SKRIPSI
KEKUATAN HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
MITIA INTANSARI NIM. 1116051139
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
KEKUATAN HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
MITIA INTANSARI
1116051139
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Lembar Persetujuan Pembimbing
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : 24 Maret 2016
Pembimbing I
A.A Sri Indrawati, SH., MH.
NIP.19571014198601 2 001
Pembimbing II
I Nyoman Darmadha, SH., MH
SKRIPSI INI TELAH DI UJI
PADA TANGGAL : 12 April 2016
Panitia Penguji Skripsi
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Nomor : 0641/UN 14.4E/IV/PP/2016
Ketua : A. A Sri Indrawati, SH.,MH ( )
NIP. 19571014198601 2 001
Sekretaris : I Nyoman Darmadha, SH.,MH ( )
NIP. 19541231198103 1 033
Anggota : Ida Ayu Sukihana, SH.,MH. ( )
NIP. 195703111986012001
Marwanto, SH. M.,Hum ( )
NIP. 196001011986021001
A.A. Ketut Sukranatha, SH.,MH ( )
KATA PENGANTAR Om Swastiastu,
Puji syukur penulis penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan bimbinganNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Kekuatan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank”. Penyusunan skripsi ini merupkan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana
Hukum dalam bidang studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dalam
penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan moral dari berbagai
pihak. Karena itu, melalui kesemptan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas
Udayana, yang dengan segala kebijakannya banyak membatu dalam memperlancar proses
pendidikan;
5. Bapak A.A. Ngurah Oka Parwatha, SH., M.Si., Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
6. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH, Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
7. Bapak A.A. Sri Indrawati, SH., MH., Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
8. Bapak I Nyoman Darmadha, SH., MH., Dosen Pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan
9. Bapak I Made Walesa Putra, SH., M.Kn., Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membatu dalam mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana;
10.Bapak/Ibu Dosen/ Pengajar beserta staff Pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang telah telah mendidik, membantu dan memberikan sumbangsih berupa ilmu
pengetahuan dan pelayanan dalam urusan administrasi perkuliahan;
11.Kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan hormati, Bapak I Nyoman Muliana dan
Ibu Luh Sri Jati, Kakak-Kakak Metta, Mia, dan Marcel, dan yang paling penulis sayangi
Komang Aditya Indra Purnama, selalu memberikan dukungan dalam proses penyusunan
skripsi ini.
12.Yang terakhir tidak lupa ucapkan terimakasih kepada seluruh teman-teman angkatan 2011
Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam perkuliahan dan
penyelesian skripsi ini, tak lupa Wulan, Ita, Windu, Dwi, Cintya, Wulan Fridayanti, Gek
Tri, Desy, Vitri dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang
telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis berharap para pembaca mendapatkan informasi yang berguna dari apa yang penulis
uraikan. Penulis sangat menyadari atas ketidak sempurnaan skripsi ini, karena itu penulis sangat
mengharapkan saran berupa kritikan-kritikan ataupun pendapat lainnya sebagai bahan
pertimbangan koreksi kedepannya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Om Shanti, Shanti,Shanti Om
Denpasar, 24 Maret 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ... iv
KATA PENGANTAR ...v
DAFRTAR ISI ... vii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang Masalah ...1
1.2 Rumusan Masalah ...8
1.3 Ruang Lingkup Masalah ...8
1.4 Orisinalitas Penelitian ...9
1.5 Tujuan Penelitian ...11
a. Tujuan umum ...11
b. Tujuan khusus ...11
1.6 Manfaat Penelitian ...12
a. Manfaat teoritis ...12
b. Manfaat praktis ...12
1.7 Landasan Teoritis ...18
1.8 Metode Penelitian ...18
1.8.2 Jenis pendekatan ...18
1.8.3 Sumber bahan hukum ...19
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ...20
1.8.5 Teknik analisis bahan hukum...21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, KREDIT, SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN HAK TANGGUNGAN ...22
2.1 Perjanjian dan Perjanjian Kredit ...22
2.1.1 Pengertian perjanjian dan syarat sahnya perjanjian ...22
2.1.2 Pengertian kredit ...28
2.1.3 Wanprestasi dalam perjanjian kredit ...33
2.2 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ...35
2.2.1 Pengertian dan dasar hukum surat kuasa membebankan hak tanggungan ...35
2.2.2 Bentuk surat kuasa membebankan hak tanggungan ...39
2.3 Hak Tanggungan ...40
2.3.1 Pengertian dan dasar hukum hak tanggungan ...40
2.3.2 Asas-Asashak tanggungan ...46
BAB III KEDUDUKAN PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM APABILA WANPRESTASI...49
3.1 Pembebanan Hak Tanggungan Pada Bank ...49
BAB IV UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN
KREDITUR (BANK) APABILA DEBITUR WANPRESTASI
DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DENGAN SKMHT ....67
4.1 Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Dasar Dalam Pemberian Hak Tanggungan ...67
4.2 Upaya Penyelesaian Wanprestasi Dalam Pembebanan Hak Tanggungan ...80
BAB V PENUTUP ...83
5.1 Kesimpulan ...84
5.2 Saran-Saran ...85
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini
merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/ Penuliasan Hukum/ Skripsi ini terbukti merupkan duplikasi
ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau
pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi
akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian surat penyataan ini saya buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah tanpa ada
paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar, 24 Maret 2016
Yang menyatakan,
( Mitia Intansari )
ABSTRAK
Tulisan ini berjudul “Kekuatan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank”. Salah satu hak yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah
terhadap tanah yang dikuasainya adalah menjaminkan hak atas tanah tersebutuntuk suatu utang
tertentu dengan dibebani hak tanggungan. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah
surat atau akta yang berisikan pemberian kuasa yanhg diberikan oleh Pemberi Kuasa kepada
Penerima Kuasa untuk mewakili Pemberi kuasa guna melakukan pemberian hak tanggungan
kepada kreditor atas tanah milik Pemberi Kuasa dengan cara hadir dihadapan Notaris/Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). SKMHT ini digunakan apabiladebitur meminjam uang di bank
dengan menggunakan tanah sebagai jaminannya, maka SKMHT ini dibutuhkan agar bank selaku
debitur dapat memasangkan hak tanggungan pada tanah yang dijaminkan. Berdasarkan ketentuan
Pasal 15 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa SKMHT yang sudah
terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
ABSTRACT
The painting is titled "The Power of Power of Attorney Law Imposing Mortgage In Bank
Credit Agreement". One of the rights granted to holders of land rights to the land under their
control are committed to ensuring land rights tersebutuntuk a particular debt burdened with
security rights. Power of Attorney Imposing Mortgage is a letter or a certificate that contains the
authorization yanhg given by the Principal to the endorsee to represent Giver power to conduct
granting a security interest to a creditor on land owned by Principal by way appear before
Notary Public / Official Deed Land (PPAT) , This SKMHT used apabiladebitur borrow money in
the bank by using land as collateral, then SKMHT required to keep the bank as debtor can pair a
security interest in the land as collateral. Under the provisions of Article 15 paragraph (3) and
(4) of Law Mortgage, that SKMHT already registered shall be followed by the manufacture of
Giving Mortgage Deed (APHT).
