestasi sehingga objek jaminan dapat dilelang.
Kurangnya kesadaran dan tidak kooperatifnya para debitur atau pemilik jaminan menyebabkan terhambatnya proses pengosongan objek lelang.
4.Ketidakpastian standar waktu penyelesaian pengosongannya oleh Pengadilan
Contoh kasus, pelaksanaan lelang pada tahun 2019 di KPKNL Bukittinggi dengan kreditur
- PT. BNI (Persero) Tbk. Kanwil Padang dengan barang jaminan terletak di Gadut Bukittinggi, untuk eksekusi pengosongan baru dapat dilaksanakan pada bulan November tahun 2021;
- PT. BRI (Persero) Cabang Simpang Empat dengan barang jaminan terletak di Pasaman Barat, untuk untuk eksekusi pengosongan sampai sekarang belum dapat dilaksanakan.
Dalam hal ini untuk eksekusi pengosongan menjadi terkendala disebabkan debitur/penghuni/pemilik jaminan tidak mau mengosongkan tanah dan/atau bangunan tersebut sehingga dilakukan eksekusi pengosongan terhadap tanah dan/atau bangunan secara paksa.
Adapun solusi yang dapat menjadi alternatif untuk mengatasi permasalahan dalam eksekusi objek lelang antara lain :
1. Koordinasi antara pihak perbankan dengan para debitur tentang barang jaminan berupa tanah dan/atau bangunan apabila debitur tidak dapat menyelesaikan kewajiban pada Bank tersebut maka pihak perbankan dapat bertindak lebih tegas dalam hal pengosongan terhadap tanah dan/atau bangunan kepada debitur yang tidak bersedia mengosongkan rumah atau tanah yang sudah berpindah tangan atau beralih kepemilikannya kepada pembeli lelang. Apabila debitur menolak atau tidak bersedia melakukan pengosongan sukarela atas tanah dan/atau bangunan maka pembeli objek jaminan dapat dilakukan tindakan pengosongan melalui Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi pengosongan.
Perlindungan bagi pemenang lelang hak tanggungan sebenarnya telah dilakukan secara preventif oleh KPKNL karena sebelum dilakukannya pelelangan dari KPKNL telah memberitahukan dan menyampaikan kepada para peserta lelang terkait dengan dokumen-dokumen, keadaan dan kondisi objek yang akan dilelang dengan kondisi apa adanya serta konsekuensi dan resiko yang dapat terjadi dikemudian hari.
Terkait perlindungan secara represif yaitu upaya umtuk mendapatkan perlindungan hukum melalui badan peradilan mengingat sampai saat ini belum ada peraturan yang mengatur secara pasti dan jelas terkait perlindungan hukum bagi pemenang lelang eksekusi hak tanggungan.
Upaya penyelesaian yang dapat dilakukan oleh pembeli melalui lelang yang tidak dapat menguasai tanahnya dapat melalui dua jalur yang dapat ditempuh yaitu jalur Litigasi (jalur peradilan) dan jalur Non Litigasi (jalur di luar pengadilan). Jalur Litigasi dapat ditempuh dengan mangajukan gugatan perdata pada umumnya yaitu melalui Pengadilan Negeri setempat, sedangkan jalur non Litigasi yaitu melalui mediasi dan negosiasi menjadi pilihan yang tepat bagi pembeli lelang untuk mendapatkan hak-haknya kembali.
Untuk lebih menyikapi hal tersebut diatas agar tidak ada permasalahan dalam proses pelaksanaan lelang diharapkan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara melalui Direktur Lelang, dapat membuat suatu kebijakan terkait perlindungan hukum bagi para pembeli lelang supaya tidak ada lagi keraguan dan kecemasan dalam membeli objek lelang berupa tanah dan/atau bangunan melalui proses pelaksanaan lelang.
Kedua, kebijakan terkait pengosongan sukarela sebelum pelaksanaan lelang agar pembeli lelang dapat mendapatkan hak-haknya segera dipenuhi untuk dapat memiliki barang berupa tanah dan/atau bangunan tersebut.