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya
merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil maupun
spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup adalah dengan mengembangkan
perekonomian dan perdagangan. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan
ekonomi dan perdagangan di Negara manapun khususnya di Indonesia diperlukan dana tersedia
yang cukup besar, dimana persediaan dana tersebut diperoleh dari kegiatan perkreditan, yang
salah satunya dialokasikan melalui perbankan. Mengingat pentingnya kepastian akan
tersalurkannya dana tersebut, sudah semestinya perlu adanya jaminan yang memadai dalam
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak
lain yang berkepentingan. Oleh sebab itu perlu diatur keterkaitan pihak-pihak tersebut ke dalam
suatu peraturan yang berimbang, dimana dalam hal ini secara khusus diatur didalam
Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Dengan diundangkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah, maka hak tanggungan merupakan
satu-satu lembaga hak jaminan atas tanah dalam hukum tanah nasional yang tertulis, dimana
sebelumnya masih dikenal dua macam jaminan atas tanah yaitu lembaga jaminan hipotik dan
Credietverband. Dengan adanya unifikasi jaminan atas tanah ini, maka dapat lebih menjamin
Salah satu jaminan yang sering digunakan dalam pemberian kredit adalah jaminan hak
tanggung atas tanah. Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek
jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang
bersangkutan yang pengikatan objek jaminan hutang dilakukan melalui lembaga jaminan Hak
Tanggungan yang diaturpasa Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (yang untuk selanjutnya disebut
UUHT) memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, sebagaimana diatur dalam Pasal 1
Ayat (1) UUHT sebagai berikut :
Hak Tanggungan adalah jaminan yang dibebankan pada hakatas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Udnang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok agrarian, berikut atau tidak berikut benda-benda lain merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Aturan hukum mengenai pelasanaan pemberian hak tanggungan dalam suatu perjanjian
kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak baik
kreditur maupun debitur dalam memanfaatkantanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah sebagai jaminan kredit.
Menurut Pasal 4 UUHT, tanah yang dapat dijadikan jaminan adalah Tanah Hak Milik,
Tanah Hak Guna Usaha, Tanah Hak Guna Bangunan, dan Tanah Hak Pakai atas tanah Negara.
Pengikatan jaminan atas tanah hak tersebut adalah dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan
yang didalamnya meliputi seluruh bangunan dan tanaman yang berada diatasnya dan wajib
dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan oleh debitur kepada Bank ditempuh melalui tata cara yang
janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang, sedangkan Pasal 15
UUHT diatur tentang pemberian kuasa hak tanggungan.
Penyerahan jaminan debitur kepada kreditur sebagai pemberian hak tanggungan dilakukan
dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (yang selanjutnya disebut APHT) oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (yang selanjutnya disebut PPAT). Di dalam APHT wajib
dicantumkan keterangan mengenai :
a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
b. Domisili pemegang dan pemberi hak tanggungan
c. Nilai Tanggungan
d. Uraian jelas mengenai obyek hak tanggungan1
Pasal 11 ayat (2) UUHT menyatakan bahwa APHT dapat dicantumkan janji-janji.
Dimuatnya janji-janji dalam APHT tersebut yang kemudian harus didaftarkan pada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pendaftaran ini merupakan syarat mutlak untuk lahirnya
hak tanggungan dan akta tersebut mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Selain
itu, dengan didaftarkannya APHT pada Kantor Pertanahan maka terpenuhi asas publisitas,
artinya setiap orang dapat mengetahui bahwa ha katas tanah sedang dibebani hak tanggungan.2
Penjelasan Umum angka 7 dinyatakan bahwa walaupun objek hak tanggungan sudah
berpindahtangan dan menjadi pihak lain, kreditur masih dapat menggunakan haknya melakukan
eksekusi, jika debitur cidera janji. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi
pemegang hak tanggungan. Dan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa pada
asanya pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan
1
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, h.425.
2
dengan cara hadir dihadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah. Hanya apabila benar-benar
diperlukan, yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT, maka
diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (yang selanjutnya
disebut SKMHT) yang berbentuk akta otentik. Sejalan dengan hal tersebut, surat kuasa harus
diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai
muatannya dalam ketentuan Pasal 15 UUHT. Lebih lanjut dijelaskan Pasal 15 ayat (2) UUHT,
bahwa :
Kuasa untukMembebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat
berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena
telah habis jangka waktunya, sedangkan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) dikatan SKMHT
harus berbentuk otentik yang dibuat oleh Notaris atau PPAT.
Untuk dapat tercapainya kepastian hukum dan mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa,
maka jangka waktu berlakunya SKMHT harus dibatasi. Pasal 15 ayat (3) UUHT menentukan
bahwa SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib segera diikuti dengan
pembuatan APHT dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Tetapi dalam
ketentuan ayat (4), SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan
APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Tetapi pada kenyataannya dalam
praktek ada SKMHT yang dibuat tidak diikuti dengan APHT.
Dengan semakin meningkatnya penyaluran kredit biasanya disertai pula dengan
meningkatnya kredit yang bermasalah, walau presentase jumlah dan peningkatnya kecil, tetapi
kredit bermasalah ini akan dapat mempengaruhi kesehatan perbankan. Kegiatan menyalurkan
Kestabilan keuangan bank sangat dipengaruhi oleh keberhasilan mereka dalam mengelola kredit
yang disalurkan.
Oleh karena itu, pemberian kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam, atau dengan istilah lain harus didahului dengan Perjanjian
Kredit. Perjanjian kredit tidak dapat dilepas dari ruang lingkup KUHPerdata. Menurut Pasal
1313 KUHPerdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan bahwa satu orang lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, karena kredit secara tertulis lebih
aman dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengikari
apa yang telahy diperjanjikan, dan ini akan merupakan bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi
sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak
bank.3
Perjanjian kredit baru mempunyai kekuatan mengikat apabila perjanjian kredit tersebut
disetujui tentang isi dan maksud dari perjanjian tersebut dan para pihak paham dan mengerti
sehingga bersedia menerima segala akibat hukum yang timbul dengan membubuhkan
tandatangan sebagai sahnya perjanjian. Agar suatu perjanjian sah menurut hukum diperlukan 4
(empat) persyaratan sebagai mana tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
3
Kedudukan bank dengan nasabah dalam pemberian kredit adalah setara, dan terdapat
asas-asas umum dalam hukum perjanjian yang menekankan kesetaraan dimaksud seperti
konsesualisme, asas kebebasan berkontrak, dan asas persamaan hukum.4
Dalam memberikan kredit pada nasabah, bank mensyaratkan adanya jaminan, baik berupa
benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Jaminan tersebut sangat penting sebagai
pengaman kredit yang telah diberikan oleh pihak bank. Nasabah nyang meminjam kredit di bank
untuk modal usaha, dalam menjalankan usahanya tidak selalu mendapatkan keuntungan tetapi
sering juga mengalami kerugian sehingga faktor tersebut mereka tidak dapat mengembalikan
pinjamannya kepada bank sampai jatuh tempo jangka waktu yang telah ditentukan. Hal tersebut
dapat dikategorikan sebagai tindakan wanprestasi dari nasabah terhadap bank, yang bertindak
sebagai kreditur. Dalam dunia perbankan, hal semacam ini dikenal dengan kredit tidak lancar
atau macet.
Wanprestasi merupakan suatu peristiwa atau keadaan dimana debitur tidak memenuhi
kewajiban prestasi perikatannya dengan baik. Wanprestasi diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan dinyatakan lalai, atau demi
4
perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan. Sedangkan Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan Penggantian
biaya, kerugian, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila
debitur, walaupun telah dinyatakan lalai untuk memenuhi perikatan itu, tetap melalaikannya, atau
jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu yang telah
dilampaukannya.
Namun untuk dapat dinyatakan wanprestasi, maka harus melalui Putusan Pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap.5
Berdasarkan latar belakang diatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian hukum
yang dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul:Kekuatan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi
2. Upaya hukum apa yang dilakukan kreditur bank dalam hal debiturwanprestasi dengan
pembebanan hak tanggung atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan
(SKMHT)
1.3Ruang Lingkup Masalah
Agar pembahasan tidak meluas, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang
lingkup masalah yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup masalah adalahkedudukan bank
pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi dan Upaya hukum apa yang dilakukan
5
kreditur bank dalm hal debitur wanprestasi dengan pembebanan hak tanggungan atas dasar surat
kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT).
1.4Orisinalitas Penelitian
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia,
maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah
dibuat dengan menampilkan, beberapa judul penelitian skripsi atau disertasi terdahulu sebagai
pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 2(dua) Skripsi yang
pembahasannya berkaitan dengan perjanjian kredit bank dengan surat kuasa membebankan hak
2. Perlindungan Hukum Bagi
No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah
pembebanan hak
tanggung atas dasar surat
kuasa membebankan hak
tanggungan (SKMHT)
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi dua,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan tersebut antara lain.
1.5.1 Tujuan umum
1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal
debitur wanprestasi
2. Untuk mengetahui upaya hukum apa yang dilakukan kreditur dalam hal wanprestasi yang
membebani hak tanggungan atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan
(SKMHT).
1.5.2Tujuan khusus
1. Untuk memahami bagaimana kedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal
debitur wanprestasi
2. Untuk memahami upaya hukum apa yang dilakukan kreditur dalam hal wanprestasi yang
membebani hak tanggungan atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan
(SKMHT).
Penulisan skripsi ini dapat djadikan sebagai bahan penelitian atau penulisan bagi lembaga
Fakultas Universitas Udayana dan sebagai bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
1.6.2Manfaat praktis
Manfaat praktis yaitu manfaat dari penelitian hukum ini yang berkaitan dengan pemecahan
masalah. Manfaat praktis dari rencana penelitian ini sebagai berikut:
1. Menjadi wahana bagi penelitian untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola
pikir sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh;
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada semua pihak
yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat
dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami
ilmu hukum, khususnya pelaksanaan perjanjian kredit dalam surat kuasa membebankan hak
tanggungan.