2. Memberikan penjelasan atau keterangan kepada pembeli lelang terhadap tanah dan/atau bangunan tersebut apabila jaminan tidak mau dikosongkan oleh debitur/penghuni pemilik jaminan.
Dalam proses setelah pelaksanaan lelang yang telah dilakukan akan menimbulkan proses peralihan hak obyek lelang dari penjual kepada pembeli lelang. Apabila pembeli lelang tidak dapat menguasai tanah dan/atau bangunan tersebut maka pembeli lelang dapat mengajukan permohonan eksekusi pengosongan ke Lembaga Peradilan dalam hal debitur/penghuni pemilik jaminan tidak bersedia mengosongkan objek lelang secara sukarela.
Namun dalam praktiknya terdapat dinamika yang mungkin terjadi dalam upaya kreditur untuk menjual barang jaminan melalui proses pelaksanaan lelang yang salah satunya adalah upaya gugatan atau bantahan ke pengadilan dari pihak debitur yang ditujukan kepada kreditur sebagai penjual, KPKNL sebagai perantara pelaksanaan lelang dan pembeli lelang. Oleh karenanya banyak masyarakat yang kurang berminat mengikuti lelang karena dalam prosesnya cukup rentan terhadap upaya hukum seperti gugatan atau perkara. Hal ini sekiranya perlu menjadi perhatian bagi para pihak terkait untuk melakukan edukasi sehingga masyarakat mengetahui proses yang perlu dilakukan agar mendapat perlindungan hukum.
3. Sinergi antara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dengan Mahkamah Agung (MA) untuk dapat dilaksanakannya pengosongan setelah pelaksanaan lelang, misalnya petunjuk atau berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (SE MA) yang sejalan dengan Undang Undang Hak Tanggungan (UUHT) terkait pengosongan sebelum dan setelah pelaksanaan lelang terhadap tanah dan/atau bangunan.
Untuk menyikapi hal tersebut mungkin perlu adanya dibuat SOP (Standard Operating Procedure) pengosongan yang jelas dan trasparan supaya proses pengosongan dapat dilakukan sesuai aturan yang telah ditetapkan. Dan disamping itu perlu juga terkait biaya atau tarif yang jelas dalam proses pengosongan yang akan dilakukan karena mengingat biaya atau tarif yang selama ini belum ada standar biaya yang akan dikeluarkan oleh pemenang lelang.
D. Implikasi Hukum Jika Lelang Hak Tanggungan Tanpa Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT)?
Surat keterangan pendaftaran tanah ini menjadi syarat formal dalam pelaksanaan lelang karena untuk mengetahui kondisi terakhir status tanah tersebut. Tahap awal dari pelelangan adalah tahap persiapan lelang yang dimulai dengan permohonan secara tertulis kepada pejabat lelang yang dilakukan oleh penjual. Permohonan yang diajukan oleh penjual juga memintakan jadwal pelaksanaan disertai dengan dokumen-dokumen legalitas yang diperlukan sesuai dengan jenis lelang yang dimintakan. Dalam hal permohonan lelang dimintakan oleh instansi pemerintah maka permohonan dilakukan dalam bentuk Nota Dinas oleh pejabat yang menjabat kepala seksi. Penjual juga dapat menggunakan balai lelang selaku penjual untuk mengajukan permohonan lelang kepada Pejabat Lelang. Pejabat Lelang tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan kepadanya sepanjang dokumen lelang sudah lengkap dan telah memenuhi legalitas formal subjek dan objek lelang.
Dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain debitor/suami atau istri debitor/ tereksekusi, pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan giat eksekusi. Permohonan atas pelaksanaanlelang fiat eksekusi dilakukan oleh Pengadilan Negeri.