1.7 Landasan Teoritis
Salah satu yang diberikan kepeda pemegang hak atas tanah terhadap tanah yang
dikuasainya adalah menjaminkan hak atas tanah tersebut untuk suatu utang tertentu dengan
dibebani hak tanggungan. Dalam perkembangannya praktik pemberian kredit tidak cukup hanya
didasarkan pada keyakinan dan kepercayaan kepada debitur, tetapi perlu juga disertai jaminan
berupa barang guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya wanprestasi atau debitur cidera janji
dalam pengembalian kredit. UUPA mengatur bahwa hak atas yang dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha,k dan hak guna
Dalam Pasal 1 angka 1 UUHT dinyatakan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan atas
tanah sebagaimana yang dimaksud oleh UUPA. Hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan harus vmemenuhi syarat-syarat yang ditentukan
oleh UUHT, yaitu hak atas tanah tersebut menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Kedua
syarat tersebut sifatnya kumulatif, yaitu apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka hak atas
tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Dalam pembebanan hak tanggungan, PPAT yang merupakan pejabat umum diberi
wewenang untuk membuat APHT serta membuat SKMHT apabila pemberi hak tanggungan
tidak dapat hadir dihadapan Notaris/PPAT.
Pembuatan APHT didahului dengan adanya perjanjian pokok yaitu dalam hal ini adalah
perjanjian kredit. Dengan menunjuk ketentuan Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 yang menyatakan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain.
Sedangkan SKMHT awalnya sangat asing terdengan bagi orang yang tidak pernah
menggunakan tanah sebagai jaminan untuk meminjam uang di bank, tetapi bagi sebagian orang
yang pernah atau sering meminjam uang di bank dengan menggunakan tanah sebagai jaminan,
SKMHT sudah terbiasa terdengar bahkan menjadi salah satu pihak yang disebutkan dalam
SKMHT tersebut. SKMHT ini digunakan apabila debitur meminjam uang di bank dengan
menggunakan tanah sebagai jaminannya, maka SKMHT ini dibutuhkan agar bank selaku
kreditur dapat memasangkan hak tanggungan pada tanah yang dijaminkan. Bila dikaji lebih jauh
dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, baik masyarakat di perkotaan maupun
masyarakat pedesaan.
Kredit adalah penyediaan uang yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.
Kredit yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur harus diamankan, oleh karena itu
pihak kreditur memerlukan jaminan agar uang kredit diberikan tersebut dapat dikembalikan
sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) tidak memberikan pengertian tentang
jaminan, tetapi hanya mengatur ketentuan umum mengenai jaminan yaitu Pasal 1131 dan Pasal
1132 KUH Perdata.
Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akanada dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Jaminan berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut bersifat umum, yang berlaku untuk
seluruh kreditur, sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata, menyatakan diperbolehkan hak jaminan
yang bersifat istimewa dan didahulukan (khusus), miasalnya dalam bentuk hak tanggungan.
Tanah sebagai benda tidak bergerak dapat dijadikan jaminan, dan tanah tersebut dapat
dipasangkan hak tanggungan sebagai tanda bahwa tanah tersebut digunakan bank, hak
tanggungan sifatnya tidak dapat dibagi-bagi, dan obyek hak tanggungan menurut Pasal 4 ayat (1)
UUHT adalah :
1. Hak Milik;
2. Hak guna usaha;
Kaitannya dengan hal tersebut diatas, apabila selaku debitur meminjam uang di bank dan
tanah digunakan sebagai jaminan atas pinjaman tersebut, maka pihak bank selaku kreditur akan
menganalisa terlebih dahulu jaminan tersebut dengan membutuhkan waktu minimal 7 hari.
Setelah bank dapat menentukan nilai tanah tersebut, maka pihak bank menyerahkan sertifikat
tanah tersebut sebagai tanda bukti hak kepada notaris untuk segera memproses pemasangan hak
tanggungan di Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Proses ini pun juga memerlukan waktu yang
tidak singkat, apalagi jika tanah tersebut tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh BPN,
proses pemenuhan syarat guna memasangkan hak tanggungan inilah yang menyebabkan adanya
SKMHT yang harus ditandatangani oleh bank selaku kreditur dan peminjam selaku debitur.
SKMHT ini digunakan oleh kreditur yang berfungsi sebagai pengaman bagi pihak bank, agar
tetap memiliki jaminan atas kredit yang diberikan walaupun sertifikat tersebut masih dalam
proses di BPN. SKMHT ini harus dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan itu, yang alam hal
ini pejabat tersebut adalah Notaris.
Pengertian Notaris terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undnag Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (yang selanjutnya disebut UUJN), yaitu Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
Salah satu ketentuan baru dalam UUJN adalah kewenangan Notaris untuk membuat akta
yang berhubungan dengan pertanahan. Kewenangan ini diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2)
huruf f UUJN dan Pasal 15 ayat (1) UUHT.
Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, menyebutkan SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan
hak tanggungan.
2. Tidak memuat kuasa substitusi (kuasa pengganti).
3. Mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang, dan identitas
krediturnya, serta nama dan identitasnya debitur apabila debitur bukan pemberi hak
tanggungan.
Dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT diatas, maka dengan kata lain perjanjian pemberian
kuasa membebankan hak tanggungan sifatnya memaksa, yaitu para pihak tidak bebas untu
menentukan sendiri, baik bentuk maupun isi dari perjanjian tersebut. Sedangkan Pasal 15 ayat
(3) UUHT disebutkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti
dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1(satu) bulan setelah ditandatanganinya SKMHT.
Pembuatan APHT oleh PPAT atas dasar surat kuasa yang bukan merupakan SKMHT in
originali merupakan cacat hukum dalam proses pembebanan Hak Tanggungan. Karena walaupun
telah dilaksanakan pendaftarannya, keabsahan Hak Tanggungan yang bersangkutan tetap terbuka
kemungkinannya untuk digugat oleh pihak-pihak yang dirugukan yang dalam hal ini yaitu
kreditur. Kreditur yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian kepada PPAT dan notaris yang
bersangkutan. PPAT disini hanya berwenang untuk membuat APHT mengenai obyek Hak
Tanggungan yang berletak di wilayah daerah kerjanya. Pembatasana ini tidak berlaku terhadap
notaris dalam pembuatan SKMHT adalah dalam rangka memudahkan pemberian layanan kepada
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran
dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Untuk dapat memahami objek dari skripsi ini maka
dibuat dengan menggunakan pendekatan dan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan suatu
karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun metode yang digunakan adalah
sebagai berikut.6
1.8.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan adalah penelitian
hokum normatif. Dalam penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang ditulis
dalam peraturan perundang-undangan/ hukum dikonsepkan sebagai kaidah/ norma yang
merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.7
1.8.2 Jenis pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan dalampenulis ini adalah pendekatan analisis konsep
hukum (analitical and conceptual approach) dan pendekatan Undang-Undang (the statue
approach). Pendekatan Undang-Undang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang
dan regulasi yang bersangkutan paut dengan isu hokum yang sedang ditangani.8
Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach) adalah pendekatan
yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
6
Alimudin Tuwu, 1993, Pengantar Metode Penelitian, Get 1, Universitas Indonesia, Jakarta, h.73.
7
Amirudin, H Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta, h.118
8
hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,
peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep
hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Dua pendekatan ini
digunakan agar diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat.
1.8.3 Sumber bahan hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud
adalah sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas
atau memiliki kekuatan mengikat, yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria
d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;
e. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan
f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria;
g. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak
Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan.9
9
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literature, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan
hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Disamping itu,
juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu
melalui internet dengan jalan mengunduh bahan hukum yang diperlukan.10
2. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, yaitu berupa kamus , yang terdiri dari :
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta
b. Black’s Law Dictionary
c. Kamus Hukum
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh melalui pengumpulan bahan
hukum dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi bahan hukum primer, yaitu
perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku
literature ilmu hukum serta tulisan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan.
1.8.5 Teknik analisis bahan hukum
Setelah data-data baik primer maupun sekunder yang dibutuhkan terkumpul, maka bahan
hukum tersebut akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan tehnik pengolahan data secara
kualitatif yaitu yang menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,
runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga mempermudahkan pemahaman dan
interprestasi data.11
10
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, h.141
11
Selain menggunakan tehnik pengolahan data secara kualitatif juga digunakan tehnik
analisis deskripsi. Tehnik deskripsi adalah tehnik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari
proposisi proposisi hukum atau non hukum.
Setelah melalui proses pengolahan dan analisa, selanjutnya data tersebut disajikan secara
deskriptif analisis yaitu penyajian yang menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek
hukum permasalahan yang teliti dan selanjutnya dianalisa kebenarannya serta menyusun dan
memilih data yang berkualitas untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan.12
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANIAN KREDIT, SURAT KUASA MEMBEBANKAN, DAN HAK TANGGUNGAN
1.1 Perjanjian dan Perjanjian Kredit 2.1.1.a Pengertian perjanjian
Istilah perjanjian sama dengan kontrak karena keduanya bagian dari hukum perikatan.
Sebagian ahli hukum menempatkan kontrak sebagai bagian dari hukum perjanjian karena
kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Menurut Ketentuan Pasal
1233KUHPerdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari suatu perjanjian dan yang lahir dari
undang-undang.
Secara lengkap dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari
undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang daja dan dari undang-undang
karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena
perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan
yang melanggar hukum.
b. Perjanjian atau kontrak ini merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji
kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.1
1
Kemudian pengertian perjanjian dapat dilihat pada Pasal 1313 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Definisi perjanjian dapat dilihat dari beberpa pendapat para sarjana yang berbeda-beda
dan masing-masing ingin menemukakan dan memberi pandangan yang dianggap lebih tepat.
Berikut ini akan dikemukan beberapa pendapat sarjana yaitu :
Menurut R. Wiryono Prodjodikoro, “bahwa perjanjian itu adalah sesuatu perbuatan
hukum mengenai harta kekayaan anatara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain yang
lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.”2
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan
hukum dimana seseorang atau lebih mengakibatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.”3 Menurut R.M. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa perjanjian adalah
hubungan antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.4
Sedangkan R. Setiawan mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum dimana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih.5
Berdasarkan keempat pandangan sarjana di atas, bahwa perjanjian adalah peristiwa yang
timbul dari suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk
2
Wiryono Prodjodikoro, 1985, Hukum Tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, (selanjutnya disingkat Wiryono Prodjodikoro II) , h. 11.
3
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1972, Kumpulan Kuliah Hukum Perdata, Yayasan Gajah Mada, h.25.
4
R.M. Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, h.25.
5
melaksanakan suatu hal untuk tujuan tertentu. Hukum yang mengatur tentang perjanjian disebut
hukum perjanjian.
Unsur yang terdapat dalam suatu definisi perjanjian itu adalah ada pihak-pihak sedikitnya
dua orang, ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian, adanya
tujuan yang ingin dicapai da nada prestasi yang dilaksankan.