Dalam pelaksanaan lelang penjual dalam surat pernyataannya menyatakan bertanggung
jawab atas:
a. Keabsahan kepemilikan barang
b. Keabsahan dokumen persyaratan lelang
c. Penyerahan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak.
d. Dokumen kepemilikan kepada pembeli.
e. Gugatan perdata maupun tuntutan pidana yang timbul akibat tidak dipenuhinya
peraturan perundangundangan di bidang lelang.
f. Tuntutan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul karena ketidak absahan barang
dan dokumen persyaratan lelang.
g. Penguasaan fisik barang yang akan dilelang
Penjual dapat juga mengajukan syarat-syarat lelang tambahan yang terlampir bersama surat permohonannya kepada Pejabat Lelang, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan pperundang-undangan, termaasuk tapi tidak terbatas pada:
a. Jangka waktu bagi peserta lelang untuk melihat, meneliti secara fisik barang yang
akan dilelang
b. Jangka waktu pengembalian barang oleh pembeli
c. Jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum pelaksanaan lelang.
SKPT ini sangat penting bagi pejabat lelang untuk memperoleh keyakinan tentang objek lelang. Oleh karena itu skpt tersebut harus tetap diterbitkan, walaupun tanah yang bersangkutan sedang dalam sengketa atau dalam situasi sitaan, kemudian kepala kantor pertanahan mengeluarkan skpt dimaksud selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja atau 7 (tujuh) hari kalender setelah diterimanya permintaan dari kepala kantor lelang.
SKPT sangat penting bagi pejabat lelang untuk memperoleh keyakinan tentang objek lelang karena di dalam SKPT disebutkan secara lengkap tempat dimana objek lelang tersebut serta identitas dari pemilik tanah dan bangunan dan yang paling utama dari adanya SKPT ini adalah catatan tanah tersebut apakah dalam status sengketa atau dalam status sitaan sehingga SKPT dalam proses lelang mutlak adanya.
Dalam proses lelang, baik itu lelang eksekusi maupun non-eksekusi SKPT itu mutlak adanya, apabila SKPT itu ada, tetap harus diselaraskan dengan syarat-syarat lelang lainnya hal itu berguna sebagai alat proteksi diri bagi para pihak yang terlibat.
Sedangkan apabila SKPT tidak keluar pada waktu lelang, maka lelang tetap di jadwalkan tetapi lelang langsung dinyatakan berakhir karena syarat dari lelang tersebut tidak lengkap. Apabila syarat sudah lengkap maka bank selaku pihak kreditur bisa mengajukan lelang ulang paling lama 60 hari setelah lelang pertama.
SKPT akan kadaluarsa setelah pemenang lelang dinyatakan berhak atas tanah dan bangunan tersebut, tetapi apabila tidak adanya pemenang dalam lelang, maka SKPT akan kadaluarsa dalam jangka waktu 6 bulan setelah dikeluarkannya SKPT tersebut. (Tim Na/Rs)
Selain itu ada pengertian implementasi dari Van Mater Horn yang dikutip oleh Wahab dalam buku dalam Analisis Kebijaksanaan, adalah: Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabatpejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan- tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Pengertian implementasi dari Van Mater Van Horn menjabarkan tentang suatu tingkah laku atau pola yang dilakukan
oleh aparatur atau suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu menurut Van Mater Van Horn, pengertian implementasi juga disampaikan oleh Mazmanian dan Sebastiar sebagai berikut: Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah- perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Hak Tanggungan seperti yang tertuang dalam Pasal 1 Angka 1 UUHT adalah;
“hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap krediturkreditur lain.” Hak tanggungan sebagai pelunasan hutang bersifat tidak dapat di bagibagi, yaitu bahwa jaminan meliputi benda secara utuh, artinya dengan membayar sebagian hutang tidak berarti dapat membebaskan hutang, sehingga apabila jaminan tersebut berupa tanah, maka jika sebagian hutang dilunasi tidak mewajibkan pemegang hak tanggungan untuk menyerahkan sebagian dari tanah yang dijadikan jaminan,7 hal ini tercantum dalam pasal 2; (1)“hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi- bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 2”, (2)“apabila hak taggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek hak tanggungan, yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut, sehingga kemudian hak tanggungan itu hanya membebani sisa obyek hak tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.”