2.1.1.b Syarat sahnya suatu perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh Undang-Undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Syarat sahnya
perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri dari 4 syarat, yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
Kesepakatan para pihak merupakan salah satu syarat yang penting dalam sahnya suatu
perjanjian. Sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara;
a. Tertulis
b. Lisan
c. Diam-diam
d. Symbol-simbol tertentu
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
Untuk mengadakan suatu perjanjian, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi
bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan perjanjian adalah tidak tidak
cakap menurut hukum.
Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa tidak cakap membuat perjanjian adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa
3. Orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan oleh undang-undang (dengan
adanya SEMA: Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan UU
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan ini tidak berlaku lagi)
Orang yang bellum dewasa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 330
KUHPerdata adalah mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak lebih
dahulu telah kawin, sedangkan mereka yang berada dibawah pengampuan sesuai
ketentuan Pasal 443 KUHPerdata adalah orang yang dungu, sakit otak, mata gelap dan
boros.
3. Suatu hal tertentu; dan
Hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian, baik berupa barang atau jasa yang
dapat dinilai dengan uang. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat
berwujud barang, keahlian atau tenaga dan tidak berbuat sesuatu.
Berbeda dari hal di atas, dalam KUHPerdata dan pada umunya para sarjana hukum
berpendapat bahwa prestasi itu dapat berupa :
a. menyerahkan atau memberikan sesuatu;
b. berbuat sesuatu; dan
c. tidak berbuat sesuatu.
Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan
berbagai cara seperti; menghitung, menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara
itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu
pihak. Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga
harus dijelaskan dalam perjanjian.
Suatu sebab yang halal adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang, ketertiban
umum, kebiasaan, kepatutan dan kesusilaan. Suatu perjanjian tanpa sebab, atau dibuat
karena sebab yang palsu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata
adalah termasuk ke dalam sebab yang tidak halal.6
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian
menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.7
Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktir ilmu hukum yang berkembang, di
golongkan ke dalam :
a. Dua unsur pokok yang mengangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian
(unsur subyektif). Syarat Subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat
dibatalkan, meliputi :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur
objektif). Syarat Objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi
hukum, meliputi :
1. Suatu hal tertentu; dan
2. Suatu sebab yang halal.8
Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu dan
sebab yang halal. Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi keempat syarat tersebut. Jika
6
Ahmad Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perrikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.68.
7
Suharnoko, 2009, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, h.1
8
salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu
tidak sah. Jadi, syarat sahnya perjanjian berlaku secara komulatif, dan bukan limitatif.
1.1.1. Pengertian Kredit
Menurut asal mulanya kata “Kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “Credere” yang berarti kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditur bahwa debitur akan mengembalikan
pinjaman beserta bunganya sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak Indikator
kepercayaanini adalah kepercayaan moral, komersil, financial dan agunan. Kredit yang
diberikan oleh bank kepada nasabah dituangkan dalam suatu perjanjian yang namanya
perjanjian kredit. Menurut H Budi Untung menyebutkan : perjanjian kredit adalah perjanjian
pinjam meminjam uang yang melibatkan bank dengan nasabah.
Kredit dilihat dari sudut bahasa seperti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang
mendapatkan fasilitas kredit maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapatkian
kepercayaan dari pemberi kredit. Pengertian kredit menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Perbankan adalah sebagai berikut :
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
meminjam untuk melunasinya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.9
Bank sebagai pihak pemberi pinjaman dan nasabah sebagai penerima pinjaman. Dalam
perjanjian kredit terdapat hak dan kewajiban para pihak pemberi dan penerima kredit. Dapat
dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur atau pihak yang memberikan kreditur (bank)
dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah penerima kredit) mempunyai kepercayaan
9
bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat
mengembalikan kredit yang bersangkutan.
Menurut Daeng Naja dalam bukunya yang berjudul Hukum Kredit dan Bank Garansi
menyebutkan setidaknya terdapat 4 (empat) unsur pokok dalam pengertian kredit:
1. Kepercayaan, artinya setiap pemberian kredit dari Bank ke debitur dilandasi oleh adanya
keyakinan bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali oleh debitur kepada bank sesuai
dengan jangka waktu yang telah disepakati.
2. Waktu, artinya ada jangka waktu yang diberikan kepada kreditur untuk melunasi pinjaman
kreditnya.
3. Risiko, artinya dalam setiap pemberian pinjaman kredit pasti disertai dengan adanya resiko
yang ditanggung oleh Bank.
4. Prestasi, artinya dalam setiap kesepakatan antara Bank dengan debitur maka saat itu juga
akan terjadi suatu prestasi baik berupa barang, uang atau jasa kepada pihak lain dan balas
prestasi (kontra prestasi) akan diterima.10
Pengertian kredit juga dikemukakan oleh Muchdarsyah Sinungun yang menyatakan bahwa
“kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak lainnya dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada masa tertentu yang akan dating dan disertai dengan suatu kontra prestasi
berupa uang”.11
Lebih lanjut pengertian kredit dikemukakan oleh Raymond P.Kenr mengatakan
bahwa kredit adalah “Hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan
10
Rachmadi Usman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.236.
11
pembayaran pada waktu diminta, atau pada waktu yang akan dating karena penyerajan
barang-barang sekarang”.12
Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit dikuasai oleh
ketentuan-ketentuan KUH Perdata Bab XIII buku III. Karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian
pinjam uang, menurut KUH Perdata Pasal 1754 yang berbunyi: Pinjam meminjam adalah suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian , dengan syarat bahwa pihak yang terakhir
ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Perjanjian
kredit sebagian dikuasai atau mirip perjanjian pinjam uang seperti diatur dalam KUH Perdata
dan sebagian lainnya tunduk pada peraturan hukum yaitu Undang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang perbankan, tidak mengenal istilah perjanjian kredit. Perjanjian kredit perlu
mendapat perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai
debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian,
pengelolaan maupun penata pelaksanaan kredit itu sendiri. Adapun fungsi perjanjian kredit
adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian kredit sebagai alat bukti bagi kreditur dan debitur yang membuktikan adanya hak
dan kewajiban timbal balik antara bank sebagai kreditur dan debitur. Hak debitur adalah
menerima pinjaman dan menggunakan sesuai tujuannya dan kewajiban debitur
mengembalikan hutang tersebut baik pokok dan bunga sesuai waktu yang ditentukan. Hak
kreditur untuk mendapatkan pembayaran bunga dan kewajiban kreditur adalah meminjamkan
12
sejumlah uang kepada debitur, dan kreditur berhak menerima pembayaran kembali pokok
dan bunga.
2. Perjannjian kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pemantauan atau pengawasan
kredit yang sudah diberikan. Karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam
pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit
dapat dipantau dari ketentuan perjanjian kredit.
3. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikatannya
yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Pemberian kredit pada umumnya dijamin dengan
benda-benda bergerak atau benda tidak bergerak milik debitur atau milik pihak ketiga.13
Menurut R. Tjiptoadinugroho mengatakan : “Suatu unsur yang harus dipegang sebagai benang merah yang melintasi falsafah perkreditan dalam arti sebenarnya, bagaimanapun bentuk,
macam dan ragamnya dan dari manapun asalnya serta kepadasiapapun diberikannya”.14
Dasar Hukum Perjanjian Kredit
Suatu kegiatan dalam lalu lintas bisnis tentunya memerlukan suatu landasan yuridis yang
menjadi dasar hukumnya. Hal ini sebagai konsekuensi dari suatu prinsip bahwa Negara
Indonesia adalah Negara hukum. Indonesia yang tergolong kedalam sistem Hukum Eropa
Kontinental, di mana peraturan perundang-undangan menduduki urutan yang sangat penting
sebagai sumber hukumnya. Demikian pula terhadap suatu perbuatan hukum pemberian kredit,
tentunya juga memerlukan suatu basis hukum yang kuat. Dasar hukum diadakannya perjanjian
kredit mengacu pada :
13
H. Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, h.12.
14
1. Undang-UndangNomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Perbankan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66.
3. Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-Undang
Perbankan: Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak meminjam untuk melunasinya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
4. Pasal 1754 KUHPerdata yang berbunyi: Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.
5. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan: Adanya kesepakatan dan cakap dalam membuat suatu
perjanjian.
6. Pasal 1874 KUHPerdata: Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan dan Pasal 1868
KUHPerdata Perjanjian dalam bentuk Akta Otentik.
1.1.2. Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit
Sebelum membahas apa itu wanprestasi terlebih dahulu harus diketahui apa itu prestasi.
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu perjanjian atau
kontrak. Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata prestasi dapat berupa :
b. Berbuat sesuatu; dan
c. Tidak berbuat sesuatu.
Dalam pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi atau yang disebut dengan istilah
breach of contract adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya
yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam
perjanjian tersebut. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi hukum bagi pihak yang
dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi.
Dalam ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, Debitur dinyatakan lalai dengan surat
perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu
bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan.
Wanprestasi adalah suatu tindakan tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Dalam
restatement of the law of contracts, wanprestasi atau breach of contract dibedakan menjadi dua
macam, yaitu total breachts dan partial breachts. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak
tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan partial breachts artinya pelaksanaan perjanjian masih
mungkin untuk dilaksanakan.15
Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda (wanprestatie) yang artinya
tidak dipenuhi prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan pihak-pihak tertentu di dalam suatu
perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul
karena undang-undang.
15
Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi
didala hukum perjanjian, berarti suatu hal yang haris dilaksanakan sebagai isi dari suatu
perjanjian, barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk
prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.16
R. Subekti, mengemukakan bahwa wanprestasi itu adalah kelalaian atau kealpaan yang
berupa 4 macam, yaitu :
1. Tidak melalukan yang telah disanggupi akan dilakukannya
2. Melaksanakan yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang telah
diperjanjikan
3. Melakukan yang diperjanjikan tetapi terlambat
4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.17
Seseorang debitur baru dikatan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh
kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh debitur atau
juru sita. Apabila somasi itu tidak dipindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan
itu ke pengadilan dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi apa
tidak.
1.2 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
1.2.1 Pengertian dan dasar hukum surat kuasa membebankan hak tanggungan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah surat kuasa yang
diberikan oleh pemberi hak tanggungan kepada kreditur sebagai penerima hak tanggungan yang
untuk membebankan hak tanggungan pada objek hak tanggungan. SKMHT itu sendiri
16
Wirjono Prodjodikoro, 1999, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, h.17.
17
merupakan surat kuasa khusus yang memberikan kuasa kepada kreditur selaku penerima kuasa
untuk membebankan hak tanggungan pada nantinya akan dilanjutkan dengan Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang disebut APHT dan surat kuasa ini wajib dibuat dengan suatu akta Notaris
atau akta PPAT. Diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun1996 tentang Hak Tanggungan
sebagai lembaga jaminan atas tanah untuk mengganti hipotik dan Credietverband, tentunya
undang-undang hak tanggungan ini diposisikan lebih baik dari pada saat berlakunya hipotik dan
Credietverband dalam arti bahwa UUHT mempunyai kepastian hukum pada eksekusi atas
objekhak tanggungan.18
Ketentuan yang mengatur tentang SKMHT tersebut diatur dalam Surat Keputusan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang
penetapan batas waktu SKMHT, untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu dan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/DIR/1993 tentang Kredit Usaha Kecil
yang kemudian dicabut dan diganti dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
30/55/LEP/DIR tanggal 8 Agustus 1998. Dalam Surat Keputusan tersebut dinyatakan bahwa:
“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak”.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah menegaskan bahwa SKMHT wajib
dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT.19
18
Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), LaksBang Pressindo, Yogyakarta, h.308.
19
Lebih lanjutnya lagi yang ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan
(UUHT) bahwa “kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau
tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali kuasa tersebut telah dilaksanakan atau telah
abis jangka waktunya”. Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan hanya diperkenankan dalam keadaan khusus yang terkandung dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) yaitu
a. apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT untuk membuat
Akta Pemberian Hak Tanggungan.SKMHT harus dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh
Notaris atau PPAT, b. Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya membuat perbuatan hukum
membebankan hak tanggungan, tetapi tidak membuat hak untuk menggantikan penerima kuasa
melalui pengalihan dan memuat nama serta identitas kreditur, debitur, jumlah utang dan juga
objek hak tanggungan.
Seperti hal yang diuraikan diatas untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dan
demi tercapainya kepastian hukum SKMHT yang dibatasi jangka waktu berlakunya. Pasal 15
ayat (3) Undang-undang hak tanggungan menentukan bahwa terhadap tanah-tanah yang sudah
terdaftar SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
dalam jangka waktu yang ditentukan adalah 1 bulan. Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal
SKMHT yang diberikan untuk menjamin suatu kredit seperti kredit program, kredit usaha kecil,
kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit yang sejenisnya. Peraturan yang mengatur mengenai
SKMHT yang jangka waktunya ditentukan untuk kredit sejenis terdapat dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria BPN. No 4 Tahun 1996 tersebut menentukan bahwa SKMHT untuk menjamin
suatu perjanjian utang piutang berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian
Dasar Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
a) Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan surat kuasa
membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan Akta Notaris atau PPAT.
b) Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan : Surat Kuasa
membebankan hipotek yang ada pada saat diundangkan Undang-Undang ini dapat
digunakan sebagai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam waktu 6 (enam)
bulan terhitung sejak saat berlakunya Undang-Undang ini, dengan mengingat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).
c) Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 angka 7 dikatakan
bahwa dalam memberikan Hak Tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT. Jika karena
sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya,
dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang disingkat SKMHT, yang
berbentuk akta autentik. Pembuatan SKMHT selain kepada Notaris, ditugaskan juga
kepada PPAT yang keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan, dalam rangka
memudahkan pemberian pelayanan kepada pihak-pihak yang memerlukan.
d) Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan :
sebagai konsekwensi dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pembebanan
hak tanggungan atas agunan, tanaman dan hasil akrya yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah yang pemiliknya lain daripada pemegang Hak atas tanah wajib dilakukan
bersamaan dengan Pemberian Hak Tanggungan atas tanah yang bersangkutan dan
bersama oleh pemiliknya dan pemegang ha katas tanahnya atau kuasa mereka, keduanya
sebagai pemberi tanggungan.
Yang dimaksud dengan akta autentik dalam ayat ini adalah Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan atas benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah untuk
dibebani hak atas tanggungan bersama-sama tanah yang bersangkutan.
e) Dalam penjelasan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menjelaskan :
termasuk dalam pengertian Surat Kuasa Membebankan Hipotik yang dimaksud pada ayat
ini adalah surat kuasa untuk menjaminkan tanah.
1.2.2 Bentuk surat kuasa membebankan hak tanggungan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dapat berbentuk akta Notaris atau PPAT
(Pasal 15 ayat (1) UUHT). Mengingat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan berkaitan
dengan Hak Tanggungan, yang obyeknya hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda
yang ada diatasnya maka bentuknya lebih tepat Akta PPAT.20
Dalam kaitan ini, sesuai dengan asas konsistensi dan sistem, maka perlu dikoreksi sikap
UUHT yang dituangkan dalam Pasal 4 ayat (5) UUHT tentang pemberian kuasa menanda
tangani APHT dibuat dengan akta otentik dan Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dapat dibuat dalam bentuk akta notaris atau PPAT.
Seyogianya bentuk yang ditentukan di dalam kedua pasal itu sama, yaitu harus berbentuk akta
PPAT, karena keduanya berkaitan dengan hak atas tanah yang dijaminkan sebagai Hak
Tanggungan.
1.3 Hak Tanggungan
1.3.1 Pengertian dan dasar hukum hak tanggungan
20
Istilah Hak Tanggungan diambil dari istilah lembaga jaminan di dalam hukum adat. Di
dalam hukum adat istilah Hak Tanggungan dikenal di daerah Jawa Barat, juga di beberapa
daerah di Jawa Tengah atau Jawa Timur dan dikenal juga dengan istilah jonggolan atau istilah
ajeran merupakan lembaga jaminan dalam hukum adat yang objeknya biasanya tanah atau
rumah.
Istilah Hak Tanggungan yang berasal Hukum Adat tersebut, melalui Undang-Undang
Pokok Agraria ditingkatkan menjadi istilah lembaga hak jaminan dalam system hukum nasional
kita dan hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan bagi tanah tersebut diharapkan menjadi
pengganti hipotek dari KUHPerdata. Dengan kata lain, lembaga hipotek dan credietverband
akan dijadikan satu atau dilebur menjadi Hak Tanggungan.21
Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan tanggungan sebagai barang yang dijadikan
jaminan dan jaminan itu diartikan sebagai tanggungan atau pinjaman yang diterima. Secara
yuridis ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia 4 Tahun 1996 tenntang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan
perumusan pengertian Hak Tanggungan sebagai berikut:
Hak Tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hakatas tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Kemudian Angka 4 Penjelasan Umum atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah antara lain menyatakan :
21